Pandangan Keliru Terhadap Syariat Islam
Menepis Keberatan
Hambatan‑hambatan
dalam menerapkan Syariat Islam dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
pertama, kebencian orang‑orang kafir, fasik, dan zhalim akan Syariat
Islam, dan kedua, kesalahan kaum Muslimin dalam memahami Syariat Islam.
Akibatnya, muncullah ‘keberatan’ yang sebenarnya lebih mencerminkan
ketakberhasilannya dalam mengapresiasi ajaran Islam. Hambatan dari orang-orang kafir,
jelas bukan dalam kendali kaum muslim. Karenanya, yang lebih penting adalah
bagaimana menata sikap kaum muslim yang masih miring terhadap syariat Islam
sebagai ajaran agama yang dianutnya.
Secara umum, kendala yang ada pada kaum muslim dalam menerapkan
syariat Islam adalah masalah kekurangpahaman atau kebelumpahaman saja. Hal ini
dapat dilihat dari ‘keberatan’ yang seringkali diungkapkan.
Dalam hal
konsepsi, di antara dalih untuk ‘keberatan’ itu adalah:
1.
“Islam itu yang penting substansinya, bukan formalitasnya”. Pendapat
seperti ini bukan hanya berbahaya tapi juga bertentangan dengan realitas. Pertama, tidak ada aturan yang
diterapkan sekedar substansinya saja. Mengapa mereka begitu getol
memperjuangkan sekularisme, demokrasi dan berupaya mempertahankan formalitas
sistem tersebut yang notabene warisan kafir kolonial? Padahal, jika mereka
konsisten dengan pendapatnya tadi semestinya cukup hanya substansi demokrasi
saja yang dituntutnya, dan substansi sekulerisme saja yang diinginkannya?!.
Tapi, kenyataannya tidaklah demikian.
Kedua, tidak diformalkannya syariat Islam hanya berarti memberikan peluang
untuk main hakim sendiri. Padahal, semua sepakat bahwa tidak boleh main hakim
sendiri.
2.
“Penduduk yang hidup di suatu negara bukan hanya muslim, tetapi juga
non-muslim; tidak homogen tapi heterogen.” Pertama,
dalih ini sebenarnya mencerminkan kegagalan pihak tersebut memahami realitas
masyarakat. Dalam kenyataannya, hukum yang diterapkan bukan berarti harus di
kalangan yang homogen. Contoh, di Amerika tidak semua penduduknya Kristen,
tetapi aturan yang diterapkannya kapitalisme. Di Indonesia, terdapat 4 agama
resmi yang diakui, tapi hukum yang diterapkan juga kapitalisme atas dasar
sekularisme. Di Cina, puluhan juta umat Islam tinggal di sana, namun aturan yang
diberlakukan aturan sosialisme-komunisme. Jadi, tidak rasional menolak
ditegakkannya syariat Islam dengan alasan heterogenitas penduduknya. Tetapi,
tidak pernah manyatakan dilarang menerapkan sistem kapitalisme karena tidak
semua penduduk berideologi kapitalisme; tidak pernah juga berteriak tidak boleh
menerapkan sosialisme-komunisme dengan alasan tidak semua penduduknya
berideologi sosialisme-komunisme. Sebenarnya persoalannya bukan terletak pada
homogen atau heterogen, tetapi terletak pada sistem aturan mana yang akan
diterapkan untuk mengatur penduduk (apapun agamanya) demi terciptanya keadilan,
kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat. Dan, jawabannya: Islam!
Kedua, tidak paham terhadap kenyataan hidup Nabi Muhammad Saw. dan para
sahabatnya. Sejarah menunjukkan bahwa penduduk negara Islam saat itu bukan
hanya muslim, ada juga Yahudi dan Nasrani. Buktinya, lebih dari 10 abad syariat
Islam bertahan.
Ketiga, tidak menghayati bahwa syariat Islam itu untuk kebaikan bersama.
Contoh, ketika riba dilarang sebagai landasan perekonomian, hal ini bukan
ditujukan hanya bagi kepentingan kaum muslim, melainkan juga untuk penduduk
non-muslim. Dan, faktanya, akibat riba kini negeri ini dijerat seabrek hutang
haram dan perekonomian riil semakin sengsara akibat perbuatan rezim sistem
thoghut demokrasi. Yang rugi? Semua penduduk, muslim dan non-muslim.
3.
“Dalih lain yang diajukan pihak yang menolak syariat Islam adalah adanya
ragam pendapat tentang sistem politik dan kenegaraan Islam; sistem mana yang
akan diterapkan?” Alasan ini pun terlihat ‘genit’. Sebab, dalam sistem manapun
sulit hanya ada satu pendapat saja. Misalnya, banyak beragam pendapat tentang
sistem republik, presidentil ataukah parlementer. Bentuknya pun pro-kontra,
apakah kesatuan, federalisme, ataukah kesatuan dengan otonomi daerah. Pendapat
dalam sistem pemilihan pun berbeda-beda, apakah harus pemilihan langsung
(seperti keyakinan J. J. Roussau), perwakilan, distrik, dan sebagainya.
Realitasnya, perbedaan pendapat ini tidak menghalangi mereka menerapkan sistem
kufur thaghut demokrasi kapitalisme dalam berbagai bidang, termasuk politik.
Mengapa, adanya perbedaan pandangan tentang beberapa hal politik dan sistem
kenegaraan Islam dijadikan dalih untuk tidak ditegakkannya syariat Islam?
Sementara untuk sistem selain Islam tidak diungkapkan alasan serupa?
4.
“Tuduhan lain yang kerap ditujukan untuk menentang syariat Islam adalah
stigmatisasi bahwa hukum Islam itu kejam, diskriminasi, dan ‘primitif’.”
Tuduhan ini sebenarnya lebih menggambarkan ketakutan terhadap syariat Islam.
Padahal, jika kita pikirkan, misalnya, antara masyarakat yang rata-rata
kehidupan seksual para anggotanya bersih karena diberlakukan hukum Islam dengan
masyarakat yang permisif dan kacau; yang didalamnya industri seks sudah
dianggap sebagai hal yang lumrah, aurat tidak boleh dihalangi untuk dipamerkan
karena diskriminatif; hukum ditentukan oleh yang kuat (hukum rimba); maka
bagaimanakah kesimpulannya? Tentu, masyarakat jenis pertama merupakan
masyarakat yang lebih luhur dan lebih sesuai dengan harkat dan martabat
manusia.
Sedangkan yang kedua pada
hakikatnya menjurus pada masyarakat binatang yang hidup di hutan belantara
dengan hukum rimba, yang tidak jauh berbeda dengan hewan ternak sehingga terus
saja rusak, sakit, kriminal, dan mati konyol seperti masyarakat Barat (lihat
TQS. Al A’râf [7]:179). Tapi, anehnya, ada sebagian orang masih memandang bahwa
masyarakat dan negara sekuler-kapitalistik yang serba permisif itulah yang
dianggap masyarakat modern (lebih tepat ‘sok modern’), sedangkan masyarakat
yang menerapkan dan berupaya untuk menegakkan hukum Islam dipandang sebagai
masyarakat tradisional, konservatif, bahkan ‘primitif’. Mana yang lebih kejam,
hukum dari Allah Swt. yang memotong tangan pencuri yang betul-betul terbukti
dalam pengadilan ataukah hukum kufur yang memenjarakannya yang justru lebih
mendidiknya menjadi seorang penjahat kawakan? Aturan mana yang lebih
diskriminatif apakah hukum Allah Swt. yang memberlakukan semua orang sama
ataukah hukum thoghut yang memenjarakan seorang pencuri sandal seharga Rp4.000
selama 4 bulan; sedangkan, para perampok BLBI sebesar Rp164 milyar bebas
berkeliaran penuh percaya diri? Padahal, kalau tolok ukurnya pencurian sandal
tadi, seharusnya mereka dihukum 41.000.000 bulan atau 3.416.667 tahun?
5.
“Alasan lain adalah masyarakat tidak siap.” Kita layak untuk
bertanya, ketika di negeri ini diterapkan lebih dari 80% hukum Belanda (hingga
sekarang), apakah rakyat ditanyai sudah siap atau belum? Ketika aturan untuk
menerapkan syariat Islam bagi muslim Indonesia dihapus oleh PPKI, apakah rakyat
ditanya dulu siap atau tidak dengan penghapusan itu? Dulu, saat diterapkan sistem
musyrik demokrasi terpimpin dan sistem kufur demokrasi parlementer, apakah rakyat
ditanyai kesiapannya terlebih dahulu? Tidak! Mengapa, alasan masyarakat tidak
siap itu hanya ditujukan kepada Islam. Padahal, benarkah masyarakat tidak siap?
Ataukah, pihak yang tidak siap itu hanya mereka yang kini memegang kekuasaan,
duduk di kursi empuk, dan banyak kejahatannya hingga takut kezhalimannya itu
terbongkar bahkan diadili?
Itulah sebagian dalih
yang diungkapkan untuk menolak syariat Islam. Namun, ternyata semuanya tidak
sesuai dengan realitas
yang ada.
Akhirnya, nampak betapa
syariat Islam merupakan pilihan syar’iy sekaligus rasional untuk diterapkan
dalam rangka mengubah kezhaliman
menjadi keadilan di tengah-tengah umat manusia,
menyingkirkan kejahiliyahan dan hewani diganti oleh cahaya Islam. Tanpa syariat
Islam, jangan harap keberkahan dari langit dan bumi dinikmati oleh umat
manusia. Alhamdulillâh.
]وَلَوْ
أَنَّ أَهْلَ
الْقُرَى
ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا
لَفَتَحْنَا
عَلَيْهِمْ
بَرَكَاتٍ
مِنَ
السَّمَاءِ
وَاْلأَرْضِ
وَلَكِنْ
كَذَّبُوا
فَأَخَذْنَاهُمْ
بِمَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ[
“Jika sekiranya penduduk
negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka
berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu,
maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (TQS. Al A’raf [7] : 96).
Pandangan
Keliru Terhadap Syariat Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar