Ketiga: Puasa Orang yang
Menyetubuhi Isterinya Di Siang Hari Bulan Ramadhan
Orang yang berpuasa
tidak boleh menyetubuhi isterinya kecuali di malam hari setelah dia berbuka.
Jika dia menyetubuhi isterinya ketika masih berpuasa maka dia telah berbuka,
dan saat itulah dia terkena kewajiban untuk memerdekakan hamba sahaya, yaitu
membebaskan seorang hamba dari perbudakan. Apabila dia tidak mendapati seorang
budak yang akan dibebaskan, sebagaimana yang terjadi saat ini, maka wajib
atasnya untuk berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika dia tidak memiliki
kemampuan untuk berpuasa dua bulan karena sakit atau lemah, maka dia harus
memberi makanan enam puluh orang miskin. Dalil atas hal itu adalah sebagai
berikut:
1. Dari
Abu Hurairah ra.:
“Sesungguhnya seorang
laki-laki telah datang kepada Rasulullah Saw., lalu dia berkata: Wahai
Rasulullah, celaka aku. Rasulullah Saw. bertanya: “Celaka engkau, mengapa?” Dia
berkata: Aku telah menyetubuhi isteriku di bulan Ramadhan. Beliau Saw. berkata:
“Merdekakanlah seorang hamba sahaya.” Dia berkata: Aku tidak mampu
melakukannya. Beliau Saw. berkata: “Berpuasalah dua bulan berturut-turut.” Dia
berkata: Aku tidak mampu. Beliau Saw. berkata: “Berilah makan kepada enam puluh
orang miskin.” Dia berkata: Aku tidak mampu. Lalu satu wadah kurma dihantarkan
kehadapan beliau Saw., dan beliau bersabda: “Ambillah dan sedekahkanlah.” Lalu
dia berkata: Wahai Rasulullah, apakah (aku harus mensedekahkannya) pada selain
keluargaku? Demi Zat yang memegang jiwaku, tidak ada di seantero Madinah ini
yang lebih membutuhkannya selain aku. Maka Rasulullah Saw. tertawa hingga
nampak gigi-giginya. Lalu beliau Saw. berkata: “Ambillah.” (HR. Bukhari [6164],
Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi, Ahmad dan ad-Darimi)
Al-Araq adalah takaran yang setara dengan lima
belas sha'.
2. Dari
Abu Hurairah ra.:
“Sesungguhnya
Rasulullah Saw. memerintahkan seseorang yang berbuka pada bulan Ramadhan untuk
memerdekakan seorang hamba sahaya, atau berpuasa dua bulan, atau memberi makan
enam puluh orang miskin.” (HR. Muslim [2599], Abu Dawud, Ahmad, Malik dan
al-Baihaqi)
Hadits yang kedua
memiliki redaksi yang bersifat umum: “seseorang yang berbuka pada bulan
Ramadhan”, sedangkan hadits yang pertama memiliki redaksi yang bersifat khusus,
yang menunjukkan orang yang berbuka puasa disebabkan karena jima’ (bersetubuh),
sehingga hadits kedua yang bersifat umum ini harus dibawa pada pengertian yang
terkandung dalam hadits pertama yang bersifat khusus. Karena itu kami nyatakan
bahwa orang yang berbuka karena bersetubuh di bulan Ramadhan maka wajib atasnya
untuk berpuasa dua bulan berturut-turut. Tentu saja hal ini jika dia mampu
melakukannya, jika tidak, maka gugurlah kewajiban puasa itu darinya, dan
(kewajibannya) beralih pada kewajiban lain, yaitu memberi makan enam puluh
orang miskin.
Mengenai tata cara
berpuasa selama dua bulan tersebut, hadits-hadits yang ada mensyaratkan kondisi
berturut-turut (at-tatabu’) dengan adanya istilah dua bulan berturut-turut: ‘syahrain mutatabi’ain’. Ini merupakan pendapat
yang dipegang oleh seluruh ahli fikih dan para ulama, kecuali hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Abi Laila dan satu riwayat dhaif dari Malik, di mana
kedua riwayat tersebut menyebutkan kebolehan berselang alias tidak berturut-turut.
Mayoritas ahli fikih
mensyaratkan bahwa Ramadhan tidak boleh dijadikan salah satu dari dua bulan
puasa kaffarat tersebut, dan di dalamnya tidak boleh pula (dalam dua bulan
puasa kaffarat) ada hari-hari yang dilarang berpuasa, seperti dua hari raya dan
hari tasyriq. Para penganut madzhab Hanafi dan Syafi'i berpendapat bahwa
kondisi berturut-turut (at-tatabu’) menjadi terputus walaupun berbuka karena
udzur, kecuali haid dan nifas, di mana kedua hal ini (haid dan nifas) tidak
memutuskan kondisi berturut-turut (at-tatabu'). Para penganut madzhab Maliki
berpendapat bahwa kondisi berturut-turut itu terputus jika berbuka secara
sengaja sebelum sempurna berpuasa dua bulan.
Maka saya nyatakan
berikut ini: Pernyataan Ibnu Abil Laila adalah pernyataan yang ganjil, yang
tidak perlu diperhatikan dan tidak boleh diamalkan, karena bertentangan (mu’aradlah) dengan hadits-hadits yang
menyatakan keharusan (berpuasa dua bulan) berturut-turut (at-tatabu').
Adapun pernyataan
jumhur ulama, bahwa bulan Ramadhan tidak boleh dijadikan salah satu dari dua
bulan puasa kaffarat, maka pendapat ini jelas keshahihannya,
bahkan ini merupakan perkara yang nyata.
Mengenai pernyataan
jumhur ulama bahwa di dalam dua bulan tersebut tidak boleh ada hari-hari
terlarang berpuasa, dan pernyataan penganut madzhab Hanafi dan Syafi'i bahwa
kondisi berturut-turut (at-tatabu') itu menjadi terputus seandainya berbuka
karena suatu udzur (kecuali haid dan nifas), maka pendapat ini dipandang kurang
teliti dan tidak benar sama sekali. Dipandang tidak benar, karena pendapat
jumhur bahwa di dalam dua bulan puasa kaffarat tersebut tidak boleh ada
hari-hari yang terlarang puasa adalah pendapat yang tidak shahih, dan
pernyataan penganut madzhab Hanafi dan Syafi'i bahwa kondisi berturut-turut
menjadi terputus walaupun berbuka karena suatu udzur (kecuali haid dan nifas),
maka ini dipandang sebagai pendapat yang kurang teliti.
Ini karena syariat
yang lurus (as-syar'ul hanif) tidak menetapkan bulan-bulan untuk berpuasa
kaffarat tersebut. Artinya, dua
bulan berturut-turut tersebut adalah dua dari sebelas bulan, tentunya yang
dikecualikan adalah bulan Ramadhan. Dua bulan (di antara sebelas bulan
yang ada) tersebut layak untuk berpuasa sebagai puasa kaffarat, sehingga siapa
saja yang mengharamkan puasa kaffarat di bulan Dzulhijjah maka sesungguhnya
orang ini tidak memiliki dalil, dan siapa saja yang mengharamkan puasa kaffarat
di bulan Syawal maka dia pun tidak memiliki dalil.
Selain itu, kondisi berturu-turut
(at-tatabu’) itu tidak terputus secara hukum walaupun terhalangi (diputuskan)
oleh udzur yang menghalanginya berpuasa. Haid itu adalah sebuah udzur,
nifas juga merupakan sebuah udzur, tidak berpuasa karena dua hari raya dan
hari-hari tasyriq adalah sebuah udzur, sakit yang menjadikan pelakunya tidak
mampu berpuasa adalah juga sebuah udzur, dan kita tidak boleh membedakan antara
satu udzur dengan udzur yang lain. Semua udzur ini tidak menghilangkan kondisi
berturut-turut (at-tatabu’) walaupun ada atau muncul di antara rangkaian waktu
dua bulan tersebut, sehingga kondisi berturut-turut (at-tatabu’) tetap ada.
Tentang udzur karena
perjalanan (as-safar) maka ini bersifat khusus. Udzur safar berbeda dengan
udzur-udzur yang disebutkan di atas. Yang serupa dengannya adalah udzur sakit
yang tidak melemahkan pelakunya dari berpuasa (sakit yang tidak menuntut
pelakunya berbuka puasa). Maka kedua udzur ini saya pandang sebagai sesuatu
yang bisa memutuskan kondisi berturut-turut (at-tatabu’), karena Allah Swt.
membolehkan berpuasa dalam perjalanan (as-safar) dan tidak menjadikan
perjalanan sebagai penghalang puasa. Berbeda dengan udzur dua hari raya, haid,
nifas dan kelemahan.
Karena itulah saya
nyatakan bahwa memutuskan kondisi berturut-turut (attatabu’) dengan berbuka
puasa karena alasan melakukan perjalanan adalah tidak boleh, sehingga bagi
orang yang berpuasa kaffarat, wajib untuk tetap meneruskan puasanya walaupun
sedang melakukan perjalanan.
Terakhir adalah
tentang orang yang menyetubuhi isterinya di siang hari bulan Ramadhan lebih
dari satu kali, bagaimana kaffaratnya? Abu Hanifah, Malik dan Syafi'i
berpendapat bahwa orang yang menyetubuhi isterinya dua kali atau lebih di satu
hari yang sama, maka yang diwajibkan atasnya adalah satu kaffarat untuk menebus
jima'nya yang pertama, baik ketika dia telah melakukan kaffarat untuk
persetubuhan yang pertama atau belum. Ahmad berkata: jika persetubuhan yang
kedua dilakukan setelah dia melakukan kaffarat dari persetubuhan yang pertama,
maka dia harus melakukan kaffarat yang kedua, karena hal itu adalah
persetubuhan yang diharamkan, yang serupa dengan yang pertama. Ini khusus
terkait dengan persetubuhan yang dilakukan dua kali atau lebih dalam satu hari
yang sama.
Namun, jika
persetubuhan itu dilakukan pada dua hari atau beberapa hari di bulan Ramadhan,
maka Abu Hanifah, az-Zuhri, dan al-Auza'i berpendapat bahwa orang tersebut
-jika bersetubuh pada hari yang kedua sebelum dia melakukan kaffarat untuk hari
yang pertama- maka cukuplah melakukan satu kaffarat saja. Dan jika dia telah
melakukan kaffarat atas persetubuhan yang dilakukannya di hari pertama, maka
dari Abu Hanifah terdapat dua riwayat. Malik, Syafi'i, Laits, Atha, Makhul,
Ibnu al-Mundzir dan Ahmad berpendapat pada salah satu riwayat yang paling
shahih darinya, Dawud bin Ali berpendapat pada wajibnya melakukan kaffarat
untuk setiap harinya, baik ketika dia telah melakukan kaffarat untuk hari yang
pertama ataupun belum.
Maka saya nyatakan
sebagai berikut:
Pengulangan persetubuhan di satu
hari yang sama, maka satu kaffarat saja sudah mencukupinya. Kaffarat
tersebut wajib untuk menebus persetubuhan yang pertama, dan tidak wajib atas
apa yang dilakukannya setelah persetubuhan yang pertama. Hal ini karena
kaffarat itu wajib bagi orang yang berbuka puasa dengan berjima’ dan merobek
kehormatan puasa dengan jima'nya itu, dan hal itu terjadi dengan
persetubuhannya yang pertama, sehingga tidak perlu melakukan kaffarat yang lain
untuk persetubuhan yang kedua, karena dalam persetubuhan yang kedua, orang
tersebut telah bersetubuh sebelumnya dan dalam kondisi berbuka puasa (mufthir).
Oleh karena itu, pendapat Abu Hanifah, Malik dan Syafi'i dalam hal ini adalah
pendapat yang shahih. Namun, jika dia telah bersetubuh pada suatu hari,
sehingga dia dipandang telah berbuka dan wajib atasnya untuk melakukan kaffarat,
kemudian dia bersetubuh lagi pada hari yang kedua, maka dia telah berbuka untuk
yang kedua kalinya, dan wajib atasnya untuk melakukan kaffarat kembali. Dengan
demikian, jika dia
berulang melakukan persetubuhan dalam beberapa hari, wajib atasnya untuk
melakukan kaffarat dari setiap hari persetubuhannya itu. Dan
kaffarat-kaffarat ini tidak bisa disatukan dalam satu kaffarat. Sebab, puasa
dari setiap harinya di bulan Ramadhan adalah satu ibadah yang berdiri sendiri
atau saling terpisah, sehingga hal-hal yang merusak puasa di suatu hari tidak
dipandang telah merusak puasa hari yang lain. Seandainya seluruh hari-hari
bulan Ramadhan itu adalah satu kesatuan ibadah, niscaya apa yang merusak puasa
di satu hari akan merusak puasa satu bulan seluruhnya, dan tidak ada seorangpun
yang berpendapat seperti ini. Ketika puasa di setiap hari bulan Ramadhan itu
adalah satu ibadah yang berdiri sendiri, maka hal-hal yang merusak setiap
ibadah dari ibadah-ibadah ini hanya meliputi satu ibadah saja, tidak mencakup
yang lainnya.
Jadi, siapa saja yang
bersetubuh di suatu hari maka dia telah merusak puasa di hari itu, dan atasnya
wajib untuk melakukan satu kaffarat, sedangkan puasa di hari lainnya tetap
tidak rusak. Jika dia
mengulang kembali persetubuhan itu dan merusak puasanya di hari yang lain, maka
dia perlu dan harus melakukan kaffarat kembali, tanpa memandang lagi apakah dia
telah ataukah belum melakukan kaffarat untuk hari sebelumnya. Maka,
pernyataan Malik, Syafi'i, dan Ahmad menjadi pendapat yang shahih dalam
persoalan ini.
Kaffarat tidak wajib
kecuali dalam hal pengrusakan puasa Ramadhan saja. Jadi, tidak wajib kaffarat
dalam hal pengrusakan puasa nadzar, puasa qadha atau puasa tathawu’. Hal ini
menjadi pendapat jumhur ulama, dan inilah pendapat yang shahih. Ini berbeda dengan
Qatadah, yang berpendapat wajibnya kaffarat bagi orang yang merusak puasa qadha
Ramadhan.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar