Oleh : K.H. Anwar
Sanusi.
Rabu, 19 September
2018, Ansor dibubarkan warga Tanjung Pura. Ini berita yang tidak biasa. Sebagai
underbow NU, Ansor bersama Banser justru
dikenal sebagai ormas yang rajin mempersekusi acara pengajian. Termasuk
pengajian Ustadz Abdus Shomad (UAS). Tetapi kali ini Ansor kena batunya.
Acaranya dibubarkan oleh masyarakat melayu. Ini dianggap sebagai balasan terhadap
Ansor yang telah mempersekusi UAS ketika mengadakan safari dakwah di tanah
Jawa.
Adakah Kesamaan Ansor Dan HTI?
Dalam aspek bahwa
keduanya dipersekusi, maka nasib HTI dan Ansor itu sama. Yaitu sama-sama
sebagai korban pengadilan massa. Sebuah bentuk pengadilan yang dilakukan tanpa
ada proses pembuktian. Bedanya adalah HTI dipersekusi oleh Ansor/Banser,
sedangkan Ansor/Banser hanyalah salah satu ormas. Tidak mewakili masyarakat
secara umum. Sedangkan kasus persekusi Ansor di Tanjung pura adalah dilakukan
oleh masyarakat secara umum.
Ansor, HTI dan UAS
Persekusi Ansor
terhadap UAS itu disebabkan oleh persepsi Ansor bahwa UAS adalah pendukung HTI.
Bahkan Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas menyatakan,
“Kalau UAS sudah bertaubat dari Khilafah, kita tidak akan melarang dakwahnya.”
Artinya penyebab dari semua persekusi terhadap UAS di berbagai daerah
semata-mata karena ide khilafah yang diemban HTI didukung oleh UAS.
Sebagai ulama yang
berpengatahuan luas tentu UAS tidak bisa mengakomodir keinginan Ansor. Karena
persoalan khilafah tidak menyalahi ajaran Islam. Bahkan merupakan bagian dari
syariat Islam itu sendiri. Khilafah tidak harus selalu diidentikkan dengan HTI.
Maka hal yang seharusnya dilakukan adalah bertemu, dan melakukan tabayun.
Apa Yang Ditakutkan Dari HTI?
Perbedaan itu adalah
lumrah. Di dalam ranah ide dan pemikiran seharusnya Ansor, HTI dan UAS bisa
saling berdialog. Sepanjang perbedaan itu di dalam ranah ide, tentu tidak akan
ada konflik dan ketegangan. Ini biasa terjadi pada ulama ulama terdahulu. Bahkan
Imam Syafii saja berbeda pendapat dengan gurunya Imam Malik. Perbedaan fiqiyah
adalah hal yang lumrah.
Akan tetapi jika
perbedaan itu dibingkai dalam kepentingan politik, inilah yang menimbulkan
pertengkaran bahkan perpecahan. Di era orde lama, perbedaan fiqih antara
Muhammadiyah dan NU dikelola untuk kepentingan politik. Untuk mengukur seberapa
besar kekuatan NU ukurannya adalah berapa banyak yang membaca qunut di sholat
shubuh, itulah kekuatan NU. Sedangkan yang tidak membaca qunut itulah
Muhammadiyah. Lalu NU diarahkan ke mana, dan Muhamadiyah diarahkan ke mana.
Jadilah perbedaan fiqih yang seharusnya terjadi di ranah diskusi bisa meruncing
dalam suasana politik yang panas. Terjadinya ketegangan antara NU dan
Muhammadiyah di masa lalu lebih dominan karena persoalan politik. Bukan
persoalan ide.
Demikian pula di saat
ini. Untuk mengukur seberapa besar kekuatan HTI, maka ukurannya adalah seberapa
besar tokoh yang menyuarakan khilafah. Dan seberapa besar umat yang mendukung
khilafah. Dan ketika ini dikemas dalam ruang politik, maka pertarungan itupun
memanas. Padahal tak semua orang yang sepakat ide khilafah itu adalah anggota
HTI. Sebagaimana tak semua orang yang membaca qunut di sholat shubuh itu
anggota NU.
Yang dibutuhkan adalah
keberanian untuk legowo menerima
kekalahan jika argumentasinya lemah. Tidak boleh memaksakan kebenaran satu sama
lain. Bawakan kitab kitab pendukung argumentasi masing-masing. Dan bukalah
pintu diskusi selebar lebarnya.
Menunggu Sikap Sportifitas Ansor
Sesungguhnya sikap
masyarakat melayu terhadap Ansor hanyalah perwujudan reaksi dari arogansi Ansor
saja. Jika ini tidak direspon dengan bijak, Ansor bisa dianggap menjadi common enemy. Karena bukan hanya UAS yang
dipersekusi. Gus Nur juga bernasib sama. Bahkan kampanye tagar ganti presiden
2019 dipersekusi juga atas tuduhan ditunggangi HTI yang dianggap mempunyai
maksud tersembunyi akan mengganti sistem dengan sistem khilafah.
Di saat yang sama,
pengagum UAS maupun Gus Nur jumlahnya tidaklah sedikit. Belum lagi jumlah
pendukung tagar ganti presiden 2019. Sedangkan dukungan ulama-ulama nahdliyin
terhadap HTI juga terus mengalir tak terbendung.
Artinya, tak ada cara
yang lain kecuali harus bertemu. Berbincang dan berargumentasi. Ansor harus
meninggalkan cara cara arogan yang tidak simpati. Atau Ansor akan ditinggalkan
oleh umat dan dijadikan sebagai common enemy.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar