PENDAHULUAN
Ushul fiqih tersusun
dari dua kata, yaitu ushul dan fiqih.
Al-Ushul merupakan jamak dari kata al-ashlu
yang secara bahasa berarti setiap perkara yang menjadi dasar bagi yang
lain, baik (bersifat) indrawi, seperti dibangunnya dinding di atas pondasi,
atau (bersifat) aqli, seperti
dibangunnya ma’lul di atas ‘illat dan madlul
di atas dalil.
Adapun fiqih, secara
bahasa berarti pemahaman, sebagaimana firman Allah:
Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu
katakan itu. (TQS. Hud [11]: 91)
Secara
syar’i bermakna pengetahuan terhadap hukum-hukum syara' yang bersifat praktis,
yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci, dan topiknya menyangkut
perbuatan hamba; seperti: halal, haram, sah,
batal, fasad, dan lain-lain.
Dengan demikian ushul fiqih adalah
kaidah-kaidah yang diatasnya berdiri ilmu atas hukum-hukum syara yang bersifat
praktis, yang digali dari dalil-dalil yang rinci. Ushul
fiqih terkait dengan dalil-dalil sam’i dan
tata cara istinbath hukum syara dari
dalil-dalil tersebut, termasuk berbagai perkara yang berkaitan dengannya. Fiqih tidak membahas perkara–perkara tentang
akidah. Fiqih membahas hukum-hukum syara
dari sisi asas yang dibangunnya, bukan dari sisi persoalan-persoalan yang
dikandung oleh hukum.
Seperti
diketahui bahwa ushul fiqih membahas dua
perkara mendasar:
- Hukum syara dan yang berkaitan dengannya.
- Dalil dan yang berkaitan dengannya.
Ditambahkan
kepada dua perkara tersebut, yaitu perkara-perkara cabang yang merupakan
implikasi dari dua perkara tadi, yaitu istinbath
hukum syara dari dalil, termasuk perkara yang berkaitan dengannya. Disebut juga
sebagai ijtihad, termasuk yang berkaitan dengannya.
Perkara-perkara
ini dibahas dalam empat bagian:
Bagian Pertama:
Hukum syara dan yang berkaitan dengannya. Saya menjadikan bab ini dalam
empat pasal yaitu:
Pasal
pertama, pembahasan Hakim
Pasal
kedua, khitab taklifi
Pasal
ketiga, khitab wadl’i
Pasal
keempat, kaidah kulliyah
Bagian Kedua: Dalil dan yang berkaitan
dengannya. Saya menjadikannya tiga bab:
Bab I:
Dalil
Pasal
pertama: Dalil syar’i
Pasal
kedua: Apa yang disangka sebagai dalil padahal bukan dalil.
Bab II:
Memahami dalil
Pasal
pertama: Pembahasan tentang tata bahasa
Pasal
kedua: dilalah al-alfâdz
Bab III:
Pembagian al-Kitab dan as-Sunnah
Pasal
pertama: al-Amru dan an-nahyu
Pasal
kedua: al-‘Aam dan al-khas
Pasal
ketiga: al-Muthlaq dan al-muqayad
Pasal ke
empat: al-Mujmal, al-bayan dan al-mubayyan
Pasal ke
lima: an-Nasakh, an-nasikh dan al-mansukh
Bagian ketiga: Ijtihad
dan yang berkaitan dengannya. Saya menjadikannya tiga pasal.
Pasal
pertama: Ijtihad
Pasal
kedua: Taqlid
Pasal
ketiga: Tarjih diantara dalil
Saya akan
menjelaskannya dengan izin Allah Swt secara terperinci. Dan kepada Allah tempat
meminta pertolongan.
PENDAHULUAN
Hukum
syara’ menurut istilah pakar ushul fiqih adalah
seruan (khithab) Syâri’ yang berkaitan
dengan aktivitas hamba (manusia), berupa tuntutan (al-iqtidla), penetapan (al-wadl’i)
dan pemberian pilihan (at-takhyir).
Dalam definisi tersebut dikatakan as-Syâri’, tidak dikatakan Allah agar bisa mencakup juga Sunnah
dan Ijma’, sehingga tidak ada dugaan bahwa yang dimaksud dengan khithab itu hanya al-Qur’an saja.
Disebutkan pula (dalam definisi) yang berkaitan dengan
aktivitas hamba (manusia), tidak menggunakan kata mukallaf;
agar bisa mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan anak kecil dan orang gila.
Seperti hukum tentang zakat atas harta yang dimiliki anak kecil dan orang gila.
Dari definisi tersebut jelas sekali bahwa hukum syara terbagi
dua bagian:
Pertama: Seruan
Syâri’ yang berkaitan dengan penjelasan hukum atas perbuatan manusia; berupa
tuntutan dan pemberian pilihan. Ini disebut dengan khithab taklifi, yaitu seruan yang berarti tuntutan, baik
tuntutannya pasti (jazm) atau tidak
pasti (ghair jazm), atau yang
dimaksudkan seruannya berupa pilihan antara megerjakan atau tidak.
Kedua: Seruan
Syâri’ yang menjelaskan perkara-perkara yang dituntut oleh hukum atas perbuatan
manusia, yaitu perkara–perkara yang menentukan terwujudnya suatu hukum atau
kesempurnaannya. Ini disebut dengan khithab
wadl’i.
Berdasarkan penjelasaan di atas maka bagian pertama
menjelaskan tentang hukum-hukum atas perbuatan hamba. Sedangkan bagian kedua
menjelaskan hukum-hukum itu sendiri.
Bagian pertama kita bisa melihatnya dengan jelas
bahwa ia berkaitan dengan perbuatan hamba (manusia). Begitu pula bagian yang
kedua bisa dilihat dengan jelas keterkaitannya dengan perbuatan hamba.(meski
tidak secara langsung). Karena perkara yang terkait dengan perkara lain yang
berhubungan dengan sesuatu berarti terkait pula dengan sesuatu tersebut.
Dengan demikian, hukum syara adalah seruan Syâri’
yang berkaitan dengan perbuatan hamba (manusia), baik berupa iqtidla (tuntutan), takhyir (pilihan) ataupun wadl’i.
Sebelum menjelaskan kedua bagian hukum syara tersebut
kita mesti mengetahui terlebih dahulu siapa yang berhak mengeluarkan hukum atas
perbuatan ataupun benda; atau biasa disebut dengan istilah al-Hâkim. Inilah yang akan kami jelaskan pada
pasal pertama dari bab ini.
dari Tasir al-Wushul-ila al-Ushul, Syaikh 'Atho' bin Khalil Abu ar-Rasythah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar