“Indonesia tanah air
beta... ” Bangga menjadi penduduk dari sebuah negeri yang kaya raya. Bahagia
memiliki tempat yang kaya SDA. Gugusan pulau dengan beragam potensi alamnya.
Hamparan laut biru dengan bermacam isinya. Terbentang di setiap sudut pandangan
mata. Namun sayang, semua itu bukan teruntuk jutaan penduduk yang 'jelata'.
Sebaliknya, seluruh kenikmatan surga dunia itu hanya teruntuk mereka. Ya,
mereka yang berkuasa. Tahta dan dana. Penguasa dan pemilik modal (kapital),
pastinya.
Semboyan hanya tinggal
kenangan usang. ”Indonesia tanah air beta", nyatanya tidak lagi relevan
dengan kondisi yang ada. Harus kita akui, bahwa negeri ini tidak lagi ramah
pada pribumi. Sebaliknya, berhatur sembah pada mereka pelaku investasi, pemilik
modal yang banyak berasal dari luar negeri. Buktinya? Sudah banyak, bisa
disaksikan dengan bertelanjang mata.
Kapitalisme, Pemasung Ulung
Sebenarnya, lara yang
muncul akibat privatisasi kekayaan negara oleh segelintir orang maupun
perusahaan tidak hanya dirasakan sebagian masyarakat. Papua, perut buminya
berisi emas, perak dan tembaga. Tapi bagaimana kondisi pennduduknya? Masih
banyak yang terpinggirkan. Hutan belantara mereka jadikan hunian. Bukan mereka
tidak inginkan kelayakan, namun mereka tidak punya hak dan kuasa atas isi perut
bumi mereka karena mereka hanya jelata. Lantas untuk siapa kekayaan berupa
emas, perak dan tembaga di perut bumi Papua? Hanya untuk mereka, penguasa dan
pemilik dana. Lagi-lagi, tahta dan harta. Fakta, Freeport penambang emas
raksasa dari Amerika Serikat telah kembali dilegalisasi untuk mengeruk kekayaan
negeri hingga 2041 nanti.
Setali tiga uang,
masyarakat Riau pun memiliki duka yang sama. Negeri lancang kuning, kota
bertuah. Dikenal sebagai daerah penghasil minyak, baik di bawah ataupun di atas
buminya. Bahkan, minyak dengan kualitas terbaik ada di wilayah ini. Tepatnya di
daerah Minas. Dikelola oleh sebuah perusahaan asing, Chevron.
Lantas, sebagai
wilayah penghasil minyak terbesar di Indonesia, bagaimana kondisi
masyarakatnya? Fakta, angka putus sekolah masih tinggi. 2057 siswa tingkat SD,
1080 siswa SMP, 794 SMA dan 1293 siswa SMK. Penyebab putus sekolah tersebut
tidak jauh-jauh dari persoalan ekonomi (pekanbaru.tribunnews.com
17/08/2017). Bahkan masih terdapat suku-suku yang hidup di pedalaman, hutan.
Jauh dari sentuhan informasi dan perkembangan, hidup yang layak dan memadai.
Nah, jadi kekayaan buminya ke mana? Untuk siapa?
Kapitalisme adalah
pemasung ulung, akan bertindak apa saja demi memuaskan kerakusannya. Tidak
terkecuali, kapitalisme juga telah sukses memasung eksistensi bangsa ini.
Sebuah ideologi kufur yang menancapkan imperialisme gaya baru, bahkan lebih
dalam jika dibandingkan dengan tiga setengah abad bercokolnya Belanda di bumi
pertiwi.
Kebebasan
berkepemilikan, menjadi asas dari eksisnya kapitalisme. Siapa saja, bebas
memiliki apa saja asal bermodal. Asas ini pula yang menimbulkan ketimpangan
sosial dalam sebuah negeri. Kapitalisme telah menciptakan si kaya semakin kaya
dan si miskin bertambah derita. Tamak, itulah karakter dari ideologi ini.
Bahkan di negara
asalnya, ideologi ini pun digugat karena kedurjanaannya. Pelbagai kalangan di
Amerika seperti mahasiswa, guru, dosen, buruh, perawat, seniman dan lainnya
bergabung dalam aksi protes yang dikenal dengan gerakan Occupy Wall Street
(OWS). Para pengunjuk rasa yang berkumpul di taman Zuccotti Wall Street, New
York tersebut meneriakkan slogan "Kami 99 persen”. Maknanya, 99 persen
rakyat hidup susah. Memperebutkan 1 persen kekayaan. Sedangkan 99 persen
kekayaan yang ada, dinikmati oleh 1 persen para kapital.
Fakta, hal serupa pun
terjadi di negeri yang kita cintai ini. Berbagai kekayaan alam di bumi pertiwi
yang hakikatnya adalah hak seluruh rakyatnya, dari Sabang sampai Marauke telah
diprivatisasi. Mayoritas, oleh para kapitalis asing. Kapitalisasi besar-besaran
telah menyebar ke setiap sudut yang dipandang 'berpotensi' menghasilkan
pundi-pundi materi.
Para pemegang tahta
pun bermental pecundang. Turut menyelam demi peroleh kekayaan. Selagi tanda
tangannya masih berharga, maka itu akan dijualnya. Tanpa melihat di belakangnya
jutaan orang dalam dekapan derita. Kemiskinan kian merajalela. 99 persen rakyat
berebut 1 persen kekayaan. Sedangkan 99 persen kekayaan negeri, dinikmati oleh
1 persen manusia-manusia tak berhati. Inilah realita, negeri pertiwi 'terpasung
kapitalisasi.'
Jika negara asal yang
melahirkan kapitalisme telah menggugat sedemikian rupa. Penderitaan di negeri
ini akibat kapitalisasi pun telah kita rasa. Lantas, masihkah kita bermanis
muka dan bermesra-mesra dengannya?
Pemilik nurani,
apalagi ada iman di dalam hati, pasti tidak akan sudi bersentuhan dengan sistem
yang tidak manusiawi ini. Sudah saatnya seluruh elemen menancapkan semangat
baru. Semangat perubahan. Semangat untuk menghancurkan pasungan kapitalisasi.
Semangat untuk menjaga negeri dari imperialisasi. Semangat untuk mengusung
negeri sebagai mercusuar peradaban gemilang yang dinanti. Semangat untuk
menciptakan hidup dalam sebuah negeri dengan selimut Rahmat Illahi. Semangat
mewujudkan negeri yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Memanusiakan manusia
dengan aturan Sang Pencipta manusia, Syariat Allah SWT, menjadi pemimpin
peradaban dunia dengan rahmat-Nya.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 207
Tidak ada komentar:
Posting Komentar