Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 11 Juni 2018

Bagaimana Dan Kapan Qadha Puasa



Bagaimana dan Kapan Puasa itu Harus Diqadha?

Mengqadha puasa sah dilakukan secara berturut-turut atau berselang-seling tanpa ada pengutamaan atas salah satu dari keduanya. Puasa juga sah diqadha secara langsung setelah hari raya Idul Fithri, juga sah diakhirkan hingga bulan Sya'ban, beberapa saat sebelum datangnya Ramadhan yang berikutnya. Semua itu boleh dilakukan dan tidak ada dosa di dalamnya. Dalil atas hal itu adalah firman Allah Swt.:

“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (TQS. al-Baqarah [2]: 184)

Ayat ini menetapkan qadha puasa secara mutlak: “maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”, tanpa menyebutkan batasan (taqyid) dan pengkhususan (takhsis) apapun, sehingga qadha puasa ini bersifat umum tanpa takhsis, mutlaq tanpa taqyid, bagaimanapun caranya dilakukan maka hal itu dibolehkan.

Imam Abu Hanifah berkata: wajibnya mengqadha puasa itu bersifat muwassa' (diluaskan) tanpa taqyid apapun, walaupun Ramadhan kedua telah masuk. At-Thahawi berkata: dilakukan berturut-turut ataukah secara tafriq (berselang-seling) adalah sama saja. Jumhur ulama berkata: qadha boleh dilakukan di sepanjang tahun selain dua hari raya dan hari-hari tasyriq. Pernyataan ini mengandung pengertian bolehnya mengakhirkan qadha puasa hingga bulan Sya'ban. Imam yang empat, al-Auza'i, at-Tsauri, Ishaq, dan Abu Tsaur, membolehkan tafriq dan lebih menyukai qadha secara berturut-turut. Pendapat seperti itu diriwayatkan berasal dari Ali, Muadz, Ibnu Abbas, Anas dan Abu Hurairah ra. Semua pendapat ini adalah benar, selain pendapat Abu Hanifah yang menyatakan: walaupun Ramadhan kedua telah masuk.

Di sisi lain, Abdullah bin Umar, Aisyah, Urwah bin Zubair, al-Hasan al-Bashri, Ibrahim an-Nakhai, dan Dawud bin Ali ad-Dzahiri berpendapat wajibnya qadha secara berturut-turut, yakni di antara hari-hari qadha itu tidak boleh ada pemisah yang menyelanginya. Sebagaimana diriwayatkan pula pendapat dari Dawud yang mewajibkan qadha dengan segera (fauran) secara mutlak. Muhammad bin al-Mundzir berkata: kami meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa beliau tidak menyukai qadha puasa pada bulan Dzulhijjah, dan pendapat seperti ini dilontarkan pula oleh al-Hasan al-Bashri dan Ibnu Syihab az-Zuhri. Semua pendapat ini tidak benar. Ini karena ayat al-Qur'an di atas telah memutlakkan qadha puasa tanpa membatasinya (taqyid) dengan kondisi berturut-turut (at-tatabu'), tanpa membatasinya dengan harus dilakukan secara segera (al-fauri yah), dan tanpa membatasinya dengan larangan dilakukan pada bulan Dzulhijjah, karena batasan-batasan tadi tidak disebutkan dalam satu hadits pun. Karena itu, orang yang memberikan batasan seperti itu seharusnya memberikan dalil atas pendapatnya.

Berbagai perbedaan pendapat di antara para sahabat dan fukaha yang disebutkan dalam beberapa atsar, semata-mata hanya menjadi ijtihad mereka, di mana sahabat dan fukaha tidak memiliki hak untuk membatasi sesuatu yang mutlak atau mentakhsis sesuatu yang umum, karena taqyid dan takhsis itu menjadi bagian dari pelegislasian hukum (tasyri') yang kewenangannya hanya dimiliki oleh syariat itu sendiri.

Misalnya Baihaqi [4/258] telah meriwayatkan beberapa riwayat (atsar) dari Aisyah, Ibnu Abbas, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Muadz bin Jabal, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Rafi bin Khadij ra., yang membolehkan menyelang-nyeling qadha puasa Ramadhan:

“Hitunglah (hari yang harus) diganti, dan berpuasalah bagaimanapun maumu.”

“Dia tidak melihat qadha yang dilakukan secara selang-seling sebagai sesuatu yang bermasalah.”

“Barangsiapa yang berhalangan melakukannya secara berturut-turut, maka hendaklah dia menyelang-nyeling di antara hari-hari qadhanya.”

Ibnu Abi Syaibah [2/447-448] telah meriwayatkan ucapan yang membolehkan menyelang-nyeling dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Anas, Muadz bin Jabal, Rafi bin Khadij, dan dari Ubaid bin Umair, Abu Muhairiz serta banyak lagi dari kalangan tabi'in.

Abdurrazaq [4/243-244] juga telah meriwayatkan pendapat yang sama dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Ibnu Muhairiz. Begitu pula ad-Daruquthni [2/192-193] meriwayatkan pendapat senada dari Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Muadz bin Jabal, Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Rafi ra.

Di sisi lain, al-Baihaqi [4/259] telah meriwayatkan dua riwayat (atsar) dari Ali ra.:

“Dia berkata: secara berturut-turut.”

Yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq. Dan:

“Dia tidak melihat qadha secara berselang-seling sebagai masalah.”

Dia meriwayatkan pula dari Abdullah bin Umar ra., bahwa Ibnu Umar tidak menyelang-nyeling qadha Ramadhan. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abdurrazaq dan Ibnu Abi Syaibah. Ad-Daruquthni [2/192] telah meriwayatkan dari Aisyah ucapan yang mengharuskan qadha secara berturut-turut (at-tatabu’), dan dia menshahihkan sanadnya.

Yang benar adalah pendapat yang pertama, dan dalil atas hal itu adalah ayat al-Qur’an yang datang dalam bentuk mutlak. Adapun sanggahan bagi mereka yang mengharuskan qadha dilakukan secara segera (fauran) adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah [2051], Tirmidzi, dan Ahmad dari Aisyah ra., dia berkata:

“Aku tidak mengqadha hutang puasa Ramadhan-ku kecuali pada bulan Sya’ban, hingga Rasulullah Saw. dimakamkan.”

Jauh sekali kemungkinan hal itu dilakukan oleh Aisyah di rumah Nabi Saw. tanpa sepengetahuan dan persetujuan beliau saw. Nash ini layak digunakan sebagai dalil bahwa waktu terakhir melakukan qadha puasa Ramadhan adalah bulan Sya'ban, yakni qadha tersebut harus dilakukan sebelum tibanya bulan Ramadhan berikutnya. Jika tidak dilakukan, maka dipandang sebagai orang yang melalaikan kewajiban (al-mufarrith). Seandainya qadha tersebut boleh diakhirkan hingga setelah tibanya Ramadhan, maka ucapan Aisyah di atas tidak memiliki makna apapun. Pendapat yang mewajibkan qadha sebelum tibanya bulan Ramadhan berikutnya telah disepakati oleh para ahli fikih, kecuali riwayat dari Abu Hanifah rahimahullah.

Sama seperti mengqadha puasa diri sendiri, yang boleh dilakukan secara berturut-turut (at-tatabu’) atau secara berselang-seling (at-tafriq), maka kedua hal tersebut sah dilakukan ketika mengqadha puasa si mayit, di mana keluarga si mayit boleh mengqadha puasa si mayit secara berturut-turut atau secara berselang-seling, tanpa ada perbedaan di antara keduanya. Sebab, dalam hal ini tidak ada nash yang membedakan antara mengqadha puasa diri sendiri dengan mengqadha puasa si mayit.

Mengenai mengakhirkan qadha puasa si mayit hingga lebih dari setahun maka hal itu boleh. Ini jelas berbeda dengan mengqadha puasa diri sendiri, di mana mengqadha puasa diri sendiri wajib dilakukan individu tersebut, sedangkan mengqadha puasa si mayit dilakukan oleh keluarganya adalah boleh-boleh saja, bukan jadi satu kewajiban atasnya. Selama hal itu berstatus hukum boleh (jaiz) maka individu tersebut bisa melakukannya secara segera, atau bisa dengan mengakhirkannya hingga waktu yang diinginkannya, bahkan dia boleh tidak melakukannya sama sekali, sehingga kewajiban keluarga mengqadha di sepanjang tahun tersebut bisa ternafikan. (boleh dengan memberi makan)

Lalu, siapa yang dimaksud dengan keluarga (al-wali) tersebut? Kata al-wali termasuk istilah musytarak (kata yang memiliki lebih dari satu makna) dalam bahasa. Bahasa Arab menyebutkan kata tersebut dengan pengertian as-shadiq (teman dekat), disebutkan pula dengan pengertian al-halif (sekutu), kadang bermakna as-shihru (kerabat), al-jar (tetangga), at-taabi' (pengikut), al-muthi’ (yang mentaati), kadangkala bermakna shahibul amri (orang yang memiliki urusan), juga memiliki beberapa makna lainnya. Nash-nash yang ada tidak menentukan makna al-wali yang mana digunakan ketika menyebutkan mengqadha puasa si mayit, sehingga para ahli fikih berbeda pendapat terkait pengertian al-wali tersebut. Ada yang mengatakan al-qarib (teman dekat) secara mutlak, ada juga yang mengatakan al-warits (ahli waris), juga ada yang menyebutkan ashabah. Saya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-wali di sini adalah orang yang hubungannya paling dekat dengan si mayit, seperti anak, bapak, dan saudara laki-laki. Al-wali ini boleh mengqadha puasa si mayit yang luput dilakukannya semasa hidup, dan keduanya mendapat pahala ketika qadha tersebut dilakukan, dan gugurlah dosa dari si mayit dengan pengampunan dari Allah Swt. yang Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Akhirnya saya katakan, bahwa seseorang yang luput dua Ramadhan atau lebih maka dia harus mengqadha seluruh puasa yang luput darinya. Dia tidak cukup dengan mengqadha puasa Ramadhan terakhir saja. Ini karena kewajiban mengqadha puasa Ramadhan itu tidak gugur dengan lewatnya waktu lebih dari setahun. Dengan mengakhirkannya, berarti dia telah berdosa, dan kewajiban mengqadhanya tetap ada di pundaknya untuk ditunaikan, sehingga tetap harus dilakukannya.

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Sumber: Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul Izzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam