B.
Kaffarat dengan Fidyah
Di sini kami ingin
mempersingkat pembahasan fidyah dalam beberapa hal yang terkait dengan puasa
saja, tidak selainnya:
Pertama: Hal-hal yang Mewajibkan
Kaffarat
1. Tidak Mampu Berpuasa
Orang yang tidak mampu berpuasa
adalah lelaki dan perempuan yang tua renta, orang sakit yang sakitnya
menyebabkan dia tidak mampu melaksanakan puasa, dan kesembuhannya sudah tidak
bisa diharapkan lagi, dan orang-orang semisal mereka.
Allah Swt. berfirman:
“Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.
Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain, dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka
itulah yang lebih baik baginya, dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.” (TQS. al-Baqarah [2]: 183-184)
Para ahli tafsir dan
ahli fikih, bahkan para sahabat, telah berbeda pendapat tentang ayat 184 ini:
apakah telah dinasakh atau tidak.
Diriwayatkan dari
Salamah bin al-Akwa' ra., ia berkata:
“Ketika turun ayat
[dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin] berlaku bagi
orang yang ingin berbuka dan hendak membayar fidyah, hingga turunlah ayat
setelahnya, sehingga ayat ini telah dinasakh olehnya.” (Riwayat Bukhari [4507],
Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan Tirmidzi)
Nafi meriwayatkan dari
Ibnu Umar ra.:
“Bahwa ketika membaca
ayat [membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin] dia berkata: ayat
ini telah dinasakh.” (HR. Bukhari [4506], at-Thabari, dan al-Baihaqi)
Dalam shahih Bukhari [39], bab “Orang yang berat
menjalankan puasa wajib membayar fidyah memberi makan seorang miskin”, Ibnu Abi
Laila menyampaikan kepada kami: “para sahabat Nabi telah menyampaikan kepada
kami:
“Ayat tentang puasa
Ramadhan telah turun, sehingga membuat mereka kepayahan. Dan orang yang memberi
makan seorang miskin setiap hari seraya meninggalkan puasa berasal dari
kalangan yang tidak mampu berpuasa, dan mereka diberi rukhshah dalam masalah itu. Lalu turunlah ayat yang menasakhnya: [Dan berpuasa lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui], sehingga mereka pun kemudian diperintahkan untuk
berpuasa.”
Inilah tiga atsar yang
menyebutkan bahwa firman Allah Swt.:
“Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
Telah dinasakh, walaupun mereka berbeda tentang ayat
apa yang menasakhnya,
Salamah menjelaskan
bahwa ayat yang menasakhnya adalah ayat
setelahnya, yaitu:
“(Beberapa hari yang
ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, karena itu, barangsiapa di antara kamu
hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu.” (TQS. al-Baqarah [2]: 185)
Sedangkan Ibnu Umar,
juga para sahabat Nabi, menduga bahwa ayat yang menasakh
tersebut adalah bagian akhir ayat itu sendiri:
“Dan berpuasa lebih
baik bagimu.”
Kemudian kita melihat
Atha meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.:
“Dia membaca: [Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin]. Ibnu Abbas berkata:
Yang tidak dinasakh adalah lelaki dan
perempuan yang telah tua yang tidak mampu lagi berpuasa, maka keduanya harus
mengganti dengan memberi makan setiap harinya satu orang miskin.” (HR. Bukhari
[4505] dan Abu Dawud)
An-Nasai [2638]
meriwayatkan hadits ini dalam kitab as-Sunan
al-Kubra. Diriwayatkan pula oleh Daruquthni dengan lafadz:
“...Dia berkata: [Dan
orang-orang yang tidak mampu lagi berpuasa], mereka dibebani kewajiban membayar
fidyah dengan memberi makan seorang miskin, [Barangsiapa yang dengan kerelaan
hati] memberi tambahan dengan memberi makan kepada orang miskin yang lain. Ayat
ini tidak dinasakh oleh [Maka itulah
yang lebih baik baginya, dan berpuasa lebih baik bagimu]. Dalam masalah ini
tidak ada yang diberi rukhshah kecuali
orang yang sudah tua yang tidak mampu lagi berpuasa, dan orang sakit yang tidak
bisa sembuh lagi.”
Ad-Daruquthni berkata:
sanad hadits ini berstatus shahih.
Walaupun terdapat
perbedaan pendapat tentang ayat ini:
“Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
Apakah telah dinasakh ataukah masih berlaku, kedua belah
pihak berdalil dengan ayat ini bahwa lelaki dan perempuan yang sudah tua -jika
sudah tidak mampu lagi berpuasa- maka harus memberi makan satu orang miskin
untuk satu hari puasanya. Ibnu Abbas dan mereka yang sependapat dengannya -yang
mengatakan bahwa ayat ini tidak dinasakh- jelas
menggunakan ayat ini sebagai dalilnya.
Sedangkan mereka yang
mengatakan adanya nasakh, maka mereka telah mengecualikan dari ayat yang telah
dinasakh itu kewajiban membayar fidyah bagi orang tua yang sudah tidak mampu
lagi berpuasa. Pengecualian seperti ini bisa kita temukan salah satunya yang
diriwayatkan at-Thabari dalam kitab tafsirnya [2/ 137], dari Ibnu Syihab
az-Zuhri, dia berkata:
Allah Swt. berfirman:
“Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu” (TQS. al-Baqarah [2]: 183)
Ibnu Syihab berkata:
“Allah Swt. telah mewajibkan puasa kepada kita, lalu terdapat orang yang ingin
membayar fidyah padahal mereka orang yang mampu berpuasa, ada yang sehat, sakit
ataupun musafir, dan tidak ada selainnya ketika Allah Swt. mewajibkan berpuasa
bagi orang yang hadir di negerinya di bulan itu, sehingga kebolehan membayar
fidyah dari orang yang sehat yang mampu melakukannya telah dibatalkan.
Sedangkan orang yang berada dalam perjalanan, atau orang yang sakit, maka
hendaknya dia mengganti di hari-hari yang lain. Dia berkata: keringanan
membayar fidyah -yang sebelumnya masih diterima- hanya diberikan kepada orang
tua yang tidak mampu lagi berpuasa, atau orang yang berpenyakit yang tidak akan
bisa lagi berpuasa.”
Kita juga melihat Ibnu
Jarir at-Thabari meriwayatkan dari Said bin al-Musayyab, dan beliau adalah
sesepuh para tabi'in, di mana dia berkata: “Firman Allah Swt.: [membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin] berkenaan dengan orang tua yang
sebelumnya biasa berpuasa, lalu karena ketuaannya dia tidak mampu lagi
berpuasa, dan wanita hamil yang tidak ada kewajiban puasa atasnya, maka bagi
setiap orang dari kedua golongan ini ada kewajiban memberi makan seorang
miskin, sebanyak 1 mud tepung gandum (hinthah)
untuk setiap hari yang dilewatinya dalam bulan Ramadhan.”
Dalam hal ini, dia
telah mengikuti jalan yang berbeda dengan yang sebelumnya dalam menjadikan ayat
ini sebagai dalil, di mana dia telah menafsirkan ayat ini dengan mengimbuhkan
kata kabiruu setelah kata yuthiquunahu, seolah-olah menurutnya ada
bagian yang dibuang dari ayat ini. Taqdirnya
kira-kira seperti ini:
Dan bagi orang-orang
yang berat mengerjakannya, kemudian mereka menjadi tua, maka (ada kewajiban)
membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin.
Ini merupakan
penakwilan yang jelas dan bagus, seandainya kita mendapati sandaran kuat dari
adanya sesuatu yang dibuang ini. Saya katakan sebagai berikut:
Pendapat tentang
adanya nasakh ini hanya diambil ketika pengkompromian tidak bisa dilakukan,
yakni ketika kompromi tidak bisa dilakukan, dan ketika dua ayat ini tetap
bertentangan serta tidak mungkin dikompromikan lagi maka kita bisa mengambil
pendapat tentang adanya nasakh ini. Tetapi di sini, kompromi antara dua ayat
tersebut sebenarnya masih bisa dilakukan. Seandainya kemungkinan
mengkompromikan tersebut tidak ada, tentu hal ini akan diketahui oleh Ibnu
Abbas, padahal beliau ra. sendiri (sebagai turjuman
al-Qur'an dan habru hadzihil ummah)
menyatakan tidak ada nasakh (berarti masih ada peluang untuk
mengkompromikannya). Dalam kondisi seperti ini kita wajib meninggalkan pendapat
yang mengatakan adanya nasakh, seraya berpegang pada pernyataan bahwa dua ayat
ini tetap berlaku dan tidak ada nasakh dalam salah satunya.
Terkait pendapat Said
bin Musayyab, yang menyatakan ada sesuatu yang dibuang, maka pendapat seperti
ini -terkait dengan susunan kata al-Qur'an- tidak absah untuk kita ambil,
kecuali jika ada dalil, Dan di sini tidak ada dalil, bahkan syubhat dalil
sekalipun yang menjadi dasar pernyataan adanya al-hadzf
(sesuatu yang dibuang), sehingga tanpa ragu lagi pendapat seperti ini harus
kita tinggalkan. Karena bagian ayat 184 surat al-Baqarah:
“Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
Tidak dinasakh alias masih berlaku. Maka penafsirannya
-atau katakanlah penakwilannya- harus selaras dengan ayat sebelum dan
sesudahnya.
Adapun bunyi ayat
sebelumnya adalah:
“Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kalian bertakwa.” (TQS. al-Baqarah: [2] 183)
Kalimat kutiba alaikum as-shiyam (diwajibkan atas kamu
berpuasa) tidak boleh dipahami sebagai pemberian pilihan antara berpuasa dan
berbuka, sebagaimana hal itu telah diriwayatkan dalam banyak nash. Sebab, kalau
sifatnya masih pilihan, berarti puasa itu tidak diwajibkan, padahal dalam ayat
sebelumnya disebutkan telah diwajibkan (kutiba
artinya furidha = diwajibkan).
Karena itu, pendapat
yang menyatakan hal ini sebagai pilihan jelas bertentangan dan menyalahi
ayat-ayat yang menegaskan bahwa puasa itu diwajibkan, sehingga pendapat yang
menyatakan adanya pilihan tersebut tertolak, seberapapun banyak riwayatnya.
Ayat setelahnya yakni:
“(Beberapa hari yang
ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena
itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (TQS. al-Baqarah [2]: 185)
Ayat ini telah
menjadikan pernyataan wajibnya puasa ini dalam bentuk umum:
Di mana ayat ini
menjadi penegas dan pengokoh pernyataan pada ayat pertama.
Ayat pertama ini
menyebutkan bahwa puasa itu diwajibkan (maktub), dan ayat ketiga menyebutkan
secara tersirat bahwa puasa itu wajib dengan pasti. Maka ayat yang tengahnya
tidak boleh dinyatakan sebagai memberi pilihan. Yang harus dikatakan adalah
bahwa ayat ini menunjukkan kewajiban dalam bentuk yang lain. Hal ini agar
susunan kata al-Qur’an ini bisa selaras serasi, sehingga tidak ada kekacauan
dan kontradiksi.
Berdasarkan pembukaan
yang memang harus seperti ini saya katakan sebagai berikut:
Sesungguhnya ayat
kedua dari tiga ayat ini berfungsi menjelaskan beberapa udzur bolehnya
meninggalkan puasa wajib, tidak untuk memberi pilihan antara berpuasa dan
berbuka. Ayat ini menyebutkan udzur sakit dan udzur perjalanan (as-safar),
kemudian menjelaskan sesuatu yang sebanding dengan berbuka dalam dua kondisi
ini (yaitu) qadha:
“Maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain.”
Kemudian ayat tersebut
menyatakan:
“Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
Di mana kalimat alladzina yuthiquunahu di-athaf-kan dengan huruf wawu kepada al-maridh
(orang sakit) dan al-musafir (orang yang
melakukan perjalanan). Athaf dengan wawu ini tidak memiliki arti apapun selain
kebersamaan semua itu dalam satu objek pembahasan, dalam hal ini adalah
udzur-udzur yang membolehkan seseorang berbuka. Jika tidak sama, maka tidak
perlu ada athaf, sehingga udzur-udzur
yang membolehkan seseorang berbuka itu adalah: sakit (al-maradl), perjalanan
(as-safar) dan menghabiskan kemampuan (istinfadz
at-thaqah), dalam arti siapa yang sakit, atau melakukan perjalanan, atau
telah menghabiskan kemampuan, maka mereka semua berhak untuk berbuka.
Namun, orang yang
menghabiskan kemampuan ini memiliki konsekuensi yang berbeda dengan konsekuensi
orang sakit dan musafir, karena ayat tersebut tidak memasukkannya bersama kedua
orang ini dari sisi konsekuensi, sehingga ayat ini tidak berbunyi misalnya:
Barangsiapa yang sakit
atau dalam perjalanan atau yang kehabisan kemampuan, maka hendaklah mengganti
di hari-hari yang lain,
Karena penggalan
susunan kalimat al-Qur’an menunjukkan dimasukkannya orang yang menghabiskan
kemampuan ke dalam kategori udzur, dengan cara mengathafkannya kepada orang sakit (al-maridl) dan orang yang
melakukan perjalanan (al-musafir). Di sisi lain, orang yang menghabiskan
kemampuan ini tidak dimasukkan ke dalam lingkup konsekuensi yang harus diterima
kedua orang tadi, yakni qadla puasa, di mana penggalan ayat selanjutnya
menyebutkan konsekuensi yang berlainan antara dua udzur yang pertama dengan
udzur yang ketiga ini, dengan menyebutkan:
Khusus untuk dua udzur
yang pertama adalah:
Dengan pembedaan
seperti ini, ayat tersebut telah menafikan
qadha puasa dari udzur yang ketiga, dan memberikan hukum yang baru yang tidak
diminta dari orang yang sakit dan musafir, yaitu membayar fidyah.
Apakah penafsiran kami
terhadap ayat ini bisa sejalan dengan pendapat para ulama salaf, maka kami
katakan sebagai berikut: sesungguhnya pernyataan ayat ini:
[wa ‘alalladziina yuthiiquunahu]
Tidak boleh
ditafsirkan memiliki makna:
Dan
bagi orang-orang yang mampu melakukannya.
Jika tidak, maka semua
orang akan dicakup oleh lafadz ini, termasuk orang sakit dan musafir, karena
keduanya biasanya mampu berpuasa juga, sehingga penggalan ayat ini harus
ditafsirkan, atau katakanlah harus ditakwilkan dengan pengertian orang-orang
yang jika berpuasa menghabiskan kemampuannya, yakni hakikinya hampir tidak
mampu lagi berpuasa, dengan pengertian lain, sesungguhnya kelompok orang ini
tidak mampu berpuasa dan menyelesaikannya kecuali jika mengerahkan segenap
kemampuannya di mana mereka hampir lemah melaksanakannya. Lalu datanglah ayat
ini, memaafkan dan mengecualikan mereka dari kewajiban puasa sebagaimana
merekapun dikecualikan dari kewajiban mengqadha,
karena qadha bagi mereka sebenarnya seperti alat yang tetap menyusahkan mereka,
yang tetap mengharuskan mereka mengerahkan segenap kemampuan, sehingga kemudian
ayat ini memberikan alternatif yang bisa mereka lakukan dan yang tidak menuntut
mereka mengerahkan segenap kemampuan dalam pelaksanaannya yakni fidyah, yaitu
menyerahkan sejumlah harta dari setiap hari yang tidak dipuasainya. Salah satu
yang menguatkan pemahaman ini adalah temuan saya dari tafsir Mujahid bin Jabr
-beliau adalah salah seorang guru para ahli tafsir- di mana pada halaman 97
jilid I saya menemukan atsar dari Atha dari Ibnu Abbas yang menafsirkan
penggalan ayat:
“[Dan bagi orang-orang
yang berat melaksanakannya], dia berkata: memikul dengan susah payah/berat dan
tidak mampu melaksanakannya. [Ada kewajiban memberi makan seorang miskin, maka
barangsiapa yang dengan rela hati berbuat kebajikan] dengan memberi makan orang
miskin yang lain [maka hal itu lebih baik baginya]. Ayat ini tidak dinasakh...”
Ibnu Abbas telah
menafsirkan kata yuthiquunahu dengan laa yastathi’uunahu, dan ini adalah penafsiran
yang begitu mirip dengan tafsir kami.
Dengan penafsiran atau
katakanlah penakwilan seperti ini, kita tetap bisa menyelaraskan antara tiga
ayat itu, dan menafikan adanya nasakh atau pengabaian. Dengan penafsiran
seperti ini, kita memiliki kesimpulan berdalil bahwa orang yang lemah secara de facto dan lemah secara de jure, keduanya boleh berbuka dan
harus membayar fidyah, sekaligus menjadi dalil bahwa laki-laki dan perempuan
yang sudah udzur usianya boleh berbuka dan harus memberi makan seorang miskin
sebagai pengganti hari-hari puasanya. Adapun orang sakit yang penyakitnya itu
menyebabkan dirinya tidak mampu berpuasa, jika kesembuhannya masih bisa
diharapkan maka kami mengikutkannya ke dalam kategori orang sakit yang
disebutkan dalam firman Allah Swt.:
“Maka barangsiapa di antara kamu
ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (TQS.
al-Baqarah [2]: 184)
Sehingga orang ini boleh berbuka
dan harus mengqadha puasa. Sedangkan orang sakit yang tidak bisa diharapkan lagi
kesembuhannya, maka kami mengikutkannya ke dalam kategori orang-orang yang
berat menjalankannya, yakni seperti orang yang sudah tua usianya dari kalangan
lelaki dan perempuan, yang sangat sulit bagi mereka untuk berpuasa. Orang
seperti ini boleh berbuka, dan harus memberi makan seorang miskin dari setiap
harinya. Anda akan mendapatkan penjelasan lebih lengkap dalam masalah
ini pada poin ke-3.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar