Download BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 05 September 2018

Gagasan Ekonomi An-Nabhani dan Bregman (3): Leap of Faith




Gagasan Ekonomi An-Nabhani dan Bregman (3): Leap of Faith

Oleh Yudha Pedyanto

Meskipun An-Nabhani dan Bregman memiliki tujuan yang sama, yakni menjamin kebutuhan dasar semua warga negara, keduanya memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Beberapa perbedaan kecil sudah saya paparkan pada tulisan sebelumnya. Sekarang kita bahas perbedaan besarnya.

Long story short; perbedaan besarnya adalah: UBI (Universal Basic Income) Bregman insya Allah pasti gagal. Sedangkan Nizham Iqtishadiy An-Nabhani insya Allah pasti berhasil.

Tapi bukankah pada tulisan sebelumnya saya membuktikan dengan banyak riset aktual dan saintifik? Benarkah? Coba dibaca lagi. Semua riset hanya membuktikan dampak positif pemenuhan kebutuhan dasar manusia: pendapatan naik, pendidikan naik, kesehatan naik, kriminalitas turun, dan seterusnya.

Dan coba perhatikan lagi, semua riset tersebut diujicobakan pada sample yang terbatas; apakah itu komunitas, desa, negara bagian, atau sebagian populasi negara. Belum ada yang mencoba UBI pada skala nasional (semua warga negara), dan dalam rentang waktu yang lama.

Lalu apa yang terjadi jika UBI benar-benar dijalankan skala nasional di sebuah negara, full dengan APBN-nya sendiri? Ada dua kemungkinan yang terjadi; kalo negara tersebut tidak hancur, ya bubar. Mengapa?

Pertama: Curse of Tax. Di negara-negara Kapitalis (termasuk Indonesia), pajak adalah satu-satunya sumber pemasukan terbesar negara. Maka UBI pun kelak akan dibiayai dari pajak. Ada yang menghitung, untuk menjalankan UBI, pajak harus dinaikkan empat kali lipat. Padahal pajak itu 10% sampai 30% dari pendapatan. Jadi untuk support UBI, pajak naik jadi 40% sampai 120% dari pendapatan. Dengan kata lain, ada yang harus bayar pajak hampir setengah sampai satu setengah kali dari pendapatannya. Logis?

Sedangkan di Nizham Iqtishady, pajak hanya jadi opsi kas terakhir setelah kharaj, fai, ghanimah, jizyah, zakat, serta kekayaan SDA. Lalu bagaimana jika negara tidak punya SDA? Maka dalam negara khilafah jihad hukumnya wajib dan berlaku sampai hari kiamat. Dengan jihad inilah, kekayaan SDA sebuah “negara” didistribusikan ke negara-negara lainnya. Dan dari sini juga pos pemasukan kharaj, fai, ghanimah dan jizyah dapat diperoleh secara tetap.

Kedua: High Living Cost. Mengapa UBI per bulan begitu tinggi? Karena untuk meng-cover cost-cost besar seperti perumahan, pendidikan dan kesehatan. Mengapa cost-nya besar? Karena di negara kapitalis; perumahan, pendidikan dan kesehatan bukan termasuk layanan negara (public services). Bahkan sebaliknya; perumahan, pendidikan dan kesehatan dijadikan komoditas bisnis (asuransi) oleh korporasi (semacam BPJS, student loan, dan subprime mortgage). Namanya korporasi pasti cari untung besar.

Sedangkan di Nizham Iqtishady, negara wajib memegang layanan publik seperti perumahan (murah), pendidikan dan kesehatan. Sektor-sektor ini haram hukumnya diberikan kepada korporasi. Termasuk kekayaan SDA (air, hutan, gas, minyak, tambang) haram hukumnya diberikan kepada korporasi. Semuanya tadi wajib dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dengan gratis, atau dengan harga semurah mungkin. Sepertinya tanpa UBI rakyat sudah sejahtera.

Ketiga: Steroid Economy. UBI saya ibaratkan seperti doping bagi atlet olah raga yang ingin menang cepat tanpa effort. Ia mungkin bisa meningkatkan performa, tapi dengan jalan yang tidak wajar dan alamiah. Bahasa ekonominya, UBI sebenarnya hanyalah intervensi moneter yang harus diambil karena kondisi negara sudah sakratul maut. Seperti injeksi andrenalin agar jantung kembali berdetak dan mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Tapi ya kadung sudah sakratul maut, injeksi apa pun nampaknya tak akan banyak menolong.

Sedangkan di Nizham Iqtishady, alih-alih menyuntikkan andrenalin kepada orang sakit yang sedang sakratul maut, ia mengajari kita bagaimana gaya hidup sehat sehingga terhindar dari sakit yang mematikan. Nizham Iqtishady misalnya mengajari kita untuk menjauhi riba yang jadi sumber labilitas ekonomi, mendistribusikan SDA kepada rakyat, mewajibkan zakat, mencegah penyedotan dan akumulasi modal dengan menutup perbankan, pasar uang dan saham. Semuanya tadi insya Allah membuat ekonomi jadi sehat-kuat sehingga tidak memerlukan injeksi moneter seperti UBI.

Keempat: Curse of Fiat Money. Bayangkan jika semua penduduk dewasa (ingat semuanya) diberikan uang tunai bulanan yang cukup besar. Apa yang terjadi? Mereka yang dulunya kesulitan membeli kebutuhan primernya, sekarang dengan mudah bisa membeli apa saja. Dengan kata lain sisi permintaan akan naik tajam. Jika sisi penawaran tidak mampu mengimbangi (karena sifatnya steroid tadi), maka bisa dipastikan inflasi hebat akan terjadi. Bahkan tidak mustahil terjadi hyperinflation seperti di Venezuela. End of story.

Sedangkan di Nizham Iqtishady, mata uang yang digunakan bukan fiat money yang tidak memiliki nilai intrinsik, karena hanya ditopang oleh hukum negara. Dalam Nizham Iqtishady, mata uang yang digunakan adalah hard money yang memiliki nilai intrinsik, karena ditopang oleh emas dan perak. Nah inflasi bisa dibilang sangat kecil, bisa diabaikan dan tidak jadi ancaman. Di samping itu dengan pendekatan ekonomi sehat non-steroid seperti yang dijelaskan sebelumnya, membuat sisi permintaan-penawaran tetap seimbang. Dan ingat, kalaupun ada bantuan tunai, negara hanya memberikan kepada yang benar-benar tidak mampu saja. Itu pun setelah dipastikan wali dan ahli warisnya juga tidak mampu. Tidak seperti UBI yang angkanya fantastis karena memberi uang tunai kepada semua orang.

Kelima: Incompatible Political System. Pelaksanaan UBI nampaknya berjalan tarik ulur dan maju mundur di beberapa negara, sepert di Finlandia dan Namibia. Mengapa? Karena UBI hanyalah solusi yang berdasarkan manfaat-mudharat saja. Ia lahir dari penafsiran atas manfaat, yang didukung dengan riset skala kecil. Ketika UBI diekstrapolasi untuk diterapkan dalam skala nasional, banyak yang ragu-ragu. Belum lagi ada kepentingan politik yang bermain. Inilah yang membuat tarik ulur dan maju mundur tadi. Bisa dikatakan: UBI is the never ending expensive social experiment, with real life and real people as it’s victims.

Sedangkan Nizham Iqtishady, hanya bisa diterapkan oleh sistem politik yang kompatibel dengannya, yakni sistem khilafah Islamiyah. Singkatnya sistem khilafah menjadikan syariah Islam sebagai obligation (kewajiban), tidak seperti demokrasi yang menjadikan syariah Islam sebagai option (pilihan) saja. Tidak ada tawar menawar atau penafsiran manfaat-mudharat dalam khilafah. Yang ada adalah, jika ia hukum syariat maka wajib diterapkan atas dasar iman. Tidak seperti demokrasi yang harus melalui perdebatan panjang serta eksperimen sosial yang berdarah-darah. Bagaimana pun hukum Pencipta manusia adalah hukum terbaik buat manusia.

Jadi kesimpulannya? Nizham Iqtishady dan Khilafah Islamiyah tidak memerlukan UBI. Karena UBI ibaratnya seperti obat penenang bagi pencandu narkoba yang sedang sakaw. Caranya bukan dengan mengkonsumsi obat (UBI), tapi dengan menjauhi narkoba (ekonomi kapitalis) serta menerapkan gaya hidup sehat (syariah Islam kaffah).

Sekarang saya paham, mengapa di Nizham Iqtishady An-Nabhani tidak memberikan data aktual dan santifik untuk memperkuat gagasannya. Karena memang beliau tidak membutuhkannya. Demikian juga dengan kita. An-Nabhani ingin kita memahami gagasannya dengan mindset yang benar; bahwa yang terpenting adalah keselarasannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika hasil ijtihad beliau sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, then just do it, jalankan saja.

Sebenarnya yang kita perlukan bukan data aktual atau riset saintifik, tapi leap of faith, lompatan keimanan, bahwa semua yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan, pasti membawa kebaikan dan keberkahan, dunia dan akhirat, sekalipun belum tergambar manfaat-mudahratnya oleh kita. Seperti ketika Allah SWT memerintahkan Musa 'alaihi salam untuk menghentakkan tongkatnya, atau Nuh 'alaihi salam untuk membangun bahtera, mereka sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Jadi mari kita saling berpegangan tangan, kemudian “lompat” bersama-sama untuk menerapkan syariah kaffah dalam bingkai khilafah Islamiyah. Bismillah.

Jogjakarta, 3 September 2018


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Spirit 212, Spirit Persatuan Umat Islam Memperjuangkan Qur'an Dan Sunnah

Unduh BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam