Oleh: K.H. Hafidz
Abdurrahman
Ada fenomena yang
menarik, ketika tekanan terhadap dakwah begitu luar biasa, karena Nabi SAW
tidak bisa diajak kompromi oleh kaum kafir Quraisy, justru simpati demi simpati
terus meningkat. Ketika kompromi tidak bisa dicapai, mereka pun merencanakan
pembunuhan terhadap Nabi SAW. Abu Jahal membawa batu dilemparkan kepadanya;
Uqbah bin Abi Mu'aith mencekik lehernya dengan selendang hingga nyaris
membunuhnya; 'Umar bin al-Khatthab keluar menghunus pedang untuk mengakhiri
hidupnya. Pendek kata, Abu Thalib telah mencium skenario untuk menghabisi nyawa
keponakannya.
Mereka memang
benar-benar sudah menyusun skenario untuk membunuh Nabi SAW dengan
terang-terangan. Ini juga diisyaratkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya: ”Ataukah mereka telah mengancam tipu daya (jahat),
maka sesungguhnya Kami telah berencana (mengatasi tipu jahat mereka).”
[TQS az-Zukhruf: 79]
Ketika melihat
fenomena seperti itu, Abu Thalib pun mengumpulkan kerabatnya dari kalangan Bani
Hasyim dan Bani Muthallib, dua keturunan Abdi Manaf. Mengajak mereka untuk
melindungi keponakannya. Mereka pun memenuhi undangannya, baik yang Muslim
maupun kafir, untuk sepakat memberikan perlindungan, kecuali Abu Lahab. Dia
meninggalkan mereka, dan lebih memilih berpihak kepada kaum kafir Quraisy.
[Lihat, Ibn Hisyam, Sirah Nabawiyyah,
Juz I/269].
Ada empat peristiwa
menggemparkan bagi kaum musyrik dalam kurun empat minggu, atau bahkan lebih
singkat. Antara lain, masuk Islamnya Hamzah, 'Umar, penolakan Rasulullah
terhadap upaya negosiasi mereka, lalu komitmen Bani Muthallib dan Bani Hasyim,
baik yang Muslim maupun kafir, untuk membela Nabi Muhammad SAW. Semua itu
membuat kaum musyrik pusing tujuh keliling. Mereka sadar, kalau sampai mereka
membunuh Muhammad SAW maka lembah di Makkah akan banjir darah mereka, bahkan
boleh jadi akan membuat mereka habis sampai ke akar-akarnya.
Mereka pun mengadakan
pertemuan di tempat Bani Kinanah, dari Lembah Muhashab. Mereka melakukan
koalisi untuk melawan Bani Hasyim dan Bani Muthallib, untuk tidak mengadakan
pernikahan, jual-beli, berinteraksi dengan mereka, dan menyambangi rumah-rumah
mereka dan berbicara dengan mereka, sampai mereka menyerahkan Rasulullah SAW
untuk dibunuh. Mereka pun menulis naskah berisi komitmen, ”untuk tidak menerima
perdamaian dari Bani Hasyim untuk selamanya, tidak bersikap lunak kepada
mereka, sampai mereka menyerahkan Muhammad untuk dibunuh.” Naskah ini ditulis
oleh Baghit bin 'Amir bin Hasyim. Nabi SAW pun mendoakannya, hingga tangannya
menjadi lumpuh. [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Zad
al-Ma'ad, Juz II/46]
Naskah ini ditempel di
tengah Ka'bah. Bani Hasyim dan Bani Muthallib, baik yang Muslim maupun kafir,
kecuali Abu Lahab, mengalami pemboikotan itu. Mereka ditahan di Syi'b Abu
Thalib [Lembah Abu Thalib], yang terletak antara bukit Shafa dan Marwa, pada malam
permulaan Muharram, tahun 7 kenabian.
Pemboikotan itu
semakin sulit, sehingga akses mereka pada sembako pun terputus, hingga
benar-benar susah, sampai tak ada bahan makanan dan minuman yang bisa mereka
makan dan minum. Mereka pun sampai harus makan dedaunan, kulit, hingga
terdengar suara sayup-sayup di balik lembah, anak-anak dan wanita-wanita mereka
merintih kelaparan.
Kalaupun ada makanan
yang sampai kepada mereka itu bisa sampai dengan cara diselundupkan diam-diam.
Mereka tidak bisa keluar dari lembah itu untuk membeli kebutuhan mereka,
kecuali di bulan-bulan Haram [Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab].
Kalau mereka hendak membeli kebutuhannya, penduduk Makkah sengaja
melipatgandakan harganya, sehingga berkali lipat, sampai akhirnya mereka pun
tak sanggup untuk membelinya.
Hakim bin Hazzam,
kadang membawa gandum untuk bibinya, Khadijah -radhiyaLlahu
'anhu- yang saat itu dengan setia mendampingi suaminya dalam pemboikotan
di Lembah Abu Thalib. Dia pun sesekali harus berhadapan dengan Abu Jahal yang
menghalanginya, sehingga datanglah Abu al-Bukhtari, sehingga Hakim bisa
mengantarkan gandum itu kepada bibinya.
Abu Thalib sendiri
mengkhawatirkan kondisi Rasulullah SAW. Ketika orang-orang mulai berangkat ke
peraduannya, dia meminta Rasulullah SAW untuk meninggalkan tempat tidurnya,
sehingga bisa mengetahui siapa orang yang ingin membunuhnya. Saat orang-orang
sudah tidur, Abu Thalib meminta salah seorang putranya, saudaranya, atau
keponakannya untuk tidur di tempat tidur Rasulullah SAW. Begitu luar biasanya
pembelaan Abu Thalib kepada keponakannya, Muhammad SAW.
Ketika musim haji
tiba, di bulan Syawal, Dzulqa'dah dan Dzulhijjah, Nabi SAW dan kaum Muslim
keluar meninggalkan lembah Abu Thalib itu untuk menemui khalayak. Mengajak
mereka kepada Islam.
Tiga tahun penuh telah
berlalu, situasinya tetap belum berubah. Pada bulan Muharram, tahun 10
kenabian, terjadilah perobekan naskah yang zhalim itu. Karena kaum kafir
Quraisy sendiri sikapnya terbelah, antara yang menerima dan menolak naskah yang
zhalim itu. Yang tidak suka pun berusaha untuk merobek naskah itu.
Adalah Hisyam bin
'Amru, dari Bani 'Amir bin Luayyi, suatu malam yang pekat dia menemui Bani
Hasyim di lembah, dengan diam-diam membawa makanan kepada mereka. Dia menemui
Zahir bin Abii Umayyah al-Mahzumi, ibunya adalah 'Atikah binti 'Abdul
Muthallib. Dia berkata, ”Wahai Zahir, apakah kamu mau, kamu bisa makan makanan,
minum minuman, sementara bibi-bibimu mengalami seperti yang kamu tahu?” Dia
menjawab, ”Celakalah kamu, apa yang bisa aku lakukan, sementara aku hanya
seorang diri? Demi Allah, kalau ada lelaki lain, pasti aku akan robek-robek
naskah itu.” Hisyam berkata, ”Kamu telah menemukan seseorang.” Zahir bertanya,
”Siapa?” Hisyam menjawab, ”Aku.” Zahir berkata kepadanya, ”Kita butuh orang
ketiga."
Dia pun pergi menemui
Muth'im bin 'Adi. Ketika itu, Muth'im juga mengatakan hal yang sama,
"Celakalah kamu, apa yang bisa aku lakukan, sementara aku hanya seorang
diri?” Hisyam pun menjawab, ”Kamu telah menemukan seseorang.” Muth'im bertanya,
”Siapa?” Hisyam menjawab, ”Aku." Muth'im berkata kepadanya, "Kita
butuh orang ketiga.” Hisyam menjawab, "Aku sudah melakukannya.” Muth'im
bertanya, ”Siapakah dia?” Hisyam menjawab, ”Zahir bin Abi Umayyah.” Muth'im
berkata, ”Kita membutuhkan orang keempat?”
Maka, Hisyam pun pergi
menemui Abu al-Bukhtari. Hisyam pun mengatakan apa yang dikatakan kepada Abu
al-Bukhtari, dan memberikan jawaban sebagaimana yang dijawab kepada Muth'im dan
Zahir. Intinya, selain dia [Abu al-Bukhtari], sudah ada Hisyam, Muth’im, dan
Zahir. Kata Abu al-Bukhtari, "Kita membutuhkan orang kelima.”
Hisyam pun menemui
Zam'ah bin al-Aswad bin Muthallib bin Asad. Dia mengatakan kepadanya,
mengingatkan hubungan kekerabatannya, dan hak mereka. Setelah itu, Zam'ah
bertanya, “Apakah ada seseorang yang bisa membantu dalam urusan yang kamu ajak
aku untuk membantunya?” Hisyam menjawab, ”Tentu." Dia pun menyebutkan
namanya.
Mereka akhirnya
berkumpul di Hajun, dan sepakat untuk merobek naskah zhalim itu. Zahir berkata,
“Aku izinkan memulai kalian, berbicara pertama kali.”
Ketika waktu Subuh,
mereka berangkat ke tempat-tempat pertemuan kaum kafir Quraisy. Zahir thawaf
mengelilingi Ka'bah tujuh kali, setelah itu menuju kearah kerumunan orang
seraya meneriakkan, ”Wahai penduduk Makkah, apakah kita senang bisa makan,
memakai pakaian, sementara Bani Hasyim tidak boleh melakukan jual beli? Demi
Allah, aku tidak akan berdiam diri, hinggga naskah yang zhalim ini dirobek.”
Abu Jahal yang saat
itu ada di sudut Masjidil Haram menyahut teriakannya, "Kamu bohong, demi
Allah, jangan kamu robek.” Zam'ah bin al-Aswad pun menyahut, "Demi Allah,
kamulah orang paling bohong. Kami tidak rela dengan isi naskah itu, sebagaimana
yang kamu tulis." Abu al-Bukhtari menyahut, "Zam'ah benar. Kami tidak
terima dengan apa yang dia tulis, dan kami tidak pernah mengakuinya.”
Setelah terjadi saling
sahut, Muth'im bin 'Adi pun menghampiri naskah yang di tempel di tengah Ka'bah
untuk dirobek. Ternyata, naskah itu sudah dimakan rayap, tinggal tersisa
tulisan, ”Bismika-Llahumma.” Di situ ada
Asma Allah, rayap pun tidak berani memakannya. Muth'im pun merobek naskah itu.
Rasulullah SAW dan Bani Hasyim serta Bani Muthallib pun keluar, meninggalkan
Syi'b Abu Thalib. Kaum musyrik benar-benar bisa menyaksikan tanda-tanda
keagungan kenabiannya. Namun, mereka tetap saja dalam kekufurannya.
Begitulah, akhirnya
persekusi hingga pemboikotan di dalam negeri tidak mampu menggoyahkan Nabi SAW
dan para sahabat ridhwanu-Llah 'alaihim.
[]
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 212
Tidak ada komentar:
Posting Komentar