Shalat Orang yang Tidak
Mendapati Dua Sarana Bersuci
Yang dimaksud dengan
dua sarana bersuci adalah air dan tanah.
Terdapat beberapa nash
yang mewajibkan wudhu dengan air. Ketika tidak ada air atau ada halangan yang
menghalangi seseorang menggunakan air, maka dia bertayamum dengan tanah.
Sekarang kita membahas
kondisi ketiga, yakni kondisi tidak ada air dan tidak ada tanah secara
bersamaan. Contoh dari kondisi ini misalnya ada seorang tahanan yang berada di
suatu tempat pengasingan, padahal dia tidak memiliki air dan tidak mendapatkan
tanah, dan tempat pengasingan tersebut tidak memiliki dinding yang bisa
digunakan untuk bertayamum, padahal si tahanan ini ingin melakukan shalat, maka
apa yang harus dilakukannya? Apakah dia bisa shalat tanpa perlu berwudhu
ataukah tidak perlu shalat? Dan ketika dia sudah shalat, lalu suatu saat
menemukan salah satu sarana bersuci, apakah dia wajib mengulang shalatnya
(i'adah). Inilah permasalahannya.
Para imam yang empat
berbeda pendapat dalam hal ini, yang akan kami paparkan sebagai berikut:
Kalangan ulama
Hanafiyah berkata: hendaknya dia melaksanakan shalat secara formalitas, yakni
si mushalli melakukan gerakan shalat
berupa berdiri, ruku, sujud, duduk tanpa perlu membaca al-Fatihah, melafalkan
tasbih atau bertasyahud serta tanpa niat, sehingga kewajiban shalat tersebut
masih tetap ditanggungnya. Dia harus mengqadha
shalatnya ketika suatu saat menemukan air atau tanah. Dalam hal kewajiban mengqadha shalat ini, pendapat mereka sama dengan
pendapat at-Tsauri dan al-Auzaiy.
Kalangan ulama
Malikiyah menyatakan: kewajiban shalat telah gugur dari orang tersebut,
sehingga dia tidak perlu shalat dan tidak perlu mengqadha ketika menemukan air atau tanah.
Kalangan ulama
Syafi’iyah menyatakan: jika dia junub maka dia harus melaksanakan shalat,
tetapi hanya terbatas pada membaca al-Fatihah saja, dia harus mengulang shalat
tersebut ketika menemukan air atau tanah, tetapi ketika dia berhadats kecil
maka dia harus shalat secara sempurna dan seperti biasanya, dan dia tetap harus
mengulangnya ketika menemukan air atau tanah.
Kalangan ulama
Hanabilah (pengikut madzhab Imam Hanbali) menyatakan dia bisa shalat dan tidak
perlu mengulang shalatnya itu ketika menemukan air atau tanah, tetapi ini
terbatas pada shalat fardhu saja. Pendapat ulama Hanabilah terkait tidak
wajibnya mengulang shalat, sama dengan pendapat al-Muzanni, Sahnun, Ibnu
al-Mundzir dan as-Syaukani.
Pendapat yang lebih
tepat menurut kami adalah pendapat ulama Hanabilah dan mereka yang sependapat
dengannya.
Tahanan yang tidak
memiliki air dan tanah, dan orang sakit yang tidak kuat meninggalkan tempat
tidur untuk berwudhu atau bertayamum, padahal tidak ada seorangpun di sisinya
yang bisa menolongnya membawakan air atau tanah; kedua orang
ini bisa shalat secara sempurna dan benar seperti biasa. Keduanya dipandang
telah melaksanakan kewajibannya, tidak diharuskan untuk mengqadha atau mengulang shalatnya setelah keluar
waktu shalat. Keduanya juga bisa melaksanakan shalat nafilah sekehendaknya
tanpa bersuci.
Dalilnya adalah hadits
yang diriwayatkan Aisyah ra.:
“Bahwasanya dia
meminjam kalung dari Asma, lalu kalung itu hilang. Maka Rasulullah Saw.
mengutus sejumlah sahabat untuk mencarinya, hingga tiba waktu shalat. Kemudian
mereka pun shalat tanpa berwudhu. Saat mereka datang kepada Nabi Saw., mereka
mengadukan hal itu kepada beliau Saw. Lalu turunlah ayat tayamum.” (HR. Muslim,
Bukhari, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)
Dilalah hadits ini memberi pengertian bahwa
para sahabat Rasulullah Saw. telah melakukan shalat tanpa berwudhu, dan tentu
saja tanpa bertayamum, karena saat itu tayamum belum disyariatkan. Tetapi
Rasulullah Saw. tidak mengingkari mereka atas hal itu, sehingga sikap beliau
Saw. ini dipandang sebagai pengakuan dari beliau Saw. atas perbuatan mereka
tersebut.
Di saat sekarang ini
dan setelah disyariatkannya tayamum, tidak ada seorangpun yang menyerupai
mereka dalam melakukan hal seperti itu, kecuali orang
yang shalat tanpa berwudhu dan tanpa bertayamum karena tidak adanya air dan
tanah, yakni kecuali orang
yang tidak menemukan dua sarana bersuci secara bersamaan. Saat itulah dia bisa
shalat tanpa bersuci seperti mereka, dengan pengertian lain, bahwa pengakuan
Rasulullah Saw. atas shalat pada golongan yang pertama menjadi pengakuan yang
bisa ditujukan pada orang
yang shalat dalam keadaan tidak menemukan dua sarana bersuci.
Dengan penarikan
kesimpulan seperti ini, sejumlah ahli fiqih berpendapat. Ibnu Hajar berkata:
“Di dalam hadits ini tidak ada penjelasan bahwa mereka tidak menemukan tanah.
Hadits ini menunjukkan bahwa mereka hanya tidak menemukan air saja. Sehingga di
dalam hadits ini terdapat dalil wajibnya shalat bagi orang
yang tidak mendapatkan dua sarana bersuci. Alasannya adalah bahwa mereka
melakukan shalat dengan meyakini wajibnya shalat tersebut. Seandainya shalat
saat seperti itu dilarang, niscaya Rasulullah Saw. akan mengingkarinya.”
As-Syaukani
menyatakan: “Di dalam hadits ini tidak ada indikasi apapun yang menunjukkan
bahwa mereka tidak mendapatkan tanah. Hadits ini menunjukkan bahwa mereka hanya
tidak menemukan air saja, tetapi ketiadaan air saat itu semisal dengan
ketiadaan air dan tanah, karena tidak ada media untuk bersuci selain air.”
Orang yang tidak mendapatkan dua
sarana bersuci bisa shalat tanpa bersuci. Dalil ini membantah pendapat
Abu Hanifah dan Malik. Terkait pendapat Malik maka sudah sangat jelas. Dan
terkait pendapat Abu Hanifah maka melakukan gerakan shalat tanpa niat dan tanpa
membaca al-Fatihah itu bukan shalat namanya, dalam arti, orang yang melakukan
seperti itu tidak dikatakan melaksanakan shalat. Ujung-ujungnya, pendapat Abu
Hanifah ini sama dengan pendapat Malik, dan hadits di atas membantah keduanya.
Tinggal satu
pertanyaan: apakah orang yang shalat tanpa bersuci itu harus mengulang
shalatnya ataukah tidak? Hadits ini menunjukkan bahwa i’adah (mengulang shalat) itu tidak wajib, karena jika wajib
hukumnya niscaya Rasulullah Saw. menjelaskannya. Ketika Rasulullah Saw. tidak
menjelaskannya maka ini menunjukkan tidak wajibnya i'adah (mengulang shalat),
jika wajib tentunya sudah dijelaskan oleh beliau Saw.
Ketika beliau Saw.
mendiamkannya (tidak menjelaskannya) maka hal itu menunjukkan tidak wajibnya
i'adah. Dengan demikian, pendapat Abu Hanifah dan as-Syafi'i yang mewajibkan
i'adah terbantahkan.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar