3. Seorang Lelaki yang
Menyetubuhi Isterinya Di Siang Hari Bulan Ramadhan Dan Dia Tidak Mampu Berpuasa
Dua Bulan Berturut-Turut
Lelaki ini memberi
makan 60 orang miskin. Kewajiban ini dikenakan pada lelaki tersebut jika dia
menyetubuhi isterinya secara sengaja dan dalam keadaan sadar sedang berpuasa.
Namun, jika dia menyetubuhi isterinya dalam keadaan lupa, maka tidak ada kaffarat dan dosa atasnya. Bukhari berkata:
al-Hasan dan Mujahir berkata: Jika orang tersebut menyetubuhi isterinya dalam
keadaan lupa maka tidak mengapa. Abdurrazaq telah menceritakan pernyataan ini,
di mana dia menyebutkan pernyataan dari Mujahid [7375]: Jika orang tersebut
ketika berpuasa di bulan Ramadhan menyetubuhi isterinya dalam keadaan lupa,
maka tidak ada kewajiban apapun baginya. Telah diriwayatkan pernyataan dari
Atha [7376]: wajib atasnya untuk mengqadha,
sehingga dia tidak mewajibkan kaffarat atasnya. Al-Auza’i, al-Laits bin Saad,
Malik dan Ahmad serta sebagian kalangan asy-Syafi'iyah menyatakan pendapat
serupa dengan Atha.
Saya tidak mengetahui
ada ahli fikih yang menyatakan wajibnya kaffarat karena bersetubuh dalam
keadaan lupa, bahkan telah diriwayatkan dari Amir bin as-Sya'biy, Said bin
Jubair, lbrahim an-Nakha'i, dan Qatadah bahwa tidak ada kewajiban kaffarat bagi
orang yang merusak puasa secara mutlak. Tidak ragu lagi, pendapat seperti ini
adalah pendapat yang ganjil yang tidak layak dipertimbangkan karena telah
menyalahi nash-nash yang jelas tegas menyatakan adanya kewajiban kaffarat.
Para ahli fikih
berbeda pendapat tentang isteri yang disetubuhi suaminya, apakah baginya ada
kewajiban kaffarat, yakni membebaskan budak atau puasa dua bulan
berturut-turut, ataukah memberi makan 60 orang miskin semisal dengan suaminya?
As-Syafi’i dalam pendapat yang paling shahih darinya, al-Auza'i, al-Hasan
al-Bashri, Ahmad dalam salah satu riwayatnya, menyatakan bahwa bagi perempuan
tersebut tidak ada kewajiban kaffarat, dan kaffarat itu hanya diwajibkan bagi
suaminya saja. Al-Auza'i berkata: jika ada kaffarat puasa, maka atas setiap
orang dari keduanya wajib berpuasa dua bulan berturut-turut. Sedangkan Abu
Hanifah, Malik, Abu Tsaur, dan Ibnu al-Mundzir berpendapat bahwa wanita
tersebut memiliki kewajiban kaffarat yang lain, dan pendapat seperti ini
diriwayatkan pula dari Ahmad. Sedangkan ulama Hanafiyah dan Malikiyah
menyatakan bahwa kaffarat itu diwajibkan bagi sang isteri jika dia diberi
pilihan (yakni secara sukarela). Namun jika dipaksa, maka kaffarat itu hanya
jadi kewajiban suaminya saja.
Pendapat yang benar
adalah yang berasal dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah, yakni bahwa perempuan tersebut dikenai
kewajiban kaffarat jika tidak dipaksa. Karena bersetubuh yang dengannya
sang suami dikenai kewajiban kaffarat adalah perbuatan yang dilakukannya
bersama dengan sang isteri, sehingga tidak ada arti memaafkannya dari kewajiban
kaffarat. Terkait pendapat as-Syafi’iyah serta mereka yang senada dengannya,
bahwa mereka belum mendengar Nabi Saw. memerintahkan sang isteri melaksanakan
kaffarat, maka pernyataan seperti ini tidak cukup untuk memaafkan sang
perempuan dari kewajiban kaffarat dan dosa. Hal ini karena nash yang ada
-walaupun hanya menyeru orang berjenis kelamin laki-laki (al-mudzakkar)- tetapi
yang diseru itu adalah laki-laki dan perempuan, sama saja.
Mayoritas seruan dalam
nash memang seperti itu. Jika nash ingin menyeru kaum wanita secara khusus,
maka nash tersebut menyebut kaum wanita dengan lafadz yang jelas (bi lafdzin sharih). Inilah kaidah bahasa dan
kaidah syariat yang terkenal. Dengan demikian, sang perempuan masuk ke dalam
keumuman nash, kecuali jika terdapat pengecualian (al-istitsna). Karena itu,
dalam hal ini, as-Syafi’iyah tidak memiliki hujjah bagi pendapat mereka.
Apabila sang suami
menyetubuhi isterinya dengan paksaan, lalu sang isteri tidak kuasa menolaknya,
maka tidak ada kewajiban apapun bagi sang isteri. Rasulullah Saw. telah
memberitahu kepada kita bahwa Allah Swt. memaafkan perbuatan umatnya yang
dilakukan karena kekeliruan, lupa, dan paksaan. Orang yang dipaksa tidak
berdosa, sehingga tidak ada sanksi apapun baginya.
Jika seseorang
mengatakan bahwa perempuan itu tidak memiliki harta untuk membebaskan seorang
budak atau memberikan makanan bagi enam puluh orang miskin, maka kami menjawab
bahwa sang perempuan kadang memiliki harta yang memungkinkannya melaksanakan
kaffarat tersebut, dan jika tidak memiliki harta, maka wajib atasnya berpuasa
dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu berpuasa serta tidak memiliki
harta, maka kewajiban kaffarat itu gugur darinya.
Bersetubuh yang
mewajibkan kaffarat itu adalah perbuatan memasukkan penis ke dalam vagina,
walaupun tidak keluar mani. Kaffarat
itu sendiri tidak diwajibkan bagi seseorang yang keluar mani tanpa bersetubuh,
misalnya keluar mani karena memeluk, bercumbu dan mencium, misalnya.
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar