Membangun Pemerintahan
Islam Melalui Demokrasi Bisakah?
Membangun Pemerintahan
Islam Melalui Pemilihan Umum
Pada pemilihan Umum putaran pertama di AlJazair tanggal 26
Desember 1991, Front Pembebasan Islam (FIS) memperoleh 188 kursi (81% lebih) di
parlemen. Saat itu muncul harapan bahwa FIS akan berhasil meraih suara
mayoritas pada pemilihan putaran kedua. Atas keberhasilannya itu banyak pihak
menduga bahwa presiden AlJazair --sesuai dengan ketentuan undang-unadang dasar
negara-- akan menyerahkan kekuasaannya kepada pemimpin FIS untuk membentuk
kabinet baru. Kalau ini yang terjadi:
1. Bolehkah dalam keadaan seperti ini FIS membentuk
suatu kabinet berlandaskan undang-undang sekuler, kemudian tunduk pada pemimpin
negara republik sekuler? Apakah ini berarti telah ikut bekerja sama dengan
suatu pemerintahan yang berlandaskan pada sistem kufur?
2. Sebagaimana kita
ketahui bahwa syara' telah mengharuskan pelaksanaan syari'at Islam secara utuh
dan serentak (yakni tidak mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian yang
lain, dan tidak secara bertahap). Penerapan ini tentunya memerlukan waktu, yang
mungkin saja berbulan-bulan lamanya. Atau bisa juga penerapan tersebut ditempuh
melalui rancangan undang-undang yang ditetapkan dan dikeluarkan oleh parlemen.
Apakah kedua proses ini dapat diterima secara syar'i?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, terlebih
dahulu marilah kita perhatikan pokok-pokok ajaran syari'at yang begitu jelas
dan diambil dari nash-nash Kitab dan Sunnah. Di mana pokok-pokok ajaran
tersebut termasuk dalam "Ma'luumatun minaddiini bizhzharurah",
artinya telah diketahui kedudukannya sebagai hal yang penting dalam agama
secara pasti, yakni:
(1) Bahwa Islam wajib diterapkan secara sempurna pada setiap bagian-bagiannya.
(1) Bahwa Islam wajib diterapkan secara sempurna pada setiap bagian-bagiannya.
(2) Bahwa Islam tidak boleh diterapkan secara parsial dengan
mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya.
(3) Bahwa Pelaksanaan Islam harus dilakukan dengan segera dan
serentak, bukan secara bertahap dan mengulur-ulur waktu.
(4) Bahwa kaum muslimin tidak diperbolehkan bekerjasama dalam
pemerintahan yang berlandaskan sistem kufur dan thaghut.
Di samping itu, ada satu hal penting yang harus kita ingat
bahwa negara-negara kafir berikut antek-anteknya dari penguasa kaum muslimin,
tentunya tidak mungkin memberi kesempatan kepada kaum muslimin --khususnya yang
berupaya untuk menegakkan khilafah, dan mengembalikan pelaksanaan hukum yang
diturunkan oleh Allah SWT-- untuk
mengambil alih kekuasaan dengan jalan demokrasi/konstitusional. Juga bahwa setiap negeri mana saja, yang
pemerintahnya, dan pihak yang menguasai
angkatan bersenjatanya merupakan agen negara-negara kafir yang memeluk ide-ide
kufur dan berusaha untuk menerapkannya, jelas tidak mungkin memberikan
kesempatan pada kaum muslimin --khususnya mereka yang berupaya menegakkan
khilafah dan mengembalikan pelaksanaan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan
Allah SWT-- untuk meraih kekuasaan dengan jalan demokrasi.
Pada waktu yang sama harus disadari pula bahwa jalan
demokrasi, bukanlah jalan untuk menegakkan khilafah dan mengembalikan
pelaksanaan hukum-hukum yang diturunkan Allah. Tetapi jalan yang harus ditempuh dalam hal ini
adalah jalan yang pernah ditempuh Rasulullah dalam menegakkan pemerintahan
Islam, yaitu melalui upaya "Thalabun Nushrah" (meminta
pertolongan dan perlindungan dari pihak yang memegang kekuasaan; juga dari
tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh).
Sekalipun demikian tidak berarti bahwa meraih kekuasaan
melalui ummat tidak diperbolehkan, misalnya melalui pemilihan umum yang
dilanjutkan dengan bai'at. Cara seperti ini diperbolehkan menurut syara',
karena memang berbeda dengan demokrasi. [Sistem pemilihan umum di dalam Islam,
walaupun di dalamnya terdapat persamaan dengan sistem demokrasi dari segi hak
memilih, bersuara, dan berpendapat, tetapi dalam sistem demokrasi, hak tersebut
ditetapkan oleh kebebasan (sistem liberal). Sementara di dalam Islam hak
tersebut merupakan syarat-syarat bagi aqad khalifah. Apabila syarat-syarat
tersebut tidak terpenuhi, maka dianggap pemilihan umum itu tidak sah secara
syar'i. Berbeda halnya dengan sistem demokrasi yang tidak membai’at seorang
Khalifah untuk menerapkan syariah Islam keseluruhan. Apalagi hasil demokrasi tersebut
sering dimanipulasi, sebagaimana yang sering terjadi.]
Menghapuskan undang-undang dasar yang ada, membai'at Khalifah, dan memproklamirkan Islam sebagai sistem negara dan masyarakat. Jika FIS belum mampu menempuh jalan tersebut, maka mereka tidak boleh membentuk kabinet dan atau melibatkan diri dalam pemerintahan secara mutlak.
Menghapuskan undang-undang dasar yang ada, membai'at Khalifah, dan memproklamirkan Islam sebagai sistem negara dan masyarakat. Jika FIS belum mampu menempuh jalan tersebut, maka mereka tidak boleh membentuk kabinet dan atau melibatkan diri dalam pemerintahan secara mutlak.
Sekarang, mari kita jawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Pertanyaan pertama yang berbunyi:
"Dalam keadaan seperti ini, bolehkah secara syar'i membentuk suatu kabinet berlandaskan undang-undang sekuler, kemudian tunduk pada pemimpin negara republik sekuler? Apakah ini berarti telah ikut serta/kerjasama dengan suatu pemerintahan yang berlandaskan pada sistem kufur?"
"Dalam keadaan seperti ini, bolehkah secara syar'i membentuk suatu kabinet berlandaskan undang-undang sekuler, kemudian tunduk pada pemimpin negara republik sekuler? Apakah ini berarti telah ikut serta/kerjasama dengan suatu pemerintahan yang berlandaskan pada sistem kufur?"
Jawabnya adalah bahwa menurut syara', FIS tidak boleh
menerima tawaran untuk membentuk kabinet baru berdasarkan undang-undang dasar
sekuler, dan tunduk di bawah pimpinan republik yang menganut paham sekuler
(Kalau memang berhasil, sekalipun dalam kenyataannya mereka telah dijegal
melalui aksi kudeta oleh militer yang kemudian mengadakan penangkapan terhadap
lebih dari 20.000 orang demonstran serta membubarkan FIS).
Atas dasar ini maka menerima tawaran yang berdasarkan sistem
sekuler tersebut merupakan bukti pengakuan terhadap sistem kufur yang akan menunjukkan
keikutsertaan mereka dalam sistem tersebut. Hal ini tentu saja tidak dibenarkan
oleh Islam, selama dua hal yang ditawarkan itu masih bertolak dari sistem
demokrasi Barat dan FIS diharuskan terikat dengan kedua sistem tersebut.
Kendatipun gerakan FIS telah dibubarkan, tatapi secara teoritis
FIS atau gerakan Islam manapun yang keadaannya sama, harus menolak tawaran
membentuk kabinet pemerintahan yang masih sekuler dan menolak menduduki kursi
dalam parlemen. Bahkan, di samping mereka harus berjuang untuk menciptakan
kondisi yang membantu mereka mengambil alih kekuasaan dan segera mengumumkan
berdirinya negara Islam, mereka juga
harus segera mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
Andai saja presiden Al Jazair meminta kepada FIS untuk
mengambil alih pemerintahannya berdasarkan Islam, karena mereka telah meraih
suara mayoritas dari rakyat Al Jazair yang sudah memeluk Islam dan
sungguh-sungguh menginginkan sebuah pemerintahan Islam, maka dalam kondisi
seperti ini FIS boleh menerima mandat-mandat tersebut dan segera mengambil
langkah-langkah yang diperlukan untuk pengambilalihan tersebut. Pelaksanaannya
sebagai berikut:
Pertama: Mereka memilih
seorang Amir untuk menjadi kepala negara sementara Al-Jazair, hingga
terselenggaranya pemilihan umum untuk mengangkat seorang khalifah dan
membai'atnya.
Kedua: Amir sementara tersebut
meminta parlemen untuk segera mengesahkan terhapusnya UUD yang berlaku dan
menggantinya dengan Islam sebagi satu-satunya sistem untuk negara dan
masyarakat.
Ketiga: Amir sementara
tersebut kemudian mengambil tindakan yang diperlukan untuk memilih Khalifah dan
membai'atnya.
Jika hal ini telah terlaksana, maka tugas Amir tersebut telah
berakhir dan diganti dengan Khalifah
yang akan memproklamirkan konstitusi bagi khilafah Islam yang diambil
dari Kitabullah dan Sunnah Nabi. Kendatipun sebelum mengumumkan konstitusi
tersebut dan menetapkannya, boleh saja ia meminta tanggapan anggota-anggota
parlemen, yang namanya akan berubah menjadi majlisul Ummah atau majlis asy
Syura, meskipun tanggapan mereka tidak memaksa khalifah untuk mengikutinya
(boleh diterima boleh tidak, karena wewenang mengadopsi UUD ada di tangan
khalifah saja).
Dengan cara yang demikian pengambilan kekuasaan tersebut
tidak bertentangan dengan Islam, dan kekuasaan akan beralih dari kekuasaan
kufur kepada hukum Islam. Negaranya pun berubah dari Darul kufur menjadi Darul
Islam. Tetapi hal ini tidak mungkin terjadi kecuali jika FIS telah berhasil
mendapat dukungan dari pihak yang memiliki kekuatan dan kekuasaan (misalnya
Militer, pejabat, tokoh-tokoh Masarakat dan sebagainya), di samping meraih
suara mayoritas kaum muslimin AlJazair. Namun apa yang dapat dilakukan sekarang
ini setelah impian FIS dilenyapkan?
Adapun pertanyaan kedua, yang berbunyi: "Bahwa syara'
telah mengharuskan pelaksanaan syari'at Islam secara utuh dan serentak (yakni
tidak mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain, serta tidak
secara bertahap). Hanya saja penerapan ini tentunya memerlukan waktu yang bisa
jadi berbulan-bulan lamanya. Bisa juga penerapan tersebut dapat ditempuh pula
melalui rancangan undang-undang yang ditetapkan dan dikeluarkan oleh parlemen.
Apakah kedua proses di atas dapat ditempuh secara syar'i?
Jawabnya adalah bahwa langkah-langkah tersebut dapat ditempuh
apabila pengambil-alihan kekuasaan itu diperbolehkan, karena telah diambil
berdasarkan hukum-hukum syara'. Akan tetapi jika pengambilalihan tersebut tidak
boleh, karena masih bersistem kufur bertentangan dengan Islam (seperti gambaran
pertama pada pertanyaan sebelumnya), maka pertanyaan ini tentunya tidak perlu
diajukan lagi.
Tetapi jika pengambil-alihan kekuasaan dibolehkan oleh
syara', seperti gambaran kedua pada pertanyaan sebelumnya, maka pelaksanaannya
harus dilakukan secara keseluruhan dan sekaligus. Langkah ini wajib ditempuh
dan segera diupayakan untuk menerapkan seluruh peraturan dan hukum-hukum
Syara', secara serentak pada waktu yang sama.
Akan tetapi realita bagi sebagian hukum memerlukan persiapan
dan langkah yang berkesinambungan yang mungkin membutuhkan waktu. Mempercepat pelaksanaan hukum-hukum semacam
ini dapat digambarkan dengan adanya upaya yang segera ditempuh
untuk melaksanakannya. Sebagai contoh suatu kelompok yang mendapat kursi
terbanyak di parlemen dan diberi kesempatan untuk mengambil alih kekuasaan
menegakkannya berdasarkan Islam, maka penentuan amir/kepala negara sementara
sedikit banyak memerlukan waktu agar pimpinan gerakan tersebut berkesempatan
berkumpul dan mengadakan rapat darurat. Selalu bermusyawarah untuk menentukan
siapa yang cocok menjabat sebagai kepala negara sementara.
Contoh lain, permintaan Kepala Negara sementara kepada anggota-anggota
Parlemen untuk mengubah undang-undang dasar yang berlaku dan mengumumkan Islam
sebagai pengganti, mungkin saja memerlukan waktu, kemudian persiapan-persiapan
untuk memilih Khalifah dan membai'atnya, juga memerlukan waktu. Setelah
Khalifah dibai`at dan menerima kekuasaan, maka Ia akan merubah struktur
pemerintahan untuk disesuaikan dengan struktur yang Islami dan ini juga
memerlukan waktu.
Contoh-contoh yang lain, misalnya penghapusan semua
perjanjian yang bertentangan dengan hukum Islam
dan yang telah ditanda-tangani oleh negara sebelumnya dengan
negara-negara lain juga memerlukan tempo waktu. Begitu pula hukum-hukum lain
yang serupa ini, untuk menerapkannya juga diperlukan waktu.
Kendatipun demikian bukan berarti hukum-hukum tersebut dapat
ditunda pelaksanaannya sembari menunggu situasi dan kondisi yang lebih memungkinkan;
dan bukan berarti pula diterapkan secara bertahap dan mengulur-ulur waktu;
melainkan harus segera dilaksanakan sebagaimana
yang terjadi pada masa sahabat Ridlwanullahi 'Alaihim, tatkala
Rasulullah Saw. wafat. Di mana pada waktu itu mereka segera berusaha untuk membai`at
seorang khalifah sebagai pengganti beliau. Usaha tersebut menghabiskan waktu
sampai tiga hari sebelum akhirnya berhasil membai`at Abu bakar sebagai khalifah
pertama. Hal ini disepakati oleh semua shahabat.
Oleh karena itu masalah-masalah yang pemecahannya memerlukan
waktu yang banyak, maka usaha untuk menerapkannya harus
serentak, tidak boleh ditunda sambil menunggu situasi dan kondisi yang
memungkinkan. Juga diharamkan untuk menjalankan usaha tersebut secara bertahap
dan mengulur-ulur waktu.
Sedangkan pengadopsian undang-undang Islam merupakan wewenang
Khalifah, bukan wewenang anggota-anggota majelis syura. Namun khalifah boleh
saja meminta pendapat para anggota majelis syura terhadap peraturan dan
undang-undang Islam yang ingin ditetapkan sebelum mengambil keputusan,
sekalipun pendapat mereka tidak wajib ditaati oleh khalifah, sebab mereka tidak
mempunyai hak dalam menentukan dan menetapkan hukum/undang-undang, karena hanya
khalifahlah yang memiliki hak tersebut. Sikap ini didasarkan pada kaidah syara'
yang berbunyi:
"Bagi seorang Sulthan/Amirul Mukminin dibolehkan
mengambil keputusan hukum sesuai dengan masalah yang terjadi".
Membangun Pemerintahan Islam Melalui Demokrasi Bisakah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar