d. Menuntut Pembagian Harta
Rampasan Perang
Setelah penaklukkan
Makkah, banyak orang-orang di antara bangsa Arab
yang masuk Islam. Namun, mereka masuk Islam bukan atas dasar dorongan iman yang
bersarang di lubuk hatinya yang paling dalam, tetapi mereka masuk Islam hanya
untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan dunia. Mereka pergi bersama Rasulullah
Saw. menuju medan perang Hunain sebelum mereka mendapatkan bimbingan moral
Islam yang akan mendidik jiwa mereka dan meluruskan tindak tanduknya.
Setelah mereka bersama
Rasulullah Saw. tiba di Ji’irranah, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, bagikan
kepada kami fai’ (harta hasil rampasan
perang) yang berupa unta dan kambing. Mereka terus mengikuti Rasulullah Saw.
hingga beliau tersudut di salah satu pohon, akibatnya pakaian yang beliau pakai
tersangkut di pohon tersebut. Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai manusia, lepaskan
pakaianku. Demi Allah, seandainya kalian berhak atas hewan ternak sebanyak
pohon di Tihamah, pasti aku membagi-bagikannya kepada kalian, sehingga kalian
tidak mendapatiku sebagai orang yang bakhil, pengecut, dan pendusta.”
Kemudian Rasulullah
Saw. berdiri di samping unta, lalu mengambil bulu unta dari punuk unta,
menggenggamnya, dan mengangkatnya seraya bersabda, “Wahai manusia, demi Allah,
aku tidak berhak atas fai’ kalian, dan
tidak pula atas harta sebesar bulu unta ini, kecuali seperlimanya saja, sedang
seperlima itu pun akan dibagi-bagikan kepada kalian. Oleh karena itu,
kembalikan benang dan jarum, karena sesungguhnya ghulul
akan menjadi aib, api, dan noda bagi pelakunya di hari kiamat.” (Ghulul adalah
sesuatu yang dicuri dari harta hasil rampasan perang (ghanimah)
Salah seorang dari
kaum Anshar datang dengan membawa gulungan benang dari rambut, dan berkata,
“Wahai Rasulullah, aku mengambil gulungan benang dari rambut ini, dan aku
menggunakannya sebagai alas pelana untaku yang telah robek.” Rasulullah Saw.
bersabda, “Ini bagianku dari harta hasil rampasan perang. Sekarang, barang ini
aku berikan kepadamu.” Orang dari kaum Anshar itu berkata, “Jika cuma ini, aku
tidak membutuhkannya.” Lalu, ia pun membuang barang tersebut dari tangannya.
e. Memberi Harta Hasil Rampasan
Perang Kepada Para Muallaf
Rasulullah Saw.
memberi harta hasil rampasan perang kepada para muallaf. Mereka itu terdiri
dari para tokoh dan pembesar kaumnya. Dengan pemberian ini, Rasulullah Saw.
berharap mampu menjinakkan hati mereka dan hati kaumnya.
Rasulullah Saw.
memberi Abu Sufyan bin Harb seratus unta, memberi anaknya, Muawiyah seratus
unta, memberi Hakim bin Hizam seratus unta, memberi Harits bin Harits bin
Kaladah seratus unta, memberi Suhail bin Amr seratus unta, memberi Huwaithib
bin Abdul Uzza seratus unta, memberi Ala’ bin Jariyah ats-Tsaqafi seratus unta,
memberi Uyainah bin Hishn seratus unta, memberi Aqra’ bin Habis at-Tamimi
seratus unta, memberi Malik bin Auf an-Nashri seratus unta, dan memberi Shafwan
bin Umayyah seratus unta. Mereka semua adalah orang-orang yang masing-masing
diberi seratus unta.
Sedang kepada
orang-orang di antara kaum Quraisy, Rasulullah Saw. memberinya kurang dari
seratus unta. Di antaranya, Makhramah bin Naufal az-Zuhri, Umair bin Wahb
al-Jumahi, dan Hisyam bin Amr, saudara Bani Amir bin Luay. Rasulullah Saw.
memberi Sa’id bin Yarbu’ al-Makhzumi lima puluh unta, memberi Adi bin Qais
as-Sahmi lima puluh unta, dan memberi Abbas bin Mirdas beberapa unta, namun ia
tidak terima dengan pemberian tersebut, lalu mencela Rasulullah Saw. karena
pemberian tersebut. Abbas Mirdas berkata:
“Semuanya adalah harta
rampasan perang yang tidak dijaga
Aka mendapatkannya di
tanah datar dengan mengendarai kuda
Aku membangunkan
orang-orang yang sedang tidur nyenyak
Mereka telah merasakan
nyenyaknya tidur, sedang aku tidak
Mengapa bagianku dan
al-‘Ubaid dengan Uyainah dan Aqra’ dibedakan (Al-Ubaid adalah nama kuda Abbas
bin Mirdas)
Padahal, dalam perang
ini, peranku besar tentang pertahanan
Namun, mengapa hanya
unta kecil berkaki empat yang aku dapatkan
Kedudukan Hishn dan
Habis tidak mengungguli ayahku di masyarakat
Maka kedudukan Uyainah
dan Aqra’ dibandingkan aku tidaklah lebih kuat
Siapa saja yang hari
ini engkau rendahkan, maka ia tidak lagi bisa diangkat”
Rasulullah Saw.
bersabda, “Pergilah kalian kepada Abbas bin Mirdas, lalu potonglah mulutnya
dari mengatakan sesuatu yang buruk tentang aku.” Kemudian, mereka memberi Abbas
bin Mirdas tambahan, sehingga dengan diberi tambahan ini Abbas bin Mirdas
merasa puas. Demikian itulah, cara memotong mulut Abbas bin Mirdas yang
diperintahkan Rasulullah Saw.
f. Keberatan Kaum Anshar Atas
Pembagian Harta Hasil Rampasan Perang
Ketika Rasulullah Saw.
membagi-bagi harta hasil rampasan perang kepada kaum Quraisy dan bangsa Arab
lainnya. Sedang kepada kaum Anshar, beliau tidak memberikan sedikitpun dari
harta hasil rampasan perang itu. Melihat hal itu, kaum Anshar tidak rela, sehingga
terjadi kegaduhan di tengah-tengah mereka. Salah seorang di antara kaum Anshar
berkata, “Demi Allah, Rasulullah Saw. telah bertemu dengan kaumnya.”
Lalu, Sa'ad bin Ubadah
menemui Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dalam diri
kaum Anshar yang bersemangat ini ada ketidakpuasan terhadap dirimu ketika
membagi fai’ yang engkau dapatkan.
Engkau membagi-bagikannya kepada kaummu, bahkan memberinya dengan jumlah besar
kepada kabilah-kabilah bangsa Arab lainnya, sedang kepada kaum Anshar yang
bersemangat ini, engkau sedikitpun tidak memberikannya kepada mereka.” Rasulullah
Saw. bersabda, “Wahai Sa'ad, di mana posisimu dalam hal ini?” Sa’ad berkata,
“Wahai Rasulullah, aku punya posisi, kecuali aku bagian dari kaumku.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Kumpulkan kaummu di tempat peristirahatan unta.”
Lalu, Sa’ad pergi, selanjutnya ia mengumpulkan kaum Anshar di tempat
peristirahatan unta tersebut.
Beberapa dari kaum
Muhajirin datang, sedang Sa’ad membiarkan mereka masuk ke tempat tersebut.
Namun, ketika beberapa dari kaum Muhajirin datang lagi ke tempat tersebut, kali
ini Sa’ad tidak mengizinkan mereka masuk.
Setelah kaum Anshar
telah berkumpul, Sa’ad mendatangi Rasulullah Saw. dan berkata, “Kaum Anshar
yang bersemangat itu telah berkumpul untuk bertemu denganmu.” Rasulullah Saw.
mendatangi mereka, kemudian beliau memuji Allah, menyanjung-Nya, dengan
sanjungan yang layak untuk Dia terima, lalu beliau bersabda, “Wahai kaum
Anshar, apa maksud ucapan kalian yang telah sampai kepadaku? Apa maksud
kemarahan kalian kepadaku? Bukankah aku yang datang kepada kalian ketika kalian
sedang tersesat, kemudian Allah memberi petunjuk kepada kalian; ketika kalian
sedang miskin, lalu Allah menjadikan kalian kaya, dan ketika kalian sedang
bermusuhan, lalu Allah menyatukan hati kalian?” Kaum Anshar menjawab, “Itu
betul, Allah dan Rasul-Nya yang lebih banyak karunia dan keutamaaannya.”
Rasulullah Saw.
bersabda, “Wahai kaum Anshar, kenapa kalian tidak menjawab pertanyaanku?” Kaum
Anshar menjawab, “Wahai Rasulullah, kami harus menjawab dengan apa? Sedang
karunia dan keutamaan itu hanya milik Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah Saw.
bersabda, “Demi Allah, jika kalian mau, maka kalian pasti berbicara, kalian
berkata benar, dan dibenarkan. Kalian akan mengatakan: Engkau datang kepada
kami dalam keadaan didustakan, kemudian kami membenarkanmu; engkau terlantar,
kemudian kami menolongmu; engkau terusir kemudian kami melindungimu; dan engkau
miskin, kemudian kami membantumu. Wahai kaum Anshar, apakah kalian
mempersoalkan secuil dunia yang dengannya aku ingin menjinakkan salah satu kaum
agar mereka masuk Islam, sedang aku menyerahkan kalian kepada keIslaman kalian?
Wahai kaum Anshar, tidakkah kalian merasa senang sekiranya orang-orang pulang
membawa kambing-kambing dan unta-unta, sedang kalian membawa Rasulullah ke
tempat kalian? Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalaulah
tidak karena peristiwa hijrah niscaya aku tidak menjadi salah seorang dari kaum
Anshar. Kalau orang-orang melewati salah satu jalan dan kaum Anshar melewati
jalan lain, niscaya aku pasti berjalan di jalan yang dilalui kaum Anshar. Ya
Allah, sayangilah kaum Anshar, anak-anak kaum Anshar, dan cucu-cucu kaum
Anshar.” Mendengar itu, kaum Anshar pun menangis hingga jenggot mereka basah
dengan air mata. Mereka berkata, “Kami rela dengan Rasulullah sebagai bagian
kami.” Setelah itu Rasulullah Saw. pergi, dan kaum Anshar pun bubar.
Sumber: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis
Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar