3. Apakah Tayamum Itu Diwajibkan
Tartib (Berurutan)?
Kita harus melihat
nash-nash berikut:
Ayat dari surat
al-Maidah dan an-Nisa, keduanya mendahulukan wajah atas telapak tangan:
“Sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu.” (TQS. al-Maidah [5]: 6)
Dan Firman Allah Swt.:
“Sapulah mukamu dan
tanganmu.” (TQS: an-Nisa [4]: 43)
Beberapa riwayat yang
berasal dari Ammar memiliki redaksi sebagai berikut:
“Lalu beliau Saw.
mengusapkan keduanya ke wajahnya dan kedua telapak tangannya.”
“Lalu beliau Saw.
mengusapkan keduanya ke atas punggung telapak tangannya dengan tangan kirinya,
atau ke punggung tangan kiri dengan telapak tangannya itu, kemudian beliau Saw.
mengusapkan keduanya pada wajahnya.”
“Cukuplah engkau
(mengusap) wajah dan kedua telapak tangan.”
“Kemudian beliau Saw.
mengusap wajah dan kedua telapak tangannya.”
“Kemudian mengusapkan
yang kirinya ke atas yang kanan, punggung telapak tangannya dan wajahnya.”
“Beliau Saw. mengusap
wajahnya dan dua telapak tangannya satu kali.”
“Bertayamum (dengan
mengusap) wajah dan dua telapak tangan.”
Dan riwayat Abu Juhaim
menyebutkan:
“Lalu mengusap wajah
dan kedua tangannya.”
Dari Ammar bin Yasir
diriwayatkan enam riwayat yang mendahulukan wajah atas dua telapak tangan.
Hanya dua riwayat saja
yang mendahulukan dua telapak tangan atas wajah, dan riwayat Abu Juhaim yang ditakhrij Bukhari mendahulukan wajah atas dua
tangan.
Perkara yang perlu
dicermati adalah bahwa dua riwayat pertama yang mendahulukan dua telapak tangan
atas wajah itu, keduanya menjelaskan tata cara mengusap dua telapak tangan, dan
tidak bisa kita bayangkan bahwa Ammar sebagai perawi dari beberapa riwayat ini
menyalahi dirinya sendiri, yakni tidak mungkin Ammar meriwayatkan beberapa
riwayat yang saling bertentangan seperti ini, terlebih lagi bila mengingat
perkara yang diriwayatkannya adalah satu peristiwa yang sama.
Karena itu,
penafsirannya tidak akan keluar dari dua kemungkinan: bisa jadi kekeliruan dan
pertentangan itu berasal dari para perawi sendiri, kekeliruan tersebut bukan
berasal dari Ammar, dan bisa juga dengan menyampaikan dua riwayat yang berbeda
satu sama lain itu Ammar bermaksud menekankan penjelasan tata cara mengusap dua
telapak tangan, lalu dia mendahulukan keduanya untuk menunjukkan urgensinya dan
tidak adanya kekhawatiran akan timbulnya ambiguitas dan kesamaran.
Hal ini karena wajah
disebutkan terlebih dahulu oleh nash al-Qur’an dan hadits daripada dua telapak
tangan, yakni ketika dia ingin menyampaikan tata cara mengusap dua telapak
tangan dia memulai dengan keduanya untuk menegaskan urgensinya. Ketika dia tidak
bermaksud menyebutkan tata cara, maka dia menyebutkan wajah terlebih dahulu,
baru kemudian menyebut dua telapak tangan seperti biasanya dalam tayamum. Saya
tidak melihat ada kemungkinan ketiga.
Tidak bisa dikatakan
bahwa Rasulullah Saw. mengusap dua telapak tangan terlebih dahulu dalam satu
atau beberapa kesempatan, dan mengusap wajah terlebih dahulu pada kesempatan
yang lain, dan ini menunjukkan adanya at-takhyir (pemberian pilihan), tidak bisa
dikatakan seperti itu, karena faktanya satu peristiwa dan satu perawi, sehingga
harus dilakukan pentarjihan atau pentakwilan.
Melalui pentarjihan, kita harus mentarjih (lebih mengunggulkan) riwayat-riwayat
yang mendahulukan wajah daripada dua telapak tangan, karena riwayat-riwayat
tersebut lebih banyak. Melalui pentakwilan,
kita harus mengatakan apa yang telah kita katakan sebelumnya, bahwa Ammar
mendahulukan dua telapak tangan ketika ingin menyebutkan tata cara mengusap
keduanya untuk menegaskan urgensinya, dan kita mentarjih
kemungkinan kedua.
Yang lebih meyakinkan
hati adalah fakta dua ayat al-Qur’an mendahulukan wajah daripada dua tangan,
sehingga dengan penuh keyakinan kami nyatakan: tayamum itu dilakukan dengan
terlebih dahulu mengusap wajah, baru kemudian mengusap dua telapak tangan. Tujuh riwayat hadits dan dua
ayat al-Qur’an, semuanya mendahulukan wajah daripada dua telapak tangan.
Tidak ada yang menyelisihinya kecuali dua riwayat saja yang menyebutkan tata
cara mengusap dua telapak tangan.
Sembilan nash inilah
yang diamalkan, dua nash lainnya ditinggalkan. Pernyataan ini disampaikan jika
diasumsikan adanya ta'arudl
(kontradiksi). Jika dilakukan pentakwilan terhadap dua riwayat seperti di atas
maka tidak ada ta'arudl, sehingga nash-nash yang mujmal ini bisa diamalkan
dengan mendahulukan wajah atas dua telapak tangan.
Oleh karena itu,
menjadi satu keharusan
dalam tayamum memulai dengan mengusap wajah, baru kemudian mengusap dua telapak
tangan.
“Mulailah dengan
sesuatu yang dimulakan oleh Allah.”
Pendapat inilah yang
dipegang teguh as-Syafi'i dan Ahmad.
Adapun Abu Hanifah dan
Malik memandang bahwa memulakan wajah itu sebagai sunah saja. Pendapat seperti
ini tidak beralasan, karena seharusnya keduanya menyatakan “mendahulukan wajah”
itu wajib dengan istidlal yang telah kami paparkan di atas, atau menyatakan
“mendahulukan wajah” itu sesuatu yang mubah dengan istidlal riwayat-riwayat shahihah yang saling bertentangan tersebut.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar