Puasa Sehari, Setelah Berbuka
Sehari
Sesungguhnya puasa
sunat yang paling utama adalah puasa sehari dan berbuka sehari, dan inilah yang
dilakukan oleh Nabi Dawud ‘alaihis salam.
Tidak ada puasa yang lebih utama darinya selain puasa fardhu. Seorang Muslim
tidak boleh melakukan lebih dari puasa tersebut, dengan alasan dan kondisi
apapun juga. Banyak nash yang menyebutkan dan menjelaskan keutamaan puasa
tersebut, dan melarang puasa yang melebihinya. Saya sebutkan sejumlah nash,
sebagai berikut:
1. Dari Abdullah bin Amr ra., ia berkata:
Rasulullah Saw. berkata kepadaku:
“Rasulullah Saw.
berkata kepadaku: Puasa yang paling disukai Allah Swt. adalah puasa Dawud. Dia
biasa berpuasa sehari dan berbuka sehari. Dan shalat yang paling disukai Allah
Swt. adalah shalat Dawud, dia biasa tidur setengah malam, kemudian shalat malam
sepertiganya, lalu tidur seperenamnya.” (HR. Bukhari [3420], Muslim, Abu Dawud,
an-Nasai, Ahmad, ad-Darimi dan Ibnu Majah)
2. Dari Abdullah bin Amr ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
diberitahu bahwa aku berucap: Demi Allah, aku akan terus berpuasa setiap hari,
dan akan terus bangun untuk shalat pada setiap malam selama aku hidup. Maka aku
berkata kepadanya: Sungguh aku telah mengucapkan sumpah itu. Beliau Saw. berkata:
“Sesungguhnya engkau tidak akan mampu melakukan hal itu, berpuasalah lalu
berbukalah, bangun malamlah lalu tidurlah, dan berpuasalah tiga hari dari satu
bulan, karena sesungguhnya kebaikan itu dilipatgandakan sepuluh kali, dan itu
(jika dilakukan) akan menyamai puasa sepanjang tahun.” Aku berkata:
Sesungguhnya aku mampu (melakukan) lebih dari itu. Beliau Saw. berkata:
“Berpuasalah sehari dan berbukalah dua hari.” Aku berkata: Sesungguhnya aku
mampu (melakukan) lebih dari itu. Beliau Saw. berkata: “Berpuasalah sehari dan
berbukalah sehari, dan itulah puasa Dawud ‘alaihis
salam dan menjadi puasa paling utama.” Aku berkata: Sesungguhnya aku
mampu (melakukan) lebih dari itu. Maka Nabi Saw. bersabda: “Tidak ada puasa
yang lebih utama dari itu.” (HR. Bukhari [1976], Muslim, Abu Dawud, an-Nasai
dan Ahmad)
Dalam riwayat kedua
Bukhari [1980], Muslim dan an-Nasai dari jalur yang sama, disebutkan dengan
redaksi:
“Tidak ada puasa di
atas puasa Dawud ‘alaihis salam selama
setengah tahun, puasalah sehari dan berbukalah sehari.”
Dalam riwayat Ahmad
[6867] dari jalur yang sama disebutkan dengan redaksi:
“Beliau Saw. berkata:
“Lakukanlah puasa Dawud alaihis salam,
dan janganlah menambahinya.” Aku berkata: Wahai Rasulullah, bagaimanakah puasa
Dawud itu? Beliau Saw. berkata: “Dia biasa berpuasa sehari dan berbuka sehari.”
3. Dari Abdullah bin Amr ra., ia berkata:
“Ayahku menikahkanku
dengan seorang perempuan yang memiliki kedudukan tinggi, dan dia membuat
perjanjian dengan menantu perempuannya itu. Lalu dia bertanya tentang suaminya,
maka sang mantu berkata: Lelaki yang paling baik adalah lelaki yang belum
pernah menginjak alas tidur milik kami, dan tidak pernah memeriksa tirai milik
kami sejak kami mendatanginya. Setelah peristiwa itu lewat dalam waktu lama,
dia menceritakannya kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. berkata: “Pertemukanlah aku
dengannya.” Kemudian aku menemui beliau Saw. Beliau Saw. bertanya: “Bagaimana
engkau berpuasa?” Dia berkata: Setiap hari. Beliau Saw. bertanya: “Bagaimana
engkau mengkhatamkan (bacaan al-Qur'an)?” Dia berkata: Setiap malam. Beliau
Saw. berkata: “Berpuasalah tiga hari dalam setiap bulan, dan tamatkanlah
al-Qur’an dalam setiap bulan.” Dia berkata: aku berkata: Aku mampu melakukan
lebih dari itu. Nabi Saw. berkata: “Berpuasalah tiga hari dalam satu jumat
(setiap minggu, pen.).” Dia berkata: Aku
mampu melakukan lebih dari itu. Beliau Saw. berkata: “Berbukalah dua hari dan
berpuasalah sehari.” Dia berkata: aku berkata: Aku mampu melakukan lebih dari
itu. Beliau Saw. berkata: “Lakukanlah puasa yang paling utama, puasa Dawud alaihis salam, yakni puasa satu hari dan
berbuka satu hari, dan tamatkanlah bacaan al-Qur'an pada setiap 7 malam
sebanyak 1 kali.” Seandainya dahulu aku menerima rukhshah
Rasulullah Saw. itu, (sementara) sekarang aku telah tua dan telah lemah...”
(HR. Bukhari [5052], an-Nasai, at-Thahawi, dan Ibnu Hiban)
Dalam riwayat Ahmad
[6477] disebutkan dengan lafadz:
“Ketika wanita itu
masuk menemuiku, aku sudah tidak berhajat kepadanya, karena kekuatanku tercurah
untuk ibadah puasa dan shalat.”
Kalimat:
“Dan tidak pernah
memeriksa tirai milik kami.”
Al-Kanfu artinya:
tirai. Ucapan ini dilontarkan sebagai kiasan bahwa sang suami tidak pernah menjima’ isterinya, sebagaimana ditafsirkan oleh
riwayat Ahmad selanjutnya:
“Aku sudah tidak
berhajat kepadanya.”
Adapun ucapan:
“Seandainya aku
menerima rukhshah Rasulullah Saw. itu.”
Ini berarti bahwa
Abdullah ketika telah tua dan lemah, menemui kesulitan dan kepayahan yang amat
sangat dalam berpuasa satu hari dan berbuka satu hari, sehingga dia berkhayal
seandainya dulu dia menerima tawaran Rasulullah Saw. yang lebih ringan daripada
yang dijalaninya sekarang. Hal itu ditafsirkan oleh sebuah riwayat Muslim
[2729] dari jalur yang sama, dengan redaksi:
“Berpuasalah sehari
dan berbukalah sehari, dan itulah puasa Dawud alaihis
salam, dan inilah puasa yang paling setimbang. Dia berkata: aku berkata:
Sesungguhnya aku mampu berpuasa lebih dari itu. Rasulullah Saw. berkata: “Tidak
ada puasa yang lebih utama dari itu.” Abdullah bin Amr berkata: Sungguh aku
menerima tawaran tiga hari yang dulu pernah disodorkan oleh Rasulullah Saw. itu
lebih aku sukai melebihi kecintaanku pada keluargaku dan hartaku.”
Walaupun nash-nash di
atas jelas menyebutkan puasa Dawud sebagai puasa yang paling utama, sebagai
puasa yang paling dicintai Allah Swt., di mana tidak ada puasa yang lebih utama
darinya, dan tidak ada sesuatu yang melebihinya, disertai dengan perintah Nabi
Saw. untuk tidak menambahnya, tetapi Abu Hamid al-Ghazali dan selainnya
berpendapat bahwa puasa ad-dahru (yakni
puasa setiap hari sepanjang tahun), itu lebih utama daripada puasa Dawud.
Menurutnya, semakin
banyak amalnya maka semakin banyak pula pahalanya. Pendapat seperti ini jelas
gugur. Kalau seperti itu kaidahnya, niscaya kita akan mengatakan bahwa berthawaf di sekitar Ka’bah pada saat haji
sebanyak sepuluh kali atau dua puluh kali, itu lebih utama daripada thawaf tujuh kali. Dan akan kita katakan pula
bahwa mabit di Mina lebih dari tiga hari itu lebih utama, sa’i (berlari kecil)
antara Shafa dan Marwah sebanyak dua puluh kali itu lebih utama. Begitu
seterusnya, sampai kita membuka pintu-pintu setan mencelakakan
diri kita dengan kaidah yang salah seperti itu, yang akhirnya menenggelamkan
diri kita ke dalam sikap berlebihan, dan menjauhkan kita dari petunjuk Nabi
Saw. Bahkan menjauhkan kita sama sekali dari syariat yang ditetapkan Allah Swt.
Di sisi lain, Ibnu
Hazm berkata: jika Rasulullah Saw. mengabarkan bahwa tidak ada sesuatu yang
lebih utama dari itu, maka benarlah bahwa orang yang berpuasa lebih dari itu
akan kehilangan keutamaannya, dan jika telah hilang keutamaannya maka tanpa
ragu lagi batallah tambahan itu, sehingga menjadi amal perbuatan yang sia-sia,
tak berpahala, bahkan akan mengurangi pahala, sehingga benarlah bahwa hal itu
tidak dibolehkan sama sekali.
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar