Oleh Yudha Pedyanto
Violence is the last
refuge of the incompetent.
-Salvor Hardin
Kekerasan adalah
perlindungan terakhir bagi orang yang tidak kompeten. Ini adalah kata-kata
favorit Isaac Asimov, seorang profesor biochemistry dari Boston University,
sekaligus penulis science fiction terkenal. Kalo Anda pernah lihat film I Robot
yang diperankan Will Smith, atau Bicentennial Man yang diperankan Robin
Williams, film-film itu adalah hasil adaptasi dari karyanya.
Kekerasan adalah
perlindungan terakhir bagi orang yang tidak kompeten. Apa maksudnya? Meminjam
kaidah ushul mafhum mukholafah (inversion thinking), makna pararelnya kurang
lebih adalah: Orang yang kompeten (cerdas, dewasa, berpendidikan) adalah orang
yang tidak mudah berlindung di balik kekerasan.
Biasanya kalau ada
anak kecil yang minta es krim ke adiknya, awalnya dia akan minta baik-baik.
Jika belum berhasil, mungkin dia akan mengajak barter dengan mainan. Jika masih
belum berhasil juga, tak punya pilihan lain dia akhirnya mengancam akan memukul,
“Tak gebug kamu!” Itulah anak kecil. Tapi hari-hari ini banyak orang dewasa
yang sikapnya seperti anak kecil tadi. Makanya disebut incompetent, atau
impotent? Intellectually and maturity speaking.
Melihat maraknya aksi
main hakim sendiri dan persekusi yang terjadi di seantero negeri belakangan
ini, lalu penguasa pun hanya bisa tutup muka dan diam seribu bahasa, harus saya
akui kata-kata favorit Isaac Asimov tadi adalah kata-kata favorit saya juga.
Negeri ini seperti impotent tak mampu menegakkan hukum dan keadilan, dan
akhirnya jadi sarang penyamun yang incompetent.
Terlepas dari
menariknya dan relevannya kata-kata fave Isaac Asimov tadi, saya lebih suka
kata-kata Orson Scott Card, yang kebetulan seorang penulis science fiction
juga, dan kebetulan karyanya juga sudah diadaptasi jadi film berjudul Ender’s
Game:
Only the enemy shows
you where you are weak. Only the enemy tells you where he is strong.
-Orson Scott Card
Hanya musuhlah yang
bisa menunjukkan di mana letak kelemahanmu, dan hanya musuhlah yang bisa
memberitahu di mana letak kekuatannya. Kembali meminjam kaidah inversion
thinking tadi, makna pararelnya kurang lebih adalah: Hanya musuhlah yang bisa
menunjukkan di mana letak kekuatanmu, dan hanya musuhlah yang bisa memberitahu
di mana letak kelemahannya. Wow, kata-kata yang luar biasa.
Tapi saya kurang
setuju dengan kata musuh, karena hakikatnya dia bukan musuh (enemy), tetapi
sahabat (friend) yang tertunda. Lagi pula layakkah orang yang berjasa besar
menunjukkan kekuatan kita disebut musuh? Kita sebut saja mereka; enemies who
soon became friends, atau lebih singkatnya frenemy.
Apalagi jika
perselisihan tersebut terjadi antar sesama muslim yang pada hakikatnya
bersaudara. Dan perselisihan tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan yang
dimanfaatkan pihak-pihak lain yang ingin umat Islam terus bertikai selamanya.
Sementara para aktor di balik layar tertawa sambil toast wine saling memuji
keberhasilan mereka memecah-belah umat Islam.
Lalu bagaimana mungkin
enemy, maksud saya frenemy, berjasa besar menunjukkan kekuatan kita? Jika ada
dua orang sedang beradu argumen, lalu ketika salah satunya tak mampu
menyanggah, alih-alih mengaku kalah dia malah berkilah, “Argumenku mati harga,
eh harga mati! Tak gebug kamu!” Maka si pengancam mengekspos kekuatan si
pemilik argumen, serta kelemahannya sendiri. Si pemilik argumen jadi bisa
menakar seberapa besar kekuatannya.
Mungkin ada yang
menyela, tapi tadi kan contoh fiksi? Baiklah kalau mau contoh non fiksi kita
bisa lihat sejarah Nabi SAW. Bagaimana Rasulullah SAW dan para sahabat
dipersekusi oleh penguasa Quraisy dan kaki tangannya. Bukan karena Nabi SAW
memiliki tahta dan bala tentara yang mengancam petahana. Tapi karena Rasulullah
SAW menyampaikan Al-Quran yang menjungkirbalikkan nilai-nilai luhur yang
dihargamatikan oleh petahana tadi.
Sebenarnya ada solusi
mudah bagi petahana Quraisy; jika Al-Quran adalah sumber kekuatan Nabi SAW,
maka petahana Quraisy tinggal membuat Al-Quran tandingan saja bukan? Buat saja
Al-Quran versi Quraisy yang isinya balik menjungkirbalikkan nilai-nilai luhur
Al-Quran versi Muhammad. Solusi simple dan tuntas. Selesai.
Tapi tunggu, ada satu
masalah kecil: Petahana Quraisy tak mampu melakukannya. Walid bin Mughirah
profesor sastra terbaik yang dimiliki petahana, dikirim untuk menandingi sastra
Al-Quran. Tapi Prof Walid hanya bisa pulang dengan tangan hampa sembari berkata,
“Ma hadza bi qoulin basyarin”, ini bukan perkataan manusia. Sambil putus asa
akhirnya petahana Quraish mengeluarkan opsi terakhirnya; intimidasi,
penyiksaan, pengusiran bahkan peperangan. Such a last refuge of the desperate
incompetent.
Mungkin masih ada aja
yang menyela, tapi tadi kan contoh sejarah jaman old? Contoh kasus untuk kids
jaman now ada nggak? Baiklah Anda memaksa saya meminjam contoh kasus HTI untuk
yang kesekian kalinya. Ketika rezim petahana mengeluarkan perpu ormas dan membubarkan
HTI, saya sangat terkejut. Mengapa? Karena perpu, pembubaran dan persekusi,
bagi saya adalah tindakan yang terlalu mewah dan mahal bagi sebuah jamaah
dakwah yang sering dicemooh kecil, tak memiki banyak pendukung, bisanya omong
doang dan mimpi khilafah.
Seharusnya kalau
memang HTI kecil dan tak signifikan, dicuekin saja lama-lama capek dan mati
sendiri. Tapi penguasa petahana yang sebelumnya putus asa tak bisa membubarkan
pakai UU Ormas, harus bersusah payah membuat perpu darurat (dipaksakan), yang
melibatkan Menkumham, Menag, Menristek, Menko polhukam, Mendagri, TNI, Polri,
BIN, seorang Presiden dan sebuah sidang paripurna DPR. Semuanya tadi hanya
untuk menghadapi HTI? Really?
Wait. It’s far from
enough. Tak cukup sampai di situ, Menristek mempersekusi dosen dan guru besar
yang diduga anggota HTI. Masih belum cukup, di tambah lagi ormas terbesar di
negeri ini beserta organ kepemudaannya gencar membubarkan pengajian yang diduga
HTI. Wow sebesar itukah kekuatan HTI? Hanya karena HTI ngomong doang dan mimpi
khilafah, petahana Quraisy, maksud saya petahana rezim, sampai mengerahkan
semua kekuatannya bahkan ancaman penangkapan dan penjara dua puluh tahun (Pasal
82A). Such a last refuge of the desperate incompetent.
Tapi bagian yang
paling menarik menurut saya bukan bagaimana kalapnya petahana dan kaki
tangannya yang gigih mempersekusi HTI. Bagian yang paling menarik menurut saya
adalah bagaimana sikap HTI dalam menghadapi persekusi tersebut. Mereka terlihat
sangat kalem, percaya diri, dan banyak tersenyum. Mungkin karena mereka sadar,
bahwa semuanya yang terjadi bukannya melemahkan HTI, tapi justru mengekspos
kekuatan hakiki yang dimiliki HTI.
Karena hanya enemy
yang bisa menunjukkan dimana letak kekuatanmu, dan hanya enemy yang bisa
memberitahu di mana letak kelemahannya. Sorry maksud saya frenemy bukan enemy.
Dan semua tindakan represi dan persekusi tadi sejatinya ibarat pengakuan
tersirat: Wahai HTI, levelmu setara dengan kami, negara beserta semua
lembaganya, bahkan mungkin lebih tinggi. Jadi kalo ada ormas kelas ojek
pangkalan suka bubarkan pengajianmu, abaikan saja.
Seolah semua persekusi
dan kejadian sudah diantisipasi, diprediksi dan disimulasikan dengan akurat di
kepala para syabab HTI tadi. Mengingat mereka bukan kelompok amatiran, tapi
sudah berpengalaman di skala internasional selama 67 tahun menghadapi tiran-tiran
paling bengis dan represif di seluruh dunia. Ingat HTI hanyalah bagian integral
dari Hizbut Tahrir internasional. Tiba-tiba saya merasa ngeri-ngeri sedap.
Batin saya berucap lirih, “You guys have no idea who you're dealing with.”
Ketika ustadz-ustadz
mereka dipersekusi, mereka mengalah. Ketika gugatan mereka kalah di pengadilan,
mereka sujud syukur. Manusia macam apa yang bisa seperti ini? Seolah mereka
sedang mempersiapkan “the next move” yang lebih besar dari semuanya tadi. And
whatever it is, it’s big and spectacular, but I believe it’s also beautiful and
peaceful. Dan mungkin kali ini, petahana dan kaki tangannya tak akan sanggup
menghentikan mereka.
Jogjakarta, 15
September 2018
#MengenalHTI
#HTImilenial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar