Hukum Memberontak Terhadap Penguasa
Bolehkah Suatu Gerakan
Memberontak?
Menurut keterangan banyak hadits yang di antaranya tertera
dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim menyatakan bahwa apabila muncul "Alkufru al Bawah" (kekufuran yang mulai nampak
secara nyata oleh penguasa), maka kaum Muslimin diwajibkan mengangkat senjata
dalam rangka menentang penguasa. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah "Alkufru
al Bawah" dalam hadits-hadits tersebut? Kemudian, bagaimana cara
menentang/memerangi penguasa yang demikian? Apakah aksi tersebut harus
dilakukan oleh seluruh kaum muslimin atau terbatas hanya kepada gerakan Islam
tertentu saja? Apakah ada batas-batas yang dirinci oleh Islam dalam maslah ini?
Dengan kata lain, apakah sikap pemberontakan tersebut harus dilakukan pada setiap
masa atau pada situasi dan kondisi tertentu saja?
Agar lebih jelas, khususnya bagi para pembaca, terlebih
dahulu akan kami kutipkan nash-nash yang berkaitan dengan pertanyaan di atas:
1. Sebuah riwayat yang berasal dari Auf bin Malik Al Asyja'i, ia berkata: "Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, artinya:
"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai, dan mereka pun mencintai kalian. Kalian mendo'akan mereka, dan mereka pun mendo'akan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian". Lalu Auf melanjutkan: "Kami (para Shahabat) bertanya: 'Wahai Rasulullah, bolekah kami memerangi mereka?' Beliau menjawab: 'Jangan, selama mereka masih menegakkan Shalat (hukum Islam). Siapa saja yang dipimpin oleh seorang pemimpin dan kalian melihatnya melakukan (sebagian) perbuatan maksiyat, hendaklah ia membenci apa yang dilakukannya dan janganlah ia berlepas diri dari ketaatannya'" (HR Ahmad dan Muslim)
1. Sebuah riwayat yang berasal dari Auf bin Malik Al Asyja'i, ia berkata: "Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, artinya:
"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai, dan mereka pun mencintai kalian. Kalian mendo'akan mereka, dan mereka pun mendo'akan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian". Lalu Auf melanjutkan: "Kami (para Shahabat) bertanya: 'Wahai Rasulullah, bolekah kami memerangi mereka?' Beliau menjawab: 'Jangan, selama mereka masih menegakkan Shalat (hukum Islam). Siapa saja yang dipimpin oleh seorang pemimpin dan kalian melihatnya melakukan (sebagian) perbuatan maksiyat, hendaklah ia membenci apa yang dilakukannya dan janganlah ia berlepas diri dari ketaatannya'" (HR Ahmad dan Muslim)
2. Sebuah riwayat dari 'Ubadah bin Ash Shamit, ia
berkata:
"Kami membai'at Rasulullah Saw. untuk mendengar dan mentaatinya dalam keadaan suka (rela) maupun terpaksa, dalam keadaan sempit maupun lapang, serta dalam hal tidak mendahulukan urusan kami (lebih dari urusan agama), juga agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin kecuali (sabda Rasulullah:) 'Kalau kalian melihat kekufuran yang mulai nampak secara terang-terangan, yang dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah (Al wahyu)'" (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, An Nasa'i dan Ibnu Majah)
"Kami membai'at Rasulullah Saw. untuk mendengar dan mentaatinya dalam keadaan suka (rela) maupun terpaksa, dalam keadaan sempit maupun lapang, serta dalam hal tidak mendahulukan urusan kami (lebih dari urusan agama), juga agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin kecuali (sabda Rasulullah:) 'Kalau kalian melihat kekufuran yang mulai nampak secara terang-terangan, yang dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah (Al wahyu)'" (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, An Nasa'i dan Ibnu Majah)
Menurut Imam Al Khathabi arti bawaahan dalam hadits di
atas adalah nampak secara nyata atau terang-terangan. Begitu pula dengan
riwayat lain yang menggunakan huruf ra' -baraahan, yang juga mempunyai
makna yang sama. [Lihat Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, jilid VII,
hal.197] Imam Thabrani meriwayatkannya dengan lafadz "kufran
sarrahan" artinya kekufuran yang sangat jelas. Riwayat yang lain
menyebutkan dengan lafadz "illa an takuna makshiyatullahi
bawaahan" artinya kecuali apabila maksiyat kepada Allah nampak secara
terang-terangan. Sedangkan Imam Ahmad meriwayatkannya dengan lafadz "maa
lam yakmurka bi itsmin bawaahan" artinya kecuali jikalau penguasa
tidak memerintahkan mengerjakan maksiat secara terbuka.
Para fuqaha telah berselisih dalam menafsirkan kata "kufr" di sini, yaitu apakah yang dimaksud adalah "kufrul hakim" yakni murtadnya seorang penguasa (Imam/Khalifah yang sah menurut hukum Allah Swt.) ataukah karena dia telah mengadopsi/memasukkan peraturan kufur ke dalam pemerintahan Islam ditambah melakukan kemaksiatan di tempat-tempat umum secara terang-terangan.
Namun, tidak ada perbedaan di kalangan 'Ulama bahwa kekuasaan
sama sekali tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Juga, tidak ada
perselisihan jika seorang penguasa (yang sah menurut hukum Islam) murtad maka
hak atas kekuasaannya hilang seketika itu juga, sehingga tidak boleh ditaati
dan tidak boleh dilaksanakan perintah-perintahnya. Bahkan, ia wajib segera
diberhentikan meskipun harus dengan menggunakan kekuatan senjata.
Dalam hal ini Imam Ibnu Hajar berkata [Lihat Al Fathul
Baari, Imam Ibnu Hajar Al Asyqalani,
jilid XIII, hal 8; dan jilid VIII, hal 198-199]: "Para fuqaha
telah sepakat bahwa penguasa yang mengambil alih kekuasaan (memaksa semua pihak
berbai’at padanya) wajib ditaati dan berjihad bersamanya. Mentaatinya lebih
baik daripada memberontak, demi untuk mencegah pertumpahan darah dan
menghentikan fitnah. Tidak ada kekecualian dalam hal ini, melainkan apabila ia
melakukan kekufuran secara terang-terangan. Pada saat itulah ia tidak boleh
ditaati, dan bahkan wajib diperangi jika ada kemampuan pada orang-orang
tertentu dari kalangan kaum muslimin".
Pengertian dan permufakatan para ulama telah ditunjukkan oleh
banyak nash dalam sunnah Rasul. Adapun yang dimaksud dengan kalimat "al
kufru al bawah", kekufuran yang nyata, yang tercantum dalam hadits
'Ubadah ibnu Ashamit adalah berupa kemaksiatan, seperti yang dapat ditafsirkan
dari riwayat-riwayat yang lain; seperti: "illaa an takuuna
makshiyatullahi bawaahan" atau "maa lam yakmurka biitsmin bawaahan". Maka
dalam hal ini Imam Nawawi dalam syarah Shahih Muslim jilid XII, hal.229
mengatakan: ["Yang dimaksud dengan al kufru di sini adalah
kemaksiatan. Sedangkan arti 'indakum minallaahi fiihi burhaan adalah:
kalian mengetahui kekufurannya itu berdasarkan petunjuk dari Allah SWT.
Sedangkan makna hadits itu adalah: 'Janganlah kalian berusaha merebut
kekuasaan dari penguasa. Dan janganlah kalian memerangi mereka, kecuali kalian
melihat kemungkaran yang nyata, yang kalian mengetahuinya karena merupakan
bagian dari dasar-dasar Islam']
Tidak diragukan lagi bahwa apabila penguasa yang sah menurut hukum Islam (Imam/Khalifah) sudah tidak menerapkan hukum-hukum dan aturan-aturan Islam, lalu mengambil perundang-undangan atau sistem selain Islam (misalnya dari Barat), maka tindakan itu adalah bentuk kekufuran yang nyata; meskipun penguasa tersebut melaksanakan shalat, shaum, haji serta mengaku bahwa dirinya adalah seorang muslim.
Tidak diragukan lagi bahwa apabila penguasa yang sah menurut hukum Islam (Imam/Khalifah) sudah tidak menerapkan hukum-hukum dan aturan-aturan Islam, lalu mengambil perundang-undangan atau sistem selain Islam (misalnya dari Barat), maka tindakan itu adalah bentuk kekufuran yang nyata; meskipun penguasa tersebut melaksanakan shalat, shaum, haji serta mengaku bahwa dirinya adalah seorang muslim.
Sebab Allah SWT berfirman, artinya:
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak bertahkim (merujuk) kepada thagut (selain hukum Islam), padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkarinya". (An Nisaâ: 60)
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak bertahkim (merujuk) kepada thagut (selain hukum Islam), padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkarinya". (An Nisaâ: 60)
Membolehkan Riba, minuman keras, membudayakan busana yang
menampakkan aurat wanita, membiarkan terjadinya pemurtadan di kalangan kaum
muslimin, dan tidak melaksanakan hukum-hukum pidana Islam, memproklamasikan
kebudayaan Barat, serta menjauhkan kebudayaan Islam; maka semua tindakan itu
dapat dikategorikan ke dalam teks hadits di atas, yaitu kekufuran yang ditonjolkan
secara terang-terangan. Sebab semua hal di atas termasuk "ma'luumun
minad diini bizh Zharurah", yaitu hal-hal yang sudah diketahui
kepentingannya di dalam Islam secara pasti.
Akan halnya kalimat "maa aqaamu fiikum ash
Shalat", maka yang dimaksud bukan hanya melaksanakan shalat saja,
melainkan menerapkan hukum-hukum Islam. Sebab, kata "shalat"
di sini merupakan kinayah (suatu lafadz bersifat induktif) yang menunjukkan
Islam secara keseluruhan. Sebagai perbandingan, dapat disimak arti shalat dalam
hadits yang berbunyi:
"Shalat itu adalah tiang agama Islam, siapa saja yang melaksanakannya, berarti telah menegakkan Islam. Dan siapa saja yang meninggalkannya, berarti telah merobohkan agama Islam." [Lihat Al Kasyful Khafa, Isma'il Al Ajlumi, jilid II, hal.31-32. Hadits ini telah dipakai oleh para fuqaha, walaupun para ulama hadits sendiri mendo'ifkannya. Namun dalam hal ini menurut kaidah syara' hadits yang bersifat demikian dapat dianggap sebagai hadits yang tingkatannya hasan]
Kedua hadits yang kami kutip dalam pembukaan jawaban ini menunjukkan bahwa apabila terdapat seorang penguasa (Khalifah) yang mengubah keadaan negerinya dari Daarul Islam menjadi Daarul Kufr, maka wajib atas kaum muslimin mencegahnya dan mengembalikannya ke jalan yang benar. Jika tetap "mbandel" dan keras kepala bahkan terus melanjutkan usaha perubahan itu, maka wajib atas rakyat untuk memeranginya sengan senjata (termasuk mengambil alih kekuasaan dari pihak Khalifah dengan jalan kudeta). Demikian juga maksud sabda Rasulullah Saw. di bawah ini:
"Shalat itu adalah tiang agama Islam, siapa saja yang melaksanakannya, berarti telah menegakkan Islam. Dan siapa saja yang meninggalkannya, berarti telah merobohkan agama Islam." [Lihat Al Kasyful Khafa, Isma'il Al Ajlumi, jilid II, hal.31-32. Hadits ini telah dipakai oleh para fuqaha, walaupun para ulama hadits sendiri mendo'ifkannya. Namun dalam hal ini menurut kaidah syara' hadits yang bersifat demikian dapat dianggap sebagai hadits yang tingkatannya hasan]
Kedua hadits yang kami kutip dalam pembukaan jawaban ini menunjukkan bahwa apabila terdapat seorang penguasa (Khalifah) yang mengubah keadaan negerinya dari Daarul Islam menjadi Daarul Kufr, maka wajib atas kaum muslimin mencegahnya dan mengembalikannya ke jalan yang benar. Jika tetap "mbandel" dan keras kepala bahkan terus melanjutkan usaha perubahan itu, maka wajib atas rakyat untuk memeranginya sengan senjata (termasuk mengambil alih kekuasaan dari pihak Khalifah dengan jalan kudeta). Demikian juga maksud sabda Rasulullah Saw. di bawah ini:
"Ketahuilah, demi Allah, hendaklah kalian melakukan amar
ma'ruf nahi mungkar. mencegah penguasa (Khilafah) melakukan kezhaliman, memaksa
mereka agar mengikuti kebenaran (Syara'), dan membatasinya dengan melaksanakan
hanya yang benar saja (Islam)" (HR Abu
Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah). [Lihat Sunan Abu Dawud, hadits no.4336;
Sunan At Tirmidzi, hadits no.3050; dan Sunan Ibnu Majah, hadits
no.4006]
Adapun bagaimana cara merebut kekuasaan, maka hal ini memerlukan
pengkajian yang mendalam. Para ulama sepakat, apabila Khalifah telah menjadi
fasik maka wajib mengembalikannya ke jalan yang lurus atau memberhentikannya,
lalu menggantikannya dengan orang lain, baik melalui pemilihan umum atau dengan
merampas kekuasaanya melalui kekerasan. Ini dari satu segi. Akan tetapi
prakteknya tentu saja tidak semudah itu! Apabila seorang Imam telah menjadi
fasik, sedangkan ia masih memegang kekuasaan, tentulah sulit untuk
menyadarkannya kembali, atau memberhentikannya. Untuk melakukan usaha itu
sering kali meminta korban pertumpahan darah dan menimbulkan berbagai fitnah
(malapetaka). Oleh karena itu untuk mencegah agar akibat seperti ini tidak
terjadi, sebagian besar fuqaha lebih memilih sikap membiarkan penguasa yang
fasik dan bahwasanya mereka tidak perlu dilawan. Hal ini didasarkan pada kaidah
"ahwaanu azy Syaraini" [Lihat Al Madkhalul Fiqhi Al 'Aam,
Musthafa Ahmad Az Zarqa, jilid II, hal.984], yakni memilih sikap yang paling
ringan akibatnya diantara dua pilihan yang sama-sama buruk.
Dalam sistem pemerintahan Islam terdapat badan yang dinamakan
"Mahkamatul Mazhalim" yang bertindak sebagai pengadilan
tertinggi. Keberadaan badan ini merupakan "katup pengaman" dalam
kondisi seperti ini. Pembentukan badan tersebut telah diperintahkan atas kaum
muslimin yang ditunjukkan dalam firman Allah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan
RasulNya serta ulil amri (Khalifah dan jajarannya) di antara kamu, kemudian
jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada
Allah dan Rasul" (An Nisaa: 59)
Apabila muncul perselisihan, harus dikembalikan kepada Al
Qurâan dan Sunnah. Termasuk perselisihan antara penguasa dan rakyat. Dengan
kata lain harus ada lembaga peradilan yang dipilih dari kalangan hakim ahli
fiqh, mujtahid dan orang-orang yang bertakwa. Keputusan Mahkamah ini berlaku
atas Khalifah, para Mu'awinnya (pembantu Khalifah), para Wali Amil (kepala
daerah), pejabat-pejabat pemerintah, dan seluruh rakyat.
Barangkali ada yang mempertanyakan, bahwa Mahkamah semacam
ini bisa saja diperalat oleh para penguasa. Menjawab kekahawatiran ini, kami
tegaskan bahwa apabila ummat Islam sudah tidak peduli lagi dengan agamanya,
tidak peduli lagi dengan penguasa dan peraturan yang mereka terapkan; juga
apabila ummat Islam tidak lagi menyadari kedudukannya sebagai pemilik kekuasaan
dan bahwa mereka bertanggung jawab terhadap sikap penguasa di dunia dan
akhirat; maka pada saat seperti itulah kekhawatiran mereka bahwa mahkamah
mazhalim tersebut dapat diperalat oleh penguasa akan benar-benar terjadi.
Bahkan lebih dari itu ummat secara keseluruhan dapat dijadikan obyek permainan.
Mengapa rakyat Amerika memiliki wibawa terhadap terhadap
penguasanya sehingga lembaga pengadilan di sana mampu memberhentikan Richard
Nixon (dalam kasus Watergate) serta memberi peringatan keras terhadap Ronald
Reagan (dalam skandal Iran Contra); sementara ummat Islam tidak memiliki wibawa
dan kharisma yang tidak menonjol terhadap penguasa? Mengapa bangsa-bangsa Barat
begitu teguhnya mempertahankan sistem kufur yang mereka terapkan, sedangkan
ummat Islam tidak mau memperjuangkan sistem yang berasal dari wahyu Allah SWT?
Untuk meraih kewibawaan dan kharisma tersebut sebenarnya tidaklah sulit
dilakukan oleh ummat Islam yang begitu mementingkan syari'atnya dibandingkan
nyawanya sendiri.
Sebelum membahas bagaimana cara merebut kekuasaan dan
mengetahui batasan dan syarat yang telah ditentukan oleh syara', terlebih
dahulu harus dibedakan antara penguasa yang ada di Daarul Kufr --yang di
dalamnya diterapkan undang-undang dan peraturan-peraturan kufur, serta
didominasi oleh ide-ide, tolok ukur dan kecenderungan pada kehidupan kufur-- dengan
penguasa yang berada di Daarul Islam yang berkeinginan mengubahnya menjadi
Daarul Kufur.
Dalam keadaan pertama, masalahnya bukan terletak pada
mengangkat senjata melawan penguasa, akan tetapi hendaknya mengenalkan dakwah
yang bersifat ajakan untuk berfikir secara Islami dan meningkatkan kesadaran
ummat, berkecimpung dalam dakwah untuk mempersiapkan masyarakat, melenyapkan
ide-ide, tolok ukur, perundang-undangan dan kecenderungan yang menyeleweng dari
Islam dan berlandaskan kekufuran. Setelah mempersiapkan masyarakat dengan
mengemban dakwah ke tengah-tengah ummat, kemudian dapat dilanjutkan dengan
usaha-usaha memperoleh/meminta pertolongan atau perlindungan dari pihak-pihak
yang memiliki kekuasaan untuk mengambil alih kekuasaan. Semua ini lazim dilakukan
untuk mengubah keadaan negeri-negeri kaum muslimin pada saat sekarang. Ini
semua karena fakta kondisi saat ini sama dengan fakta kondisi di masa jahiliyah
dahulu, di mana sistem Islam tidak terap keseluruhan dalam kehidupan dan
penguasa tidaklah sah menurut hukum Allah Swt., maka kita harus mengikuti
syariat Islam dalam hal cara menerapkan sistem Islam, yaitu dengan metode Rasul
Saw. ketika zaman jahiliyah dahulu.
Sedangkan keadaan kedua, lebih layak untuk menggambarkan
situasi tatkala Mustafa Kamal Ataturk antek Inggris merobohkan Daulah Khilafah
Islamiyah dan mengubahnya menjadi negara republik sekuler. Pada saat itu
seharusnya yang dilakukan oleh kaum muslimin adalah mengangkat senjata dan
melakukan revolusi secara terang-terangan terhadap Mustafa Kamal.
Apabila Islam telah mendarah daging dalam tubuh ummat dan
masyarakat telah siap untuk menerapkan Islam, maka harus segera dilakukan upaya
untuk mencari dukungan dari pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dalam rangka
menjatuhkan penguasa serta untuk merebut kekuasaannya dan agar dapat
dipertahankan keberadaan negara Islam.
Hal ini bisa dilakukan apabila negeri-negeri kaum muslimin yang
dahulunya Daarul Islam, telah diubah oleh penguasa menjadi Daarul Kufur.
Namun apabila masyarakat Islam belum siap menerapkan, maka
dakwah Islam dapat dikembangkan dengan cara sebagai berikut:
1. Menyebarluaskan ide-ide Islam sampai masyarakat memiliki kesadaran dan persiapan untuk mendukung pelaksanaan syari'at Islam.
2. Membangun kesadaran politik Islam masyarakat untuk memahami politik internasional yang selalu berkembang di dunia; atau memberikan pemahaman hukum-hukum Islam yang menyangkut politik dalam dan luar negeri bagi pemerintahan Islam.
3. Berupaya mencari dukungan dan perlindungan dari pihak-pihak yang memiliki kekuatan/kekuasaan dalam rangka mengambil alih kekuasaan dari penguasa yang masih menolak diterapkannya hukum-hukum Islam. Usaha mencari perlindungan tersebut dikenal dalam fiqih politik Islam dengan istilah Thalabun Nushrah.
Itulah yang dimaksudkan dengan sabda Rasulullah Saw. mengenai
usaha mengangkat senjata di hadapan Khalifah yang tidak menegakkan hukum-hukum
Islam sebagaimana yang tercantum dalam hadits Auf bin Malik. Atau merebut kekuasaan dari tangan
Imam/Khalifah sebagaimana yang tersurat dalam hadits Ubadah bin Shamit.
Mengangkat senjata di hadapan Khalifah yang menyeru kepada
selain Islam (tentang aqidah atau syariah) bukan tergolong tindakan
pemberontakan atau pengacauan, dan bukan merupakan usaha yang dilakukan oleh
individu, bukan pula sebagai usaha untuk mengacaukan keamanan negara. Tetapi
merupakan perlawanan terhadap penguasa kafir, dalam rangka merebut
kekuasaannya. Sebab dari segi hukum syara' mereka tidak lagi berhak berkuasa.
Usaha tersebut tidak dilakukan untuk melenyapkan penguasa dan menggantinya
saja, melainkan untuk menegakkan hukum-hukum Islam.
Hukum Memberontak Terhadap
Penguasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar