Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 17 Juni 2018

Kapan Kaffarat Dengan Fidyah Bagi Lelaki yang Menyetubuhi Isterinya Di Siang Hari Bulan Ramadhan



3. Seorang Lelaki yang Menyetubuhi Isterinya Di Siang Hari Bulan Ramadhan Dan Dia Tidak Mampu Berpuasa Dua Bulan Berturut-Turut

Lelaki ini memberi makan 60 orang miskin. Kewajiban ini dikenakan pada lelaki tersebut jika dia menyetubuhi isterinya secara sengaja dan dalam keadaan sadar sedang berpuasa. Namun, jika dia menyetubuhi isterinya dalam keadaan lupa, maka tidak ada kaffarat dan dosa atasnya. Bukhari berkata: al-Hasan dan Mujahir berkata: Jika orang tersebut menyetubuhi isterinya dalam keadaan lupa maka tidak mengapa. Abdurrazaq telah menceritakan pernyataan ini, di mana dia menyebutkan pernyataan dari Mujahid [7375]: Jika orang tersebut ketika berpuasa di bulan Ramadhan menyetubuhi isterinya dalam keadaan lupa, maka tidak ada kewajiban apapun baginya. Telah diriwayatkan pernyataan dari Atha [7376]: wajib atasnya untuk mengqadha, sehingga dia tidak mewajibkan kaffarat atasnya. Al-Auza’i, al-Laits bin Saad, Malik dan Ahmad serta sebagian kalangan asy-Syafi'iyah menyatakan pendapat serupa dengan Atha.
Saya tidak mengetahui ada ahli fikih yang menyatakan wajibnya kaffarat karena bersetubuh dalam keadaan lupa, bahkan telah diriwayatkan dari Amir bin as-Sya'biy, Said bin Jubair, lbrahim an-Nakha'i, dan Qatadah bahwa tidak ada kewajiban kaffarat bagi orang yang merusak puasa secara mutlak. Tidak ragu lagi, pendapat seperti ini adalah pendapat yang ganjil yang tidak layak dipertimbangkan karena telah menyalahi nash-nash yang jelas tegas menyatakan adanya kewajiban kaffarat.

Para ahli fikih berbeda pendapat tentang isteri yang disetubuhi suaminya, apakah baginya ada kewajiban kaffarat, yakni membebaskan budak atau puasa dua bulan berturut-turut, ataukah memberi makan 60 orang miskin semisal dengan suaminya? As-Syafi’i dalam pendapat yang paling shahih darinya, al-Auza'i, al-Hasan al-Bashri, Ahmad dalam salah satu riwayatnya, menyatakan bahwa bagi perempuan tersebut tidak ada kewajiban kaffarat, dan kaffarat itu hanya diwajibkan bagi suaminya saja. Al-Auza'i berkata: jika ada kaffarat puasa, maka atas setiap orang dari keduanya wajib berpuasa dua bulan berturut-turut. Sedangkan Abu Hanifah, Malik, Abu Tsaur, dan Ibnu al-Mundzir berpendapat bahwa wanita tersebut memiliki kewajiban kaffarat yang lain, dan pendapat seperti ini diriwayatkan pula dari Ahmad. Sedangkan ulama Hanafiyah dan Malikiyah menyatakan bahwa kaffarat itu diwajibkan bagi sang isteri jika dia diberi pilihan (yakni secara sukarela). Namun jika dipaksa, maka kaffarat itu hanya jadi kewajiban suaminya saja.

Pendapat yang benar adalah yang berasal dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah, yakni bahwa perempuan tersebut dikenai kewajiban kaffarat jika tidak dipaksa. Karena bersetubuh yang dengannya sang suami dikenai kewajiban kaffarat adalah perbuatan yang dilakukannya bersama dengan sang isteri, sehingga tidak ada arti memaafkannya dari kewajiban kaffarat. Terkait pendapat as-Syafi’iyah serta mereka yang senada dengannya, bahwa mereka belum mendengar Nabi Saw. memerintahkan sang isteri melaksanakan kaffarat, maka pernyataan seperti ini tidak cukup untuk memaafkan sang perempuan dari kewajiban kaffarat dan dosa. Hal ini karena nash yang ada -walaupun hanya menyeru orang berjenis kelamin laki-laki (al-mudzakkar)- tetapi yang diseru itu adalah laki-laki dan perempuan, sama saja.
Mayoritas seruan dalam nash memang seperti itu. Jika nash ingin menyeru kaum wanita secara khusus, maka nash tersebut menyebut kaum wanita dengan lafadz yang jelas (bi lafdzin sharih). Inilah kaidah bahasa dan kaidah syariat yang terkenal. Dengan demikian, sang perempuan masuk ke dalam keumuman nash, kecuali jika terdapat pengecualian (al-istitsna). Karena itu, dalam hal ini, as-Syafi’iyah tidak memiliki hujjah bagi pendapat mereka.

Apabila sang suami menyetubuhi isterinya dengan paksaan, lalu sang isteri tidak kuasa menolaknya, maka tidak ada kewajiban apapun bagi sang isteri. Rasulullah Saw. telah memberitahu kepada kita bahwa Allah Swt. memaafkan perbuatan umatnya yang dilakukan karena kekeliruan, lupa, dan paksaan. Orang yang dipaksa tidak berdosa, sehingga tidak ada sanksi apapun baginya.
Jika seseorang mengatakan bahwa perempuan itu tidak memiliki harta untuk membebaskan seorang budak atau memberikan makanan bagi enam puluh orang miskin, maka kami menjawab bahwa sang perempuan kadang memiliki harta yang memungkinkannya melaksanakan kaffarat tersebut, dan jika tidak memiliki harta, maka wajib atasnya berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu berpuasa serta tidak memiliki harta, maka kewajiban kaffarat itu gugur darinya.

Bersetubuh yang mewajibkan kaffarat itu adalah perbuatan memasukkan penis ke dalam vagina, walaupun tidak keluar mani. Kaffarat itu sendiri tidak diwajibkan bagi seseorang yang keluar mani tanpa bersetubuh, misalnya keluar mani karena memeluk, bercumbu dan mencium, misalnya.

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam