Mendirikan Negara Islam Tidak Dengan Kekerasan
Di antara pejuang (gerakan) Islam ada yang berpendapat bahwa
jihad adalah satu-satunya jalan yang ditempuh untuk mendirikan negara Islam.
Pendapat ini tidak tepat. Sebab, pengertian jihad adalah peperangan melawan
negara-negara kafir yang memusuhi Islam dan kaum Muslimin, dengan harta, jiwa
dan lidah, untuk menggabungkan negeri-negeri mereka ke negeri-negeri kaum
muslimin, serta menaklukkan mereka agar cahaya Islam tersebar ke negeri-negeri
kafir tersebut. Yang menjadi tujuan jihad lainnya adalah untuk menghilangkan
segala penghalang yang bersifat fisik dan merintangi kaum muslimin untuk
menegakkan keadilan di bumi ini. Dalam usaha ini termasuk mengubah negeri mereka
agar menjadi Darul Islam.
Di samping itu, jihad adalah berupa peperangan untuk
mempertahankan Darul Islam sebagaimana sikap Rasulullah Saw. dalam
mempertahankan Madinah dalam Perang Ahzab. Dengan memperhatikan pengertian
jihad tersebut, maka bagi kaum muslimin sekarang wajib melaksanakan jihad untuk
memerangi kaum Yahudi (Israel) asal tidak berlindung kepada negara-negara kafir
(misalnya AS) yang sombong dan angkuh itu.
Walaupun jihad merupakan fardlu yang harus berlanjut sampai
Qiamat serta tidak dapat terhenti oleh sebab keadilan atau kezhaliman penguasa,
tetapi ia merupakan fardlu lain selain dari fardlu pengangkatan khalifah yang
berupa suatu usaha yang tujuannya mengubah sistem pemerintahan yang berlaku
atas kaum muslimin dari sistem kufur ke sistem Islam tanpa melihat siapa
penguasa itu. Sebab, usaha tersebut bukanlah usaha perorangan yang ditujukan
terhadap pribadi penguasa. Ia bertujuan untuk mengubah undang-undang yang
dihasilkan akal manusia dengan undang-undang dan peraturan yang diambil dari
syariat Islam.
Itulah yang telah dilakukan Rasulullah Saw. di Madinah yang
pada saat itu masih tunduk kepada peraturan kufur. Tetapi tatkala
pemimpin-pemimpin Madinah membai'at Rasulullah Saw., maka kota Madinah telah
menjadi negara Islam yang di dalamnya diterapkan hukum-hukum Islam. Ketika
Rasulullah Saw. wafat, para khalifah sesudahnya tetap berusaha mengambil bai'at
orang-orang yang mewakili rakyat untuk melaksanakan hukum Islam di tengah
masyarakat. Di masa kini tidak ada
satu negeri pun yang mengambil aturan Islam berdasarkan syariat Islam atau madzhab
fiqih Islam apapun, walaupun sebagian masih menganggap bahwa negara mereka
adalah negara Islam. Mereka masih mencampuradukkan antara sistem Islam dengan
sistem lain. Padahal peraturan-peraturan dan hukum-hukum Islam dapat diambil
dari pendapat para fuqaha seperti Imam Syafi'i, Maliki, Hanafi, Hambali,
Ja'far, Zaid dan lain-lain, atau diambil langsung dari dalil-dalil syara'
melalui penggalian hukum (proses ijtihad) yang benar. Oleh karena itu sudah
menjadi kewajiban kaum muslimin untuk mengangkat seorang khalifah yang
mengurusi kaum Muslimin berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah SWT, bukan
berdasarkan apa yang tercantum dalam konstitusi Amerika, peraturan dan resolusi
PBB dan juga berdasarkan sosialisme, serikat buruh maupun sosialisme Internasional
atau marxisme.
Oleh karena itu, jihad merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan oleh negara Islam sendiri, atau dilakukan oleh kaum muslimin, tanpa
seijin Imam dalam situasi dan kondisi mengusir pasukan kafir, apabila terputus
komunikasi dengan Imam atau dalam kondisi kaum Muslimin diperangi. Ini berbeda
dengan hukum mengangkat seorang khalifah bagi kaum Muslimin yang dicontohkan
Rasul Saw. tanpa mengangkat senjata terhadap penguasa yang ada, walaupun mereka
tidak menerapkan Islam.
Mengenai masalah mengangkat senjata, ada di antara aktivis da'wah
yang berkata bahwa jika kelompok kita telah ditimpa bahaya dari penguasa saat
berjuang menegakkan kekhalifahan, maka dalam keadaan ini kita berhak untuk
membela diri dan boleh berperang dan memerangi penguasa yang menindas dan
menyiksa kita meski belum dalam kondisi diperangi (perang). Mereka bertolak
dari berbagai hadits, seperti:
"Siapa saja yang mati tatkala membela diri, maka matinya adalah mati syahid" (HR Ibnu 'Asyakir, dan Ath Thabari dengan lafaz mirip) [Lihat Kanzul 'umaal, Al Burhan Furi, hadits no. 11172 dan 11238]
"Siapa saja yang mati tatkala membela diri, maka matinya adalah mati syahid" (HR Ibnu 'Asyakir, dan Ath Thabari dengan lafaz mirip) [Lihat Kanzul 'umaal, Al Burhan Furi, hadits no. 11172 dan 11238]
Hadits-hadits seperti di atas bukan hujjah untuk melakukan
kudeta bersenjata terhadap penguasa sistem kufur. Sebab, Rasul Saw. tidak
melakukan kudeta bersenjata untuk menegakkan kekuasaan Islam meski para sahabat
disiksa kaum kafir. Hadits-hadits seperti di atas tercantum pada kitab-kitab
fiqih dalam bab: "Menjauhkan Pihak yang Mengancam Kita".
Dalam hal ini hadits-hadits tersebut telah memberi rukhsah
bagi kaum muslimin untuk menjauhkan serangan pihak yang mengancam diri, harta
dan kehormatan mereka, walau pembelaan tersebut mengakibatkan seseorang
meninggal dunia. Pihak pengancam biasanya dari kalangan orang-orang terhina,
seperti pencuri dan perampok yang cenderung membunuh atau merampas dan
mengambil harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.
Orang-orang tersebut berbeda dengan penguasa yang dimaksud dalam firman Allah
SWT:
"Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang
tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi.." (Al Qashash: 83)
Yang dimaksud dengan "orang yang menyombongkan diri dan
berbuat kerusakan" seperti Fir'aun, misalnya, adalah penguasa zhalim tetap
ada dan berkuasa di setiap masa.
Membela diri berbeda dengan membela da'wah. Sebab, penguasa
tidak menindas para pejuang da'wah Islam hanya semata-mata karena ingin
merampas kekuasaan mereka, tetapi karena mereka membawa da'wah Islam. Oleh
karena itu dalil tersebut tidak bisa dijadikan sebagai pegangan untuk mengambil
hukum syara' yang membolehkan suatu gerakan da'wah memerangi penguasa zhalim
padahal tidak dalam kondisi perang (jika umat dalam kondisi diperangi maka kaum
Muslimin wajib berperang). Bahkan sebaliknya. Sebab, Rasulullah Saw. dan para
Shahabat telah ditimpa berbagai macam bahaya /penganiayaan di Mekah sebelum
tegaknya negara Islam. Mereka bersabar dan menahan diri, sehingga diberi
rukhsah untuk orang-orang yang lemah untuk berhijrah ke Habsyah. Mereka tidak
diijinkan untuk berperang.
Islam memang agama yang lengkap dan sempurna, sebagaimana
ditegaskan dalam firman Allah SWT:
"Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu, telah Kucukupkan nikmatKu bagimu, dan telah Kuridlai Islam menjadi agamamu". Oleh karena itu, tidak benar bila ada yang berpendapat bahwasanya keadaan kita sekarang lain dengan masa Rasulullah. Maka menurut pendapat tersebut, kita dibolehkan berijtihad dan menggunakan akal kita untuk mencari suatu metode da'wah yang sesuai dengan keadaan masa kini.
"Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu, telah Kucukupkan nikmatKu bagimu, dan telah Kuridlai Islam menjadi agamamu". Oleh karena itu, tidak benar bila ada yang berpendapat bahwasanya keadaan kita sekarang lain dengan masa Rasulullah. Maka menurut pendapat tersebut, kita dibolehkan berijtihad dan menggunakan akal kita untuk mencari suatu metode da'wah yang sesuai dengan keadaan masa kini.
Perbedaan fakta tidak ada kaitan dengan masalah fikrah (ide
dasar) dan thariqah (pola operasional) da'wah. Perbedaan itu boleh ada dalam
penggunaan sarana-sarana dan berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang selalu
berkembang. Dahulu orang berpindah-pindah dengan onta sebagai alat transportasi
atau dengan jalan kaki. Namun pada masa kini, orang-orang menggunakan pesawat
terbang dan mobil sebagai alat transportasi. Mengenai fakta yang berkembang
ini, para fuqaha telah menentukan suatu kaidah syara', yaitu:
"Hukum asal segala sesuatu benda adalah mubah, kecuali bila ada suatu dalil yang mengharamkannya".
"Hukum asal segala sesuatu benda adalah mubah, kecuali bila ada suatu dalil yang mengharamkannya".
Kaidah tersebut telah diambil dari berbagai ayat Al QurĂ¢an,
seperti antara lain ayat 29 surat Al Baqarah. Meskipun demikian ayat tersebut
tidak ada kaitannya dengan perbuatan manusia atau aktifitas suatu gerakan.
Adapun tentang kejadian-kejadian dan perbuatan manusia, maka
hukum asal adalah "mengikatkan diri dengan hukum syara'". Tidak ada
dalam Islam satu ijtihad pun yang berdasarkan akal saja.
Pengertian ijtihad di sini adalah berusaha semaksimal mungkin
untuk mengetahui hukum-hukum syara' tentang masalah-masalah yang bersifat
praktis yang dapat diambil dari rincian dalil-dalil syara'. Sedang pengertian
hukum syara' adalah khitabusysyar'i, yaitu perintah dan larangan Allah SWT
kepada RasulNya yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Seruan tersebut dapat
diambil dari dalil-dalil syara', yaitu Al Qur'an, As Sunnah, dan apa yang
ditunjukkan oleh keduanya, berupa ijma Shahabat dan qiyas. Mengeluarkan hukum
berdasarkan keputusan akal semata, berarti merujuk kepada akal, bukan kepada
syara'.
Perbuatan semacam ini tidak berbeda dengan tindakan
orang-orang kafir. Sebab, mereka melakukan apa saja yang mereka anggap sesuai
dengan kehendak dan akalnya. Karena itu, perbuatan tersebut tidak dapat
disesuaikan (disamakan) dengan Islam yang di dalam Islam ia merupakan kepatuhan
dan ketaatan kepada Allah SWT. Ketaatan itu adalah mengikuti dan melaksanakan
apa yang diperintahkanNya, sebagaimana yang telah ditentukan dalam Firman Allah
SWT:
"(Dan) Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.." (Al Qashash: 50)
"(Dan) Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.." (Al Qashash: 50)
"Akan tetapi orang-orang yang zhalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan (yang bersumber dari Allah).." (Ar Ruum: 29)
Itulah perbuatan mereka yang tidak dilandasi oleh dalil
syara'. Kebaikan bukanlah sesuatu yang dipilih atau ditentukan oleh manusia,
melainkan apa yang dipilih/ditentukan oleh syara'. Syara'lah yang menjadi tolok
ukur bagi seorang Muslim. Menurut pandangan syara', perbuatan baik, buruk,
terpuji dan tercela yang membawa manfaat dan mudharat; atau yang memperbaiki
dan merusak masyarakat, adalah apa yang ditunjukkan syara' saja; bukan apa yang
ditentukan oleh akal dan hawa nafsu manusia. Ini sesuai dengan firman Allah
SWT:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui" (Al Baqarah: 216)
Juga berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh sabda Rasulullah Saw.:
"Siapa saja yang menambah sesuatu dalam urusan agama ini, yang tidak merupakan bagian darinya, maka hal itu tertolak (yakni harus ditinggalkan)" (HSR Bukhari, Muslim, dan Ahmad). [Lihat Shahih Bukhari Jilid VI, hal.221; Shahih Muslim, hadits no.18 dan 1718; Musnad Imam Ahmad, jilid VI, hal.270]
"Siapa saja yang menambah sesuatu dalam urusan agama ini, yang tidak merupakan bagian darinya, maka hal itu tertolak (yakni harus ditinggalkan)" (HSR Bukhari, Muslim, dan Ahmad). [Lihat Shahih Bukhari Jilid VI, hal.221; Shahih Muslim, hadits no.18 dan 1718; Musnad Imam Ahmad, jilid VI, hal.270]
Apa yang dihasilkan dari pendapat manusia yang berdasarkan akalnya, kecenderungan dan keinginannya, adalah berbeda dengan apa yang telah ditentukan syara'. Oleh karena itu, harus ada suatu dalil bahwa pendapat itu berasal dari syara'. Dalam hal ini tidak boleh menyamarkan pendapat tersebut dengan hadits Rasulullah, sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits Rasulullah Saw.:
"Siapa saja pada masa Islam mengajarkan suatu sunnah/perbuatan yang baik, maka ia mendapatkan pahalanya beserta pahala orang yang mengikutinya tanpa ia menguranginya; dan siapa saja yang mengajarkan sesuatu sunnah/perbuatan yang buruk, maka ia mendapat dosanya dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun". (HSR Muslim, Ahmad, Tirmizhi, An Nasa'i, dan Ibnu Majah) [Lihat Al Fathul Kabir, Yusuf An Nabhani, jilid III, halaman 200]
Maksud perbuatan sunnah di sini adalah perbuatan yang diikuti
dan ditiru oleh orang banyak. Jika perbuatan itu baik, maka harus ada dalil
syara' yang menunjukkan kebaikan perbuatan tersebut, begitu pula halnya dengan
perbuatan buruk yang sama-sama memerlukan dalil. Karena itu, Rasulullah Saw.
bersabda:
"Sesungguhnya anak (wali) Adam yang pertama, dibebankan
dosa perbuatan jahat setiap pembunuh sampai Hari Kiamat". (HSR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan An Nasa'i) [Lihat Shahih
Bukhari jilid XII, hal.169; Shahih Muslim hadits no.1677; Sunan
Tirmidzi hadits no.2675; Sunan An Nasa'i, jilid VII, hal.82]
Dengan demikian, sunnah buruk semacam ini adalah perbuatan
dosa. Sebab, Allah SWT telah mengharamkan pembunuhan. Bukti larangan dan
penjelasan hal tersebut adalah riwayat hadits di atas, yaitu bahwasanya telah
datang sekelompok orang kepada Rasulullah Saw. dengan penuh rasa tertarik pada
Islam ketika beliau berada di masjid. Pada saat itu mereka memakai pakaian yang
compang-camping yang menonjolkan aurat mereka. Abu Bakar ra lalu segera pulang
ke rumah untuk mengambil pakaian yang dimilikinya, kemudian dibawanya ke masjid
dan diberikan kepada mereka. Para Shahabat yang melihat tindakan Abu Bakar itu
terkejut dan segera menyadari bahwa orang-orang tersebut memerlukan pakaian.
Segeralah mereka mengikuti perbuatan Abu Bakar. Lalu Rasulullah bersabda
sebagaimana tercantum dalam hadits di atas. Perbuatan Abu Bakar dan sahabat
termasuk perbuatan shadaqah, seperti yang banyak dijelaskan dalam dalil syara'.
Penjelasan terakhir mengenai kesalahpahaman yang ada pada
sebagian aktivis (gerakan) Islam adalah bahwa di antara kelompok da'wah ada
yang berperang dan berkolaborasi bersama dengan suatu kelompok pemberontak
untuk melawan pemberontak lain. Mereka berpendapat bahwa kelompok yang
dibantunya itu lebih Islami atau dapat memperkuat posisi kaum muslimin atau
posisi gerakan itu sendiri. Mereka melakukan perbuatan ini untuk mencari
dukungan, meskipun dukungan itu nantinya akan datang dari pihak lawan.
Kelompok semacam ini menggunakan teori "tujuan
membolehkan segala cara" yang merupakan pemikiran dasar Barat yang dicetuskan
Machiavelli. Mereka mengerjakan sesuatu berdasarkan pendapat dan persangkaan
semata, tanpa dalil yang mendukungnya. Sementara dalil syara' menunjukkan
pengertian yang berlawanan dengan kelompok itu, sebagaimana firman Allah SWT:
"Maka Perangilah para pembangkang itu...!" (Al Hujurat: 9)
"Maka Perangilah para pembangkang itu...!" (Al Hujurat: 9)
Ayat ini lafadznya 'aam (umum), mencakup setiap
kelompok pemberontak bersenjata. Jika kelompok pembangkang itu jumlahnya 1, 2
atau 10, maka wajib kaum muslimin memerangi mereka, seluruhnya. Tetapi jika
kaum muslimin memihak pada salah satunya, berarti mereka benar-benar berperang
bersama pihak pemberontak, bukannya memeranginya, sebagaimana perintah Allah di
atas. Perbuatan ini jelas-jelas diharamkan oleh syara'.
Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi bagi seseorang untuk
tidak berjuang, atau berjuang tetapi berada di jalan yang salah. Bahkan,
seharusnya setiap Muslim mempunyai cita-cita tinggi untuk merealisasikan Islam
di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Cukuplah apabila ada satu
kelompok da'wah yang berusaha menegakkan pemerintahan khilafah Islam, asalkan
kelompok tersebut memiliki kekuatan politik yang cukup prima. Bagi kaum
Muslimin yang lainnya, masing-masing memperjuangkan Islam sesuai dengan bidangnya.
Hanya satu cara untuk mewujudkan pemerintahan Islam, yaitu
da'wah yang dilaksanakan Rasulullah Saw., yang menjadi suri teladan kita
berdasarkan wahyu yang diterimanya dari Allah swt. Da'wah beliau disimpulkan
sebagai berikut:
Beliau mulai mengajak masyarakat. Kemudian diumumkan
terang-terangan untuk mendapatkan dukungan masyarakat, untuk mengubah persepsi
(mafahim), keyakinan (qana'at) dan standar (maqayis)
masyarakat. Kemudian meminta perlindungan dari pihak pimpinan atau tokoh-tokoh
masyarakat (yang sudah memeluk Islam) sebagaimana tindakan Rasulullah Saw.
kepada penduduk Yatsrib yang menerima dan melindungi Rasul dan mendirikan negara
Islam yang pertama di dunia.
Metode da'wah tersebut merupakan suatu kelaziman bagi kaum
muslimin. Ia merupakan hukum syar'i yang diambil melalui ijtihad yang sah.
Karena itu, hendaklah mereka segera
mencari ridha Allah SWT dengan melaksanakan perintahNya, dan hendaklah mereka
mengetahui bagaimana cara
melaksanakan kewajiban tersebut.
Mendirikan
Negara Islam Tidak Dengan Kekerasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar