7. Benda yang Digunakan Dalam
Tayamum
Setelah kita mengistinbath beberapa hukum di atas -dari
nash-nash yang telah kami sebutkan sebelumnya- tinggallah kini kita membahas
masalah mendasar dalam tayamum yang berkaitan dengan tata cara (al-kaifiyah),
yakni benda yang digunakan untuk mengusap wajah dan telapak tangan tersebut:
apakah benda tersebut tanah (at-turab)
yang biasa dan umum diterima oleh mayoritas ahli fiqih, ataukah permukaan bumi
(wajhu al-ardhi) secara mutlak dengan benda-benda yang ada di atasnya, berupa
batu cadas (as-shakhr), tanah, kerikil dan pasir? Dalam persoalan ini beberapa
madzhab dan mayoritas ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda:
Para ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa tanah yang suci-mensucikan (as-sha'id
at-thahur) yang harus digunakan dalam tayamum itu adalah segala sesuatu
yang termasuk jenis tanah, berupa debu, pasir, kerikil, dan batu walaupun
licin. Mereka tidak membolehkan tayamum menggunakan salju (es), pohon, kaca,
mineral yang sudah dirubah, mutiara walaupun berbentuk bubuk, tepung, abu,
celak mata, dan sulfur (belerang). Ketika tanah bercampur dengan sesuatu yang
berasal dari jenis tanah, lalu sesuatu itu memiliki kadar lebih dominan
darinya, atau tidak dominan, atau kadarnya sama dengan tanah, maka tanah
tersebut sah digunakan untuk bertayamum.
Kalangan ulama
Malikiyah berpendapat bahwa tanah (as-sha’id)
itu adalah bagian bumi yang muncul atau nampak, sehingga mencakup tanah (at-turab), dan inilah yang lebih utama. Pasir
(ar-raml), batu, salju, tanah liat
(at-thin), dan kapur (kapur ini dipandang oleh mereka sebagai batu ketika
dibakar sehingga menjadi kapur), logam kecuali emas dan perak, perhiasan dan
sesuatu yang berasal dari mineral seperti tawas dan garam, batubata yang tidak
dibakar, sehingga ketika batubata tersebut telah dibakar maka tidak boleh
digunakan untuk bertayamum. Mereka tidak membolehkan tayamum menggunakan
sesuatu yang termasuk bagian dari tanah, seperti kayu dan rumput.
Dengan demikian,
kalangan ulama Hanafiah dan Malikiyah memiliki pendapat yang sama dalam pangkal
persoalannya, tetapi berbeda dalam rinciannya. Mereka sama berpendapat bahwa
tayamum boleh dilakukan dengan bagian atas permukaan bumi berupa tanah, pasir,
kerikil dan sebagainya. Pendapat ini pula yang dipegang oleh Atha, al-Auza’iy
dan at-Tsauriy.
Kalangan ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa tanah yang suci dan mensucikan itu adalah tanah
yang berdebu, walaupun ada beberapa ulama di antara mereka yang membolehkan
penggunaan pasir, tetapi jika pasir tersebut tidak berdebu maka tidak sah
digunakan untuk bertayamum. Juga boleh menggunakan tanah yang dibakar kecuali
jika sudah menjadi abu (arang). Ketika tanah dan pasir bercampur dengan sesuatu
yang lain seperti tepung, walaupun sedikit, maka tetap tidak boleh digunakan
untuk bertayamum. Mereka mensyaratkan agar tanah itu belum digunakan untuk
bersuci sebelumnya, maksudnya adalah tanah yang tersisa pada anggota tayamum
yang diusap atau yang tercecer ketika diusapkan.
Para ulama madzhab
Hanabilah berpendapat bahwa as-sha’id
itu artinya adalah tanah yang berdebu, dan tanahnya itu adalah tanah yang
mubah, sehingga tidak sah bertayamum dengan tanah hasil ghasab, tidak boleh dengan tanah yang dibakar, tidak sah tayamum
dengan pecahan porselen dan semisalnya, karena dengan membakarnya itu sama
dengan mengeluarkannya dari kategori tanah. Mereka mensyaratkan agar debunya
masih menempel, karena sesuatu yang tidak berdebu itu tidak bisa diusap, dan
jika bercampur dengan sesuatu yang berdebu seperti kapur dan nuurah maka hukumnya sama dengan hukum air
yang suci-mensucikan yang telah bercampur dengan benda yang suci. Ketika yang
dominan itu adalah tanahnya, maka boleh digunakan untuk bertayamum. Tetapi
ketika yang dominan itu adalah benda yang mencampurinya, maka dilihat dulu,
jika benda yang mencampurnya itu tidak berdebu maka tayamum dengan tanah
seperti itu tidak boleh, contohnya gandum dan barley, tetapi ketika tanahnya
banyak dan dominan maka boleh digunakan untuk tayamum. Tayamum tidak sah
dilakukan menggunakan tanah liat yang tidak bisa dikeringkan. Tayamum dengan
tanah itu boleh jika dilakukan sebelum keluar waktu, bukan setelah keluar
waktu.
Dengan demikian,
kalangan fuqaha Syafi’iyah dan Hanabilah sama-sama berpendapat bahwa tayamum
itu harus menggunakan tanah yang berdebu, tidak sah dengan yang tidak berdebu.
Pendapat ini pula yang dipegang oleh Dawud.
Sekarang kita akan
mencermati nash-nash dan dilalah berbagai lafadznya, baik secara bahasa ataupun
syara dalam tujuan bisa mendapatkan
pendapat yang paling tepat dengan ijin Allah:
1. Dari Abu Umamah bahwasanya Rasulullah Saw.
bersabda:
“Bumi seluruhnya telah
dijadikan untukku dan umatku sebagai tempat sujud dan suci-mensucikan. Di mana
saja waktu shalat datang pada seseorang dari umatku, maka dia memiliki tempat
untuk bersujud dan sesuatu untuk bersuci.” (HR. Ahmad dengan sanad cukup baik)
Hadits ini
diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi, sebelumnya telah kami sebutkan dalam
pembahasan “definisi
tayamum dan legalitasnya.”
2. Firman Allah Swt.:
“Kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).” (TQS.
an-Nisa [4]: 43)
3. Dari Imran bin Hushain, dia berkata:
“Kami sedang berada
dalam suatu perjalanan bersama Nabi Saw... lalu beliau Saw. shalat mengimami
orang-orang. Saat selesai dari shalatnya, ternyata ada seorang laki-laki yang
memisahkan diri tidak shalat bersama orang-orang. Maka Rasulullah Saw. bertanya:
“Wahai fulan, apa yang menghalangimu untuk shalat bersama orang-orang?” Orang
tersebut menjawab: Aku sedang junub, padahal tidak ada air. Rasulullah Saw.
bersabda: “Hendaknya engkau menggunakan tanah, karena tanah itu sudah cukup
bagimu.” (HR. Bukhari dan Ahmad)
An-Nasai dan Ibnu
Syaibah meriwayatkan hadits ini secara ringkas. Dalam pembahasan sebelumnya
hadits ini telah kami sebutkan.
4. Dari Amr bin al-Ash, dia berkata:
“Pada suatu malam yang
sangat dingin dalam Perang Dzatus Salasil aku bermimpi, aku merasa khawatir
jika mandi akan binasa. Lalu aku pun bertayamum, kemudian shalat subuh
mengimami para sahabatku. Mereka menceritakan hal itu kepada Nabi Saw., maka
beliau Saw. bertanya: “Wahai Amr, benarkah engkau telah shalat mengimami
sahabat-sahabatmu padahal engkau dalam keadaan junub?” Lalu aku memberitahu
beliau Saw. tentang perkara yang menghalangiku untuk mandi, dan kemudian aku
berkata: Sesungguhnya aku mendengar Allah Swt. berfirman: “Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” Kemudian
Rasulullah Saw. tertawa dan tidak berkata apapun.” (HR. Abu Dawud,
ad-Daruquthni, Ibnu Hibban dan al-Hakim)
5. Dari Ali ra. dia berkata: Rasulullah Saw.
bersabda: “Aku telah diberi sesuatu yang tidak diberikan kepada seorang Nabi
pun (sebelumku).” Maka kami bertanya: Wahai Rasulullah, apa itu? Beliau Saw.
bersabda: “Aku diberi kemenangan karena ketakutan (musuhku), dan aku diberi
kunci-kunci bumi, aku diberi nama Ahmad, tanah telah dijadikan sebagai sesuatu
yang suci-mensucikan untukku, dan umatku dijadikan sebagai umat terbaik.” (HR.
Ahmad dan al-Baihaqi dengan sanad yang dihasankan
oleh al-Haitsami)
6. Dari Hudzaifah dia berkata: Rasulullah Saw.
bersabda:
“Kami diberi kelebihan
atas manusia dengan tiga perkara: barisan kami telah dijadikan seperti barisan
malaikat, bumi telah dijadikan untuk kami sebagai tempat bersujud (masjid) dan
tanahnya telah dijadikan untuk kami sebagai sesuatu yang suci-mensucikan ketika
kami tidak mendapatkan air. Dan beliau Saw. menyebutkan sifat yang lain.” (HR.
Muslim, Ahmad dan al-Baihaqi)
7. Hadits Abu Juhaim yang telah kami sebutkan
sebelumnya:
“Nabi Saw. datang
(dari arah telaga Jamal)… hingga menghadap ke dinding, lalu mengusap wajah dan
kedua tangannya. Setelah itu barulah beliau Saw. menjawab salam.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Dalam riwayat
ad-Daruquthni dari jalur Ibnu Ishaq, dari al-A’ raj disebutkan dengan lafadz:
“Hingga beliau Saw.
meletakkan tangannya pada dinding.”
Dan dalam riwayat
as-Syafi'i dari jalur Ibnu as-Shummah disebutkan dengan lafadz:
“Beliau Saw. berdiri
ke arah dinding, lalu beliau menggoresnya dengan tongkat yang dibawanya,
kemudian meletakkan tangannya di atas dinding.”
Dalam hadits yang
pertama disebutkan:
“Telah dijadikan bumi
seluruhnya untukku dan umatku sebagai tempat sujud dan sesuatu yang
suci-mensucikan.”
Dalam ayat al-Qur’an
disebutkan:
“Maka bertayamumlah
kamu dengan tanah yang baik (suci).”
Dalam hadits nomor
tiga disebutkan:
“Hendaknya engkau
menggunakan tanah, karena tanah itu sudah cukup bagimu.”
Dalam hadits nomor
empat disebutkan:
“Lalu aku pun
bertayamum, kemudian shalat subuh mengimami para sahabatku.”
Dalam hadits kelima
disebutkan:
“Tanah telah dijadikan
sebagai sesuatu yang suci-mensucikan untukku.”
Dalam hadits keenam
disebutkan:
“Bumi telah dijadikan
untuk kami sebagai tempat bersujud (masjid), dan tanahnya telah dijadikan untuk
kami sebagai sesuatu yang suci-mensucikan.”
Dalam hadits ketujuh
disebutkan:
“Hingga menghadap ke
dinding, lalu mengusap wajah dan kedua tangannya.”
Dalam beberapa nash
tersebut, secara berulang disebutkan beberapa lafadz berikut: bumi seluruhnya, ash-sha’id, at-turab
(tanah), dan dinding sebagai media atau sarana untuk bertayamum, dan semuanya
itu tidak disebutkan sama sekali dalam hadits nomor empat.
Kaum Muslim berbeda
pendapat dalam mengambil kesimpulan dari nash-nash tersebut, dan mereka berbeda
pendapat dalam menafsirkan kata as-sha’id
(tanah). Begitu pula mereka berbeda pendapat tentang at-turab, apakah kata tersebut menjadi pentakhsis ataukah pentaqyid dari kata as-sha'id,
apakah at-turab itu diposisikan sebagai
sesuatu yang dominan dari as-sha'id,
atau hanya salah satu item dari benda yang umum, yakni as-sha'id? Apakah at-turab
itu mencakup pasir atau tidak? Dari berbagai perbedaan pendapat ini lahirlah
pendapat-pendapat empat imam yang telah kami sebutkan di atas, juga pendapat
beberapa fuqaha lainnya.
Agar kita sampai pada
pendapat yang kuat dan tepat, maka kita harus meninjau arti kata as-sha'id dan pendapat para ahli bahasa, baru
kemudian kita mengkaji nash-nash berdasarkan tinjauan tersebut.
Az-Zujaj, al-Khalil,
Ibnul Arabiy dan penyusun kamus al-Mishbah
menyatakan: as-shaid itu adalah
permukaan bumi, baik yang ada tanahnya atau tidak. Az-Zujaj menambahkan: aku
tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dalam arti kata tersebut di kalangan
para ahli bahasa. Dengan pengertian inilah Abu Hanifah, Malik dan at-Tsauri
menafsirkan kata as-sha'id.
Qatadah dan at-Thabari
berkata: as-sha'id adalah permukaan
tanah yang kosong dari tumbuh-tumbuhan, tanaman dan bangunan.
Ibnu Zaid berkata: as-shaid adalah bagian bumi yang rata.
Pendapat yang paling
tepat adalah pendapat az-Zujaj dan kawan-kawan. Menurut ilmu bahasa, ash-shaid itu artinya adalah sesuatu yang
muncul dari bumi. Diberi istilah seperti itu karena as-sha'id merupakan bagian akhir atau ujung sesuatu yang muncul
dari bumi. Bentuk jamak as-sha'id adalah
shu'udat, dan shu’udat itu digunakan untuk menyebut jalan, di antaranya adalah
hadits:
“Jauhilah oleh kalian
duduk-duduk di jalan.” (HR. Ahmad dari jalur Abu Said)
Dengan demikian, yang
dimaksud dengan as-sha’id itu adalah
permukaan bumi atau bagian atasnya, atau sesuatu yang tampak darinya, baik
berupa batu cadas, bebatuan, tanah, kerikil, atau benda apapun yang dikenal
sebagai material yang berasal dari bumi.
Kami telah katakan
sebelumnya, bahwa ayat dan hadits-hadits tersebut menyebutkan beberapa lafadz: al-ardhu kulluha (bumi seluruhnya), as-sha'id (tanah), at-turab (tanah) dan dinding; ini mengandung arti bahwa
nash-nash tersebut memerintahkan tayamum dengan bumi, baik bagian luarnya
ataupun bagian dalamnya, memerintahkan tayamum menggunakan as-sha'id yang merupakan bagian luar bumi
saja, dan memerintahkan tayamum menggunakan at-turab
yang merupakan sesuatu yang lembut halus dari permukaan bumi. Hal ini
dinyatakan di dalam al-Qamus al-Muhith.
Dinding tembok juga termasuk perkara yang boleh digunakan untuk bertayamum.
Orang-orang membolehkan tayamum dengan menggunakan batu cadas, logam, batu
kerikil, debu, dan pasir, tiada lain mengamalkan lafadz al-ardhu (bumi) dan as-sha'id
(tanah). Sedangkan orang-orang yang membatasi tayamum hanya dengan at-turab (debu) saja tiada lain karena
menyatakan adanya takhsis dalam persoalan ini, yakni perkara yang umum
(al-ardhu atau as-sha'id) telah ditakhsis oleh kata yang khas, yakni at-turab.
Pertanyaannya adalah:
pendapat mana yang benar dari keduanya?
Ketika nash-nash ini
menyebutkan kata at-turab (tanah),
tujuannya bukan mentakhsis lafadz yang
umum, yakni as-sha’id (permukaan bumi).
Dan ketika menyebutkan kata as-sha'id
tidak dimaksudkan untuk mentakhsis yang
umum, yakni al-ardhu (bumi).
Begitu pula ketika
nash-nash tersebut menyebutkan kata al-jidar tidak dimaksudkan untuk mentakhsis al-ardhu (bumi), as-sha'id (permukaan bumi) dan at-turab (tanah).
Sebenarnya ada
nash-nash yang menyebutkan lafadz yang umum, dan ada nash-nash yang menyebutkan
satuan benda (afrad) dari lafadz yang
umum ini.
Penyebutan satuan
benda dari lafadz yang umum itu tidak berarti mentakhsis
yang umum dengan satuan benda tersebut (al-fard), dan penyebutan at-turab tidak keluar dari fakta bahwa at-turab itu sesuatu yang dominan, karena at-turab inilah bagian yang paling banyak
digunakan dari bumi. Penyebutan al-jidar (dinding) itu bukan untuk menjadi pentakhsis.
Semua itu hanya satuan
benda (al-fard) dari lafadz yang umum, yakni bumi, atau katakanlah dia
merupakan kondisi yang dengannya tayamum bisa dilakukan, tidak lebih dari itu.
Pernyataan bahwa at-turab ini menjadi pentakhsis atau pentaqyid
merupakan pernyatan yang tidak benar, karena sebenarnya tanah itu hanya satuan
benda dari lafadz yang umum, sehingga ketika disebutkan, tidak diposisikan
sebagai pentakhsis atau pentaqyid. Karena itu perkara yang umum ini tetap
dalam keumumannya, dan ayat tersebut tetap memerintahkan menggunakan as-sha'id dengan keumumannya, dan
hadits-hadits tersebut juga tetap memerintahkan menggunakan as-sha'id atau al-ardhu dengan keumumannya.
Tidak ada takhsis (pengkhususan) atau taqyid (penetapan batasan) di sana.
Nash-nash ini telah
membolehkan tayamum menggunakan al-ardhu (bumi), permukaannya, tanahnya, dan
dinding yang dibangun di atasnya. Semua nash tersebut bisa diamalkan.
Benar, jika ada nash
yang membatasi tayamum hanya boleh dilakukan menggunakan at-turab (tanah), maka kami akan menyatakan
adanya pentakhsisan. Seandainya ada nash
yang melarang bertayamum selain dengan at-turab,
maka kami akan menyatakan adanya pentakhsisan.
Karena faktanya tidak ada nash yang seperti itu, maka pendapat adanya pentakhsisan itu tidak bisa dibenarkan. Syafi’i
dan Ahmad, serta mereka yang sependapat dengan keduanya itu telah keliru ketika
di sini mereka tidak membedakan antara takhsis dan tanshish (penuturan) satuan
benda dari lafadz yang umum, padahal perbedaan di antara keduanya itu sangat
jelas. Dengan demikian, pernyataan yang mereka lontarkan bahwa tayamum tidak
boleh dilakukan kecuali dengan menggunakan at-turab
(tanah) dengan berpegang pada adanya takhsis merupakan pernyataan yang keliru.
Az-Zamakhsyari dalam
kitab tafsirnya al-Kasysyaf berupaya
keras menguraikan persoalan ini, dan meniti jalan yang berbeda dengan yang
ditempuh oleh as-Syafi'i dan Ahmad. Walaupun begitu dia sampai pada kesimpulan
yang sama dengan kesimpulan yang didapatkan dua imam besar tersebut. Dia
mengatakan saat menafsirkan ayat tayamum:
“Maka bertayamumlah
dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.”
Kata min dalam ayat tersebut adalah lit-tab'idh, untuk memberi pengertian
sebagian, dan tidak ada seorang Arab pun yang memahami ucapan seseorang masahtu bi ra'sihi minad dahni wa minat turabi
(aku mengusapkan tanah atau lemak ke atas kepalanya) kecuali dengan pengertian
“sebagian” tersebut. Dari ayat tersebut dia mengambil pemahaman bahwa ayat ini
memberi pengertian tayamum dengan tanah (at-turab)
saja, turab itu merupakan bagian yang
dimaksud, dan inilah pendapat sama dengan yang dipegang oleh dua imam, walaupun
berbeda dalam cara istinbathnya.
Sebenarnya
az-Zamakhsyari mengesampingkan kompromi dalam istinbathnya
sebagaimana hal itu dilakukan dua imam, walaupun mereka berbeda dalam arah istdilalnya. Karena itu, kata min dalam ayat ini mengandung pengertian lit tab’idh (untuk sebagian), tetapi sebagian
apa yang diwajibkan dalam tayamum itu? Apakah maksud sebagian itu adalah yang
ditepuk dengan tangan, ataukah jenis tanahnya (as-sha’id)?
Artinya, apakah
maksudnya itu sesuatu yang melekat di tangan, yakni sebagian dari yang ditepuk
oleh tangan, ataukah artinya itu adalah salah satu jenis as-sha'id seperti pasir, tanah dan batu cadas?
Jika dia mengatakan kemungkinan yang kedua, maka kami katakan kemungkinan yang
pertama, karena ketika kemungkinan kedua bisa berlaku, maka begitu pula dengan
kemungkinan yang pertama.
Bagaimana pendapat
Anda seandainya ayat ini menyatakan:
“Bertayamumlah dengan
tanah yang baik.”
Apakah menurut bahasa
tidak dibolehkan jika setelah itu dikatakan:
“Sapulah mukamu dan
tanganmu dengannya.”
Tentu saja jawabannya
boleh, bahkan di sini menjadi makna paling tepat untuk menunjukkan sebagian,
sehingga kemungkinan pertama lebih tepat dan lebih dekat dengan kaidah bahasa
Arab dibandingkan dengan kemungkinan kedua.
Tetapi semua itu -di
mana berbagai arah istidlalnya tidak
benar dan tidak bisa diaplikasikan- adalah satu hal, dan pernyataan bahwa tanah
itu cukup untuk bertayamum adalah hal yang lain. Sehingga walaupun saya tidak
sepakat dengan as-Syafi’i, Ahmad dan az-Zamakhsyari dalam arah istidlalnya, tetapi hal itu tidak menghalangi
saya untuk berpegang pada kesimpulan akhir yang mereka ambil, yakni at-turab atau lebih tepatnya benda lembut dari
permukaan bumi itu cukup untuk bertayamum. Mengapa demikian? Jawabannya adalah
sebagai berikut:
Dalam ayat tayamum,
Allah Swt. menjelaskan kepada kita agar menepukkan telapak tangan ke atas bumi
atau ke atas tanah, sehingga telapak tangan kita bisa membawa “sesuatu” darinya
yang bisa kita usapkan ke wajah dan dua telapak tangan. Allah Swt. mengisyaratkan
“sesuatu” ini dengan dua ungkapan -walaupun sebenarnya sudah cukup dengan satu
ungkapan- sebagai sesuatu yang harus diperhatikan.
Allah Swt. mengatakan:
famsahuu bi wujuuhikum, bukan famsahuu wujuuhakum, kemudian disisipkan huruf
ba pada kata wujuuhikum tiada lain untuk menunjukkan “sesuatu” yang digunakan
dalam mengusap (wajah dan dua telapak tangan).
Tidak cukup sampai di
situ, Allah Swt. malah menambahkan lafadz minhu
untuk mengisyaratkan “sesuatu” yang menempel pada tangan, di mana mengusap
wajah dan telapak tangan itu semata-mata dengan “sesuatu” yang menempel pada
tangan yakni as-sha’id (tanah). Inilah
pengertian yang dimaksud ayat tersebut, dan inilah kunci pembuka pendapat ini,
sehingga tanah apapun dan
bumi bagian manapun, bagian luar ataupun dalam, ketika kita tepukkan tangan ke
atasnya sehingga (tangan itu) bisa membawa sesuatu darinya, maka saat itu
bolehlah kita bertayamum, sehingga ketika tangan tidak bisa membawa sesuatu,
maka tidak akan bisa mengusap, sehingga tidak bisa bertayamum karenanya.
Inilah kriteria akurat
untuk menetapkan bagian tanah dan bumi yang layak digunakan dalam bertayamum.
Sebagai
implementasinya kami katakan, ketika tangan ditepukkan ke atas tanah lempung,
pasir dan kapur, maka akan ada sesuatu yang bisa terbawa oleh tangan, sehingga
tayamum itu boleh dengan pasir sebagaimana dibolehkan dengan tanah dan kapur.
Tetapi ketika kita menepukkan tangan di atas batu cadas, bebatuan dan kerikil,
maka tidak ada sesuatu yang terbawa darinya sehingga tidak bisa bertayamum
dengannya.
Ini sesuai dengan
hadits Abu Juhaim yang menyebutkan dinding (al-jidar), di mana dinding itu
dipastikan berasal dari tanah sehingga ketika tangan ditepukkan ke atasnya maka
akan ada sesuatu yang bisa terbawa olehnya. Perkara yang bisa menguatkan dan
menegaskan pemahaman ini adalah hadits yang diriwayatkan Imam as-Syafi’i yang
di dalamnya ada tambahan:
“Lalu dia menggoresnya
dengan tongkat yang dibawanya.”
Tambahan tersebut bisa
menghilangkan ambiguitas sama sekali, dan menjadikan hadits ini selaras dengan
kaidah tadi. Supaya bisa digunakan untuk bertayamum, maka dari dinding itu
harus ada sesuatu yang bisa terbawa oleh tangan, dan itu tidak akan terjadi kecuali
dengan cara digores, atau dinding tersebut sudah lama (lapuk) sehingga layak
untuk bertayamum.
Dengan demikian, semua
hadits yang menggunakan lafadz al-ardh, as-sha'id
dan at-turab bisa dipahami, dan
karenanya kita bisa memahami bahwa at-turab
yang disebutkan dalam beberapa hadits semata-mata menjelaskan as-sha’id yang layak digunakan untuk
bertayamum, bukan sebagai batasan (limitasi) sama sekali. Digunakannya lafadz at-turab semata-mata sebagai sesuatu yang
paling umum dan paling galib serta contoh saja, tidak lebih dari itu.
Inilah pendapatnya dan
inilah arah istidlalnya, di mana hal ini
selaras dengan hadits keempat:
“Lalu aku pun
bertayamum, dan kemudian shalat.”
Yang tidak menyebutkan
kata as-sha’id atau at-turab, karena seandainya at-turab itu yang diperintahkan untuk
digunakan, bukan ar-raml (pasir),
niscaya dia akan bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang benda yang harus
digunakannya untuk bertayamum. Ketika sahabat tersebut tidak menanyakannya,
maka ini menunjukkan tidak adanya perbedaan di antara at-turab (tanah), ar-raml
(pasir) dan semisalnya.
Begitu pula pemahaman
dari hadits Ammar bin yasir yang tercantum dalam Shahih
Muslim, dia berkata:
“Rasulullah Saw.
mengutusku untuk suatu keperluan, lalu aku terkena junub, padahal aku tidak
menemukan air. Aku pun berguling-guling di tanah seperti berguling-gulingnya
binatang ternak. Kemudian aku menemui Nabi Saw. dan menceritakan hal itu
padanya. Maka beliau Saw. bersabda: “Engkau cukup meletakkan tanganmu seperti
ini.” Kemudian beliau Saw. menepukkan kedua tangannya ke tanah dengan sekali
tepukan, lalu mengusapkan yang kirinya ke atas yang kanan, punggung telapak
tangannya dan wajahnya.” (HR. Muslim)
Ketika Rasulullah Saw.
tidak menanyainya tentang jenis tanah tempat dia berguling-guling, maka ini
menunjukan tidak ada perbedaan antara satu jenis tanah dengan tanah yang lain,
selama ada sesuatu darinya yang bisa terbawa oleh tangan. Inilah pengertian tamarrugh
(berguling-guling), karena batu cadas itu tidak bisa digunakan sebagai tempat
berguling-guling.
Sekarang kita
perhatikan Jazirah Arab, yang menjadi buaian Islam dan tempat tinggal
Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Sebagian besar tanahnya adalah pasir.
Al-Qur’an yang mulia diturunkan dan Sunnah Nabi Saw. didatangkan di Jazirah
Arab yang ditutupi pasir ini. Tidak ada diriwayatkan ada satupun sahabat yang
bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang hukum tayamum dengan pasir. Peristiwa
seperti itu tidak dinukil kecuali dalam satu hadits saja yang diriwayatkan
Ahmad, Said bin Manshur, dan Abdurrazaq dari Abu Hurairah, dia berkata:
“Seorang Arab dusun
menemui Nabi Saw., lalu dia bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku berada
di padang pasir selama empat atau lima bulan, kemudian di antara kami ada
wanita nifas, haid dan orang junub, bagaimana menurutmu? Beliau Saw. bersabda:
“Engkau harus menggunakan tanah.”
Tetapi sayangnya
hadits ini dhaif karena kedhaifan al-Mutsanna bin as-Shabbah. Ini
disebutkan oleh Ibnu Ma'in. Al-Haitsami berkata: “Sebagian besar ahli hadits
mendhaifkannya.”
Ibnul Qayyim
al-Jauziyah berkata: “Seringkali Rasulullah Saw. bertayamum di bumi yang
digunakannya untuk shalat, baik berupa tanah ataupun berupa pasir. Adalah benar
telah diriwayatkan dari beliau Saw., bahwa beliau Saw. bersabda:
“Bagaimanapun waktu
shalat datang pada seseorang dari umatku, maka dia memiliki tempat sujud dan
memiliki sesuatu untuk bersuci.”
Ini merupakan nash
yang sharih bahwa orang
yang didatangi waktu shalat di padang pasir, maka pasir menjadi alat bersuci
baginya. Ketika beliau Saw. dan para sahabat melakukan perjalanan (safar) dalam
Perang Tabuk, mereka menempuh padang pasir dalam perjalanan tersebut, padahal
air yang mereka bawa sangat sedikit. Tidak diriwayatkan sedikitpun bahwa beliau
Saw. membawa serta tanah, memerintahkan membawanya atau ada sahabat yang
melakukannya, padahal mereka tahu betul bahwa di padang pasir itu lebih banyak
pasirnya dibandingkan tanahnya. Begitu pula bumi Hijaz dan sebagainya. Siapa
saja yang merenungkan hal ini, maka dia bisa memastikan bahwa beliau Saw.
bertayamum dengan pasir. Wallahu a’lam,
dan ini merupakan pendapat jumhur.
Dari paparan di atas
kita bisa menyimpulkan bahwa permukaan bumi, atau tanah di manapun di bumi ini,
layak digunakan untuk bertayamum jika memang tangan bisa membawa sedikit
darinya ketika ditepukkan di atas. Dengan ungkapan lain, tanah pasir, tanah
lempung hitam dan merah, tanah yang putih, tanah bersulfur, dan tanah bergaram,
semua itu layak digunakan untuk tayamum, tidak keluar dari permukaan bumi
selain tempat yang dipenuhi cadas dan batu.
Seandainya kita
berpegang pada penjelasan al-Qamus
al-Wasith tentang at-turab, bahwa at-turab itu adalah maa na'uma min
adiim al-ardh
(bagian yang lembut dari permukaan bumi), niscaya kita bisa menyatakan bahwa
tayamum itu hanya dengan at-turab saja, karena istilah tersebut mencakup semua jenis tanah selain cadas
dan batu saja.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar