Mewujudkan Rahmat Bagi Seluruh Alam
Beberapa Contoh
Banyak
sekali contoh hukum syariat yang secara kasat mata menunjukkan keberpihakannya
pada semua orang (termasuk non-muslim wajib tunduk pada syariat Islam dalam
urusan publik). Di antaranya adalah:
Pertama, Kebijakan ekonomi umum. Islam
memandang bahwa masalah ekonomi adalah buruknya distribusi kekayaan di
masyarakat dan pemenuhan kebutuhan di masyarakat bukanlah pepenuhan total
kebutuhan, tapi pemenuhan per individu secara menyeluruh.
Dari sini kebijakan
ekonomi yang dibuat adalah,
pertama: negara wajib memenuhi kebutuhan dasar (hajat asasiyah), yakni sandang, pangan, papan, bagi seluruh rakyat
per individual. Tidak boleh ada yang lapar, telanjang, dan tidak bisa berteduh
di suatu rumah (dimiliki maupun disewa). Nabi bersabda: “Penduduk mana saja yang membiarkan salah seorang warganya kelaparan,
Allah akan melepas jaminannya kepada mereka semua”. Dalam hadits lain
beliau Saw. bersabda: “Tidaklah beriman
kepadaku, orang yang tidur nyenyak di malam hari sementara tetangganya
kelaparan, padahal dia tahu”. Dalam hal ini negara Khilafah memberikan
peluang kerja seluas-luasnya, dan menyantuni mereka yang lemah dan papa.
Kedua, negara khilafah Islam memberi peluang seluas-luasnya bagi seluruh warga
negara tanpa membedakan satu dengan yang lain, untuk mendapatkan pemenuhan
kebutuhan penyempurna hidup (hajat
kamaliyah). Dalam hal ini negara khilafah Islamiyah memberi fasilitas seluas-luasnya,
termasuk bebas biaya administrasi untuk usaha masyarakat mengembangkan
modalnya, tanpa membedakan antara Marwan dengan Martin, tanpa membedakan antara
Jamilah dengan Jenifer. Semua diberi kemudahan. Dan khalifah beserta jajarannya
tidak berbisnis, tapi mengayomi semua.
Ketiga, daulah Islam wajib memberikan pengarahan dan batas kepada masyarakat
agar dalam menikmati kekayaan yang dimilikinya mengikuti pola kehidupan yang
khas, yakni senantiasa di dalam koridor kehalalan. Dan apabila terjadi ketidakseimbangan
ekonomi antara warga negara, dikarenakan kemampuan yang berbeda-beda, negara
khilafah wajib melakukan penyeimbangan dengan memberikan bantuan cuma-cuma
kepada kelompok masyarakat yang lemah dan papa (fakir miskin) agar mampu
bangkit sehingga mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Allah SWT berfirman: “Agar jangan harta itu hanya berputar di
kalangan orang kaya di antara kalian” (TQS. Al hasyr 7)
Kedua, Jaminan Kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan, dan
keamanan gratis bagi semua warga negara Islam. Islam memerintahkan negara
Khilafah ar-Rasyidah untuk menjamin kebutuhan kolektif masyarakat (tanpa
membedakan kaya maupun miskin). Masyarakat dipelihara oleh negara Islam hingga
menjadi masyarakat Islam yang cerdas, sehat, kuat dan aman. Pendidikan secara
umum diwujudkan untuk membentuk pribadi-pribadi yang memiliki jiwa yang tunduk
kepada perintah dan larangan Allah SWT, memiliki kecerdasan dan kemampuan
berfikir memecahkan segala persoalan dengan landasan berfikir Islami, serta
memiliki kemampuan ketrampilan dan keahlian untuk bekal hidup di masyarakat.
Semua diberi kesempatan untuk itu dengan menggratiskan pendidikan dan
memperluas fasilitas pendidikan, baik itu sekolah universitas, masjid,
perpustakaan umum, bahkan laboratorium umum. Rasulullah Saw. menerima tebusan
tawanan perang Badar dengan jasa mereka mengajarkan baca tulis anak-anak kaum
muslimin di Madinah. Rasul juga pernah mendapatkan hadiah dokter dari Raja
Najasyi lalu oleh beliau Saw. dokter itu dijadikan dokter umum yang melayani
pengobatan masyarakat secara gratis (lihat Abdurrahman Al Baghdadi, Sistem Pendidikan di masa Khilafah, juga
Abdul Aziz Al Badri, Hidup
Sejahtera di bawah naungan Islam).
Ketiga, Politik keuangan. Islam menetapkan emas
(dinar) dan perak (dirham) dijadikan sebagai mata uang. Berbagai hukum Islam
dalam penerapannya berkaitan dengan mata uang tersebut, seperti diyat misalnya,
1000 dinar. Dan fakta menunjukkan bahwa standar alat tukar emas dan perak tidak
terkena inflasi, tidak lapuk oleh zaman, dan tak akan terguncang nilainya oleh
perubahan sosial politik. Andai negeri ini menggunakan emas dan perak sebagai
mata uangnya dan berada dalam naungan sistem ekonomi Islam, tentulah tidak akan
terjadi krisis moneter seperti yang terjadi pada tahun 1997.
Islam juga mengajarkan
bahwa uang sebagai alat tukar itu tidak boleh diam, harus produktif. Allah
mengancam orang-orang yang menimbun emas dan perak dalam firman-Nya:
]وَالَّذِينَ
يَكْنِزُونَ
الذَّهَبَ
وَالْفِضَّةَ
وَلاَ
يُنْفِقُونَهَا
فِي سَبِيلِ
اللهِ
فَبَشِّرْهُمْ
بِعَذَابٍ
أَلِيمٍ@يَوْمَ
يُحْمَى
عَلَيْهَا
فِي نَارِ
جَهَنَّمَ
فَتُكْوَى
بِهَا
جِبَاهُهُمْ
وَجُنُوبُهُمْ
وَظُهُورُهُمْ
هَذَا مَا
كَنَزْتُمْ ِلأَنْفُسِكُمْ
فَذُوقُوا
مَا كُنْتُمْ
تَكْنِزُونَ[
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan
tidak menafkahkannya pada jalan Allah, nmaka beritahukanlah kepada mereka bahwa
mereka akan mendapatkan siksa yang pedih pada hari dipanaskan emas dan perak
itu di dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengan-Nya dahi mereka, lambung, dan
punggung mereka lalu dikatakan kepada mereka, :Inilah harta bendamu yang kamu
simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang kamu
simpan itu”. (TQS. At Taubah 34-35)
Diriwayatkan bahwa di
masa Rasul ada seorang ahli shuffah (orang
yang tinggal di dalam satu ruangan masjid Nabawi yang telah berikrar hanya
berdakwah dan hidup mereka ditanggung kaum muslimin, artinya tidak perlu uang
lagi) meninggal lalu di tempat tidurnya terdapat uang logam satu dinar/dirham,
lalu rasul menyebut potongan uang logam itu dengan sebutan: kayyah, artinya: sepotong api neraka!
Juga Islam menetapkan
bahwa uang sebagai alat tukar tidak boleh diputar dalam bisnis non riil,
seperti dipinjamkan untuk mendapatkan ribanya. Jelas Allah SWT mensifati bisnis
riba ini sebagai yang bisnis yang tidak bakal stabil. Allah mengumpamakan
orang-orang yang makan riba bagaikan orang yang sempoyongan kemasukan syetan.
Dia berfirman:
]الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ
الرِّبَا لاَ
يَقُومُونَ
إِلاَّ كَمَا
يَقُومُ
الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ
مِنَ
الْمَسِّ ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ
قَالُوا
إِنَّمَا
الْبَيْعُ
مِثْلُ
الرِّبَا
وَأَحَلَّ
اللهُ
الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ
الرِّبَا[
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran tekanan
penyakit gila. Keadaan demikian disebabkan mereka mengatakan sesungguhnya jual
beli sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba…” (TQS. aL Baqoroh 275)
Bila hal ini diterapkan
maka ekonomi akan tumbuh dan stabil. Dampaknya, bukan hanya dirasakan oleh kaum
muslim
melainkan juga oleh semua orang.
Begitu pula seluruh hukum
Islam yang lain. Berdasarkan hal ini maka mereka yang memahami realitas syariat
Islam akan rindu
untuk dihukumi dengannya. Betapa tidak, tanpa syariat Islam kehidupan
menunjukkan berada dalam kesengsaraan dan kejahiliyahan.
Mewujudkan
Rahmat Bagi Seluruh Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar