Oleh Yudha Pedyanto
“Coba di-Google aja”
Kata-kata ini pasti sering kita dengar. Atau “Tolong belikan Aqua”, juga sering
kita dengar. Atau yang lebih kekinian, “Di-Gojek-in aja”. Apa persamaan
kata-kata tadi? Google, Aqua atau Gojek adalah produk-produk yang diterima,
dibutuhkan serta mengakar kuat di tengah masyarakat.
Para ahli menyebut
perusahaan-perusahaan seperti Google, Aqua atau Gojek sebagai Category King.
Mereka adalah perusahaan-perusahaan pemimpin pasar yang berhasil membuat
kategori baru, produk baru, solusi baru, serta aturan main baru yang sebeumnya
tidak ada. Tidak hanya itu, mereka membuat banyak perusahaan beserta produk
lamanya jadi usang dan kadaluwarsa.
Anda pasti tahu,
selain Google ada Yahoo atau Bing, tapi Google lah yang membuat kategori search
engine baru yang lebih cepat dan akurat. Selain Aqua ada banyak air minum
kemasan, tapi Aqua lah yang pertama kali memperkenalkan kategori baru air
mineral. Demikian pula sudah puluhan tahun kita mengenal transportasi
konvensional seperti ojek atau taksi, tapi baru Uber atau Gojek lah yang
membuat kategori transportasi baru yang cepat, mudah, murah dan transparan.
Ketika produk-produk
seperti Google, Aqua atau Gojek dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, mereka
secara bawah sadar tidak bisa membedakan antara nama perusahaan dengan solusi
yang ditawarkannya. Maka kita nyaris tidak pernah bilang, “Coba di-search-engine”
tapi “Coba di-Google”. Kita juga nyaris tidak pernah bilang, “Tolong beli air
kemasan”, tapi “Tolong beli Aqua”. Anda mungkin baru sadar kalau Odol
sebenarnya adalah sebuah merek dari perusahaan pasta gigi jaman old.
Padahal search engine
bisa diberikan oleh siapa saja, bukan hanya Google. Demikian pula dengan
transportasi online juga bisa diberikan oleh siapa saja, bukan hanya Gojek.
Ataupun air mineral juga bisa diberikan oleh siapa saja, bukan hanya Aqua. Tapi
masyarakat secara bawah sadar sudah kadung menyatukan antara produk dengan
perusahaan yang mempeloporinya. Inilah imbalan prestisius yang hanya bisa
didapatkan oleh perusahaan-perusahaan Category King.
Menariknya, menurut Al
Ramadan, seorang data scientist dan software engineer dari Silicon Valley,
fenomena Category King tidak hanya dijumpai di industri teknologi informasi
saja. Tapi Category King juga banyak dijumpai di kalangan aktivis pergerakan
sosial yang melahirkan banyak babak baru dalam sejarah. Mulai dari bangkitnya
demokrasi di Barat, sampai komunisme di Soviet.
Saya jadi
bertanya-tanya, mungkinkah dinamika politik yang terjadi di Indonesia hari ini
juga melibatkan Category King? Misalnya jika saya menyebut sebuah topik yang
lagi panas saat ini; khilafah, apa yang ada dalam benak Anda? HTI. Karena HTI
sebagai sebuah organisasi, dan khilafah sebagai solusi yang ditawarkannya,
nyaris tidak bisa dipisahkan. Seperti Google dan search engine, atau Aqua dan
air mineral.
Sampai-sampai jika
hari ini ada ulama, ustadz, politisi atau public figure bicara khilafah, atau
mengenakan atribut-atribut khasnya (panji-panji bertuliskan kalimat tauhid),
maka yang bersangkutan langsung diklaim sebagai anggota atau minimal simpatisan
HTI. Sekalipun mereka (bahkan Jubir HTI langsung) sudah berkali-laki
mengklarifikasi mereka bukan anggota HTI.
Selain itu HTI
berkali-kali sudah menjelaskan; ide khilafah bukan berasal dari HTI, tapi
berasal dari Al-Quran, As-Sunnah, serta pendapat para Imam Mazhab. Dan HTI pun
bukan yang pertama menyuarakannya. Kalau sebelum Google sudah ada Yahoo atau
Alta Vista, sebelum Hizbut Tahrir (Palestina) sudah ada Jama’at Islami
(Pakistan) atau Ikhwanul Muslimin (Mesir).
Hanya saja, Google
yang pertama memperkenalkan kategori search engine menggunakan metode page
rank. Demikian pula Hizbut Tahrir yang pertama memperkenalkan kategori dakwah
syariah-khilafah menggunakan metode pemikiran, politis-ideologis, tanpa
kekerasan (fikriyah, siyasiyah, la-unfiyah).
Rahasia kekuatan
Category King menurut Al Ramadan adalah, mereka mampu menawarkan kategori baru
kepada masyarakat, sehingga mereka memandang kategori lama sudah usang dan
kadaluwarsa. Sebagai contoh Uber atau Gojek menawarkan kategori baru; solusi
transportasi yang cepat, mudah, murah dan transparan. Kategori baru tersebut
membuat kategori lama seperti mencegat taksi atau ojek pangkalan jadi usang dan
kadaluwarsa, karena harus menunggu lama, sulit mencari alamat, serta biaya yang
tidak transparan. Uber atau Gojek membuat orang-orang sadar ada masalah dengan
kategori lama.
Demikian pula dengan
HTI, mampu menawarkan kategori baru syariah-khilafah kepada masyarakat,
sehingga mereka memandang kategori lama sudah usang dan kadaluwarsa. Sebagai
contoh HTI menawarkan kategori baru; solusi penerapan syariah kaffah dalam
bingkai khilafah. Kategori baru ini membuat kategori lama seperti demokrasi dan
ekonomi kapitalisme jadi usang dan kadaluwarsa, karena terbukti gagal
mewujudkan kesejahteraan dan pemerataan, serta terbukti lebih mengabdi kepada
kepentingan korporat ketimbang rakyat. HTI membuat orang-orang sadar ada
masalah dengan kategori lama.
Bayangkan jika Uber
atau Gojek melakukan sebaliknya. Alih-alih menjadi Category King mereka menjadi
conformist dan bermain di kategori lama. Alih-alih membangun moda transportasi
online, mereka hanya membangun perusahaan taksi atau transportasi konvensional
biasa. Bisa Anda bayangkan seperti apa repotnya hari-hari tanpa moda
transportasi online?
Demikian pula
bayangkan jika HTI melakukan sebaliknya. Alih-alih menjadi Category King mereka
menjadi conformist dan bermain di kategori lama. Alih-alih menyuarakan solusi
alternatif benahi negeri, mereka hanya mengikuti arus seperti partai-partai
pragmatis sarang koruptor yang saling mencabik mengais remah-remah kekuasaan.
Bisa Anda bayangkan seperti apa suramnya hari-hari tanpa harapan baru?
Tapi Uber dan Gojek
harus siap membayar mahal karena mencoba mengusik kategori lama; transportasi
konvensional yang sudah mapan tersebut. Uber dan Gojek harus rela dipersekusi
oleh penguasa dan pengojek konvensional yang gagal move on. Penguasa berkali-kali
mengancam akan memberangus moda transportasi online, dengan alasan tidak
memiliki plat kuning, tidak bayar pajak, tidak sesuai regulasi yang ada.
Sedangkan pengojek konvensional mulai memberlakukan zona bebas transportasi
online. Jika ada yang melanggar, tak jarang mereka main pukul serta main rusak
kendaraan.
Demikian pula HTI
harus siap membayar mahal karena mencoba mengusik kategori lama; ideologi
sekulerisme, demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis yang sudah mapan tersebut.
HTI harus rela dipersekusi oleh penguasa dan kaki tangannya yang gagal move on.
Tidak puas mencabut legalitas ormas HTI, mereka mempersekusi dosen, pegawai dan
ulama yang diduga dekat dengan HTI. Pengajian-pengajian yang diduga berafiliasi
ke HTI pun dibubarkan oleh “ormas konvensional". Mereka pun mengancam siap
main gebug jika HTI terus nekat berdakwah.
Tapi Anda pasti tahu
siapa pemenangnya. Transportasi online tidak bisa dihentikan oleh pemerintah
atau pengojek konvensional, karena ia sudah mengakar kuat di masyarakat. Yang
terjadi justru pengojek konvensional akhirnya beralih ke pengojek online. Demikian
pula ide-ide HTI tidak bisa dihentikan oleh penguasa dan ormas konvensional,
karena ide khilafah sudah kadung menyebar dan jadi buah bibir, mulai dari
panggung-panggung politisi sampai warung-warung kopi.
Jika masih ada
pihak-pihak yang keras dan beringas menentang perubahan, insya Allah tak lama
lagi mereka jadi pendukungnya. Seperti para pengojek konvensioal yang beralih
jadi pengojek online. Demikian pula ormas konvensional insya Allah tidak lama
lagi hijrah jadi ormas khilafah.
Anggap saja mereka
membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk menyadari gagasannya sudah usang dan
kadaluwarsa. Karena tidak ada yang bisa menghentikan sebuah gagasan yang sudah
saatnya bersemi. No one can stop an idea whose time has come.
Jogjakarta, 14
September 2018
#MengenalHTI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar