Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Jumat, 27 Juli 2018

Menyoal Tudingan Radikalisme di Perguruan Tinggi



Oleh: Dr. M. Kusman Sadik

Ratusan ribu mahasiswa yang diterima akan segera memasuki perguruan tinggi. Mereka datang di tengah ramainya perbincangan seputar pernyataan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait radikalisme. Menurut BNPT ada tujuh perguruan tinggi ternama yang disinyalir terpapar paham radikalisme. Pernyataan BNPT tersebut sangat penting untuk dikritisi. Sebab tidak hanya berpotensi merugikan perguruan tinggi itu namun juga bisa mendiskreditkan umat Islam.

Pertama, istilah radikalisme yang dilontarkan oleh BNPT tersebut sangat kabur sehingga tidak jelas apa definisi dan indikatornya. Menurut The Concise Oxford Dictionary, radikal (radix atau radices) berarti akar, sumber, atau asal mula. Dalam kamus Oxford itu disebutkan, istilah radikal ketika dikaitkan dengan perubahan atau tindakan bermakna sesuatu yang mampu mempengaruhi karakteristik dasar (fundamental nature) serta menyeluruh.

Jadi secara bahasa, sebenarnya istilah radikal itu justru bersifat positif yakni sesuatu yang bersifat fundamental. Itu justru sesuai dengan karakter perguruan tinggi yang memang mengkaji berbagai aspek hingga pada sisi fundamentalnya. Namun kemudian istilah radikal tersebut dikonotasikan dengan sesuatu yang negatif yakni sebagai pendorong terorisme.
Sementara istilah moderat, lawan dari istilah radikal, dikonotasikan sebagai sesuatu yang positif. Kemudian media dan pihak tertentu mendefinisikan sesuai keinginannya apa makna moderat itu.

Misalnya ada upaya mengopinikan bahwa orang moderat itu adalah mereka yang apabila agamanya dihina diam saja. Sementara orang yang melawan penghinaan tersebut akan dikategorikan radikal. Orang yang mendukung sekularisme-liberalisme akan dikategorikan sebagai orang yang berpikiran moderat. Sedangkan orang yang mendukung upaya penerapan syariah secara kaffah akan dikategorikan berpikiran radikal.

Kedua, ada upaya untuk mengaitkan isu radikalisme dengan terorisme. Itu bertumpu pada asumsi bahwa pemicu terorisme adailah radikalisme atau paham radikal. Mereka biasa mengatakan bahwa radicalism is only one step short of terrorism. Artinya, ada narasi yang ingin dibangun di ranah publik bahwa Islam itu mengandung paham radikal yang nantinya akan melahirkan aksi terorisme.

Padahal aksi terorisme yang terjadi di negeri ini sendiri masih menjadi tanda tanya besar bagi umat Islam. Siapakah sebenarnya pelaku terorisme dan apa motif di balik aksi tersebut. Memang bisa saja pelaku terorisme itu seorang Muslim, atau ada identitas keislaman yang melekat pada diri pelaku. Tapi siapa yang ada di balik pelaku tersebut masih kabur dan gelap.

Ketiga, sangat kuat indikasinya bahwa yang menjadi target isu radikalisme dan terorisme itu adalah Islam. Tidak hanya orang dan organisasinya, namun juga ajaran Islam itu sendiri yang akan dibidik melalui isu tersebut. Misalnya, belum lama ada sebuah lembaga kajian yang menyebut masjid-masjid kampus sebagai sarang radikalisme. Itu sebuah framing untuk memojokkan para aktivis dakwah Islam yang pusat aktivitasnya memang di masjid.

Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta beberapa waktu yang lalu menerbitkan buku berjudul “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia.” Penggunaan istilah salafi radikal tersebut sangat subjektif dan bias. Karena, apa yang mereka maksud dengan ”salafi" dan apa yang dimaksud dengan ”radikal” sangat tidak jelas kriterianya. Jadi buku tersebut lebih tepatnya sebagai sarana propaganda untuk mendiskreditkan umat Islam. Bukan buku ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan secara data, metodologi, dan analisis.

Tentu saja tuduhan semacam itu bagian dari penyesatan opini. Kalau kita perhatikan, umat Islam yang memperjuangkan penegakan syariah secara kaffah itu melakukannya melalui dakwah. Sebuah proses yang bersifat edukatif dan argumentatif. Tidak ada satupun bukti bahwa perjuangan mereka itu disertai kekerasan apalagi aksi terorisime.

Apa yang sekarang terjadi sesungguhnya merupakan wujud ghazwul-fikri (perang pemikiran) yang memang gencar dilakukan oleh negara-negara Barat pimpinan Amerika Serikat. Inilah fakta perang peradaban antara Islam dan Barat seperti yang diramalkan Huntington dalam bukunya The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order.

Civitas academica Muslim di berbagai perguruan tinggi harus menyambut clash of civilizations ini melalui dakwah argumentatif yang berbasis nalar. Sehingga nanti akan terpapar dengan jelas betapa mulianya sistem Islam dan betapa rusaknya sekularisme-liberalisme itu. Wallahua'lam bi ash-shawab.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 222

Jumat, 20 Juli 2018

Bila Pakai Islam, Kemakmuran Meliputi Rakyat



Mayoritas penduduk Indonesia Muslim, tetapi kehidupan dalam bernegara termasuk dalam tata kelola ekonominya menggunakan kapitalisme. Walhasil, negeri yang kaya sumber daya alam ini kini di ambang krisis.

Benarkah kapitalisme penyebab utama krisis yang terjadi di Indonesia?

Benar, buktinya krisis ini terus berulang siapapun rezimnya karena sistem yang diterapkan adalah sistem ekonomi kapitalis. Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini sistem ekonomi yang dijalankan sama yaitu sistem ekonomi kapitalis.

Apa indikasinya bahwa kapitalisme yang tengah diterapkan negeri ini?

Indikasinya banyak sekali, hampir semua kebijakan ekonomi saat ini berbasis kapitalis.

Apa saja itu?

Menurut saya ada 5 poin dan ini menjadi pemicu terjadinya krisis ekonomi secara sistemik.
Pertama, perbankan dengan sistem ribawi.
Kedua, semakin masifnya sosialisasi pasar modal yang memunculkan sektor non-riil dalam perekonomian. Saat ini hampir di setiap kampus ada pojok bursa efek.
Ketiga, pemerintah semakin tergantung kepada utang luar negeri dalam membiayai pembangunan.

Keempat, uang yang beredar tidak menggunakan emas dan perak atau uang yang beredar tidak di-back up oleh emas dan perak.
Yang kelima, dan ini yang semakin masif pada pemerintahan Jokowi adalah privatisasi atau menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada pihak swasta.

Apa dampak dari penerapan kapitalisme tersebut?

Dampaknya dari penerapan kapitalis tersebut adalah krisis yang terus berulang dan menjadi siklus dalam perekonomian yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Perbankan sistem ribawi dan masifnya pasar modal menghasilkan fenomena ekonomi balon, tumbuh tapi hanya menghasilkan gelembung ekonomi yang setiap saat bisa meletus menjadi krisis.

Utang menyebabkan kedaulatan ekonomi dan politik negara ini tergadai kepada kepentingan para kapitalis, uang yang tidak berdasarkan emas dan perak menyebabkan uang rupiah terpuruk bahkan tidak ada nilainya di hadapan mata uang dolar Amerika. Kondisi ini diperparah dengan monopoli terhadap SDA dan barang yang menjadi hajat hidup orang banyak seperti BBM dan air akibat liberalisasi dan privatisasi yang dilakukan rezim kapitalis ini.

Akhirnya semua itu menyebabkan semakin bertambahnya orang miskin dan kelaparan.

Apa solusi Islam dari kelima indikasi masalah tersebut?

Poin pertama dan kedua itu dalam Islam berhubungan dengan riba, dan dalam sistem ekonomi Islam, riba secara tegas dan pasti dilarang untuk dilakukan baik oleh rakyat maupun penguasa, bahkan ancamannya luar biasa sampai diperintahkan untuk diperangi bagi mereka yang tidak mau menghentikan riba.

Tafsir Ibnu Kasir menyebutkan pendapat Ibnu Abbas ketika menanggapi ayat Al-Qur’an tentang riba. Abdullah bin Abbas mengatakan: ”Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mau meninggalkannya, maka telah menjadi kewajiban bagi imam (khalifah) untuk menasihati orang-orang tersebut. Akan tetapi kalau mereka masih tetap membandel maka seorang imam dibolehkan untuk memenggal lehernya/ dihukum mati.” (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir, jilid I hlm.331).
Di sisi lain, dosa riba itu juga ancaman sangat keras, sebagaimana disebutkan dalam salah satu hadits. Rasulullah bersabda: "Riba itu mempunyai 73 macam. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari bermacam-macam riba itu) adalah seperti seseorang menzinai ibu kandungnya sendiri.” (HR. Al Hakim).

Apa dampaknya kalau riba dan pasar modal dilarang?

Kalau riba dan pasar modal itu dilarang, dampaknya sangat signifikan terhadap ekonomi yaitu akan menggerakkan sektor riil, pengangguran akan teratasi sehingga ekonomi akan tumbuh dan sehat.

Utang luar negeri yang diberikan oleh negara-negara kapitalis selain berbunga juga merupakan alat penjajahan baru yang digunakan oleh negara-negara kreditor untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Karena itu Islam mengharamkan utang luar negara.

Mengapa?

Fakta menunjukkan negara yang sudah terjerat utang sulit untuk bisa membayar, akhirnya itu semua menjadi alat untuk memaksakan kebijakan ekonomi dan politik yang menguntungkan para kapitalis seperti pencabutan berbagai subsidi. Utang juga penyebab terjadinya krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika karena pada saat jatuh tempo permintaan terhadap dolar naik sehingga nilai rupiah melemah.

Faktor berikutnya yang menjadi penyebab krisis adalah terkait dengan uang kertas atau fiat money, Islam mewajibkan uang itu harus emas dan perak. Dengan uang berbasis emas dan perak ini selain nilainya stabil juga menghilangkan problem krisis nilai tukar karena semua mata uang nilainya sama.

Bagaimana dengan privatisasi dan monopoli SDA?

Sumber daya alam yang merupakan hajat hidup orang banyak seperti air dan BBM, barang tambang lainnya yang hasilnyajuga melimpah, ya wajib dikelola oleh negara, haram diserahkan ke swasta atau diprivatisasi.

Karena dalam pandangan Islam, sumber daya alam yang termasuk milik umum sepert air, api (sumber api/ energi), padang rumput, hutan dan barang tambang harus dikelola hanya oleh negara yang hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal, pangan, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum termasuk infrastruktur.

Andai semua sumber daya alam yang ada di Indonesia dikelola secara benar sesuai dengan syariat oleh negara Islam, niscaya kemakmuran akan melingkupi seluruh masyarakat di Indonesia. Dana yang didapat bisa digunakan untuk membangun infrastruktur, membiayai kesehatan dan pendidikan secara cuma-cuma serta berbagai keperluan lainnya.

Apakah solusi-solusi tersebut dapat diterapkan dalam sistem demokrasi?

Mungkin sebagian kecil bisa tapi tetap tidak bisa optimal. Karena demokrasi dan kapitalisme seperti dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.

Mengapa?

Karena demokrasi dan kapitalis itu satu paket, yang terpancar dari akidah sekularisme. Demokrasi sistem politiknya, kapitalis sistem ekonominya.

Lantas, apa yang harus dilakukan bangsa Indonesia agar solusi-solusi Islam tersebut dapat diterapkan dengan baik dan benar?

Harus ada perubahan yang mendasar baik sistem maupun orangnya, makanya yang harus kita lakukan ganti pemimpin dan juga sistemnya. Maka kampanye yang harus kita usung itu adalah ganti rezim dan sistem dengan sistem Islam yang kaffah.

Caranya?

Perubahan itu akan terjadi kalau ada tiga syarat terpenuhi.
Pertama, masyarakat dan tokoh-tokoh serta ahlu quwwah atau militer menyadari bahwa sistem demokrasi kapitalis ini sistem yang rusak dan merusak.
Kedua, masyarakat, tokoh dan militer memahami sistem penggantinya yaitu sistem Islam.
Ketiga, ada kelompok dakwah yang terorganisasi dengan baik yang memahami dua hal itu dan terus-menerus melakukan dakwah dan pengkaderan sampai terjadi pergantian dari sistem demokrasi-kapitalis menjadi sistem Islam yang kaffah.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 222

Sabtu, 14 Juli 2018

Mengutamakan Ridha Allah Di Atas Ridha Manusia



“Siapa saja yang mencari ridha Allah dengan risiko dimurkai oleh manusia maka Allah akan mencukupi dirinya sehingga tidak memerlukan bantuan manusia. Siapa saja yang mencari ridha manusia dengan sesuatu yang bisa mengundang kemurkaan Allah maka Allah akan membiarkan dirinya dikuasai manusia.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu al-Mubarak).

Ibnu Hibban meriwayatkan hadis di atas di dalam Shahih Ibni Hibban dengan dua redaksi yang sedikit berbeda.
Pertama, riwayat dari jalur Urwah, dari Aisyah, dari Rasul yang bersabda:
“Siapa saja yang mencari ridha Allah dengan risiko dimurkai manusia maka Allah meridhai dia dan akan membuat manusia pun ridha kepada dirinya. Siapa saja yang mencari ridha manusia dengan sesuatu yang bisa mengundang murka Allah maka Allah murka kepada dia dan membuat manusia bisa marah kepada dirinya.” (HR. Ibnu Hibban).

Riwayat kedua, dari jalur al-Qasim, dari Aisyah ra. dari Rasul yang bersabda: 
“Siapa saja yang membuat ridha Allah meski bakal mengundang kemarahan manusia maka Allah akan menyelamatkan dirinya. Siapa saja yang membuat Allah murka semata-mata demi meraih keridhaan manusia maka Allah akan membiarkan dirinya dikuasi oleh manusia.” (HR. Ibnu Hibban).

Al-Mubarakfuri di dalam Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarhi Jami' at-Tirmidzi menjelaskan: Sabda Rasul , “Man iltamasa" bermakna thalaba (mencari). Maknanya, siapa saja yang mencari ridha Allah "bi sakhathi an-nasi (dengan sesuatu yang bisa memancing kemarahan manusia).”
As-Sakhathu, as-sukhuthu, as-sukhthu dan al-maskhathu bermakna al-karahah li asy-syay‘i wa 'adamu ar-ridha bihi (ketidaksukaan dan ketidakridhaan terhadap sesuatu).
"Kafahullah mu’ nata an-nas” (Allah mencukupi dirinya sehingga tidak membutuhkan bantuan manusia) karena ia telah menjadikan dirinya sebagai bagian dari hizbulLah (partai Allah). Siapa saja yang berlindung kepada Allah tidak gagal. Ingatlah bahwa mereka yang masuk ke dalam partai Allah adalah orang-orang yang beruntung. Sebaliknya, siapa saja yang mencari ridha manusia dengan sesuatu yang mendatangkan kemurkaan Allah maka “wakalahu ila an-nasi", yakni Allah akan menjadikan manusia berkuasa atas dia hingga manusia itu menyakiti dan menzhalimi dirinya.

Mula Ali al-Qari di dalam Mirqatu al-Mafatih Syarhu Misykati al-Mashabih menjelaskan hadits di atas. Siapa saja yang mencari ridha Allah meski bisa mendatangkan kemarahan manusia, yakni mencari ridha Allah dalam sesuatu yang menyebabkan manusia tidak suka kepada dia, maka Allah menyelamatkan dia dari kejahatan mereka berupa kezhaliman dan perlakuan buruk kepada dirinya. Siapa saja yang mencari ridha manusia dengan sesuatu yang mendatangkan kemurkaan Allah maka Allah akan membiarkan dia dan tidak menolong dia. Allah membiarkan dia dikuasi oleh manusia. Ini merupakan pesan yang komprehensif untuk semua manusia.

Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah di dalam al-Fawa’id menyatakan “Man ardhallah wa askhatha an-nas" merupakan prinsip agung yang harus diketahui oleh orang berakal. Ini berlaku untuk setiap orang. Pasalnya, manusia adalah makhluk sosial yang harus hidup bersama dengan manusia lainnya. Manusia mempunyai keinginan dan imajinasi yang tentu ingin disetujui oleh manusia lainnya. Jika orang-orang tidak setuju, mereka bisa menyakiti dan menyiksa dirinya. Sebaliknya, jika dia membuat manusia setuju maka serangan dan siksaan itu juga terjadi, kadang dari mereka dan kadang dari selain mereka.

Ibnu al-Qayyim juga menyatakan jadi yang wajib dijadikan pegangan adalah sabda Rasull dalam hadits Aisyah yang dikirim kepada Muawiyah, yang diriwayatkan secara marfu' dan mawquf. Ini berlaku pada orang yang menolong raja dan pemimpin atas keinginan rusak mereka, juga pada orang yang menolong pelaku bid'ah yang bernisbat pada ilmu dan agama atas klaim bid'ah mereka. Siapa saja yang ditunjuki oleh Allah, dia terhalang dari perbuatan haram dan dia bersabar atas serangan dan permusuhan mereka, kemudian kesudahan yang baik adalah untuk dia di dunia dan akhirat.

Di antara manusia yang biasanya banyak dicari ridhanya adalah penguasa. Pasalnya, di tangannya ada kekuasaan dan alat kekuasaan yang siap dia gunakan, bisa saja untuk menggebuk siapa saja yang tidak dia sukai atau yang membuat dia marah. Namun, perilaku sekadar menyenangkan penguasa, tanpa peduli membuat murka Allah SWT, tentu menyimpan bahaya besar. Apalagi jika itu dilakukan oleh orang yang memiliki agama, khususnya ulama.

Dalam hal itu Imam al-Ghazali di dalam Ihya' 'Ulum ad-Din mengutip ucapan Ibnu Mas'ud ra.: "Seseorang yang sungguh-sungguh masuk ke istana (penguasa) dengan membawa agamanya, tetapi dia kemudian keluar tanpa membawa agamanya." Ditanya, “Mengapa begitu?” Ibnu Mas'ud menjawab, “Sebab dia telah berusaha menyenangkan penguasa itu dengan sesuatu yang mendatangkan kemurkaan Allah."

Imam al-Ghazali juga menyatakan, bahwa siapa yang menyibukkan diri mencari ridha manusia dan memperbagus keyakinan mereka tentangnya, mereka tertipu. Sebabnya, seandainya dia makrifat kepada Allah dengan sebenarnya niscaya dia tahu bahwa makhluk tidak berguna sedikitpun dalam menghindarkan sesuatu dari Allah, juga bahwa madharat dan manfaat makhluk itu ada di tangan Allah. Tidak ada yang memberi manfaat dan tidak pula memadaratkan selain Dia. Dia pun sadar bahwa siapa saja yang mencari ridha dan kecintaan manusia dengan sesuatu yang bisa mengundang murka Allah, niscaya Allah murka terhadap dirinya dan Allah akan membuat manusia marah terhadap dirinya. Bahkan ridha manusia itu merupakan tujuan yang tidak bisa diraih. Jadi ridha Allah lebih utama dicari.

Alhasil, seseorang wajib menjadikan rasa takutnya kepada Allah berada di atas semua rasa takut. Hendaknya dia tidak mempedulikan siapapun dalam menjalankan syariah Allah. Hendaknya dia tahu bahwa siapa saja yang mencari ridha Allah, meski manusia tidak suka padanya, maka kesudahan (kebaikan) adalah untuk dirinya. Sebaliknya, jika dia mencari ridha manusia dan bergantung pada manusia dengan sesuatu yang bisa membuat Allah murka, maka kondisinya akan berbalik, dan dia tidak meraih maksudnya. Bahkan yang terjadi justru berlawanan dengan maksudnya, yaitu Allah murka kepada dirinya dan Allah akan menjadikan manusia juga marah atau tidak suka kepada dirinya.

Wallah a'lam bi ash-shawab.[]

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Media Politik Dan Dakwah al-Wa’ie edisi Maret 2018

لاَ هَوْلَ وَلاَ قُوَّتَ اِلاَّبِاللّهِ

Jumat, 13 Juli 2018

Ana Muslim! Saya Muslim!



Ana Muslim…!

Menarik untuk menjadi evaluasi kita bersama. Ketika kita sudah akil balig kemudian mengenal Allah SWT dan Islam, apa yang selanjutnya kita lakukan? Bagaimana pemahaman dan sikap diri yang langsung kita lakukan? Apakah kita langsung bergiat diri mempelajari Islam, sekuat tenaga mengamalkan syari'ah Islam atau bahkan menjadi pembela agama Allah yang terpercaya? Ya. Apakah kita mengikrarkan dalam tutur kata dan sikap di depan khalayak ramai, “Ana Muslim qabla kulla syay'[in] (Saya Muslim sebelum yang lain)." Sudahkah kita konsisten terhadap keimanan kita?

Apa yang dialami oleh Sahabat Umar bin al-Khaththab ra. sewaktu baru masuk Islam menjadi pelajaran sangat berharga. Sebagaimana yang dijelaskan dalam buku The Great Leader of Umar bin Al Khathab (Kisah Kehidupan dan Kepemimpinan Khalifah Kedua), sikapnya langsung menunjukkan keislaman dan pembelaan pada Islam. Beliau memahami betul konsekuensi dari makna syahadat: satu kata dan perbuatan; satu iman dan amal; satu pemahaman dan perilaku. Beliau pun sekaligus menjadi pembela Islam terpercaya. Beliau dengan lugas dan tegas mengimplementasikan “Ana Muslim..." setelah bersyahadat di depan Nabi Saw.
Umar ra. masuk Islam dengan hati yang tulus. Ia berusaha mengokohkan agama Islam dengan segenap kekuatan yang ia miliki. Ia pernah mengatakan kepada Rasulullah Saw., “Ya Rasulullah, bukankah kita berada di pihak yang benar bila kita mati dan bila kita hidup?” Beliau menjawab, "Benar. Demi Zat Yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sungguh kalian berada di pihak yang benar bila kalian mati dan bila kalian hidup.” Umar lalu berkata, “Lantas mengapa dakwah Islam kita lakukan secara sembunyi-sembunyi? Demi Zat Yang mengutus Anda dengan kebenaran, kami semua akan keluar dari rumah ini."

Inilah sikap Umar yang luar biasa. Setelah bersyahadat dan meyakini kebenaran Islam, ia berkeinginan agar kebenaran Islam itu diketahui oleh orang banyak. Kebenaran harus disampaikan dan ditampakkan secara terbuka kepada khalayak ramai walau dengan risiko sangat besar.

Apa yang disampaikan oleh Umar ra., ditambah oleh bimbingan wahyu, Rasulullah Saw. melihat bahwa telah tiba saatnya untuk berdakwah secara terang-terangan. Dakwah Islam telah kuat dan dapat membela dirinya sendiri. Karena itu beliau pun mulai berdakwah secara terang-terangan.
Beliau keluar dari Darul Arqam bersama kaum Muslim dengan membentuk dua barisan. Satu barisan dipimpin oleh Umar ra. Barisan lainnya dipimpin oleh Hamzah bin Abdul Muthalib. Tatkala orang-orang Quraisy melihat Umar dan Hamzah memimpin barisan kaum Muslim, mereka tertimpa kesedihan yang belum pernah mereka alami selama ini. Rasulullah saat itu memberi Umar gelar Al-Faruq (pemisah antara yang hak dan yang batil). (HR. Ahmad).

Allah SWT telah mengokohkan agama Islam dan kaum Muslim dengan masuk Islamnya Umar. Umar adalah orang yang sadar akan harga diri. Ia tidak peduli apa risiko yang akan terjadi di belakang dirinya. Allah SWT telah melindungi para Sahabat Nabi Saw. melalui Umar dan Hamzah (Al-Khalifah Al Faruq Umar bin Fil Khattab, hal.26-27).

Lihatlah apa yang dilakukan oleh Umar. Ia menantang orang-orang musyrik Quraisy. Ia melawan atau memerangi mereka hingga akhirnya ia dan kaum Muslim dapat menunaikan shalat di Ka'bah (Ar-Riyadh an-Nadhrah, I/257). Umar tetap berusaha dengan sungguh-sungguh dengan segenap kemampuannya untuk melawan dan memerangi musuh-musuh Islam.

Tentang dirinya, ia bercerita:
“Aku bertekad ingin dilihat mereka sebagai orang Islam. Aku pergi menemui pamanku, Abu Jahal. Ia termasuk orang terpandang di mata mereka. Kuketuk pintu rumahnya.
“Siapa yang mengetuk pintu?" tanya Abu Jahal.
Kujawab, "Umar bin al-Khaththab."
Ia pun keluar menemuiku.
Kutanyakan kepada Abu Jahal, “Apakah Anda sudah tahu kalau aku telah murtad (telah masuk Islam)?"
Abu Jahal balik bertanya, “Apakah Anda serius telah murtad?"
Kujawab, "Ya. aku serius."
"Jangan lakukan itu,” pinta Abu Jahal.
Lalu ia masuk ke dalam rumahnya. Ia menutup pintu dan tidak menghiraukanku.
Setelah itu, aku pergi menemui salah seorang tokoh terpandang Quraisy. Sesampai di sana, kuketuk pintu rumahnya.
“Siapa di luar?" Tanya dia.
Kujawab, "Umar bin al-Khaththab."
Ia keluar menemuiku. Kutanyakan kepada dia, “Apakah Anda sudah tahu kalau aku telah murtad?”
Ia balik bertanya, "Apakah Anda serius setelah murtad?"
“Ya, saya serius,” jawabku.

"Jangan lakukan itu!” pinta dia. Lalu ia masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.”

Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Umar:
“Tatkala Umar masuk Islam orang-orang Quraisy belum mengetahui keislamannya. Umar bertanya, "Siapa di antara penduduk Makkah yang dapat menyebarluaskan informasi tentang keislamanku?"
Dikatakan pada Umar, “Jamil bin Ma'mar Al-Jamhi."
Umar keluar dan aku mengikuti di belakangnya. Aku perhatikan apa saja yang dilakukan Umar. Saat itu aku masih anak-anak, tetapi aku sudah dapat memahami apa yang kulihat dan kudengar. Umar menemui Jamil dan menyampaikan padanya, "Jamil, aku telah masuk Islam."
Demi Allah tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya hingga ia menarik sorbannya.
Umar mengikuti Jamil dan aku pun mengikuti Ayahku, Umar.
Setiba di Masjid, Jamil berdiri tepat di pintu masjid dan berteriak dengan suara lantang, “Wahai orang-orang Quraisy, –saat itu orang-orang Quraisy sedang berada di sekitar Ka'bah- ketahuilah bahwa Umar bin al-Khaththab telah murtad."
Umar berujar, “Jamil telah berdusta. Yang benar, aku telah masuk Islam. Aku telah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya."
Setelah itu orang-orang Quraisy menyerang Umar bin aI-Khaththab. Umar lalu menangkap ‘Utbah bin Rubaiah. Umar memasukkan kedua jari tangannya tepat di mata 'Uthbah. 'Uthbah berteriak. Orang-orang Quraisy pun menjauhi Umar. Umar lalu berdiri dan tidak ada seorangpun yang berani mendekati dirinya hingga akhirnya orang-orang Quraisy bubar. Umar mengikuti majelis-majelis mereka dan menampakkan keislamannya di dalam majelis-majelis tersebut. (Ar-Riyadh an-Nadhrah, hlm.319)

Umar terus menyerang mereka hingga mentari berada tepat di atas kepala mereka. Umar merasa lelah, lalu duduk dan beristirahat. Tidak lama kemudian orang-orang Quraisy menghampiri dia. Kepada mereka, Umar mengatakan, "Lakukanlah apa yang hendak kalian lakukan. Demi Allah, sekiranya kami berjumlah 300 orang laki-laki niscaya kalian akan membiarkannya untuk kalian."

Tidak lama kemudian, datanglah seorang laki-Iaki yang mengenakan sutra dan gamis berbordir. “Apa yang sedang kalian lakukan?" tanya laki-laki itu kepada mereka.

Mereka menjawab, "Umar bin al-Khaththab telah murtad.”

Laki-laki itu mengatakan, “Biarkanlah dia! Ia telah memilih agama untuk dirinya sendiri. Apakah kalian mengira bahwa Bani Adi akan menyerahkan begitu saja anggota suku mereka pada kalian?"

Setelah di Madinah, aku bertanya kepada Umar, "Ayahku, siapa nama orang yang dulu pernah mencegah ayah dari amukan orang-orang Quraisy?"

Umar menjawab, "Wahai anakku, ia adalah Al-'Ash bin Wail As-Sahmi.” (HR. Imam Ahmad).

Demikianlah sikap luar biasa Umar. Tidak takut sama sekali mengenalkan identitasnya sebagai seorang Muslim walau taruhannya nyawa sekalipun.

Sikap ini sangat tepat dalam kondisi sekarang. Kita sebagai seorang Muslim, apalagi pengemban dakwah, harus berani menampilkan identitas kita bahwa kita adalah para pemeluk Islam yang taat dan pembela agamanya yang terpercaya walau ancaman kriminalisasi dan penjara menanti.

Fragmen di atas juga menjelaskan bahwa suatu saat nanti akan ada ahlul quwwah yang secara terang-tearangan membela agama Allah dengan semua potensi dan jabatan yang dia miliki. Dia tidak peduli lagi dengan kekayaan, jabatan bahkan nilai sosial yang diterimanya saat itu. Bagi dia, Islam jauh lebih mulia dan berharga jika dibandingkan dengan itu semua. Bisa jadi, Andalah ahlul quwwah itu. Karena itu buktikanlah pembelaan Anda: “Ana Muslim...!

WalLahu a'lam bi ash-shawab. [Abu Umam]

Sumber: Media Politik Dan Dakwah al-Wa’ie edisi Maret 2018

Rabu, 11 Juli 2018

Klasifikasi as-Sunnah



Dalam Konteks ushul fikih, as-Sunnah baik sunnah qawliyah, fi'liyah ataupun taqririyah, dari sisi sanad bisa diklasifikasikan menjadi tiga: mutawatir, masyhur dan ahad.

Pengklasifikasian tersebut secara umum mu'tabar menurut para ulama ushul, meski ada perbedaan mereka dalam ungkapan.
Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam Ushul al-Fiqh al-Islami menjelaskan bahwa as-Sunnah menurut sanad terbagi menurut jumhur menjadi dua klasifikasi: mutawatir dan ahad, baik khabar ahad itu mustafidh, yaitu yang perawinya lebih dari tiga, seperti yang ditetapkan oleh al-Amidi dan Ibnu Hajib, atau ghayru mustafidh yaitu masyhur, yakni yang perawinya tiga orang atau lebih kemudian menjadi terkenal (masyhur); meski pada abad kedua atau ketiga sampai batas dinukilkan oleh para perawi tsiqah yang tidak dibayangkan mereka sepakat atas kebohongan (Lihat: Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam; al-Ghazali, Al-Mustashfa, I/93; Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, hlm.41 dst; Ali asy-Syasyi, Ushul asy-Syasyi, hlm.81; As-Subki, Al-Ibhaj, ii/186).

Menurut Hanafiyah, as-Sunnah berdasarkan sanadnya terbagi ke dalam tiga klasifikasi: mutawatir, masyhur dan ahad (Lihat: Ibnu Amir al-Haj, At-Taqrir wa at-Tahbir, II/225; At-Talwih 'ala at-Tawdih, II/2).

Dua macam pengklasifikasian itu tidak berbeda banyak. Khabar wahid mustafidh itulah yang disebut masyhur.

Jadi hadis itu, jika dinukilkan oleh jamaah (sekelompok) orang dari tabi' at-tabi'in, dari jamaah at-tabi'in, dari jamaah (sekelompok) Sahabat, dari Nabi saw. maka itulah mutawatir.
Jika dinukilkan oleh jamaah tabi' at-tabi'in, dari jamaah at-tabi'in, dari satu atau lebih Sahabat yang jumlah mereka tidak sampai pada batas tawatur, maka itu adalah hadits masyhur karena diterima oleh umat dan terkenal di tengah mereka.
Jika diriwayatkan oleh satu perawi atau lebih dan jumlah mereka tidak mencapai batas tawatur sejak masa Sahabat, at-tabi'in dan tabi' at-tabi'in maka itu disebut khabar ahad.

Adapun dari sisi berfaedah yakin atau zhann, maka as-Sunnah hanya ada dua kasifikasi: (1) berfaedah yaqin/ qath'i/ al-ilmu; (2) berfaedah zhann.

Hadits masyhur, dari sisi ini, termasuk hadits ahad.
Hadits itu, jika diriwayatkan oleh sejumlah tabi' at-tabi'in yang aman dari bersepakat atas kebohongan, dari sejumlah at-tabi'in yang aman dari bersepakat atas kebohongan, dari sejumlah sahabat yang tegak hujjah qath'i dengan ucapan mereka, maka hadits demikian adalah hadits mutawatir.
Jadi hadits mutawatir itu, jika pada tiga tingkatan (Sahabat, at-tabi'in dan tabi' at-tabi'in) jumlah perawinya mencapai batas tawatur pada setiap tingkatannya.
Jika salah satu dari tiga tingkatan itu tidak mencapai batas tawatur maka termasuk khabar ahad, baik yang tidak terpenuhi itu pada tingkat Sahabat, at-tabi’in atau tabi’ at-tabi’in atau di semua tingkatan itu, maka termasuk khabar ahad; tidak berfaedah yakin, melainkan berfaedah zhann.
Hanya saja, jika yang tidak mencapai batas tawatur itu hanya pada tingkat Sahabat, sementara pada tingkat at-tabi'in dan tabi' at-tabi'in mencapai batas tawatur, maka disebut hadis masyhur karena kemasyhurannya di tengah umat. Namun, dari sisi faedahnya tidak berbeda dengan khabar ahad, yaitu tidak berfaedah yakin, melainkan hanya berfaedah zhann.

Hadis Mutawatir

At-Tawatur secara bahasa artinya mengikutnya sesuatu setelah yang lain dengan masa jeda di antara keduanya. Makna itu dinyatakan di dalam al-Quran: "tsumma arsalna rusulana tatra” (Kemudian Kami mengutus (kepada umat-umat itu) para rasul Kami berturut-turut (TQS. al-Mu'minun [23]: 44).

Adapun dalam istilah ulama ushul, hadits mutawatir adalah khabar jamaah (sekelompok perawi) yang banyak jumlahnya sampai batas tercapai keyakinan (al-'ilmu) dengan ucapan mereka. Hal itu tidak akan tercapai, artinya tidak mutawatir, kecuali jika mereka yakin dengan apa yang mereka beritakan dan bukan dugaan (zhann). Keyakinan mereka itu disandarkan pada penginderaan langsung (mendengar atau melihat). Kelompok perawi yang terpenuhi syarat tersebut ada pada tingkat Sahabat, at-tabi'in dan tabi' at-tabi'in.

Dengan demikian khabar mutawatir itu harus memenuhi syarat:
Pertama, perawinya harus berjumlah banyak. Banyaknya jumlah perawi harus disertai kondisi dan keadaan yang memustahilkan mereka bersepakat atas kebohongan. Ini berbeda-beda dari sisi sosok pribadi perawi, tempat dan keadaan.
Kedua, jumlah dan keadaan yang memustahilkan untuk bersepakat atas kebohongan itu terpenuhi pada semua tingkatan: tingkat Sahabat, at-tabi'in dan tabi' at-tabi’in.
Ketiga, pada tingkat Sahabat, apa yang mereka beritakan harus bersandar pada penginderaan, baik mendengar atau melihat langsung atau lainnya; bukan bersandar pada penetapan akal, sebab penetapan akal bisa salah (Lihat: Al-'Allamah Taqiyuddin an-Nabhan, asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, I/332: Al-Ghazali, Al-Mustashfa, II/86; Ibnu Amir al-Haj, at-Taqrir wa at-Tahbir, II/233; Al-Laknawi al-Anshari, Fawatih ar-Rahamut, II/115; as-Subki, al-Ibhaj Syarh al-Minhaj, ii/187; Asy-Syaukani, Irsydu al-Fuhul, hlm.41).

Mengenai jumlah yang mengantarkan pada keyakinan atau tawatur, para ulama ushul berbeda pendapat berapa minimalnya. Ada yang mengatakan lima, dua belas, dua puluh, empat puluh, tujuh puluh, 313 orang dan lainnya. Sebagiannya mengemukakan dalil yang mendukung pendapatnya. Hanya saja, Syaikh Wahbah az-Zuhaili mengatakan, semua dalilnya itu lemah, tidak merujuk pada akal maupun naql; tidak ada di antara dalil-dalil itu dan objek perselisihan sesuatu yang menghimpun atau pengikat. Yang rajih, patokan at-tawatur adalah tercapainya al-'ilmu (kepastian) dan keyakinan terhadap ucapan orang yang memberitakan, tanpa batasan jumlah tertentu (Lihat: Syarh al-Jalal al-Mahali 'ala Jam'i al-Jawami', 2/106; Ibnu Amir al-Haj, At-Taqrir wa at-Tahbir; as-Subki, Zil; al-Ibhaj, II/189; Sayid al-Katani, an-Nazhmu al-Mutanatsir min al-Hadits al-Mutawatir, hlm.10).

Semua pendapat yang menentukan jumlah minimal tercapainya tawatur itu tidak memiliki sandaran dari akal maupun naql. Pasalnya, tidak ada nas yang menyatakan jumlah tertentu. Akal juga tidak me-rajih-kan jumlah tertentu. Patokan khabar mutawatir adalah tercapainya al-'ilmu al-yaqin, bukan riwayat jumlah tertentu. Sebab, bersama jumlah itu ada indikasi yang menunjukkan kuat atau lemahnya khabar.
Kadangkala khabar itu diriwayatkan oleh jumlah tertentu yang dengan riwayat mereka tidak tercapai kepastian dan keyakinan.
Kadang khabar diriwayatkan oleh kelompok lain dengan jumlah yang sama dan tercapai kepastian dan keyakinan. Pasalnya, penilaian khabar itu berbeda menurut indikasi-indikasi yang menyertai, meski jumlahnya sama.
Atas dasar itu, hadis mutawatir yang menghasilkan kepastian dan keyakinan harus diriwayatkan oleh sejumlah orang, bukan jumlah tertentu. Jumlah orang itu, juga tempat mereka yang saling berjauhan, memustahilkan mereka bersepakat atas kebohongan.
Patokan jumlah hanya didasarkan pada kemustahilan mereka bersepakat atas kebohongan.
Jadi hadis mutawatir itu haruslah diriwayatkan oleh jama’ah (sekelompok perawi) dan jumlah mereka harus menghalangi mereka bersepakat atas kebohongan. Hal itu berbeda-beda, bergantung pada orang yang memberitakan, fakta-fakta dan indikasi-indikasi yang menyertai (Al-‘Allamah Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/82-83).

Menurut kesepakatan para ulama, hukum hadits mutawatir adalah qath'i tsubut berasal dari Rasul Saw. Hadits mutawatir berfaedah al-'ilmu (kepastian) dan al-yaqin (keyakinan), orang yang mengingkari hadis mutawatir dikafirkan (Syaikh Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqhi al-Islami, I/453).

Al-'Allamah Syaikh Tqaiyuddin an-Nabhani dalam asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (I/332) menyatakan bahwa hukum hadits mutawatir berfaedah al-‘ilmu adh-dharuri (kepastian yang bersifat mutlak). Artinya, manusia dipaksa yakin dan tidak mungkin bisa menolak. Bersifat dharuri tidak lain karena tidak memerlukan nazhar (penelaahan). Artinya, khabar mutawatir berfaedah pada kepastian.

Khabar mutawatir ada dua jenis: mutawatir lafzh[an] (mutawatir redaksi [ungkapanl-nya) dan mutawatir ma'n[an] (mutawatir maknanya). Kedua jenis tersebut ada.
Diriwayatkan banyak hadis mutawatir, meski ada perbedaan tentang penilaian hadits sebagai mutawatir menurut para ulama sesuai perbedaan pandangan mereka tentang mutawatir. Contoh hadits mutawatir lafzh[an]: sabda Rasul Saw.:

“Siapa saja yang berdusta atas namaku secara sengaja, hendaklah ia siapkan tempat duduknya di Neraka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh 70-an Sahabat.

Contoh lain hadis mutawatir adalah hadis al-Hawdh, hadis mengusap kaus kaki, hadis mengangkat tangan di dalam shalat (Dr. Mahmud Thahhan. Taysir Mushthalah al-Hadits, hlm.21).

Contoh hadits mutawatir lafzh[an], menurut sebagian pen-tahqiq, adalah sabda Rasul Saw.:

“Tidak ada wasiat untuk ahli waris” (HR. Ahmad dan Ashhab as-Sittah dari Anas).

Hadits ini diriwayatkan oleh dua belas Sahabat. Di antara mereka apa yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, ad-Daraquthni dan Ibnu Adi dari Ali ra. (Syaikh Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqhi al-Islami, I/452).

Adapun contoh hadis mutawatir maknawi adalah shalat sunnah shubuh dua rakaat (Al-'Allamah an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyah, I/333).

Contoh lainnya adalah hadits tentang mengangkat kedua tangan saat berdoa. Ada sekitar 100 hadits tentang ini. Masing-masing menyatakan Rasul Saw. mengangkat kedua tangan saat berdo’a dalam berbagai masalah meski masing-masing hadits itu tidak mutawatir (Dr. Mahmud Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadits, hlm.21, mengutip dari As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi, II/180).

Masih banyak lagi hadits mutawatir yang lain.

WalLah a'lam bi ash-shawab. [Yahya Abdurrahman]

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Media Politik Dan Dakwah al-Wa’ie edisi Maret 2018

Apa Baitul Mal – Penjelasan Baitul Mal



Baitul Mal

Khilafah Islamiyah merupakan institusi yang bertugas menjalankan fungsi-fungsi politik (ri'âyah su’ûn al-ummah). Tugas ri'âyah tersebut berjalan sempurna jika ada instrumen pendukungnya. Di antara instrumen penting yang dibutuhkan untuk mengatur dan mengurus urusan rakyat adalah harta.

Khilafah wajib memperhatikan kondisi keuangan negara yang hendak digunakan untuk mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan dan mencukupi kebutuhan rakyat. Struktur Khilafah yang bertugas menangani pemasukan dan pengeluaran harta adalah Baitul Mal. Telaah Kitab kali ini mengkaji Baitul Mal mulai dari definisi. sejarah, fungsi, dan hal-hal yang terkait sebagimana dinyatakan dalam Pasal 102 Kitab Muqaddimah ad-Dustûr.

Lembaga dan Tempat

Baitul Mal bisa bermakna lembaga, bisa juga bermakna tempat.

Dalam konteks lembaga, Baitul Mal adalah departemen yang berwenang mengatur pemasukan dan pengeluaran harta sesuai dengan hukum-hukum syariah, baik dari sisi pengumpulan, penyimpanan maupun pemanfaatannya.
Adapun dalam konteks tempat, Baitul Mal adalah tempat yang digunakan untuk menyimpan harta-harta yang dikuasai negara.

Baitul Mal merupakan struktur negara yang berdiri sendiri. Dari sisi pengaturannya bersifat sentralistik. Wali (kepala daerah) tidak memiliki kewenangan mengatur harta, peradilan dan tentara. Tiga urusan ini menjadi kewenangan pemerintahan pusat.

Setiap harta baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang maupun harta lain yang kaum Muslim berhak di dalamnya dan bukan milik seorang individu menjadi hak Baitul Mal. Tidak ada perbedaan, baik harta tersebut sudah masuk ke dalamnya maupun belum.
Demikian pula setiap harta yang wajib dikeluarkan untuk orang-orang yang berhak menerimanya -untuk kemaslahatan kaum Muslim dan pemeliharaan urusan mereka serta untuk biaya mengemban dakwah- masuk ke dalam tugas dan kewenangan Baitul Mal.

Baitul Mal dalam konteks lembaga didirikan pertama kali setelah surat al-Anfal turun. Saat itu para Sahabat berselisih pendapat mengenai harta ghanîmah. Allah SWT berfirman:

“Mereka (para Sahabat) akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang anfâl, katakanlah bahwa anfâl itu milik Allah dan Rasul. Karena itu bertakwalah kepada Allah, perbaikilah perhubungan di antara sesama kalian serta taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar beriman.” (QS. al-Anfal [8]: 1).

Said bin Zubair berkata: “Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang Surat al-Anfal, ia menjawab, "Surat al-Anfal turun di Badar.”

Ghanîmah Badar merupakan harta pertama yang diperoleh kaum Muslim setelah ghanîmah yang didapat dari ekspedisi (sarayah) Abdullah bin Jahsyi. Pada saat itu, Allah SWT menjelaskan pembagiannya dan menjadikan harta itu sebagai hak seluruh kaum Muslim. Allah SWT memberikan wewenang kepada Rasul saw. untuk membagikan harta itu dengan mempertimbangkan kemaslahatan kaum Muslim. Oleh karena itu ghanîmah menjadi hak Baitul Mal. Pembelanjaan harta Baitul Mal menjadi wewenang Khalifah dalam rangka merealisasikan kemaslahatan kaum Muslim.

Adapun Baitul Mal dengan makna tempat penyimpanan harta, maka pada masa Nabi Saw. belum ada tempat khusus. Kadang-kadang beliau menyimpan harta di masjid, seperti yang dituturkan oleh Imam al-Bukhari dari Anas ra. Imam al-Bukhari juga menuturkan sebuah hadis dari 'Uqbah bahwa Nabi Saw. pernah menyimpan harta di salah satu kamar istri beliau. Beliau pun sering menyimpan harta di tempat penyimpanan (gudang), seperti yang dituturkan oleh Imam Muslim dari 'Umar ra. Harta yang masuk pada saat itu belum begitu banyak. Selain itu, harta yang masuk selalu habis dibagikan kepada kaum Muslim, serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka. Pada masa itu Rasulullah Saw. segera membagikan harta ghanîmah dan seperlima bagian beliau (al-akhmâs) tanpa menunda-nundanya lagi.

Handhalah bin Shaif -yang juga salah seorang sekretaris Rasulullah Saw.- meriwayatkan: Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Tetapkanlah dan ingatkanlah aku (laporkanlah kepadaku) atas segala sesuatunya.” Hal ini beliau ucapkan tiga kali."
Handhalah pun berkata, “Suatu saat pernah tidak ada harta atau makanan apapun padaku selama tiga hari. Lalu aku melapor kepada Rasulullah. Beliau sendiri tidak tidur, sementara di sisi beliau tidak ada apapun."

Biasanya Rasulullah Saw. membagi-bagikan harta pada hari itu juga. Hasan bin Muhammad menyatakan, “Rasulullah Saw. tidak pernah menyimpan harta, baik siang maupun malam."

Apabila harta datang pada pagi hari, tidak sampai setengah hari harta tersebut sudah habis dibagikan. Demikian juga jika harta itu datang siang hari, tidak pernah sampai tersisa hingga malam harinya. Oleh karena itu, tidak pernah ada harta tersisa yang memerlukan tempat penyimpanan. Keadaan itu berlangsung sepanjang masa Rasulullah Saw.

Ketika Abubakar menjadi khalifah, beliau juga memperlakukan harta sama seperti Nabi Saw. Menurut Ibnu Saad dari Sahal bin Abi Hatsmah dan lain-Iain, di dalam Thabaqât-nya, bahwa Khalifah Abu Bakar memiliki Baitul Mal di daerah Sunh yang tidak dijaga oleh seorangpun. Pada tahun kedua Kekhilafahannya, Abu Bakar ra. memindahkan Baitul Mal di rumahnya untuk menyimpan harta yang masuk ke Kota Madinah. Ia membelanjakan semua harta yang ada di tempat tersebut untuk kaum Muslim dan kemaslahatan mereka.

Jika harta datang kepada beliau dari sebagian daerah kekuasaannya, beliau membawa harta itu ke Masjid Nabawi dan membagi-bagikan harta tersebut kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Kadang-kadang Khalifah Abubakar menugaskan Abu Ubaidah bin al-Jarrah untuk melakukannya. Hal ini dapat diketahui pada saat Abu Ubaidah berkata kepada beliau, "Aku telah memberikan (membagikan) harta (yang diberikan engkau) hingga tidak bersisa."

Pada saat Umar menjadi khalifah, beliau mengumpulkan para bendahara, dan memasuki rumah Abubakar, seraya membuka Baitul Mal. Beliau hanya mendapatkan satu dinar di dalamnya.

Ketika penaklukan-penaklukan wilayah lain semakin banyak pada masa Khalifah Umar dan kaum Muslim berhasil menaklukkan negeri Persia dan Romawi, maka semakin banyak harta yang mengalir ke Kota Madinah. Khalifah Umar lalu membuat bangunan khusus untuk menyimpan harta (Baitul Mal), membentuk bagian-bagiannya, mengangkat para penulisnya, serta menetapkan santunan untuk para penguasa dan untuk keperluan pembentukan tentara. Kadang-kadang beliau menyimpan seperlima bagian dari harta ghanîmah di masjid dan segera membagi-bagikan harta itu tanpa menunda-nunda.

Demikianlah. Seiring dengan meluasnya kekuasaan Khilafah Islamiyah dan semakin banyaknya penaklukkan, pemasukan negara Khilafah semakin membesar. Adanya Baitull Mal dirasakan sebagai sebuah kewajiban, baik dalam konteks adanya tempat khusus penyimpanan harta maupun lembaga yang bertugas mengatur lalu-lintas harta yang menjadi hak kaum Muslim.

Pihak yang berwenang mengatur perbendaharaan Baitul Mal adalah Khalifah. Di dalam riwayat-riwayat sahih dituturkan bahwa Nabi Saw. -dalam kapasitasnya sebagai kepala negara- ada kalanya mengatur urusan Baitul Mal secara langsung. Imam Ahmad dan at-Tirmidzi menuturkan sebuah riwayat dari 'Abdurrahman bin Samrah, bahwa Rasulullah Saw. pernah menerima sumbangan ‘Utsman bin ‘Affan ra. sebanyak 1000 dinar di kamar beliau.

Imam al-Bukhari juga menuturkan sebuah hadits dari Anas ra. bahwa Nabi Saw. mendapatkan harta dari Bahrain. Beliau lalu memerintahkan agar harta itu disimpan di dalam masjid. Setelah selesai shalat, beliau membagi-bagikan harta tersebut kepada masyarakat.

Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., beliau ra. kadang-kadang juga mengatur urusan harta Baitul Mal secara langsung. Imam Syafi’i menuturkan sebuah riwayat di dalam Kitab Al-Umm, ketika terjadi bencana di Irak, beliau memerintahkan penjaga Baitul Mal untuk memerintahkan agar semua harta diletakkan di masjid lalu dibagikan.

Kadang-kadang Nabi Saw. mengangkat seorang Sahabat untuk membagi-bagikan harta Baitul Mal atau untuk mengurusi urusan-urusan harta. Di dalam hadits yang diniwayatkan Imam al-Bukhari dituturkan bahwa Nabi saw. sering memerintah Sahabat untuk membagi-bagikan harta yang tersimpan di rumah beliau. Masih banyak riwayat senada yang menunjukkan bahwa Nabi Saw. kadang-kadang menunjuk Sahabatnya untuk membagi-bagikan harta Baitul Mal.

Demikianlah. Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa keberadaan Baitul Mal dan kewajiban mendirikan Baitul Mal, baik dari sisi tempat maupun lembaga, telah ditetapkan berdasarkan riwayat-riwayat sahih.

Pembagian Baitul Mal

Baitul Mal dibagi menjadi dua bagian: Qism al-Waridât (Bagian Pemasukan) dan Qism an-Nafaqât (Bagian Pengeluaran).

Bagian Pemasukan membawahi tiga bagian yaitu:

1. Diwan Fai’ dan Kharaj. Bagian ini mengurusi harta-harta ghanîmah, kharaj, fai‘, tanah-tanah, jizyah dan pajak (dlarîbah).

2. Diwan Kepemilikan Umum (Diwan Milkiyyah 'Ammah). Bagian ini mengurusi semua harta milik umum, mulai dari minyak, gas, listrik, mineral dan tambang, dan lain sebagainya.

3. Diwan Shadaqât (Diwan Yang Mengurusi Zakat).

Adapun Bagian Pengeluaran membawahi delapan bagian yakni:

1. Diwan Dâr al-Khilâfah. Bagian yang mengatur urusan rumah tangga negara Khilafah.

2. Diwan Mashâlih ad-Dawlah. Bagian yang mengatur urusan dan kepentingan negara.

3. Diwan al-‘Athâ. Bagian yang membawahi urusan harta-harta pemberian negara.

4. Diwan Jihad. Bagian yang mengatur urusan harta yang digunakan untuk melaksanakan aktivitas jihad fi sabilillah.

5. Diwan Mashârif ash-Shadaqât. Bagian yang berwenang mengatur urusan distribusi zakat kepada pihak yang berhak menerimanya.

6. Diwan Mashârif al-Milkiyyah al-‘Ammah. Bagian yang bertugas mengatur distribusi dan pemanfaatan harta-harta milik umum.

7. Diwan ath-Thawâri'. Bagian yang mengurus harta-harta yang digunakan untuk menangani bencana atau musibah yang menimpa rakyat.

8. Diwan al-Muwâzanah al-'Ammah, Diwan al-Muhâsabah al-‘Ammah dan al-Murâqabah al-‘Ammah. Tiga bagian ini bertugas melakukan kontrol terhadap harta-harta yang dipergunakan oleh negara, berdasarkan arahan dari Khalifah.

Saat Khilafah berdiri atas ijin dan pertolongan Allah SWT, Khalifah dengan segera membentuk Baitul Mal sebagai salah satu instrumen penting dalam penyelenggaraan urusan negara dan rakyat.

WalLâhu al-Musta'ân wa Huwa Waliyyu at-Tawfîq. [Gus Syams]

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Media Politik Dan Dakwah al-Wa’ie edisi Maret 2018

Betulkah Dalil Khilafah Longgar?



Oleh: K.H. Hafidz Abdurrahman

Soal:

Benarkah dalil tentang Khilafah -baik yang menyangkut kewajiban mendirikan Khilafah, bentuk Khilafah dan lain-lainnya- merupakan dalil umum, yang tidak spesifik? Dengan kata lain, benarkah dalil tentang Khilafah itu longgar sehingga bisa diterjemahkan dengan sistem apapun buatan manusia, seperti negara demokrasi? Bagaimana hukum menggunakan maqâshid syarî'ah atau ma'alat af'âl untuk membatalkan hukum yang qath'i? Bolehkah meng-ijtihad-kan hukum yang dinyatakan oleh nas?

Jawab:

Sebelum menjawab pertanyaan ini, penting kita merenungkan sabda Nabi saw. tentang sosok yang lebih ditakutkan Nabi Saw. menimpa umatnya ketimbang Dajjal.
Pertama: Mereka adalah aimmah mudhillun, pemimpin yang menyesatkan.
(Lihat: HR. Ahmad, Abu Dawud [4252] dan at-Tirmidzi [2229]. Menurut al-Manawi, "Abu al-Biqa' berkata, maknanya adalah, “Aku lebih takutkan terhadap umatku, selain Dajjal, lebih aku takutkan ketimbang terhadap Dajjal." Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam an-Nawawi menyatakan, "Maknanya adalah sesuatu yang lebih aku takutkan terhadap umatku, yang paling layak untuk ditakuti adalah para pemimpin yang menyesatkan.” [Lihat, Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz XVIII/]. Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Mereka mengatakan, “Siapa saja ulama kita yang rusak, di dalam dirinya menyerupai Yahudi. Siapa saja ahli ibadah di antara kita yang rusak, maka di dalam dirinya menyerupai Nasrani. Tidak hanya satu ulama' salaf yang mengatakan, “Berhati-hatilah kalian terhadap fitnah orang berilmu yang rusak, dan ahli ibadah yang bodoh. Karena fitnah keduanya menjadi fitnah bagi semua orang yang terkena fitnah." [Lihat: Ibn Taimiyyah, Majmu' Fatawa, Juz I/197])

Kedua: Orang munafik yang pintar, dan berdebat dengan menggunakan al-Qur’an. (Lihat: HR. Ahmad, Musnad Ahmad, Juz I/22 dan 44; ibn ‘Abdi al-Barr, Jami' Bayan al-'Ilmi wa Fadhlih, hadits no.1420)

Karena itu pesan Sayyidina 'Ali penting menjadi pegangan kita:

“Janganlah kamu mengenali kebenaran melalui orangnya. Akan tetapi, kenalilah kebenaran itu (terlebih dulu), maka kamu pasti akan mengenali orangnya (apakah dia orang benar atau salah). (Lihat, Imam al-Ghazali, al-Munqidz min ad-Dhalal, hal. . Hujjatu al-Islam, Imam al-Ghazali, mengutip ucapan Sayyidina 'Ali ini dalam kitab tersebut untuk mengingatkan kaum Muslim agar tidak termakan dengan fitnah para Filsuf Muslim, sehingga mereka tersesat)

Adapun terkait dengan pertanyaan di atas maka jawabannya sebagai berikut:
Pertama, mengenai dalil Khilafah, mari kita bandingkan dengan dalil tentang kewajiban shalat. Ketika Nabi saw. diperintahkan mendirikan shalat, Nabi Saw. naik di atas Bukit Shafa, memperagakan tatacara shalat. Setelah selesai, Nabi Saw. menyatakan kepada para Sahabat:

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian tadi melihat aku mengerjakan shalat.” (HR. al-Bukhari).

Setelah itu Nabi Saw. mempraktikkan shalat tersebut sepanjang hayatnya. Lalu hal itu dilihat, didengar dan dipraktikkan oleh para Sahabat pada zaman Nabi Saw. Semua tindakan, ucapan dan praktik Nabi Saw. dalam mengerjakan shalat tersebut merupakan penjelasan detail tentang tatacara shalat yang diwajibkan oleh Allah SWT. Apakah setelah semuanya itu kita akan mengatakan bahwa dalil-dalil tentang shalat bersifat umum, tidak spesifik?

Sekarang mari kita bandingkan dengan Daulah Islam dan Khilafah. Nabi Saw. diperintahkan oleh Allah SWT:

“Hendaklah kamu menerapkan pemerintahan di antara mereka menurut apa (wahyu) yang telah Allah turunkan. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa (wahyu) yang telah Allah turunkan kepadamu...” (QS. al-Maidah [5]: 49).

Di dalam ayat ini perintah-Nya tegas, "menerapkan hukum” yang juga berarti, "menerapkan pemerintahan." Sebab, logikanya, bagaimana mungkin Allah SWT memerintahkan Nabi agar menerapkan hukum, tetapi tidak ada institusi yang digunakan untuk mengeksekusi perintah tersebut.

Selain itu, ayat ini juga merupakan ayat yang diturunkan di Madinah ketika Nabi Saw. telah mendapatkan Baiat Aqabah kedua dan telah menjadi kepala Negara Islam di Madinah. Nabi Saw. pun menjalankan pemerintahannya, A sampai Z. Semuanya berdasarkan wahyu yang telah Allah turunkan. Semua ucapan, tindakan dan kebijakan Nabi itu diperagakan secara live selama 10 tahun di Madinah. Semuanya itu dilihat, didengar dan diikuti oleh para Sahabat.

Semasa hidupnya Nabi Saw. pun dengan tegas berpesan agar kaum Muslim memegang teguh Sunnah beliau dan Sunnah Khulafaur Rasyidin setelah beliau. Bahkan beliau mengingatkan agar keduanya digigit dengan gigi geraham, agar tidak lepas:

Kalian wajib berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah Sunnah itu dengan gigi geraham.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Selain itu, bentuk dan model Khilafah juga sudah dijelaskan dengan detail. Nabi Saw. menyatakan:

“Ada era kenabian di antara kalian, dengan izin Allah akan tetap ada, kemudian ia akan diangkat oleh Allah jika Allah berkehendak untuk mengangkatnya. Setelah itu akan ada era Khilafah yang mengikuti metode kenabian.” (HR. Ahmad).

Nabi Saw. telah menjelaskan praktiknya selama 10 tahun di Madinah, baik dalam ucapan, perbuatan maupun taqrîr [pengakuan]. Setelah beliau wafat, pemerintahan dilanjutkan oleh para Sahabat. Pemerintahan itu beliau sebut sebagai Khilafah 'ala minhâj nubuwwah karena memang mereka hanya meng-copy paste pemerintahan Nabi Saw. Apakah semuanya ini bukan merupakan dalil yang spesifik? Tidak cukupkah praktik pemerintahan Nabi Saw. selama 10 tahun bersama dengan para Sahabat?

Memang, di dalamnya ada aspek ijtihad. Itu sudah pasti, sebagaimana furu' shalat. Namun demikian, inti, rukun dan bentuknya sudah baku. Jadi, bagaimana mungkin mengatakan dalil-dalil tentang Khilafah masih bersifat umum, tidak spesilik? Padahal dalil-dalilnya sama dengan dalil shalat. Dua-duanya juga sama-sama dipraktikkan sepanjang hidup Nabi Saw. dan para Sahabat. Kalau terkait shalat, mereka [yang suka meragukan Khilafah] tidak mempersoalkan dalil-dalil ‘âm dan takhshîsh atau tafshîl-nya, mengapa dalil-dalil tentang Khilafah mereka persoalkan? Di mana nalarnya?

Lagi pula, dalil umum itu biasanya hanya satu dua. Adapun ucapan, tindakan dan taqrîr Nabi Saw. dalam menjalankan pemerintahan, itu berlangsung selama 10 tahun. Belum lagi pemerintahan Khilafah yang telah menjadi Ijmak Sahabat yang berlangsung selama 30 tahun. Semuanya begitu detail. Lalu masihkah disebut dalil umum? Di mana nalarnya? Karena itu, tidak ada ulama ushul manapun menyatakan pendapat begitu, kecuali orang buta dan tuli. Karena itu pula, wajar ketika 'Ali Abdurraziq menyatakan begitu, Hai'ah Kibar Ulama' al-Azhar memandang dia tidak layak lagi disebut ulama sehingga status keulamaannya dicopot. (Lihat: Dr. Sayyid Taqiyuddin, Radd Hai'ah Kibar Ulama' 'ala Kitab al-Islam wa Ushul al-Hukm li as-Syaikh 'Ali Abdurraziq, Hadiyyah Majallah al-Azhar al-Majjaniyyah, Rabiul Awwal 1414 H, hal.46)
Pasalnya, pendapat dia tidak bisa diterima akal sehat orang yang paham Islam, dalil, ushul dan bahasa Arab. Jelas memalukan.

Di antara mereka ada yang bersandar pada penjelasan as-Syathibi dalam kitabnya, "Khilafah itu umum atau khusus, mengikuti apa yang dijelaskan oleh hadis." Padahal Asy-Syathibi dalam penjelasannya justru menyatakan, "Tampak bahwa hukum tersebut bersifat "kulli" [menyeluruh] dan "âm” [umum], tidak dibatasi. Karena itu bagian-bagian dari seluruh kekuasaannya tidak boleh menyimpang darinya, baik secara umum maupun khusus. Jika demikian, yang dituntut adalah siapapun yang berada di posisi orang yang menggantikannya maka hukum-hukumnya, maqâshid dan aliran hukumnya harus diberlakukan sama." (Lihat, as-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari'ah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Juz II/252)

Karena itu, logika ini, yang sekaligus premis pertama, jelas batil.

Kedua, benarkah dalil-dalil tentang Khilafah itu longgar, sehingga bisa diadaptasi dalam sistem pemerintahan demokrasi, yang diklaim sebagai sistem dengan nilai-nilai Islam itu sendiri? Logika ini sebenarnya dibangun dengan premis pertama, bahwa dalil-dalil Khilafah itu bersifat umum, tidak spesifik. Padahal, premis ini sudah batil dan tidak bisa diterima nalar.

Selain itu, harus dipahami, Khilafah adalah isim syar'i [istilah syariah]. Artinya, Khilafah ini bukan istilah buatan manusia. Pasalnya, istilah ini pertama kali digunakan dalam nas syariah dengan konotasi yang khas, berbeda dengan makna yang dikenal oleh orang Arab sebelumnya. Ini sebagaimana kata shalat, haji, zakat, dan sebagainya. (Lihat, al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Juz I/27-28)

Istilah Khilafah dengan konotasi syariah ini digunakan dalam banyak hadis Nabi saw. dalam banyak riwayat. (Lihat, Musnad al-Bazzar, hadits no.1282. Musnad Ahmad, hadits no.2091 dan 20913. Sunan Abu Dawud, hadits no.4028. Sunan at-Tirmidzi, hadits no.2152. Al-Mustadrak, hadits no.4438)

Adapun pemangkunya disebut khalîfah, jamaknya khulafâ'. Istilah ini pun dinyatakan dalam banyak hadis. (Lihat, Shahih Bukhari, hadits no.6682. Shahih Muslim, hadits no.3393, 3394, 3395, 3396, 3397 dan 3398. Sunan Abu Dawud, hadits no.3731 dan 3732. Musnad Ahmad, hadits no.3394, 19901, 19907, 19943, 19963, 19987, 19997, 20019, 20032, 20041, , 20054, 20103 dan 20137. Sunan at-Tirmidzi, hadits no.2149 dan 4194)

Karena itu istilah Khilafah dan Khalifah adalah istilah syariah, yang memang digunakan dalam nash syariah, yang bersumber dari wahyu. Istilah ini kemudian diadopsi para ulama ushuluddin, fikih dan tsaqâfah Islam yang lainnya dengan konotasi sebagaimana yang dimaksud oleh banyak hadis Nabi Saw.

Konotasinya jelas sehingga tidak ada perbedaan di kalangan ulama dan umat sepanjang 14 abad. (Majmu’ah Muallifin, Mu’jam Musthalahat al-‘Ulum as-Syar’iyyah, hal.756)

Dengan demikian, upaya menyerang dan mengaburkan fakta Khilafah, baik tentang dalil, bentuk dan modelnya dengan kata-kata, "dalilnya umum, tidak spesifik", atau “tidak mempunyai bentuk dan model baku”, jelas bertolak belakang 180 derajat dengan faktanya. Ucapan ini hanya keluar dari bekas ulama, seperti 'Ali Abdurraziq, atau kaum munafik yang pintar bersilat lidah, atau "Dajjal" yang menyesatkan sebagaimana dalam hadis Nabi Saw. di atas. (Lihat, Hr. Ahmad, Abu Dawud [4252] dan at-Tirmidzi [2229]; Hr. Ahmad, Musnad Ahmad, Juz I/22 dan 44; Ibn ‘Abdi al-Barr, Jami' Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlih, hadits no.1420. Lihat, catatan kaki no.1 dan 2)

Anehnya, pada saat yang sama, pemerintahan demokrasi yang jelas-jelas tidak ada dalilnya, bahkan bertentangan dengan Islam, dijustifikasi sedemikian rupa agar bisa diterima. Demokrasi jelas sama sekali tidak ada dalilnya, jangankan dalalâh manthûq, mafhûm-nya saja tidak ada. Namun demikian, mereka tetap saja ngotot bahwa demokrasi itu identik dengan Islam. Di mana nalarnya?

Karena itu, upaya mengadaptasi sistem demokrasi yang jelas bertentangan dengan Islam, dengan klaim sebagai pemerintahan Islam jelas menyalahi dalil, fakta dan nalar sehat. (Lihat, penjelasan mendalam Kontradiksi Demokrasi dengan Islam, dalam kitab Kaifa Hudimat al-Khilafah, karya al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, hal.59-69)

Ketiga, bagaimana kedudukan maqâshid syarî'ah dan ma'alat al-af'âl dalam merekonstruksi hukum?

Maqâshid asy-Syarî'ah, yaitu jalb al-mashâlih [mewujudkan kemaslahatan] wa dar'u al-mafâsid [mencegah kerusakan], ini dibahas oleh As-Syathibi, dalam kitabnya, al-Muwâfaqât. Hanya saja, pendapat beliau kemudian diselewengkan, sebagai tujuan pensyariatan hukum syariah, sehingga diklaim sebagai ‘illat hukum, bahkan kemudian diklaim sebagai dalil syariah itu sendiri. Padahal maqâshid asy-syarî'ah itu bukan 'illat hukum, apalagi dalil syariah. Maqâshid asy-Syarî'ah ini adalah tujuan dari pensyariatan dan penerapan hukum syariah secara kaffah. Allah SWT berfirman:

“Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) -dengan membawa syariah, red.- kecuali menjadi rahmat bagi alam semesta” (QS. al-Anbiya’ [29]: 107).

Rahmat[an] li al-'alamin di sini adalah jalb al-mashâlih [mewujudkan kemaslahatan] wa dar'u al-mafâsid [mencegah kerusakan]. Jalb al-mashâlih wa dar'u al-mafâsid ini adalah hasil dari penerapan syariah secara kaffah sehingga tidak bisa disebut sebagai 'illat hukum, baik untuk hukum secara keseluruhan maupun satu-persatu hukum. (Lihat, al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, Juz III/361-368)

Apalagi jika dengan alasan jalb al-mashâlih wa dar'u al-mafâsid menolak hukum yang qath'i atau yang telah disepakati. Dalam konteks ini, Imam Asy-Syathibi sendiri menyatakan:

“Jika dia menghendaki selain apa yang dikehendaki oleh Asy-Syâri' maka dia benar-benar telah menjadikan apa yang dikehendaki oleh Asy-Syâri' itu tidak lagi diakui [diterima]… Tindakan itu jelas secara nyata bertentangan dengan syariah.” (Lihat, as-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Juz II/253)

Kewajiban adanya Khilafah dan Khalifah, sebagaimana yang dititahkan dan dijelaskan oleh Asy-Syâri', jelas-jelas hendak didelegitimasi oleh mereka dengan menggunakan ‘illat dan dalil maqâshid asy-syarî'ah. Beragumen dengan logika seperti ini jelas cacat. Bahkan Asy-Syathibi sendiri menolaknya.

Menolak Khilafah dengan menggunakan kaidah ma'alat al-af'âl [dampak perbuatan] juga tertolak. Dikatakan, misalnya, kewajiban adanya Khilafah dan Khalifah saat ini tidak wajib karena bisa menimbulkan ke-madharat-an yang lebih besar, perpecahan, perang saudara dan sebagainya. Kesimpulan seperti ini dihasikan dari penggunaan kaidah ma'alat al-af'âl [dampak perbuatan]. Sama seperti orang yang mengatakan, memakai cadar hukumnya wajib bagi perempuan agar terhindar dari fitnah. Kesimpulan ini juga menggunakan kaidah ma'alat al-af'âl [dampak perbuatan]. Hukum yang ditarik dengan cara seperti ini jelas keliru karena tidak menggunakan dalil, tetapi hanya menggunakan akal murni.

Ma'alat al-af'âl [dampak perbuatan], baik sebagai dalil maupun kaidah, jelas tidak bisa digunakan; kecuali dalam perkara yang dinyatakan oleh nas dan tidak membatalkan hukum yang ditetapkan oleh nas. Jika tidak, maka tidak boleh digunakan.

Keempat, bolehkah meng-ijtihad-kan perkara yang telah dinyatakan oleh nas? Dalam konteks ini, ada kaidah ushul yang menyatakan:

Tidak boleh ada ijtihad ketika [perkara] itu telah dinyatakan dalam nas.

Khilafah, Khalifah dan sistem pemerintahan Islam ini merupakan perkara yang telah dinyatakan dalam nas sehingga tidak boleh ada ijtihad, apalagi dengan tujuan menegasikan kewajibannya; menolak bentuk, sistem dan modelnya. Hanya dalam perkara yang tidak dinyatakan oleh nash, tidak ada larangan untuk dilakukan ijtihad.

WalLâhu a'lam.[]

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Media Politik Dan Dakwah al-Wa’ie edisi Maret 2018

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam