Sesungguhnya
aktivitas dakwah yang pertama pada masa Nabi Saw. bersifat komprehensif. Ketika
itu, Rasulullah Saw. sebagai kepala negara mengatur dan memonitor aktivitas
dakwah dalam segala bidang. Di bidang pendidikan, beliau berperan sebagai murabbi (pendidik); di bidang pengajaran,
beliau berperan sebagai mu‘allim (pengajar); di medan jihad, beliau
beperan sebagai panglima perang; dan di bidang strategi, beliau adalah seorang
pionir.
“Apakah
kalian mengimani sebagian (isi) al-Kitab dan mengingkari sebahagian yang
lainmya? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian
melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada Hari Kiamat kelak mereka
dikembalikan pada siksaan yang sangat berat.” (TQS. al-Baqarah [2]: 85)
Penentuan
amal perbuatan berasal dari Allah. Kaidah syariat yang berbunyi:
“Asal
setiap perbuatan adalah terikat dengan hukum syariat.”
Seandainya
perbuatan itu sesuai dengan perintah dan larangan Allah maka perbuatan itu hasan (terpuji)
dan apabila tidak maka perbuatan itu qabih
(tercela). Kaidah syara’ menyebutkan:
“Hasan itu adalah apa-apa yang dikatakan oleh
syara’ hasan dan qabih itu adalah apa-apa yang dikatakan syara’ qabih”
Sesungguhnya
Islam itu sempurna, dan Islam secara keseluruhan dilaksanakan oleh seluruh kaum
Muslim atau dengan kata lain oleh umat Islam.
Di
dalam umat Islam terdapat individu-individu, jamaah-jamaah dan Khalifah. Dan
untuk masing-masing kelompok di atas telah dibebankan hukum-hukum syara’ yang
spesifik.
Seorang
individu muslim melaksanakan apa yang dituntut oleh syara’ sebagai individu.
Jamaah pun melaksanakan apa yang dituntut syara’ terhadapnya, Begitu pula
dengan Khalifah, melaksanakan apa yang dibebankan syara’ terhadapnya.
Apabila
kaum Muslim sebagai individu melaksanakan apa yang dituntut oleh syara’
terhadap mereka, demikian juga jamaah dan Khalifah, maka akan terealisasilah
seluruh amal dan kesempurnaannya. Begitu pula kelalaian apapun atau hanya
membatasi dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban tertentu saja tanpa
melaksanakan yang lainnya akan menjadikan orang yang lalai itu keluar dari
keumuman apa yang harus dilaksanakan olehnya, dan akan menjerumuskannya pada
dosa.
Islam
yang sempurna tidak akan lengkap eksistensinya tanpa adanya Khalifah.
Keterikatan banyaknya hukum-hukum Islam dengan keberadaan Khalifah menjadikan
kehadirannya wajib menurut syara’, dan menjadikan usaha untuk mengadakannya
juga wajib menurut syara’.
Implikasi
dari semua itu mewajibkan adanya partai ideologi Islam yang beraktivitas untuk
mengadakannya, dan menegakkan seluruh perkara yang dituntut syara’ untuk
menegakkan agama melalui berdirinya Daulah Islamiyah.
Inilah
keseluruhan yang diminta. Inilah yang dinamakan dengan melanjutkan kehidupan
Islam. Secara keseluruhan, itulah yang dituntut oleh syara’ dari jamaah. Jamaah
dilarang oleh syara’ untuk melaksanakan hukum-hukum yang tidak menjadi
kewenangannya, seperti menerapkan hudud. Jamaah tidak boleh mengambil alih
tugas Khalifah. Yang harus dilakukan oleh jamaah adalah mewujudkan Khalifah
agar dia melaksanakan tugas yang dituntut atasnya.
“Dan
amir itu adalah pemimpin yang mengurusi urusan umat, dan dia bertanggung jawab
dengan segala urusannya.” (HR. Muslim)
Dari
sini kita mengalihkan perhatian pada topik bahwa seseorang yang beriman kepada
Islam secara sempurna dan berdakwah kepada Islam secara keseluruhan, dia pasti
akan mengadopsi secara terperinci hal-hal yang dituntut syara’ darinya dan
mengadopsi pula hal-hal yang dituntut syara’ dari partai ideologi Islam, tempat
dia beraktivitas di dalamnya.
Kelalaian
terhadap perkara apapun yang dituntut darinya akan dipertanggung jawabkan di
hadapan Allah Swt. Demikian juga halnya dengan seorang Khalifah. Dia harus
melaksanakan apa yang dituntut oleh syara’ sebagai pribadi. Dia wajib
mengerjakan shalat, shaum, berhaji, membayar zakat, berbakti kepada kedua orang
tuanya. Diapun dilarang untuk berzina, melakukan aktivitas riba, berdusta dan
menipu. Di samping itu dia juga harus melaksanakan tugas-tugasnya sebagai
seorang Khalifah, seperti menyusun Undang-undang, mengumumkan jihad, melindungi
persatuan kaum Muslim, memerintah (negara dan masyarakat) dengan apa yang
diturunkan Allah, menerapkan hudud. Sebaliknya, kelalaian apapun dalam
tugas-tugas yang diberikan kepadanya akan ditanyakan oleh Allah kelak.
Inilah
realitas yang ditampilkan oleh hukum-hukum syara’. Dan hal ini harus dipahami
dengan baik oleh partai ideologi Islam, agar partai ideologi Islam mampu untuk
memilah-milah mana perkara yang harus dilaksanakan olehnya, dan mana perkara
yang tidak dituntut atasnya. Jika sebuah partai ideologi Islam mampu menentukan
fakta tentang dirinya maka partai ideologi Islam tersebut dapat menetapkan
kapasitas yang dituntut atasnya.
Aktivitas
partai ideologi Islam harus bersifat politis, serta berdiri berdasarkan asas
[ideologi] yang ingin diterapkan atas umat Islam. Akidah Islam memperoleh
perhatian utama dalam dakwah, karena akidah Islam adalah asas setiap perkara
cabang dan berkaitan dengan seluruh hukum-hukum syara’. Konsentrasi yang amat
besar pada aktivitas pendirian Daulah Khilafah Islamiyah adalah karena
keterikatan banyaknya hukum dengan negara, dan dari sinilah penamaan bahwa
mendirikan Daulah Islamiyah sebagai tâj
al-furûdh (mahkota dari berbagai perkara fardhu).
Dengan
demikian apabila partai ideologi Islam berusaha untuk mencapai takâmul dan tawâzun
yang berbeda dengan apa yang telah dijelaskan, maka partai ideologi
Islam tersebut telah membebani dirinya dengan apa yang tidak diwajibkan Allah
atasnya. Dan jamaah tersebut akan terus mengeluhkan kekurangan dan
ketidakseimbangan. Ujung-ujungnya jamaah tesebut akan berubah menjadi jamaah
yang penuh dengan keluhan dan berurai air mata, tersesat dari jalan yang
seharusnya karena dia telah kehilangan petunjuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar