Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 17 Juni 2018

Dalil Orang yang Tak Mampu Puasa Wajib Membayar Fidyah



B. Kaffarat dengan Fidyah

Di sini kami ingin mempersingkat pembahasan fidyah dalam beberapa hal yang terkait dengan puasa saja, tidak selainnya:

Pertama: Hal-hal yang Mewajibkan Kaffarat

1. Tidak Mampu Berpuasa

Orang yang tidak mampu berpuasa adalah lelaki dan perempuan yang tua renta, orang sakit yang sakitnya menyebabkan dia tidak mampu melaksanakan puasa, dan kesembuhannya sudah tidak bisa diharapkan lagi, dan orang-orang semisal mereka.

Allah Swt. berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain, dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya, dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (TQS. al-Baqarah [2]: 183-184)

Para ahli tafsir dan ahli fikih, bahkan para sahabat, telah berbeda pendapat tentang ayat 184 ini: apakah telah dinasakh atau tidak.
Diriwayatkan dari Salamah bin al-Akwa' ra., ia berkata:

“Ketika turun ayat [dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin] berlaku bagi orang yang ingin berbuka dan hendak membayar fidyah, hingga turunlah ayat setelahnya, sehingga ayat ini telah dinasakh olehnya.” (Riwayat Bukhari [4507], Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan Tirmidzi)

Nafi meriwayatkan dari Ibnu Umar ra.:

“Bahwa ketika membaca ayat [membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin] dia berkata: ayat ini telah dinasakh.” (HR. Bukhari [4506], at-Thabari, dan al-Baihaqi)

Dalam shahih Bukhari [39], bab “Orang yang berat menjalankan puasa wajib membayar fidyah memberi makan seorang miskin”, Ibnu Abi Laila menyampaikan kepada kami: “para sahabat Nabi telah menyampaikan kepada kami:

“Ayat tentang puasa Ramadhan telah turun, sehingga membuat mereka kepayahan. Dan orang yang memberi makan seorang miskin setiap hari seraya meninggalkan puasa berasal dari kalangan yang tidak mampu berpuasa, dan mereka diberi rukhshah dalam masalah itu. Lalu turunlah ayat yang menasakhnya: [Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui], sehingga mereka pun kemudian diperintahkan untuk berpuasa.”

Inilah tiga atsar yang menyebutkan bahwa firman Allah Swt.:

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”

Telah dinasakh, walaupun mereka berbeda tentang ayat apa yang menasakhnya,
Salamah menjelaskan bahwa ayat yang menasakhnya adalah ayat setelahnya, yaitu:

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (TQS. al-Baqarah [2]: 185)

Sedangkan Ibnu Umar, juga para sahabat Nabi, menduga bahwa ayat yang menasakh tersebut adalah bagian akhir ayat itu sendiri:

“Dan berpuasa lebih baik bagimu.”

Kemudian kita melihat Atha meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.:

“Dia membaca: [Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin]. Ibnu Abbas berkata: Yang tidak dinasakh adalah lelaki dan perempuan yang telah tua yang tidak mampu lagi berpuasa, maka keduanya harus mengganti dengan memberi makan setiap harinya satu orang miskin.” (HR. Bukhari [4505] dan Abu Dawud)

An-Nasai [2638] meriwayatkan hadits ini dalam kitab as-Sunan al-Kubra. Diriwayatkan pula oleh Daruquthni dengan lafadz:

“...Dia berkata: [Dan orang-orang yang tidak mampu lagi berpuasa], mereka dibebani kewajiban membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin, [Barangsiapa yang dengan kerelaan hati] memberi tambahan dengan memberi makan kepada orang miskin yang lain. Ayat ini tidak dinasakh oleh [Maka itulah yang lebih baik baginya, dan berpuasa lebih baik bagimu]. Dalam masalah ini tidak ada yang diberi rukhshah kecuali orang yang sudah tua yang tidak mampu lagi berpuasa, dan orang sakit yang tidak bisa sembuh lagi.”

Ad-Daruquthni berkata: sanad hadits ini berstatus shahih.

Walaupun terdapat perbedaan pendapat tentang ayat ini:

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”

Apakah telah dinasakh ataukah masih berlaku, kedua belah pihak berdalil dengan ayat ini bahwa lelaki dan perempuan yang sudah tua -jika sudah tidak mampu lagi berpuasa- maka harus memberi makan satu orang miskin untuk satu hari puasanya. Ibnu Abbas dan mereka yang sependapat dengannya -yang mengatakan bahwa ayat ini tidak dinasakh- jelas menggunakan ayat ini sebagai dalilnya.
Sedangkan mereka yang mengatakan adanya nasakh, maka mereka telah mengecualikan dari ayat yang telah dinasakh itu kewajiban membayar fidyah bagi orang tua yang sudah tidak mampu lagi berpuasa. Pengecualian seperti ini bisa kita temukan salah satunya yang diriwayatkan at-Thabari dalam kitab tafsirnya [2/ 137], dari Ibnu Syihab az-Zuhri, dia berkata:

Allah Swt. berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu” (TQS. al-Baqarah [2]: 183)

Ibnu Syihab berkata: “Allah Swt. telah mewajibkan puasa kepada kita, lalu terdapat orang yang ingin membayar fidyah padahal mereka orang yang mampu berpuasa, ada yang sehat, sakit ataupun musafir, dan tidak ada selainnya ketika Allah Swt. mewajibkan berpuasa bagi orang yang hadir di negerinya di bulan itu, sehingga kebolehan membayar fidyah dari orang yang sehat yang mampu melakukannya telah dibatalkan. Sedangkan orang yang berada dalam perjalanan, atau orang yang sakit, maka hendaknya dia mengganti di hari-hari yang lain. Dia berkata: keringanan membayar fidyah -yang sebelumnya masih diterima- hanya diberikan kepada orang tua yang tidak mampu lagi berpuasa, atau orang yang berpenyakit yang tidak akan bisa lagi berpuasa.”

Kita juga melihat Ibnu Jarir at-Thabari meriwayatkan dari Said bin al-Musayyab, dan beliau adalah sesepuh para tabi'in, di mana dia berkata: “Firman Allah Swt.: [membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin] berkenaan dengan orang tua yang sebelumnya biasa berpuasa, lalu karena ketuaannya dia tidak mampu lagi berpuasa, dan wanita hamil yang tidak ada kewajiban puasa atasnya, maka bagi setiap orang dari kedua golongan ini ada kewajiban memberi makan seorang miskin, sebanyak 1 mud tepung gandum (hinthah) untuk setiap hari yang dilewatinya dalam bulan Ramadhan.”

Dalam hal ini, dia telah mengikuti jalan yang berbeda dengan yang sebelumnya dalam menjadikan ayat ini sebagai dalil, di mana dia telah menafsirkan ayat ini dengan mengimbuhkan kata kabiruu setelah kata yuthiquunahu, seolah-olah menurutnya ada bagian yang dibuang dari ayat ini. Taqdirnya kira-kira seperti ini:

Dan bagi orang-orang yang berat mengerjakannya, kemudian mereka menjadi tua, maka (ada kewajiban) membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin.

Ini merupakan penakwilan yang jelas dan bagus, seandainya kita mendapati sandaran kuat dari adanya sesuatu yang dibuang ini. Saya katakan sebagai berikut:

Pendapat tentang adanya nasakh ini hanya diambil ketika pengkompromian tidak bisa dilakukan, yakni ketika kompromi tidak bisa dilakukan, dan ketika dua ayat ini tetap bertentangan serta tidak mungkin dikompromikan lagi maka kita bisa mengambil pendapat tentang adanya nasakh ini. Tetapi di sini, kompromi antara dua ayat tersebut sebenarnya masih bisa dilakukan. Seandainya kemungkinan mengkompromikan tersebut tidak ada, tentu hal ini akan diketahui oleh Ibnu Abbas, padahal beliau ra. sendiri (sebagai turjuman al-Qur'an dan habru hadzihil ummah) menyatakan tidak ada nasakh (berarti masih ada peluang untuk mengkompromikannya). Dalam kondisi seperti ini kita wajib meninggalkan pendapat yang mengatakan adanya nasakh, seraya berpegang pada pernyataan bahwa dua ayat ini tetap berlaku dan tidak ada nasakh dalam salah satunya.

Terkait pendapat Said bin Musayyab, yang menyatakan ada sesuatu yang dibuang, maka pendapat seperti ini -terkait dengan susunan kata al-Qur'an- tidak absah untuk kita ambil, kecuali jika ada dalil, Dan di sini tidak ada dalil, bahkan syubhat dalil sekalipun yang menjadi dasar pernyataan adanya al-hadzf (sesuatu yang dibuang), sehingga tanpa ragu lagi pendapat seperti ini harus kita tinggalkan. Karena bagian ayat 184 surat al-Baqarah:

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”

Tidak dinasakh alias masih berlaku. Maka penafsirannya -atau katakanlah penakwilannya- harus selaras dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
Adapun bunyi ayat sebelumnya adalah:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kalian bertakwa.” (TQS. al-Baqarah: [2] 183)

Kalimat kutiba alaikum as-shiyam (diwajibkan atas kamu berpuasa) tidak boleh dipahami sebagai pemberian pilihan antara berpuasa dan berbuka, sebagaimana hal itu telah diriwayatkan dalam banyak nash. Sebab, kalau sifatnya masih pilihan, berarti puasa itu tidak diwajibkan, padahal dalam ayat sebelumnya disebutkan telah diwajibkan (kutiba artinya furidha = diwajibkan).
Karena itu, pendapat yang menyatakan hal ini sebagai pilihan jelas bertentangan dan menyalahi ayat-ayat yang menegaskan bahwa puasa itu diwajibkan, sehingga pendapat yang menyatakan adanya pilihan tersebut tertolak, seberapapun banyak riwayatnya.

Ayat setelahnya yakni:

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (TQS. al-Baqarah [2]: 185)

Ayat ini telah menjadikan pernyataan wajibnya puasa ini dalam bentuk umum:

Di mana ayat ini menjadi penegas dan pengokoh pernyataan pada ayat pertama.

Ayat pertama ini menyebutkan bahwa puasa itu diwajibkan (maktub), dan ayat ketiga menyebutkan secara tersirat bahwa puasa itu wajib dengan pasti. Maka ayat yang tengahnya tidak boleh dinyatakan sebagai memberi pilihan. Yang harus dikatakan adalah bahwa ayat ini menunjukkan kewajiban dalam bentuk yang lain. Hal ini agar susunan kata al-Qur’an ini bisa selaras serasi, sehingga tidak ada kekacauan dan kontradiksi.
Berdasarkan pembukaan yang memang harus seperti ini saya katakan sebagai berikut:

Sesungguhnya ayat kedua dari tiga ayat ini berfungsi menjelaskan beberapa udzur bolehnya meninggalkan puasa wajib, tidak untuk memberi pilihan antara berpuasa dan berbuka. Ayat ini menyebutkan udzur sakit dan udzur perjalanan (as-safar), kemudian menjelaskan sesuatu yang sebanding dengan berbuka dalam dua kondisi ini (yaitu) qadha:

“Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

Kemudian ayat tersebut menyatakan:

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”

Di mana kalimat alladzina yuthiquunahu di-athaf-kan dengan huruf wawu kepada al-maridh (orang sakit) dan al-musafir (orang yang melakukan perjalanan). Athaf dengan wawu ini tidak memiliki arti apapun selain kebersamaan semua itu dalam satu objek pembahasan, dalam hal ini adalah udzur-udzur yang membolehkan seseorang berbuka. Jika tidak sama, maka tidak perlu ada athaf, sehingga udzur-udzur yang membolehkan seseorang berbuka itu adalah: sakit (al-maradl), perjalanan (as-safar) dan menghabiskan kemampuan (istinfadz at-thaqah), dalam arti siapa yang sakit, atau melakukan perjalanan, atau telah menghabiskan kemampuan, maka mereka semua berhak untuk berbuka.
Namun, orang yang menghabiskan kemampuan ini memiliki konsekuensi yang berbeda dengan konsekuensi orang sakit dan musafir, karena ayat tersebut tidak memasukkannya bersama kedua orang ini dari sisi konsekuensi, sehingga ayat ini tidak berbunyi misalnya:

Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan atau yang kehabisan kemampuan, maka hendaklah mengganti di hari-hari yang lain,

Karena penggalan susunan kalimat al-Qur’an menunjukkan dimasukkannya orang yang menghabiskan kemampuan ke dalam kategori udzur, dengan cara mengathafkannya kepada orang sakit (al-maridl) dan orang yang melakukan perjalanan (al-musafir). Di sisi lain, orang yang menghabiskan kemampuan ini tidak dimasukkan ke dalam lingkup konsekuensi yang harus diterima kedua orang tadi, yakni qadla puasa, di mana penggalan ayat selanjutnya menyebutkan konsekuensi yang berlainan antara dua udzur yang pertama dengan udzur yang ketiga ini, dengan menyebutkan:

Khusus untuk dua udzur yang pertama adalah:

Dengan pembedaan seperti ini, ayat tersebut telah menafikan qadha puasa dari udzur yang ketiga, dan memberikan hukum yang baru yang tidak diminta dari orang yang sakit dan musafir, yaitu membayar fidyah.

Apakah penafsiran kami terhadap ayat ini bisa sejalan dengan pendapat para ulama salaf, maka kami katakan sebagai berikut: sesungguhnya pernyataan ayat ini:
[wa ‘alalladziina yuthiiquunahu]
Tidak boleh ditafsirkan memiliki makna:

Dan bagi orang-orang yang mampu melakukannya.

Jika tidak, maka semua orang akan dicakup oleh lafadz ini, termasuk orang sakit dan musafir, karena keduanya biasanya mampu berpuasa juga, sehingga penggalan ayat ini harus ditafsirkan, atau katakanlah harus ditakwilkan dengan pengertian orang-orang yang jika berpuasa menghabiskan kemampuannya, yakni hakikinya hampir tidak mampu lagi berpuasa, dengan pengertian lain, sesungguhnya kelompok orang ini tidak mampu berpuasa dan menyelesaikannya kecuali jika mengerahkan segenap kemampuannya di mana mereka hampir lemah melaksanakannya. Lalu datanglah ayat ini, memaafkan dan mengecualikan mereka dari kewajiban puasa sebagaimana merekapun dikecualikan dari kewajiban mengqadha, karena qadha bagi mereka sebenarnya seperti alat yang tetap menyusahkan mereka, yang tetap mengharuskan mereka mengerahkan segenap kemampuan, sehingga kemudian ayat ini memberikan alternatif yang bisa mereka lakukan dan yang tidak menuntut mereka mengerahkan segenap kemampuan dalam pelaksanaannya yakni fidyah, yaitu menyerahkan sejumlah harta dari setiap hari yang tidak dipuasainya. Salah satu yang menguatkan pemahaman ini adalah temuan saya dari tafsir Mujahid bin Jabr -beliau adalah salah seorang guru para ahli tafsir- di mana pada halaman 97 jilid I saya menemukan atsar dari Atha dari Ibnu Abbas yang menafsirkan penggalan ayat:

“[Dan bagi orang-orang yang berat melaksanakannya], dia berkata: memikul dengan susah payah/berat dan tidak mampu melaksanakannya. [Ada kewajiban memberi makan seorang miskin, maka barangsiapa yang dengan rela hati berbuat kebajikan] dengan memberi makan orang miskin yang lain [maka hal itu lebih baik baginya]. Ayat ini tidak dinasakh...”

Ibnu Abbas telah menafsirkan kata yuthiquunahu dengan laa yastathi’uunahu, dan ini adalah penafsiran yang begitu mirip dengan tafsir kami.

Dengan penafsiran atau katakanlah penakwilan seperti ini, kita tetap bisa menyelaraskan antara tiga ayat itu, dan menafikan adanya nasakh atau pengabaian. Dengan penafsiran seperti ini, kita memiliki kesimpulan berdalil bahwa orang yang lemah secara de facto dan lemah secara de jure, keduanya boleh berbuka dan harus membayar fidyah, sekaligus menjadi dalil bahwa laki-laki dan perempuan yang sudah udzur usianya boleh berbuka dan harus memberi makan seorang miskin sebagai pengganti hari-hari puasanya. Adapun orang sakit yang penyakitnya itu menyebabkan dirinya tidak mampu berpuasa, jika kesembuhannya masih bisa diharapkan maka kami mengikutkannya ke dalam kategori orang sakit yang disebutkan dalam firman Allah Swt.:

“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (TQS. al-Baqarah [2]: 184)

Sehingga orang ini boleh berbuka dan harus mengqadha puasa. Sedangkan orang sakit yang tidak bisa diharapkan lagi kesembuhannya, maka kami mengikutkannya ke dalam kategori orang-orang yang berat menjalankannya, yakni seperti orang yang sudah tua usianya dari kalangan lelaki dan perempuan, yang sangat sulit bagi mereka untuk berpuasa. Orang seperti ini boleh berbuka, dan harus memberi makan seorang miskin dari setiap harinya. Anda akan mendapatkan penjelasan lebih lengkap dalam masalah ini pada poin ke-3.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam