Bagaimana dan Kapan Puasa itu
Harus Diqadha?
Mengqadha puasa sah dilakukan secara
berturut-turut atau berselang-seling tanpa ada pengutamaan atas salah satu dari
keduanya. Puasa juga sah diqadha secara
langsung setelah hari raya Idul Fithri, juga sah diakhirkan hingga bulan
Sya'ban, beberapa saat sebelum datangnya Ramadhan yang berikutnya. Semua itu
boleh dilakukan dan tidak ada dosa di dalamnya. Dalil atas hal itu adalah
firman Allah Swt.:
“Maka barangsiapa di
antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain.” (TQS. al-Baqarah [2]: 184)
Ayat ini menetapkan
qadha puasa secara mutlak: “maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”, tanpa menyebutkan batasan (taqyid)
dan pengkhususan (takhsis) apapun, sehingga qadha puasa ini bersifat umum tanpa
takhsis, mutlaq tanpa taqyid, bagaimanapun caranya dilakukan maka hal itu
dibolehkan.
Imam Abu Hanifah
berkata: wajibnya mengqadha puasa itu
bersifat muwassa' (diluaskan) tanpa taqyid apapun, walaupun Ramadhan kedua
telah masuk. At-Thahawi berkata: dilakukan berturut-turut ataukah secara tafriq
(berselang-seling) adalah sama saja. Jumhur ulama berkata: qadha boleh
dilakukan di sepanjang tahun selain dua hari raya dan hari-hari tasyriq.
Pernyataan ini mengandung pengertian bolehnya mengakhirkan qadha puasa hingga
bulan Sya'ban. Imam yang empat, al-Auza'i, at-Tsauri, Ishaq, dan Abu Tsaur,
membolehkan tafriq dan lebih menyukai qadha secara berturut-turut. Pendapat
seperti itu diriwayatkan berasal dari Ali, Muadz, Ibnu Abbas, Anas dan Abu
Hurairah ra. Semua pendapat ini adalah benar, selain pendapat Abu Hanifah yang
menyatakan: walaupun Ramadhan kedua telah masuk.
Di sisi lain, Abdullah
bin Umar, Aisyah, Urwah bin Zubair, al-Hasan al-Bashri, Ibrahim an-Nakhai, dan
Dawud bin Ali ad-Dzahiri berpendapat wajibnya qadha secara berturut-turut,
yakni di antara hari-hari qadha itu tidak boleh ada pemisah yang menyelanginya.
Sebagaimana diriwayatkan pula pendapat dari Dawud yang mewajibkan qadha dengan
segera (fauran) secara mutlak. Muhammad
bin al-Mundzir berkata: kami meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa beliau
tidak menyukai qadha puasa pada bulan Dzulhijjah, dan pendapat seperti ini
dilontarkan pula oleh al-Hasan al-Bashri dan Ibnu Syihab az-Zuhri. Semua pendapat
ini tidak benar. Ini karena ayat al-Qur'an di atas telah memutlakkan qadha
puasa tanpa membatasinya (taqyid) dengan kondisi berturut-turut (at-tatabu'),
tanpa membatasinya dengan harus dilakukan secara segera (al-fauri yah), dan
tanpa membatasinya dengan larangan dilakukan pada bulan Dzulhijjah, karena
batasan-batasan tadi tidak disebutkan dalam satu hadits pun. Karena itu, orang
yang memberikan batasan seperti itu seharusnya memberikan dalil atas
pendapatnya.
Berbagai perbedaan
pendapat di antara para sahabat dan fukaha yang disebutkan dalam beberapa
atsar, semata-mata hanya menjadi ijtihad mereka, di mana sahabat dan fukaha
tidak memiliki hak untuk membatasi sesuatu yang mutlak atau mentakhsis sesuatu yang umum, karena taqyid dan
takhsis itu menjadi bagian dari pelegislasian hukum (tasyri') yang
kewenangannya hanya dimiliki oleh syariat itu sendiri.
Misalnya Baihaqi
[4/258] telah meriwayatkan beberapa riwayat (atsar) dari Aisyah, Ibnu Abbas,
Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Muadz bin Jabal, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Rafi
bin Khadij ra., yang membolehkan menyelang-nyeling qadha puasa Ramadhan:
“Hitunglah (hari yang
harus) diganti, dan berpuasalah bagaimanapun maumu.”
“Dia tidak melihat
qadha yang dilakukan secara selang-seling sebagai sesuatu yang bermasalah.”
“Barangsiapa yang
berhalangan melakukannya secara berturut-turut, maka hendaklah dia
menyelang-nyeling di antara hari-hari qadhanya.”
Ibnu Abi Syaibah
[2/447-448] telah meriwayatkan ucapan yang membolehkan menyelang-nyeling dari
Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Anas, Muadz bin Jabal, Rafi bin Khadij, dan dari
Ubaid bin Umair, Abu Muhairiz serta banyak lagi dari kalangan tabi'in.
Abdurrazaq [4/243-244]
juga telah meriwayatkan pendapat yang sama dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan
Ibnu Muhairiz. Begitu pula ad-Daruquthni [2/192-193] meriwayatkan pendapat
senada dari Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Muadz bin Jabal, Abu Hurairah, Ibnu Abbas
dan Rafi ra.
Di sisi lain,
al-Baihaqi [4/259] telah meriwayatkan dua riwayat (atsar) dari Ali ra.:
“Dia berkata: secara
berturut-turut.”
Yang diriwayatkan oleh
Abdurrazaq. Dan:
“Dia tidak melihat
qadha secara berselang-seling sebagai masalah.”
Dia meriwayatkan pula
dari Abdullah bin Umar ra., bahwa Ibnu Umar tidak menyelang-nyeling qadha
Ramadhan. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abdurrazaq dan Ibnu Abi Syaibah.
Ad-Daruquthni [2/192] telah meriwayatkan dari Aisyah ucapan yang mengharuskan
qadha secara berturut-turut (at-tatabu’), dan dia menshahihkan sanadnya.
Yang benar adalah
pendapat yang pertama, dan dalil atas hal itu adalah ayat al-Qur’an yang datang
dalam bentuk mutlak. Adapun sanggahan bagi mereka yang mengharuskan qadha
dilakukan secara segera (fauran) adalah
hadits yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah [2051], Tirmidzi, dan Ahmad dari Aisyah
ra., dia berkata:
“Aku tidak mengqadha hutang puasa Ramadhan-ku kecuali pada
bulan Sya’ban, hingga Rasulullah Saw. dimakamkan.”
Jauh sekali
kemungkinan hal itu dilakukan oleh Aisyah di rumah Nabi Saw. tanpa
sepengetahuan dan persetujuan beliau saw. Nash ini layak digunakan sebagai
dalil bahwa waktu terakhir
melakukan qadha puasa Ramadhan adalah bulan Sya'ban, yakni qadha tersebut harus
dilakukan sebelum tibanya bulan Ramadhan berikutnya. Jika tidak dilakukan, maka
dipandang sebagai orang yang melalaikan kewajiban (al-mufarrith).
Seandainya qadha tersebut boleh diakhirkan hingga setelah tibanya Ramadhan,
maka ucapan Aisyah di atas tidak memiliki makna apapun. Pendapat yang
mewajibkan qadha sebelum tibanya bulan Ramadhan berikutnya telah disepakati
oleh para ahli fikih, kecuali riwayat dari Abu Hanifah rahimahullah.
Sama seperti mengqadha puasa diri sendiri, yang boleh dilakukan
secara berturut-turut (at-tatabu’) atau secara berselang-seling (at-tafriq),
maka kedua hal tersebut sah dilakukan ketika mengqadha
puasa si mayit, di mana keluarga si mayit boleh mengqadha puasa si mayit secara berturut-turut atau secara
berselang-seling, tanpa ada perbedaan di antara keduanya. Sebab, dalam hal ini
tidak ada nash yang membedakan antara mengqadha
puasa diri sendiri dengan mengqadha
puasa si mayit.
Mengenai mengakhirkan
qadha puasa si mayit hingga lebih dari setahun maka hal itu boleh. Ini jelas
berbeda dengan mengqadha puasa diri
sendiri, di mana mengqadha puasa diri
sendiri wajib dilakukan individu tersebut, sedangkan mengqadha puasa si mayit dilakukan oleh
keluarganya adalah boleh-boleh saja, bukan jadi satu kewajiban atasnya. Selama
hal itu berstatus hukum boleh (jaiz) maka individu tersebut bisa melakukannya
secara segera, atau bisa dengan mengakhirkannya hingga waktu yang diinginkannya,
bahkan dia boleh tidak melakukannya sama sekali, sehingga kewajiban keluarga
mengqadha di sepanjang tahun tersebut
bisa ternafikan. (boleh dengan memberi makan)
Lalu, siapa yang
dimaksud dengan keluarga (al-wali) tersebut? Kata al-wali termasuk istilah
musytarak (kata yang memiliki lebih dari satu makna) dalam bahasa. Bahasa Arab
menyebutkan kata tersebut dengan pengertian as-shadiq
(teman dekat), disebutkan pula dengan pengertian al-halif (sekutu), kadang
bermakna as-shihru (kerabat), al-jar (tetangga), at-taabi' (pengikut),
al-muthi’ (yang mentaati), kadangkala bermakna shahibul
amri (orang yang memiliki urusan), juga memiliki beberapa makna lainnya.
Nash-nash yang ada tidak menentukan makna al-wali yang mana digunakan ketika
menyebutkan mengqadha puasa si mayit,
sehingga para ahli fikih berbeda pendapat terkait pengertian al-wali tersebut.
Ada yang mengatakan al-qarib (teman
dekat) secara mutlak, ada juga yang mengatakan al-warits (ahli waris), juga ada
yang menyebutkan ashabah. Saya
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-wali di sini adalah orang yang
hubungannya paling dekat dengan si mayit, seperti anak, bapak, dan saudara
laki-laki. Al-wali ini boleh mengqadha puasa si mayit yang luput
dilakukannya semasa hidup, dan keduanya mendapat pahala ketika qadha tersebut
dilakukan, dan gugurlah dosa dari si mayit dengan pengampunan dari Allah Swt.
yang Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Akhirnya saya katakan,
bahwa seseorang yang luput
dua Ramadhan atau lebih maka dia harus mengqadha seluruh puasa yang luput darinya. Dia tidak cukup
dengan mengqadha puasa
Ramadhan terakhir saja. Ini karena kewajiban mengqadha puasa Ramadhan itu tidak gugur dengan lewatnya waktu lebih
dari setahun. Dengan mengakhirkannya, berarti dia telah berdosa, dan kewajiban
mengqadhanya tetap ada di pundaknya
untuk ditunaikan, sehingga tetap harus dilakukannya.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar