Sahkah Jual-Beli Mesin Tanpa
Serah-Terima?
Soal:
Saya punya fasilitas
banguan seluas 400 meter persegi. Saya punya mesin pertukangan di situ. Datang
seseorang kepada saya untuk membeli mesin tersebut dan saya setuju menjualnya.
Setelah itu ia meminta saya agar menyewakan bangunan itu agar mesin yang dia
beli dari saya tetap di situ dan ia pergunakan di tempat itu juga. Kesepakatan
itu tercapai. Perlu diketahui, mesin itu adalah benda bergerak. Meski demikian,
mesin itu tetap di dalam bangunan yang disewakan kepada orang yang membeli
mesin itu. Mesin itu tidak pernah dipindahkan dari dalam bangunan itu.
Perlu diketahui pula,
kunci bangunan itu ada di tangan penyewa yang juga pemilik mesin itu. Ia
memiliki semua manfaat dari fasilitas bangunan itu sebagaimana mestinya. Ia
bebas melakukan tasharruf atas fasilitas
bangunan itu tanpa menyebabkan kerusakan atau kehancurannya bangunan itu.
Apakah akad di antara
kami itu memenuhi syarat-syarat syar’i jika mesin itu tidak dipindahkan sama
sekali? Ataukah akad tersebut dinilai batil karena mesin itu tidak dipindahkan
dan tetap dipertahankan di dalam bangunan yang disewa oleh pembeli mesin tersebut?
Jawab:
Dalam jual beli
disyaratkan serah-terima barang dan penguasaannya ke pihak pembeli. Akan
tetapi, ini hanya terkait barang yang ditimbang, ditakar dan dihitung.
Misalnya, Anda membeli pakaian atau makanan seperti beras, misalnya; atau Anda
membeli beberapa buah semangka atau pisang. Contoh lain adalah apa saja yang
ditakar, termasuk di dalamnya apa yang diukur dengan ukuran hasta, misalnya.
Bisa juga yang dijual dengan hitungan jumlah satuan, yakni satu buah semangka
sekian; atau dijual dengan timbangan, takaran, ukuran, atau hitungan.
Semua ini wajib
dipindahtempatkan saat terjadi akad jual-beli. Jadi agar barang itu bisa
dimiliki dan boleh dijual maka wajib telah dia terima dan dia pindahkan ke
tokonya. Karena itu tidak sah seorang pedagang menjual barang yang tidak ia
miliki, yakni tidak dia miliki di tokonya. Rasulullah Saw. bersabda:
“Siapa yang membeli
makanan, janganlah makanan itu dia jual sampai dia terima.” (HR. al-Bukhari).
Imam Muslim
meriwayatkan dari Ibnu umar:
“Kami pernah membeli
makanan secara acak dari pedagang yang datang. Lalu Rasulullah Saw. melarang
kami menjual makanan itu sampai kami memindahkannya dari tempatnya.”
Imam Muslim juga
meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda:
“Siapa saja yang
membeli makanan, janganlah makanan itu dia jual sampai ia dia takar.”
Hakim bin Hizam juga
berkata:
“Aku berkata. "Ya
Rasulullah Saw., aku membeli barang. Lalu apa yang halal untukku dari barang
itu dan apa yang haram atasku?" Beliau bersabda, "jika engkau membeli
sesuatu, janganlah engkau jual sampai engkau terima." (HR. Ahmad)
Zaid bin Tsabit juga
berkata:
“Rasulullah Saw. telah
melarang barang dagangan dijual sebagaimana dibeli sampai si pedagang memiliki
dan memindahkan barang itu ke atas tunggangannya.” (HR. Abu Dawud).
Imam Ahmad pun
meriwayatkan di dalam Musnad-nya dari
Ibnu Umar yang berkata bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“Siapa saja yang
membeli makanan dengan takaran atau timbangan, janganlah makanan itu dia jual
sampai dia terima.”
Jelas, hadis-hadis itu
menyatakan tentang takaran dan timbangan, juga menyatakan secara umum tentang
makanan. Makanan itu tidak terlepas dari keberadaannya yang ditakar, ditimbang
atau dihitung. Makanan itu kadang dijual secara jumlah. seperti beberapa jenis
buah-buahan. Atas dasar itu, syarat serah-terima terkait dengan makanan itu
diestimasi dalam bentuk takaran, timbangan atau hitungan jumlah.
Adapun selain yang
ditakar, ditimbang atau dihitung, ketika dijualbelikan, tidak disyaratkan
serah-terima. Ini berlaku pada rumah, tanah, hewan dan semisalnya. Pasalnya,
rumah dan tanah tidak bisa dipindahkan. Adapun hewan, karena adanya nas. Imam
al-Bukhari telah meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia menaiki unta milik Umar
yang lari kencang: Nabi Saw. bersabda kepada
Umar, "Juallah kepadaku" Umar berkata, "Unta itu untuk
Anda." Rasul pun membeli unta itu lalu bersabda, "Unta itu untukmu,
ya Abdullah. Lakukan apa yang kamu mau!" (HR. al-Bukhari).
Menurut hadits ini,
Rasul Saw. membeli unta dari Umar. Lalu beliau menjual untuk itu kepada
Abdullah bin Umar sebelum beliau terima dari Umar.
Jabir bin Abdullah
juga telah menceritakan hadits kepada Amir: ia naik di atas unta yang letih.
Lalu ia ingin menghela unta itu. Jabir berkata: Lalu Nabi Saw. menghampiriku
dan mendoakanku. Beliau kemudian memukul unta itu. Unta itu pun berjalan yang
belum pernah seperti itu sebelumnya. Beliau bersabda, “Juallah kepadaku seharga
satu wuqiyyah!" Jabir berkata, "Tidak." Rasul Saw. bersabda,
"Juallah kepadaku dengan satu wuqiyyah." Aku pun menjual unta itu
dengan harga satu wuqiyyah (40 dirham). Aku mensyaratkan kepada beliau untuk
menunggangi unta itu ke rumahku. Ketika aku tiba, aku datang kepada Nabi Saw.
dengan membawa unta itu. Lalu beliau membayar harganya kemudian aku kembali.
Lalu beliau mengutus orang menyusulku. Beliau bersabda, “Apakah kamu menduga
aku menawar harga yang lebih murah agar aku ambil untamu. Ambillah untamu dan
dirhammu. Itu untukmu." (HR. Muslim).
Menurut hadits ini
Rasulullah Saw. membeli unta milik Jabir dan tidak menerima unta itu, tetapi
Jabir terus menunggangi unta tersebut hingga tiba di rumahnya. Setelah itu
Rasul Saw menghibahkan unta itu kepada Jabir.
Atas dasar itu,
penjualan hewan dan semisalnya yang tradisinya tidak dijual dengan timbangan,
takaran atau hitungan, maka serah-terima tidak menajdi syarat dalam jual-beli
itu.
Alhasil, yang saya
kuatkan, terkait mesin pertukangan yang Anda tanyakan, adalah semisal hewan.
Dengan demikian dalam hal ini berlaku sempurnanya jual-beli tanpa serah terima,
yakni tanpa dipindahkan dari tempatnya.
Dengan ungkapan lain,
akad jual-beli mesin tersebut sah baik pembeli memindahkan mesin itu ke
rumahnya ataukah dia menyewa tempat di mana mesin itu berada dan membiarkan
mesin itu di tempat yang sama.
[Dari Jawab-Soal
bersama Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah, 22 Jumadul Ula 1439 H/ 08 Februari 2018
M. Sumber: http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/49605.html
]
(Artikel ini tanpa tulisan Arabnya)
Sumber: Media Politik
Dan Dakwah al-Wa’ie edisi Maret 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar