Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 16 Juni 2018

Dalil Kaffarat Orang yang Menyetubuhi Isterinya Di Siang Hari Ramadhan



Ketiga: Puasa Orang yang Menyetubuhi Isterinya Di Siang Hari Bulan Ramadhan

Orang yang berpuasa tidak boleh menyetubuhi isterinya kecuali di malam hari setelah dia berbuka. Jika dia menyetubuhi isterinya ketika masih berpuasa maka dia telah berbuka, dan saat itulah dia terkena kewajiban untuk memerdekakan hamba sahaya, yaitu membebaskan seorang hamba dari perbudakan. Apabila dia tidak mendapati seorang budak yang akan dibebaskan, sebagaimana yang terjadi saat ini, maka wajib atasnya untuk berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika dia tidak memiliki kemampuan untuk berpuasa dua bulan karena sakit atau lemah, maka dia harus memberi makanan enam puluh orang miskin. Dalil atas hal itu adalah sebagai berikut:

1. Dari Abu Hurairah ra.:

“Sesungguhnya seorang laki-laki telah datang kepada Rasulullah Saw., lalu dia berkata: Wahai Rasulullah, celaka aku. Rasulullah Saw. bertanya: “Celaka engkau, mengapa?” Dia berkata: Aku telah menyetubuhi isteriku di bulan Ramadhan. Beliau Saw. berkata: “Merdekakanlah seorang hamba sahaya.” Dia berkata: Aku tidak mampu melakukannya. Beliau Saw. berkata: “Berpuasalah dua bulan berturut-turut.” Dia berkata: Aku tidak mampu. Beliau Saw. berkata: “Berilah makan kepada enam puluh orang miskin.” Dia berkata: Aku tidak mampu. Lalu satu wadah kurma dihantarkan kehadapan beliau Saw., dan beliau bersabda: “Ambillah dan sedekahkanlah.” Lalu dia berkata: Wahai Rasulullah, apakah (aku harus mensedekahkannya) pada selain keluargaku? Demi Zat yang memegang jiwaku, tidak ada di seantero Madinah ini yang lebih membutuhkannya selain aku. Maka Rasulullah Saw. tertawa hingga nampak gigi-giginya. Lalu beliau Saw. berkata: “Ambillah.” (HR. Bukhari [6164], Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi, Ahmad dan ad-Darimi)
Al-Araq adalah takaran yang setara dengan lima belas sha'.

2. Dari Abu Hurairah ra.:

“Sesungguhnya Rasulullah Saw. memerintahkan seseorang yang berbuka pada bulan Ramadhan untuk memerdekakan seorang hamba sahaya, atau berpuasa dua bulan, atau memberi makan enam puluh orang miskin.” (HR. Muslim [2599], Abu Dawud, Ahmad, Malik dan al-Baihaqi)

Hadits yang kedua memiliki redaksi yang bersifat umum: “seseorang yang berbuka pada bulan Ramadhan”, sedangkan hadits yang pertama memiliki redaksi yang bersifat khusus, yang menunjukkan orang yang berbuka puasa disebabkan karena jima’ (bersetubuh), sehingga hadits kedua yang bersifat umum ini harus dibawa pada pengertian yang terkandung dalam hadits pertama yang bersifat khusus. Karena itu kami nyatakan bahwa orang yang berbuka karena bersetubuh di bulan Ramadhan maka wajib atasnya untuk berpuasa dua bulan berturut-turut. Tentu saja hal ini jika dia mampu melakukannya, jika tidak, maka gugurlah kewajiban puasa itu darinya, dan (kewajibannya) beralih pada kewajiban lain, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin.

Mengenai tata cara berpuasa selama dua bulan tersebut, hadits-hadits yang ada mensyaratkan kondisi berturut-turut (at-tatabu’) dengan adanya istilah dua bulan berturut-turut: ‘syahrain mutatabi’ain’. Ini merupakan pendapat yang dipegang oleh seluruh ahli fikih dan para ulama, kecuali hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abi Laila dan satu riwayat dhaif dari Malik, di mana kedua riwayat tersebut menyebutkan kebolehan berselang alias tidak berturut-turut.

Mayoritas ahli fikih mensyaratkan bahwa Ramadhan tidak boleh dijadikan salah satu dari dua bulan puasa kaffarat tersebut, dan di dalamnya tidak boleh pula (dalam dua bulan puasa kaffarat) ada hari-hari yang dilarang berpuasa, seperti dua hari raya dan hari tasyriq. Para penganut madzhab Hanafi dan Syafi'i berpendapat bahwa kondisi berturut-turut (at-tatabu’) menjadi terputus walaupun berbuka karena udzur, kecuali haid dan nifas, di mana kedua hal ini (haid dan nifas) tidak memutuskan kondisi berturut-turut (at-tatabu'). Para penganut madzhab Maliki berpendapat bahwa kondisi berturut-turut itu terputus jika berbuka secara sengaja sebelum sempurna berpuasa dua bulan.

Maka saya nyatakan berikut ini: Pernyataan Ibnu Abil Laila adalah pernyataan yang ganjil, yang tidak perlu diperhatikan dan tidak boleh diamalkan, karena bertentangan (mu’aradlah) dengan hadits-hadits yang menyatakan keharusan (berpuasa dua bulan) berturut-turut (at-tatabu').
Adapun pernyataan jumhur ulama, bahwa bulan Ramadhan tidak boleh dijadikan salah satu dari dua bulan puasa kaffarat, maka pendapat ini jelas keshahihannya, bahkan ini merupakan perkara yang nyata.
Mengenai pernyataan jumhur ulama bahwa di dalam dua bulan tersebut tidak boleh ada hari-hari terlarang berpuasa, dan pernyataan penganut madzhab Hanafi dan Syafi'i bahwa kondisi berturut-turut (at-tatabu') itu menjadi terputus seandainya berbuka karena suatu udzur (kecuali haid dan nifas), maka pendapat ini dipandang kurang teliti dan tidak benar sama sekali. Dipandang tidak benar, karena pendapat jumhur bahwa di dalam dua bulan puasa kaffarat tersebut tidak boleh ada hari-hari yang terlarang puasa adalah pendapat yang tidak shahih, dan pernyataan penganut madzhab Hanafi dan Syafi'i bahwa kondisi berturut-turut menjadi terputus walaupun berbuka karena suatu udzur (kecuali haid dan nifas), maka ini dipandang sebagai pendapat yang kurang teliti.
Ini karena syariat yang lurus (as-syar'ul hanif) tidak menetapkan bulan-bulan untuk berpuasa kaffarat tersebut. Artinya, dua bulan berturut-turut tersebut adalah dua dari sebelas bulan, tentunya yang dikecualikan adalah bulan Ramadhan. Dua bulan (di antara sebelas bulan yang ada) tersebut layak untuk berpuasa sebagai puasa kaffarat, sehingga siapa saja yang mengharamkan puasa kaffarat di bulan Dzulhijjah maka sesungguhnya orang ini tidak memiliki dalil, dan siapa saja yang mengharamkan puasa kaffarat di bulan Syawal maka dia pun tidak memiliki dalil.
Selain itu, kondisi berturu-turut (at-tatabu’) itu tidak terputus secara hukum walaupun terhalangi (diputuskan) oleh udzur yang menghalanginya berpuasa. Haid itu adalah sebuah udzur, nifas juga merupakan sebuah udzur, tidak berpuasa karena dua hari raya dan hari-hari tasyriq adalah sebuah udzur, sakit yang menjadikan pelakunya tidak mampu berpuasa adalah juga sebuah udzur, dan kita tidak boleh membedakan antara satu udzur dengan udzur yang lain. Semua udzur ini tidak menghilangkan kondisi berturut-turut (at-tatabu’) walaupun ada atau muncul di antara rangkaian waktu dua bulan tersebut, sehingga kondisi berturut-turut (at-tatabu’) tetap ada.

Tentang udzur karena perjalanan (as-safar) maka ini bersifat khusus. Udzur safar berbeda dengan udzur-udzur yang disebutkan di atas. Yang serupa dengannya adalah udzur sakit yang tidak melemahkan pelakunya dari berpuasa (sakit yang tidak menuntut pelakunya berbuka puasa). Maka kedua udzur ini saya pandang sebagai sesuatu yang bisa memutuskan kondisi berturut-turut (at-tatabu’), karena Allah Swt. membolehkan berpuasa dalam perjalanan (as-safar) dan tidak menjadikan perjalanan sebagai penghalang puasa. Berbeda dengan udzur dua hari raya, haid, nifas dan kelemahan.
Karena itulah saya nyatakan bahwa memutuskan kondisi berturut-turut (attatabu’) dengan berbuka puasa karena alasan melakukan perjalanan adalah tidak boleh, sehingga bagi orang yang berpuasa kaffarat, wajib untuk tetap meneruskan puasanya walaupun sedang melakukan perjalanan.

Terakhir adalah tentang orang yang menyetubuhi isterinya di siang hari bulan Ramadhan lebih dari satu kali, bagaimana kaffaratnya? Abu Hanifah, Malik dan Syafi'i berpendapat bahwa orang yang menyetubuhi isterinya dua kali atau lebih di satu hari yang sama, maka yang diwajibkan atasnya adalah satu kaffarat untuk menebus jima'nya yang pertama, baik ketika dia telah melakukan kaffarat untuk persetubuhan yang pertama atau belum. Ahmad berkata: jika persetubuhan yang kedua dilakukan setelah dia melakukan kaffarat dari persetubuhan yang pertama, maka dia harus melakukan kaffarat yang kedua, karena hal itu adalah persetubuhan yang diharamkan, yang serupa dengan yang pertama. Ini khusus terkait dengan persetubuhan yang dilakukan dua kali atau lebih dalam satu hari yang sama.

Namun, jika persetubuhan itu dilakukan pada dua hari atau beberapa hari di bulan Ramadhan, maka Abu Hanifah, az-Zuhri, dan al-Auza'i berpendapat bahwa orang tersebut -jika bersetubuh pada hari yang kedua sebelum dia melakukan kaffarat untuk hari yang pertama- maka cukuplah melakukan satu kaffarat saja. Dan jika dia telah melakukan kaffarat atas persetubuhan yang dilakukannya di hari pertama, maka dari Abu Hanifah terdapat dua riwayat. Malik, Syafi'i, Laits, Atha, Makhul, Ibnu al-Mundzir dan Ahmad berpendapat pada salah satu riwayat yang paling shahih darinya, Dawud bin Ali berpendapat pada wajibnya melakukan kaffarat untuk setiap harinya, baik ketika dia telah melakukan kaffarat untuk hari yang pertama ataupun belum.

Maka saya nyatakan sebagai berikut:
Pengulangan persetubuhan di satu hari yang sama, maka satu kaffarat saja sudah mencukupinya. Kaffarat tersebut wajib untuk menebus persetubuhan yang pertama, dan tidak wajib atas apa yang dilakukannya setelah persetubuhan yang pertama. Hal ini karena kaffarat itu wajib bagi orang yang berbuka puasa dengan berjima’ dan merobek kehormatan puasa dengan jima'nya itu, dan hal itu terjadi dengan persetubuhannya yang pertama, sehingga tidak perlu melakukan kaffarat yang lain untuk persetubuhan yang kedua, karena dalam persetubuhan yang kedua, orang tersebut telah bersetubuh sebelumnya dan dalam kondisi berbuka puasa (mufthir). Oleh karena itu, pendapat Abu Hanifah, Malik dan Syafi'i dalam hal ini adalah pendapat yang shahih. Namun, jika dia telah bersetubuh pada suatu hari, sehingga dia dipandang telah berbuka dan wajib atasnya untuk melakukan kaffarat, kemudian dia bersetubuh lagi pada hari yang kedua, maka dia telah berbuka untuk yang kedua kalinya, dan wajib atasnya untuk melakukan kaffarat kembali. Dengan demikian, jika dia berulang melakukan persetubuhan dalam beberapa hari, wajib atasnya untuk melakukan kaffarat dari setiap hari persetubuhannya itu. Dan kaffarat-kaffarat ini tidak bisa disatukan dalam satu kaffarat. Sebab, puasa dari setiap harinya di bulan Ramadhan adalah satu ibadah yang berdiri sendiri atau saling terpisah, sehingga hal-hal yang merusak puasa di suatu hari tidak dipandang telah merusak puasa hari yang lain. Seandainya seluruh hari-hari bulan Ramadhan itu adalah satu kesatuan ibadah, niscaya apa yang merusak puasa di satu hari akan merusak puasa satu bulan seluruhnya, dan tidak ada seorangpun yang berpendapat seperti ini. Ketika puasa di setiap hari bulan Ramadhan itu adalah satu ibadah yang berdiri sendiri, maka hal-hal yang merusak setiap ibadah dari ibadah-ibadah ini hanya meliputi satu ibadah saja, tidak mencakup yang lainnya.
Jadi, siapa saja yang bersetubuh di suatu hari maka dia telah merusak puasa di hari itu, dan atasnya wajib untuk melakukan satu kaffarat, sedangkan puasa di hari lainnya tetap tidak rusak. Jika dia mengulang kembali persetubuhan itu dan merusak puasanya di hari yang lain, maka dia perlu dan harus melakukan kaffarat kembali, tanpa memandang lagi apakah dia telah ataukah belum melakukan kaffarat untuk hari sebelumnya. Maka, pernyataan Malik, Syafi'i, dan Ahmad menjadi pendapat yang shahih dalam persoalan ini.

Kaffarat tidak wajib kecuali dalam hal pengrusakan puasa Ramadhan saja. Jadi, tidak wajib kaffarat dalam hal pengrusakan puasa nadzar, puasa qadha atau puasa tathawu’. Hal ini menjadi pendapat jumhur ulama, dan inilah pendapat yang shahih. Ini berbeda dengan Qatadah, yang berpendapat wajibnya kaffarat bagi orang yang merusak puasa qadha Ramadhan.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam