Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 07 Mei 2013

Mendirikan Negara Islam Tidak Dengan Kekerasan

Mendirikan Negara Islam Tidak Dengan Kekerasan




Di antara pejuang (gerakan) Islam ada yang berpendapat bahwa jihad adalah satu-satunya jalan yang ditempuh untuk mendirikan negara Islam. Pendapat ini tidak tepat. Sebab, pengertian jihad adalah peperangan melawan negara-negara kafir yang memusuhi Islam dan kaum Muslimin, dengan harta, jiwa dan lidah, untuk menggabungkan negeri-negeri mereka ke negeri-negeri kaum muslimin, serta menaklukkan mereka agar cahaya Islam tersebar ke negeri-negeri kafir tersebut. Yang menjadi tujuan jihad lainnya adalah untuk menghilangkan segala penghalang yang bersifat fisik dan merintangi kaum muslimin untuk menegakkan keadilan di bumi ini. Dalam usaha ini termasuk mengubah negeri mereka agar menjadi Darul Islam.

Di samping itu, jihad adalah berupa peperangan untuk mempertahankan Darul Islam sebagaimana sikap Rasulullah Saw. dalam mempertahankan Madinah dalam Perang Ahzab. Dengan memperhatikan pengertian jihad tersebut, maka bagi kaum muslimin sekarang wajib melaksanakan jihad untuk memerangi kaum Yahudi (Israel) asal tidak berlindung kepada negara-negara kafir (misalnya AS) yang sombong dan angkuh itu.

Walaupun jihad merupakan fardlu yang harus berlanjut sampai Qiamat serta tidak dapat terhenti oleh sebab keadilan atau kezhaliman penguasa, tetapi ia merupakan fardlu lain selain dari fardlu pengangkatan khalifah yang berupa suatu usaha yang tujuannya mengubah sistem pemerintahan yang berlaku atas kaum muslimin dari sistem kufur ke sistem Islam tanpa melihat siapa penguasa itu. Sebab, usaha tersebut bukanlah usaha perorangan yang ditujukan terhadap pribadi penguasa. Ia bertujuan untuk mengubah undang-undang yang dihasilkan akal manusia dengan undang-undang dan peraturan yang diambil dari syariat Islam.

Itulah yang telah dilakukan Rasulullah Saw. di Madinah yang pada saat itu masih tunduk kepada peraturan kufur. Tetapi tatkala pemimpin-pemimpin Madinah membai'at Rasulullah Saw., maka kota Madinah telah menjadi negara Islam yang di dalamnya diterapkan hukum-hukum Islam. Ketika Rasulullah Saw. wafat, para khalifah sesudahnya tetap berusaha mengambil bai'at orang-orang yang mewakili rakyat untuk melaksanakan hukum Islam di tengah masyarakat.    Di masa kini tidak ada satu negeri pun yang mengambil aturan Islam berdasarkan syariat Islam atau madzhab fiqih Islam apapun, walaupun sebagian masih menganggap bahwa negara mereka adalah negara Islam. Mereka masih mencampuradukkan antara sistem Islam dengan sistem lain. Padahal peraturan-peraturan dan hukum-hukum Islam dapat diambil dari pendapat para fuqaha seperti Imam Syafi'i, Maliki, Hanafi, Hambali, Ja'far, Zaid dan lain-lain, atau diambil langsung dari dalil-dalil syara' melalui penggalian hukum (proses ijtihad) yang benar. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban kaum muslimin untuk mengangkat seorang khalifah yang mengurusi kaum Muslimin berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah SWT, bukan berdasarkan apa yang tercantum dalam konstitusi Amerika, peraturan dan resolusi PBB dan juga berdasarkan sosialisme, serikat buruh maupun sosialisme Internasional atau marxisme.

Oleh karena itu, jihad merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh negara Islam sendiri, atau dilakukan oleh kaum muslimin, tanpa seijin Imam dalam situasi dan kondisi mengusir pasukan kafir, apabila terputus komunikasi dengan Imam atau dalam kondisi kaum Muslimin diperangi. Ini berbeda dengan hukum mengangkat seorang khalifah bagi kaum Muslimin yang dicontohkan Rasul Saw. tanpa mengangkat senjata terhadap penguasa yang ada, walaupun mereka tidak menerapkan Islam.

Mengenai masalah mengangkat senjata, ada di antara aktivis da'wah yang berkata bahwa jika kelompok kita telah ditimpa bahaya dari penguasa saat berjuang menegakkan kekhalifahan, maka dalam keadaan ini kita berhak untuk membela diri dan boleh berperang dan memerangi penguasa yang menindas dan menyiksa kita meski belum dalam kondisi diperangi (perang). Mereka bertolak dari berbagai hadits, seperti:
"Siapa saja yang mati tatkala membela diri, maka matinya adalah mati syahid" (HR Ibnu 'Asyakir, dan Ath Thabari dengan lafaz mirip) [Lihat Kanzul 'umaal, Al Burhan Furi,  hadits no. 11172 dan 11238]
Hadits-hadits seperti di atas bukan hujjah untuk melakukan kudeta bersenjata terhadap penguasa sistem kufur. Sebab, Rasul Saw. tidak melakukan kudeta bersenjata untuk menegakkan kekuasaan Islam meski para sahabat disiksa kaum kafir. Hadits-hadits seperti di atas tercantum pada kitab-kitab fiqih dalam bab: "Menjauhkan Pihak yang Mengancam Kita".

Dalam hal ini hadits-hadits tersebut telah memberi rukhsah bagi kaum muslimin untuk menjauhkan serangan pihak yang mengancam diri, harta dan kehormatan mereka, walau pembelaan tersebut mengakibatkan seseorang meninggal dunia. Pihak pengancam biasanya dari kalangan orang-orang terhina, seperti pencuri dan perampok yang cenderung membunuh atau merampas dan mengambil harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Orang-orang tersebut berbeda dengan penguasa yang dimaksud dalam firman Allah SWT:
"Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi.." (Al Qashash: 83)

Yang dimaksud dengan "orang yang menyombongkan diri dan berbuat kerusakan" seperti Fir'aun, misalnya, adalah penguasa zhalim tetap ada dan berkuasa di setiap masa.

Membela diri berbeda dengan membela da'wah. Sebab, penguasa tidak menindas para pejuang da'wah Islam hanya semata-mata karena ingin merampas kekuasaan mereka, tetapi karena mereka membawa da'wah Islam. Oleh karena itu dalil tersebut tidak bisa dijadikan sebagai pegangan untuk mengambil hukum syara' yang membolehkan suatu gerakan da'wah memerangi penguasa zhalim padahal tidak dalam kondisi perang (jika umat dalam kondisi diperangi maka kaum Muslimin wajib berperang). Bahkan sebaliknya. Sebab, Rasulullah Saw. dan para Shahabat telah ditimpa berbagai macam bahaya /penganiayaan di Mekah sebelum tegaknya negara Islam. Mereka bersabar dan menahan diri, sehingga diberi rukhsah untuk orang-orang yang lemah untuk berhijrah ke Habsyah. Mereka tidak diijinkan untuk berperang.

Islam memang agama yang lengkap dan sempurna, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT:
"Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu, telah Kucukupkan nikmatKu bagimu, dan telah Kuridlai Islam menjadi agamamu".    Oleh karena itu, tidak benar bila ada yang berpendapat bahwasanya keadaan kita sekarang lain dengan masa Rasulullah. Maka menurut pendapat tersebut, kita dibolehkan berijtihad dan menggunakan akal kita untuk mencari suatu metode da'wah yang sesuai dengan keadaan masa kini.

Perbedaan fakta tidak ada kaitan dengan masalah fikrah (ide dasar) dan thariqah (pola operasional) da'wah. Perbedaan itu boleh ada dalam penggunaan sarana-sarana dan berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang selalu berkembang. Dahulu orang berpindah-pindah dengan onta sebagai alat transportasi atau dengan jalan kaki. Namun pada masa kini, orang-orang menggunakan pesawat terbang dan mobil sebagai alat transportasi. Mengenai fakta yang berkembang ini, para fuqaha telah menentukan suatu kaidah syara', yaitu:
"Hukum asal segala sesuatu benda adalah mubah, kecuali bila ada suatu dalil yang mengharamkannya".

Kaidah tersebut telah diambil dari berbagai ayat Al QurĂ¢an, seperti antara lain ayat 29 surat Al Baqarah. Meskipun demikian ayat tersebut tidak ada kaitannya dengan perbuatan manusia atau aktifitas suatu gerakan.

Adapun tentang kejadian-kejadian dan perbuatan manusia, maka hukum asal adalah "mengikatkan diri dengan hukum syara'". Tidak ada dalam Islam satu ijtihad pun yang berdasarkan akal saja.

Pengertian ijtihad di sini adalah berusaha semaksimal mungkin untuk mengetahui hukum-hukum syara' tentang masalah-masalah yang bersifat praktis yang dapat diambil dari rincian dalil-dalil syara'. Sedang pengertian hukum syara' adalah khitabusysyar'i, yaitu perintah dan larangan Allah SWT kepada RasulNya yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Seruan tersebut dapat diambil dari dalil-dalil syara', yaitu Al Qur'an, As Sunnah, dan apa yang ditunjukkan oleh keduanya, berupa ijma Shahabat dan qiyas. Mengeluarkan hukum berdasarkan keputusan akal semata, berarti merujuk kepada akal, bukan kepada syara'.

Perbuatan semacam ini tidak berbeda dengan tindakan orang-orang kafir. Sebab, mereka melakukan apa saja yang mereka anggap sesuai dengan kehendak dan akalnya. Karena itu, perbuatan tersebut tidak dapat disesuaikan (disamakan) dengan Islam yang di dalam Islam ia merupakan kepatuhan dan ketaatan kepada Allah SWT. Ketaatan itu adalah mengikuti dan melaksanakan apa yang diperintahkanNya, sebagaimana yang telah ditentukan dalam Firman Allah SWT:
"(Dan) Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.." (Al Qashash: 50)

"Akan tetapi orang-orang yang zhalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan (yang bersumber dari Allah).." (Ar Ruum: 29)

Itulah perbuatan mereka yang tidak dilandasi oleh dalil syara'. Kebaikan bukanlah sesuatu yang dipilih atau ditentukan oleh manusia, melainkan apa yang dipilih/ditentukan oleh syara'. Syara'lah yang menjadi tolok ukur bagi seorang Muslim. Menurut pandangan syara', perbuatan baik, buruk, terpuji dan tercela yang membawa manfaat dan mudharat; atau yang memperbaiki dan merusak masyarakat, adalah apa yang ditunjukkan syara' saja; bukan apa yang ditentukan oleh akal dan hawa nafsu manusia. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui" (Al Baqarah: 216)

Juga berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh sabda Rasulullah Saw.:
     "Siapa saja yang menambah sesuatu dalam urusan agama ini, yang tidak merupakan bagian darinya, maka hal itu tertolak (yakni harus ditinggalkan)" (HSR Bukhari, Muslim, dan Ahmad). [Lihat Shahih Bukhari Jilid VI, hal.221; Shahih Muslim, hadits no.18 dan 1718;  Musnad Imam Ahmad, jilid VI, hal.270]

Apa yang dihasilkan dari pendapat manusia yang berdasarkan akalnya, kecenderungan dan keinginannya, adalah berbeda dengan apa yang telah ditentukan syara'. Oleh karena itu, harus ada suatu dalil bahwa pendapat itu berasal dari syara'. Dalam hal ini tidak boleh menyamarkan pendapat tersebut dengan hadits Rasulullah, sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits Rasulullah Saw.:
"Siapa saja pada masa Islam mengajarkan suatu sunnah/perbuatan yang baik, maka ia mendapatkan pahalanya beserta pahala orang yang mengikutinya tanpa ia menguranginya; dan siapa saja yang mengajarkan sesuatu sunnah/perbuatan yang buruk, maka ia mendapat dosanya dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun". (HSR Muslim, Ahmad, Tirmizhi, An Nasa'i, dan Ibnu Majah) [Lihat Al Fathul Kabir, Yusuf An Nabhani, jilid III, halaman 200]

Maksud perbuatan sunnah di sini adalah perbuatan yang diikuti dan ditiru oleh orang banyak. Jika perbuatan itu baik, maka harus ada dalil syara' yang menunjukkan kebaikan perbuatan tersebut, begitu pula halnya dengan perbuatan buruk yang sama-sama memerlukan dalil. Karena itu, Rasulullah Saw. bersabda:
"Sesungguhnya anak (wali) Adam yang pertama, dibebankan dosa perbuatan jahat setiap pembunuh sampai Hari Kiamat". (HSR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan An Nasa'i) [Lihat Shahih Bukhari jilid XII, hal.169; Shahih Muslim hadits no.1677; Sunan Tirmidzi hadits no.2675; Sunan An Nasa'i, jilid VII, hal.82]

Dengan demikian, sunnah buruk semacam ini adalah perbuatan dosa. Sebab, Allah SWT telah mengharamkan pembunuhan. Bukti larangan dan penjelasan hal tersebut adalah riwayat hadits di atas, yaitu bahwasanya telah datang sekelompok orang kepada Rasulullah Saw. dengan penuh rasa tertarik pada Islam ketika beliau berada di masjid. Pada saat itu mereka memakai pakaian yang compang-camping yang menonjolkan aurat mereka. Abu Bakar ra lalu segera pulang ke rumah untuk mengambil pakaian yang dimilikinya, kemudian dibawanya ke masjid dan diberikan kepada mereka. Para Shahabat yang melihat tindakan Abu Bakar itu terkejut dan segera menyadari bahwa orang-orang tersebut memerlukan pakaian. Segeralah mereka mengikuti perbuatan Abu Bakar. Lalu Rasulullah bersabda sebagaimana tercantum dalam hadits di atas. Perbuatan Abu Bakar dan sahabat termasuk perbuatan shadaqah, seperti yang banyak dijelaskan dalam dalil syara'.

Penjelasan terakhir mengenai kesalahpahaman yang ada pada sebagian aktivis (gerakan) Islam adalah bahwa di antara kelompok da'wah ada yang berperang dan berkolaborasi bersama dengan suatu kelompok pemberontak untuk melawan pemberontak lain. Mereka berpendapat bahwa kelompok yang dibantunya itu lebih Islami atau dapat memperkuat posisi kaum muslimin atau posisi gerakan itu sendiri. Mereka melakukan perbuatan ini untuk mencari dukungan, meskipun dukungan itu nantinya akan datang dari pihak lawan.

Kelompok semacam ini menggunakan teori "tujuan membolehkan segala cara" yang merupakan pemikiran dasar Barat yang dicetuskan Machiavelli. Mereka mengerjakan sesuatu berdasarkan pendapat dan persangkaan semata, tanpa dalil yang mendukungnya. Sementara dalil syara' menunjukkan pengertian yang berlawanan dengan kelompok itu, sebagaimana firman Allah SWT:
"Maka Perangilah para pembangkang itu...!" (Al Hujurat: 9)

Ayat ini lafadznya 'aam (umum), mencakup setiap kelompok pemberontak bersenjata. Jika kelompok pembangkang itu jumlahnya 1, 2 atau 10, maka wajib kaum muslimin memerangi mereka, seluruhnya. Tetapi jika kaum muslimin memihak pada salah satunya, berarti mereka benar-benar berperang bersama pihak pemberontak, bukannya memeranginya, sebagaimana perintah Allah di atas. Perbuatan ini jelas-jelas diharamkan oleh syara'.

Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi bagi seseorang untuk tidak berjuang, atau berjuang tetapi berada di jalan yang salah. Bahkan, seharusnya setiap Muslim mempunyai cita-cita tinggi untuk merealisasikan Islam di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Cukuplah apabila ada satu kelompok da'wah yang berusaha menegakkan pemerintahan khilafah Islam, asalkan kelompok tersebut memiliki kekuatan politik yang cukup prima. Bagi kaum Muslimin yang lainnya, masing-masing memperjuangkan Islam sesuai dengan bidangnya.

Hanya satu cara untuk mewujudkan pemerintahan Islam, yaitu da'wah yang dilaksanakan Rasulullah Saw., yang menjadi suri teladan kita berdasarkan wahyu yang diterimanya dari Allah swt. Da'wah beliau disimpulkan sebagai berikut:

Beliau mulai mengajak masyarakat. Kemudian diumumkan terang-terangan untuk mendapatkan dukungan masyarakat, untuk mengubah persepsi (mafahim), keyakinan (qana'at) dan standar (maqayis) masyarakat. Kemudian meminta perlindungan dari pihak pimpinan atau tokoh-tokoh masyarakat (yang sudah memeluk Islam) sebagaimana tindakan Rasulullah Saw. kepada penduduk Yatsrib yang menerima dan melindungi Rasul dan mendirikan negara Islam yang pertama di dunia.

Metode da'wah tersebut merupakan suatu kelaziman bagi kaum muslimin. Ia merupakan hukum syar'i yang diambil melalui ijtihad yang sah. Karena itu, hendaklah mereka segera mencari ridha Allah SWT dengan melaksanakan perintahNya, dan hendaklah mereka mengetahui bagaimana cara melaksanakan kewajiban tersebut.

Mendirikan Negara Islam Tidak Dengan Kekerasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam