Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 16 Mei 2013

Hukum Memberontak Terhadap Penguasa

Hukum Memberontak Terhadap Penguasa


Bolehkah Suatu Gerakan Memberontak?

Menurut keterangan banyak hadits yang di antaranya tertera dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim menyatakan bahwa apabila muncul "Alkufru al Bawah" (kekufuran yang mulai nampak secara nyata oleh penguasa), maka kaum Muslimin diwajibkan mengangkat senjata dalam rangka menentang penguasa. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah "Alkufru al Bawah" dalam hadits-hadits tersebut? Kemudian, bagaimana cara menentang/memerangi penguasa yang demikian? Apakah aksi tersebut harus dilakukan oleh seluruh kaum muslimin atau terbatas hanya kepada gerakan Islam tertentu saja? Apakah ada batas-batas yang dirinci oleh Islam dalam maslah ini? Dengan kata lain, apakah sikap pemberontakan tersebut harus dilakukan pada setiap masa atau pada situasi dan kondisi tertentu saja?

Agar lebih jelas, khususnya bagi para pembaca, terlebih dahulu akan kami kutipkan nash-nash yang berkaitan dengan pertanyaan di atas:

1. Sebuah riwayat yang berasal dari Auf bin Malik Al Asyja'i, ia berkata: "Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, artinya:
     "Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai, dan mereka pun mencintai kalian. Kalian mendo'akan mereka, dan mereka pun mendo'akan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian"
. Lalu Auf melanjutkan: "Kami (para Shahabat) bertanya: 'Wahai Rasulullah, bolekah kami memerangi mereka?' Beliau menjawab: 'Jangan, selama mereka masih menegakkan Shalat (hukum Islam). Siapa saja yang dipimpin oleh seorang pemimpin dan kalian melihatnya melakukan (sebagian) perbuatan maksiyat, hendaklah ia membenci apa yang dilakukannya dan janganlah ia berlepas diri dari ketaatannya'" (HR Ahmad dan Muslim)

 2. Sebuah riwayat dari 'Ubadah bin Ash Shamit, ia berkata:
     "Kami membai'at Rasulullah Saw. untuk mendengar dan mentaatinya dalam keadaan suka (rela) maupun terpaksa, dalam keadaan sempit maupun lapang, serta dalam hal tidak mendahulukan urusan kami (lebih dari urusan agama), juga agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin kecuali (sabda Rasulullah:) 'Kalau kalian melihat kekufuran yang mulai nampak secara terang-terangan, yang dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah (Al wahyu)'" (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, An Nasa'i dan Ibnu Majah)

Menurut Imam Al Khathabi arti bawaahan dalam hadits di atas adalah nampak secara nyata atau terang-terangan. Begitu pula dengan riwayat lain yang menggunakan huruf ra' -baraahan, yang juga mempunyai makna yang sama. [Lihat Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, jilid VII, hal.197] Imam Thabrani meriwayatkannya dengan lafadz "kufran sarrahan" artinya kekufuran yang sangat jelas. Riwayat yang lain menyebutkan dengan lafadz "illa an takuna makshiyatullahi bawaahan" artinya kecuali apabila maksiyat kepada Allah nampak secara terang-terangan. Sedangkan Imam Ahmad meriwayatkannya dengan lafadz "maa lam yakmurka bi itsmin bawaahan" artinya kecuali jikalau penguasa tidak memerintahkan mengerjakan maksiat secara terbuka.

Para fuqaha telah berselisih dalam menafsirkan kata "kufr" di sini, yaitu apakah yang dimaksud adalah "kufrul hakim" yakni murtadnya seorang penguasa (Imam/Khalifah yang sah menurut hukum Allah Swt.) ataukah karena dia telah mengadopsi/memasukkan peraturan kufur ke dalam pemerintahan Islam ditambah melakukan kemaksiatan di tempat-tempat umum secara terang-terangan.

Namun, tidak ada perbedaan di kalangan 'Ulama bahwa kekuasaan sama sekali tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Juga, tidak ada perselisihan jika seorang penguasa (yang sah menurut hukum Islam) murtad maka hak atas kekuasaannya hilang seketika itu juga, sehingga tidak boleh ditaati dan tidak boleh dilaksanakan perintah-perintahnya. Bahkan, ia wajib segera diberhentikan meskipun harus dengan menggunakan kekuatan senjata.

Dalam hal ini Imam Ibnu Hajar berkata [Lihat Al Fathul Baari, Imam Ibnu Hajar Al Asyqalani,  jilid XIII, hal 8; dan jilid VIII, hal 198-199]: "Para fuqaha telah sepakat bahwa penguasa yang mengambil alih kekuasaan (memaksa semua pihak berbai’at padanya) wajib ditaati dan berjihad bersamanya. Mentaatinya lebih baik daripada memberontak, demi untuk mencegah pertumpahan darah dan menghentikan fitnah. Tidak ada kekecualian dalam hal ini, melainkan apabila ia melakukan kekufuran secara terang-terangan. Pada saat itulah ia tidak boleh ditaati, dan bahkan wajib diperangi jika ada kemampuan pada orang-orang tertentu dari kalangan kaum muslimin".

Pengertian dan permufakatan para ulama telah ditunjukkan oleh banyak nash dalam sunnah Rasul. Adapun yang dimaksud dengan kalimat "al kufru al bawah", kekufuran yang nyata, yang tercantum dalam hadits 'Ubadah ibnu Ashamit adalah berupa kemaksiatan, seperti yang dapat ditafsirkan dari riwayat-riwayat yang lain; seperti: "illaa an takuuna makshiyatullahi bawaahan" atau "maa  lam yakmurka biitsmin bawaahan". Maka dalam hal ini Imam Nawawi dalam syarah Shahih Muslim jilid XII, hal.229 mengatakan: ["Yang dimaksud dengan al kufru di sini adalah kemaksiatan. Sedangkan arti 'indakum minallaahi fiihi burhaan adalah: kalian mengetahui kekufurannya itu berdasarkan petunjuk dari Allah SWT. Sedangkan makna hadits itu adalah: 'Janganlah kalian berusaha merebut kekuasaan dari penguasa. Dan janganlah kalian memerangi mereka, kecuali kalian melihat kemungkaran yang nyata, yang kalian mengetahuinya karena merupakan bagian dari dasar-dasar Islam']

Tidak diragukan lagi bahwa apabila penguasa yang sah menurut hukum Islam (Imam/Khalifah) sudah tidak menerapkan hukum-hukum dan aturan-aturan Islam, lalu mengambil perundang-undangan atau sistem selain Islam (misalnya dari Barat), maka tindakan itu adalah bentuk kekufuran yang nyata; meskipun penguasa tersebut melaksanakan shalat, shaum, haji serta mengaku bahwa dirinya adalah seorang muslim.

Sebab Allah SWT berfirman, artinya:
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak bertahkim (merujuk) kepada thagut (selain hukum Islam), padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkarinya". (An Nisaâ: 60)

Membolehkan Riba, minuman keras, membudayakan busana yang menampakkan aurat wanita, membiarkan terjadinya pemurtadan di kalangan kaum muslimin, dan tidak melaksanakan hukum-hukum pidana Islam, memproklamasikan kebudayaan Barat, serta menjauhkan kebudayaan Islam; maka semua tindakan itu dapat dikategorikan ke dalam teks hadits di atas, yaitu kekufuran yang ditonjolkan secara terang-terangan. Sebab semua hal di atas termasuk "ma'luumun minad diini bizh Zharurah", yaitu hal-hal yang sudah diketahui kepentingannya di dalam Islam secara pasti.

Akan halnya kalimat "maa aqaamu fiikum ash Shalat", maka yang dimaksud bukan hanya melaksanakan shalat saja, melainkan menerapkan hukum-hukum Islam. Sebab, kata "shalat" di sini merupakan kinayah (suatu lafadz bersifat induktif) yang menunjukkan Islam secara keseluruhan. Sebagai perbandingan, dapat disimak arti shalat dalam hadits yang berbunyi:
"Shalat itu adalah tiang agama Islam, siapa saja yang melaksanakannya, berarti telah menegakkan Islam. Dan siapa saja yang meninggalkannya, berarti telah merobohkan agama Islam." [Lihat Al Kasyful Khafa, Isma'il Al Ajlumi, jilid II, hal.31-32. Hadits ini telah dipakai oleh para fuqaha, walaupun para ulama hadits sendiri mendo'ifkannya. Namun dalam hal ini menurut kaidah syara' hadits yang bersifat demikian dapat dianggap sebagai hadits yang tingkatannya hasan]

Kedua hadits yang kami kutip dalam pembukaan jawaban ini menunjukkan bahwa apabila terdapat seorang penguasa (Khalifah) yang mengubah keadaan negerinya dari Daarul Islam menjadi Daarul Kufr, maka wajib atas kaum muslimin mencegahnya dan mengembalikannya ke jalan yang benar. Jika tetap "mbandel" dan keras kepala bahkan terus melanjutkan usaha perubahan itu, maka wajib atas rakyat untuk memeranginya sengan senjata (termasuk mengambil alih kekuasaan dari pihak Khalifah dengan jalan kudeta). Demikian juga maksud sabda Rasulullah Saw. di bawah ini:
"Ketahuilah, demi Allah, hendaklah kalian melakukan amar ma'ruf nahi mungkar. mencegah penguasa (Khilafah) melakukan kezhaliman, memaksa mereka agar mengikuti kebenaran (Syara'), dan membatasinya dengan melaksanakan hanya yang benar saja (Islam)" (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah). [Lihat Sunan Abu Dawud, hadits no.4336; Sunan At Tirmidzi, hadits no.3050; dan Sunan Ibnu Majah, hadits no.4006]

Adapun bagaimana cara merebut kekuasaan, maka hal ini memerlukan pengkajian yang mendalam. Para ulama sepakat, apabila Khalifah telah menjadi fasik maka wajib mengembalikannya ke jalan yang lurus atau memberhentikannya, lalu menggantikannya dengan orang lain, baik melalui pemilihan umum atau dengan merampas kekuasaanya melalui kekerasan. Ini dari satu segi. Akan tetapi prakteknya tentu saja tidak semudah itu! Apabila seorang Imam telah menjadi fasik, sedangkan ia masih memegang kekuasaan, tentulah sulit untuk menyadarkannya kembali, atau memberhentikannya. Untuk melakukan usaha itu sering kali meminta korban pertumpahan darah dan menimbulkan berbagai fitnah (malapetaka). Oleh karena itu untuk mencegah agar akibat seperti ini tidak terjadi, sebagian besar fuqaha lebih memilih sikap membiarkan penguasa yang fasik dan bahwasanya mereka tidak perlu dilawan. Hal ini didasarkan pada kaidah "ahwaanu azy Syaraini" [Lihat Al Madkhalul Fiqhi Al 'Aam, Musthafa Ahmad Az Zarqa, jilid II, hal.984], yakni memilih sikap yang paling ringan akibatnya diantara dua pilihan yang sama-sama buruk.

Dalam sistem pemerintahan Islam terdapat badan yang dinamakan "Mahkamatul Mazhalim" yang bertindak sebagai pengadilan tertinggi. Keberadaan badan ini merupakan "katup pengaman" dalam kondisi seperti ini. Pembentukan badan tersebut telah diperintahkan atas kaum muslimin yang ditunjukkan dalam firman Allah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan RasulNya serta ulil amri (Khalifah dan jajarannya) di antara kamu, kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul" (An Nisaa: 59)

Apabila muncul perselisihan, harus dikembalikan kepada Al Qurâan dan Sunnah. Termasuk perselisihan antara penguasa dan rakyat. Dengan kata lain harus ada lembaga peradilan yang dipilih dari kalangan hakim ahli fiqh, mujtahid dan orang-orang yang bertakwa. Keputusan Mahkamah ini berlaku atas Khalifah, para Mu'awinnya (pembantu Khalifah), para Wali Amil (kepala daerah), pejabat-pejabat pemerintah, dan seluruh rakyat.

Barangkali ada yang mempertanyakan, bahwa Mahkamah semacam ini bisa saja diperalat oleh para penguasa. Menjawab kekahawatiran ini, kami tegaskan bahwa apabila ummat Islam sudah tidak peduli lagi dengan agamanya, tidak peduli lagi dengan penguasa dan peraturan yang mereka terapkan; juga apabila ummat Islam tidak lagi menyadari kedudukannya sebagai pemilik kekuasaan dan bahwa mereka bertanggung jawab terhadap sikap penguasa di dunia dan akhirat; maka pada saat seperti itulah kekhawatiran mereka bahwa mahkamah mazhalim tersebut dapat diperalat oleh penguasa akan benar-benar terjadi. Bahkan lebih dari itu ummat secara keseluruhan dapat dijadikan obyek permainan.

Mengapa rakyat Amerika memiliki wibawa terhadap terhadap penguasanya sehingga lembaga pengadilan di sana mampu memberhentikan Richard Nixon (dalam kasus Watergate) serta memberi peringatan keras terhadap Ronald Reagan (dalam skandal Iran Contra); sementara ummat Islam tidak memiliki wibawa dan kharisma yang tidak menonjol terhadap penguasa? Mengapa bangsa-bangsa Barat begitu teguhnya mempertahankan sistem kufur yang mereka terapkan, sedangkan ummat Islam tidak mau memperjuangkan sistem yang berasal dari wahyu Allah SWT? Untuk meraih kewibawaan dan kharisma tersebut sebenarnya tidaklah sulit dilakukan oleh ummat Islam yang begitu mementingkan syari'atnya dibandingkan nyawanya sendiri.

Sebelum membahas bagaimana cara merebut kekuasaan dan mengetahui batasan dan syarat yang telah ditentukan oleh syara', terlebih dahulu harus dibedakan antara penguasa yang ada di Daarul Kufr --yang di dalamnya diterapkan undang-undang dan peraturan-peraturan kufur, serta didominasi oleh ide-ide, tolok ukur dan kecenderungan pada kehidupan kufur-- dengan penguasa yang berada di Daarul Islam yang berkeinginan mengubahnya menjadi Daarul Kufur.

Dalam keadaan pertama, masalahnya bukan terletak pada mengangkat senjata melawan penguasa, akan tetapi hendaknya mengenalkan dakwah yang bersifat ajakan untuk berfikir secara Islami dan meningkatkan kesadaran ummat, berkecimpung dalam dakwah untuk mempersiapkan masyarakat, melenyapkan ide-ide, tolok ukur, perundang-undangan dan kecenderungan yang menyeleweng dari Islam dan berlandaskan kekufuran. Setelah mempersiapkan masyarakat dengan mengemban dakwah ke tengah-tengah ummat, kemudian dapat dilanjutkan dengan usaha-usaha memperoleh/meminta pertolongan atau perlindungan dari pihak-pihak yang memiliki kekuasaan untuk mengambil alih kekuasaan. Semua ini lazim dilakukan untuk mengubah keadaan negeri-negeri kaum muslimin pada saat sekarang. Ini semua karena fakta kondisi saat ini sama dengan fakta kondisi di masa jahiliyah dahulu, di mana sistem Islam tidak terap keseluruhan dalam kehidupan dan penguasa tidaklah sah menurut hukum Allah Swt., maka kita harus mengikuti syariat Islam dalam hal cara menerapkan sistem Islam, yaitu dengan metode Rasul Saw. ketika zaman jahiliyah dahulu.

Sedangkan keadaan kedua, lebih layak untuk menggambarkan situasi tatkala Mustafa Kamal Ataturk antek Inggris merobohkan Daulah Khilafah Islamiyah dan mengubahnya menjadi negara republik sekuler. Pada saat itu seharusnya yang dilakukan oleh kaum muslimin adalah mengangkat senjata dan melakukan revolusi secara terang-terangan terhadap Mustafa Kamal.

Apabila Islam telah mendarah daging dalam tubuh ummat dan masyarakat telah siap untuk menerapkan Islam, maka harus segera dilakukan upaya untuk mencari dukungan dari pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dalam rangka menjatuhkan penguasa serta untuk merebut kekuasaannya dan agar dapat dipertahankan keberadaan negara Islam.  Hal ini bisa dilakukan apabila negeri-negeri kaum muslimin yang dahulunya Daarul Islam, telah diubah oleh penguasa menjadi Daarul Kufur.

Namun apabila masyarakat Islam belum siap menerapkan, maka dakwah Islam dapat dikembangkan dengan cara sebagai berikut: 

1. Menyebarluaskan ide-ide Islam sampai masyarakat memiliki kesadaran dan persiapan untuk mendukung pelaksanaan syari'at Islam.

2. Membangun kesadaran
politik Islam masyarakat untuk memahami politik internasional yang selalu berkembang di dunia; atau memberikan pemahaman hukum-hukum Islam yang menyangkut politik dalam dan luar negeri bagi pemerintahan Islam.

3. Berupaya mencari dukungan dan perlindungan dari pihak-pihak yang memiliki kekuatan/kekuasaan dalam rangka mengambil alih kekuasaan dari penguasa yang masih menolak diterapkannya
hukum-hukum Islam.  Usaha mencari perlindungan tersebut dikenal dalam fiqih politik Islam dengan istilah Thalabun Nushrah.

Itulah yang dimaksudkan dengan sabda Rasulullah Saw. mengenai usaha mengangkat senjata di hadapan Khalifah yang tidak menegakkan hukum-hukum Islam sebagaimana yang tercantum dalam hadits Auf bin Malik.  Atau merebut kekuasaan dari tangan Imam/Khalifah sebagaimana yang tersurat dalam hadits Ubadah bin Shamit.

Mengangkat senjata di hadapan Khalifah yang menyeru kepada selain Islam (tentang aqidah atau syariah) bukan tergolong tindakan pemberontakan atau pengacauan, dan bukan merupakan usaha yang dilakukan oleh individu, bukan pula sebagai usaha untuk mengacaukan keamanan negara. Tetapi merupakan perlawanan terhadap penguasa kafir, dalam rangka merebut kekuasaannya. Sebab dari segi hukum syara' mereka tidak lagi berhak berkuasa. Usaha tersebut tidak dilakukan untuk melenyapkan penguasa dan menggantinya saja, melainkan untuk menegakkan hukum-hukum Islam.

Hukum Memberontak Terhadap Penguasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam