Yang Menolak Khilafah, yang
Memberontak!
Ternyata dalam sidang
gugatan HTI atas pencabutan SK Badan Hukum Perkumpulan ormas Islam secara
semena-mena, keterangan saksi fakta dan ahli dari pemerintah banyak yang tidak
sesuai dengan kenyataan. Di antaranya seperti keterangan dari mantan Ketua BNPT
Ansyaad Mbai dan Rektor UIN Jogja Yudian Wahyudi. Untuk menyanggah fitnah
tersebut, wartawan tabloid Media Umat Joko Prasetyo mewawancarai cendikiawan
Muslim Ustadz Rokhmat S. Labib. Berikut petikannya.
Ansyaad
Mbai menyebut semua pelaku bom yang bertujuan ingin menegakkan khilafah ada
kaitannya dengan HTI. Tanggapan Anda?
Itu jelas fitnah. Masak hanya ada kesamaan ngomong tentang
khilafah kemudian dituduh ikut, terlibat, atau bahkan pelakunya.
Coba, begini saja.
Ketua Umum Golkar sekarang diadili karena kasus korupsi. Di mana-mana dia
berkata, ”Saya Indonesia, saya Pancasila.” Pertanyaannya: Apakah semua orang
atau organisasi yang mengucapkan kalimat yang sama itu bisa dituduh ikut
terlibat, atau bahkan pelakunya? Saya yakin, dia akan mengatakan tidak. Orang,
organisasi, dan partai pasti juga menolak.
Lalu mengapa yang lain
tidak boleh dikaitkan dan tidak mau dikatakan, namun mengaitkan dan menuduh HTI
hanya karena kesamaan omongan?
Tapi
dia menyebutkan 25 tersangka teroris yang sudah dihukum pernah menjadi anggota
HTI...
Tidak ada. Jika
terlibat, sudah pasti pengurus HTI sudah dipanggil oleh polisi atau dimintai
kesaksian di pengadilan. Namun nyatanya tidak ada. Maka itu jelas fitnah.
Mbai
juga bilang "Jangankan HTI, semua yang terlibat teror yang ditangkap tidak
akan mau mengaku...”
Kan polisi atau hakim tidak hanya mendasarkan
kepada pengakuan. Mestinya ada bukti-bukti lain. Nyatanya, itu tidak ada.
Ingat, ya. Tidak ada
satu pun alasan pencabutan badan hukum HTI karena teroris.
HTI selalu menegaskan bahwa
dakwahnya tanpa kekerasan. Sekian aksinya dilakukan dengan damai. Semua polisi
tahu tentang itu.
Di samping itu, HTI juga selalu
mengeluarkan pernyataan pers yang berisi kecaman terhadap tindak kekerasan dan
teror di tengah wilayah damai seperti Indonesia.
Selain
menggolongkan HTI sebagai kelompok radikal, Mbai juga bilang terorisme sebagai
anak kandung radikalisme, dan radikalisme lebih berbahaya dari terorisme.
Bagaimana itu?
Ini juga jelas framing menyesatkan. Istilah radikal itu sebenarnya istilah umum. Namun
di tangan Mbai, istilah itu memiliki pengertian negatif.
Menurut Mbai,
radikalisme itu memiliki dua ciri. Pertama, takfiri. Mengafirkan kelompok lain
yang berbeda. Kedua, memaknai jihad dengan makna ekstrim. Yakni, perang.
Tujuannya untuk menegakkan khilafah. Ini kan
jelas sumir dan Fitnah, terhadap HTI, bahkan Islam.
Tentang takfiri, jika
itu pengertiannya, HTI jelas tidak melakukannya. HTI tidak pernah mengafirkan
kelompok Islam lainnya. Ingat, batasannya sesama Muslim. Namun jika terhadap
orang kafir, ya jelas kita harus menyebut mereka kafir. Ini istilah Al-Qur’an
untuk menyebut semua orang non-Muslim. Ini bukan takfiri. Tetapi hanya menyebut
mereka sebagaimana faktanya.
Juga dicatat,
sekalipun kita menyebut mereka kafir bukan berarti boleh menumpahkan darah
mereka tanpa alasan yang dibenarkan syara'. Tidak boleh juga memaksa dan
memerangi mereka agar masuk Islam.
Ini yang dipegang oleh
HTI. Mana terornya?
Sedangkan tentang jihad, baca semua kitab
fikih mu'tabar, semuanya ada bab jihad. Bahas tentang apa? Perang di jalan
Allah SWT. Ini juga bukan sesuatu yang negatif. Kalau jihad dianggap teror dan
kejahatan, Indonesia tidak akan pernah merdeka.
Apa tidak melihat,
Perang Diponegoro, Sultan Babullah, Teuku Umar, Imam Bonjol dan lain-lain
semuanya berperang melawan penjajah dengan seruan jihad. Demikian juga pasca
kemerdekaan. Ketika Belanda dan sekutu datang, seruannya adalah jihad. Kok sekarang malah menuduh jihad sebagai
terorisme.
Tentang jihad, HTI tidak
menggunakan jihad sebagai metode menegakkan khilafah. HTI menempuh jalan
dakwah. Dengan kata-kata. Pertanyaannya: di mana terornya? Dakwah kok disebut bahaya, di mana
bahayanya?
Menurut
keterangan Yudian Wahyudi, pendirian negara khilafah seperti yang didengungkan
HTI berarti pemberontakan terhadap negara Pancasila. Pemberontakan terhadap
Pancasila berarti pemberontakan terhadap Allah SWT. Tanggapan Anda?
Ini juga pernyataan
aneh. Mendirikan khilafah adalah perintah Allah SWT. Semua ulama mu'tabar
sepakat bahwa hukumnya wajib. Bagaimana bisa melaksanakan kewajiban dari Allah SWT disebut
memberontak kepada Allah SWT? Mestinya, mereka yang menolak dan menghalanginya
lebih layak disebut memberontak.
Pilihan kata
memberontak juga fitnah. Kata memberontak itu mengandung makna fisik dan
senjata. Sementara HTI berdakwah, hanya mengajak. Tidak menggunakan kekerasan
dan senjata. Di mana memberontaknya? Sungguh ini fitnah yang nyata.
Dalam
sidang juga mengatakan yang dia tidak setuju itu khilafah ala HTI. Memang berbeda khilafah yang
didakwahkan HTI dengan para ulama mu'tabar?
Khilafah yang
didakwahkan HTI tidak beda dengan yang dijelaskan para ulama. Mungkin ada
sedikit perbedaan redaksional, tetapi maknanya sama. Bahwa khilafah adalah riasah 'ammah, kepemimpinan umum atas seluruh
kaum Muslim di dunia untuk menerapkan hukum Islam dan mengemban dakwah ke
seluruh dunia. Silakan, cek. Itu inti khilafah yang diterangkan para ulama
mu'tabar.
Yudian
juga mengatakan dalam Al-Qur’an hanya ada dua syarat khalifah yaitu profesional
dan menang tanding, tidak ada syarat agama. Sehingga Donald Trump lebih layak
jadi khalifah...
Ini justru yang aneh.
Silakan dicek dalam referensi para ulama mu'tabar manapun. Tidak ada konsep
khalifah sebagaimana disebutkan Pak Yudian. Kalau ini, bisa dikatakan khalifah ala Yudian.
Dalam banyak kitab fikih
diterangkan bahwa kata khalifah, imam, amir al-mukminin merupakan mutaradif, istilah yang sinonim. Memiliki
arti yang sama.
Dalam hadits-hadits
Nabi SAW, digunakan kata khalifah dan imam untuk menunjuk objek yang sama.
Yakni para pemimpin sepeninggal Nabi SAW untuk menegakkan Islam.
Imam al-Mawardi
mengatakan bahwa al-imamah maudhzu'ah li
khilafah al-nubuwah fi hirasah al-din wa al-dunya, kepemimpinan itu
diadakan untuk mengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan
dunia.
Maka, para ulama pun
merumuskan apa tugasnya, syarat-syaratnya, bagaimana cara pengangkatannya,
siapa yang yang berhak mengangkatnya, bagaimana pemberhentiannya, dan
seterusnya. Semuanya didasarkan pada dalil. Bukan hanya dari QS. Al-Baqarah 30
seperti yang disampaikan Yudian itu. Bahkan, hanya sedikit ulama yang
menggunakan ayat itu menjelaskan tentang khilafah dan khalifah. Sebagai contoh,
bahwa khalifah harus Muslim, dalilnya kata minkum
(dari kalian) dalam QS. an-Nisa 59. Juga an-Nisa 125.
Walhasil, tidak ada
satu pun para ulama menyebut pemimpin negara kafir seperti Amerika itu sebagai
khalifah. Ini benar-benar aneh dan asing.[]
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 216
Tidak ada komentar:
Posting Komentar