Gagasan Ekonomi An-Nabhani dan
Bregman (3): Leap of Faith
Oleh Yudha Pedyanto
Meskipun An-Nabhani
dan Bregman memiliki tujuan yang sama, yakni menjamin kebutuhan dasar semua
warga negara, keduanya memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Beberapa
perbedaan kecil sudah saya paparkan pada tulisan sebelumnya. Sekarang kita
bahas perbedaan besarnya.
Long story short; perbedaan besarnya adalah:
UBI (Universal Basic Income) Bregman insya
Allah pasti gagal. Sedangkan Nizham
Iqtishadiy An-Nabhani insya Allah
pasti berhasil.
Tapi bukankah pada
tulisan sebelumnya saya membuktikan dengan banyak riset aktual dan saintifik?
Benarkah? Coba dibaca lagi. Semua riset hanya membuktikan dampak positif
pemenuhan kebutuhan dasar manusia: pendapatan naik, pendidikan naik, kesehatan
naik, kriminalitas turun, dan seterusnya.
Dan coba perhatikan
lagi, semua riset tersebut diujicobakan pada sample
yang terbatas; apakah itu komunitas, desa, negara bagian, atau sebagian
populasi negara. Belum ada yang mencoba UBI pada skala nasional (semua warga
negara), dan dalam rentang waktu yang lama.
Lalu apa yang terjadi
jika UBI benar-benar dijalankan skala nasional di sebuah negara, full dengan APBN-nya sendiri? Ada dua
kemungkinan yang terjadi; kalo negara
tersebut tidak hancur, ya bubar. Mengapa?
Pertama: Curse of Tax. Di negara-negara Kapitalis
(termasuk Indonesia), pajak adalah satu-satunya sumber pemasukan terbesar
negara. Maka UBI pun kelak akan dibiayai dari pajak. Ada yang menghitung, untuk
menjalankan UBI, pajak harus dinaikkan empat kali lipat. Padahal pajak itu 10%
sampai 30% dari pendapatan. Jadi untuk support
UBI, pajak naik jadi 40% sampai 120% dari pendapatan. Dengan kata lain, ada
yang harus bayar pajak hampir setengah sampai satu setengah kali dari
pendapatannya. Logis?
Sedangkan di Nizham Iqtishady, pajak hanya jadi opsi kas
terakhir setelah kharaj, fai, ghanimah, jizyah, zakat, serta kekayaan SDA.
Lalu bagaimana jika negara tidak punya SDA? Maka dalam negara khilafah jihad
hukumnya wajib dan berlaku sampai hari kiamat. Dengan jihad inilah, kekayaan
SDA sebuah “negara” didistribusikan ke negara-negara lainnya. Dan dari sini
juga pos pemasukan kharaj, fai, ghanimah dan jizyah dapat diperoleh secara
tetap.
Kedua: High Living Cost. Mengapa UBI per bulan begitu
tinggi? Karena untuk meng-cover cost-cost
besar seperti perumahan, pendidikan dan kesehatan. Mengapa cost-nya besar? Karena di negara kapitalis;
perumahan, pendidikan dan kesehatan bukan termasuk layanan negara (public services). Bahkan sebaliknya;
perumahan, pendidikan dan kesehatan dijadikan komoditas bisnis (asuransi) oleh
korporasi (semacam BPJS, student loan,
dan subprime mortgage). Namanya
korporasi pasti cari untung besar.
Sedangkan di Nizham Iqtishady, negara wajib memegang
layanan publik seperti perumahan (murah), pendidikan dan kesehatan.
Sektor-sektor ini haram hukumnya diberikan kepada korporasi. Termasuk kekayaan
SDA (air, hutan, gas, minyak, tambang) haram hukumnya diberikan kepada
korporasi. Semuanya tadi wajib dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada
rakyat dengan gratis, atau dengan harga semurah mungkin. Sepertinya tanpa UBI
rakyat sudah sejahtera.
Ketiga: Steroid Economy. UBI saya ibaratkan seperti doping bagi atlet olah raga yang ingin menang
cepat tanpa effort. Ia mungkin bisa
meningkatkan performa, tapi dengan jalan yang tidak wajar dan alamiah. Bahasa
ekonominya, UBI sebenarnya hanyalah intervensi moneter yang harus diambil
karena kondisi negara sudah sakratul maut. Seperti injeksi andrenalin agar
jantung kembali berdetak dan mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Tapi ya kadung sudah sakratul maut, injeksi apa pun
nampaknya tak akan banyak menolong.
Sedangkan di Nizham Iqtishady, alih-alih menyuntikkan
andrenalin kepada orang sakit yang sedang sakratul maut, ia mengajari kita
bagaimana gaya hidup sehat sehingga terhindar dari sakit yang mematikan. Nizham Iqtishady misalnya mengajari kita untuk
menjauhi riba yang jadi sumber labilitas ekonomi, mendistribusikan SDA kepada
rakyat, mewajibkan zakat, mencegah penyedotan dan akumulasi modal dengan
menutup perbankan, pasar uang dan saham. Semuanya tadi insya Allah membuat ekonomi jadi sehat-kuat sehingga tidak
memerlukan injeksi moneter seperti UBI.
Keempat: Curse of Fiat Money. Bayangkan jika semua
penduduk dewasa (ingat semuanya) diberikan uang tunai bulanan yang cukup besar.
Apa yang terjadi? Mereka yang dulunya kesulitan membeli kebutuhan primernya,
sekarang dengan mudah bisa membeli apa saja. Dengan kata lain sisi permintaan
akan naik tajam. Jika sisi penawaran tidak mampu mengimbangi (karena sifatnya
steroid tadi), maka bisa dipastikan inflasi hebat akan terjadi. Bahkan tidak
mustahil terjadi hyperinflation seperti
di Venezuela. End of story.
Sedangkan di Nizham Iqtishady, mata uang yang digunakan
bukan fiat money yang tidak memiliki
nilai intrinsik, karena hanya ditopang oleh hukum negara. Dalam Nizham Iqtishady, mata uang yang digunakan
adalah hard money yang memiliki nilai
intrinsik, karena ditopang oleh emas dan perak. Nah inflasi bisa dibilang
sangat kecil, bisa diabaikan dan tidak jadi ancaman. Di samping itu dengan
pendekatan ekonomi sehat non-steroid seperti yang dijelaskan sebelumnya,
membuat sisi permintaan-penawaran tetap seimbang. Dan ingat, kalaupun ada
bantuan tunai, negara hanya memberikan kepada yang benar-benar tidak mampu
saja. Itu pun setelah dipastikan wali dan ahli warisnya juga tidak mampu. Tidak
seperti UBI yang angkanya fantastis karena memberi uang tunai kepada semua
orang.
Kelima: Incompatible Political System. Pelaksanaan UBI
nampaknya berjalan tarik ulur dan maju mundur di beberapa negara, sepert di
Finlandia dan Namibia. Mengapa? Karena UBI hanyalah solusi yang berdasarkan manfaat-mudharat saja. Ia lahir dari
penafsiran atas manfaat, yang didukung dengan riset skala kecil. Ketika UBI
diekstrapolasi untuk diterapkan dalam skala nasional, banyak yang ragu-ragu.
Belum lagi ada kepentingan politik yang bermain. Inilah yang membuat tarik ulur
dan maju mundur tadi. Bisa dikatakan: UBI is
the never ending expensive social experiment, with real life and real people as
it’s victims.
Sedangkan Nizham Iqtishady, hanya bisa diterapkan oleh
sistem politik yang kompatibel dengannya, yakni sistem khilafah Islamiyah.
Singkatnya sistem khilafah menjadikan syariah Islam sebagai obligation (kewajiban), tidak seperti
demokrasi yang menjadikan syariah Islam sebagai option
(pilihan) saja. Tidak ada tawar menawar atau penafsiran manfaat-mudharat dalam khilafah. Yang ada adalah, jika ia hukum
syariat maka wajib diterapkan atas dasar iman. Tidak seperti demokrasi yang
harus melalui perdebatan panjang serta eksperimen sosial yang berdarah-darah.
Bagaimana pun hukum Pencipta manusia adalah hukum terbaik buat manusia.
Jadi kesimpulannya? Nizham Iqtishady dan Khilafah Islamiyah tidak
memerlukan UBI. Karena UBI ibaratnya seperti obat penenang bagi pencandu
narkoba yang sedang sakaw. Caranya bukan dengan mengkonsumsi obat (UBI), tapi
dengan menjauhi narkoba (ekonomi kapitalis) serta menerapkan gaya hidup sehat
(syariah Islam kaffah).
Sekarang saya paham,
mengapa di Nizham Iqtishady An-Nabhani
tidak memberikan data aktual dan santifik untuk memperkuat gagasannya. Karena
memang beliau tidak membutuhkannya. Demikian juga dengan kita. An-Nabhani ingin
kita memahami gagasannya dengan mindset
yang benar; bahwa yang terpenting adalah keselarasannya dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Jika hasil ijtihad beliau sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, then just do it, jalankan saja.
Sebenarnya yang kita
perlukan bukan data aktual atau riset saintifik, tapi leap of faith, lompatan keimanan, bahwa semua yang Allah dan
Rasul-Nya perintahkan, pasti membawa kebaikan dan keberkahan, dunia dan
akhirat, sekalipun belum tergambar manfaat-mudahratnya
oleh kita. Seperti ketika Allah SWT memerintahkan Musa 'alaihi salam untuk
menghentakkan tongkatnya, atau Nuh 'alaihi
salam untuk membangun bahtera, mereka
sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Jadi mari kita saling
berpegangan tangan, kemudian “lompat” bersama-sama untuk menerapkan syariah
kaffah dalam bingkai khilafah Islamiyah. Bismillah.
Jogjakarta, 3
September 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar