Apakah “Masuk Waktu Shalat”
Menjadi Syarat Sahnya Tayamum?
Ulama penganut madzhab
Hanafi berkata: tayamum itu sah walaupun dilakukan sebelum masuk waktu shalat.
Sedangkan Malik, as-Syafi’i, Ahmad, dan Dawud berpendapat bahwa tayamum tidak
sah bila dilakukan sebelum masuk waktu shalat; mereka berargumentasi dengan
hadits-hadits berikut:
1. Dari Amr bin
Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Telah dijadikan bumi
untukku sebagai masjid (tempat bersujud) dan sesuatu yang suci-mensucikan. Di
manapun waktu shalat datang padaku, maka aku bisa bersuci dan bisa shalat.”
(HR. Ahmad dan al-Baihaqi)
2. Hadits Abu Umamah,
di dalamnya disebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Dan bumi seluruhnya
telah dijadikan untukku dan umatku sebagai tempat sujud dan suci-mensucikan. Di
manapun waktu shalat datang pada seseorang dari umatku, maka dia memiliki
tempat sujud dan memiliki sesuatu untuk bersuci.” (HR. Ahmad dan al-Baihaqi)
3. Dari Jabir, dia
berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Bumi telah dijadikan
untukku sebagai sesuatu yang bersih, suci-mensucikan dan tempat bersujud
(masjid), maka siapapun didatangi waktu shalat, dia tetap bisa shalat,
bagaimanapun keadaannya.” (HR. Muslim, Bukhari, Ahmad dan an-Nasai)
4. Surat al-Maidah
ayat 6.
5. Mereka menyatakan
bahwa tayamum adalah thaharah yang
sifatnya darurat, sehingga tayamum tidak dibutuhkan sebelum masuk waktu shalat.
Mereka mengatakan bahwa hadits yang pertama, begitu pula hadits kedua dan
ketiga memberi taqyid (pembatasan) tayamum dengan datangnya waktu shalat, dan
datangnya waktu shalat (idraakus shalat)
hanya terjadi dengan masuk waktu shalat. Hadits-hadits tersebut memerintahkan
tayamum ketika datang waktu shalat, mafhumnya
adalah tayamum itu tidak diperintahkan sebelum datang waktu shalat, yakni
sebelum masuk waktu shalat. Terkait ayat al-Qur’an di atas, mereka mengatakan:
berdiri untuk melaksanakan shalat tidak terjadi kecuali setelah memasuki waktu
shalat, sedangkan wudhu tetap sah walaupun dilakukan sebelum masuk waktu
shalat, tiada lain karena dilandaskan pada perbuatan Rasulullah Saw. Sedangkan
tayamum tetap harus dipahami sesuai dzahir
ayat di atas. Poin lima ini jelas. Inilah dalil-dalil dan argumentasi yang
diajukan oleh mereka yang mensyaratkan masuk waktu shalat sebagai syarat sahnya
tayamum.
Sebenarnya,
dalil-dalil dan berbagai argumentasi tersebut tidak layak digunakan untuk
membuktikan kebenaran klaim mereka. Menarik kesimpulan masuknya waktu shalat
sebagai syarat sahnya tayamum dari dalil-dalil di atas merupakan istidlal yang
terlalu jauh, karena telah memalingkan dalil dari dilalahnya
yang nyata, dan mengarahkan dalil pada pengertian yang tidak dikandungnya.
Disebutkan dalam hadits pertama dan kedua:
“Di manapun waktu
shalat datang padaku maka aku bisa bersuci dan bisa shalat.”
“Di manapun waktu
shalat datang pada seseorang dari umatku, maka dia memiliki tempat sujud dan
memiliki sesuatu untuk bersuci.”
Dua kalimat dalam
hadits tersebut diawali dengan kata aina.
Kata aina berkaitan dengan tempat, bukan
dengan waktu, sehingga tidak memberi pengertian penentuan waktu (at-tauqit).
Seandainya kalimat tersebut hendak disederhanakan, maka bisa dikatakan:
Di tempat manapun
waktu shalat datang kepadaku, maka aku bertayamum di sana.
Dari kalimat seperti
ini bisa dipahami bahwa tayamum dilakukan di tempat manapun untuk shalat.
Beginilah seharusnya kita memahami dua nash hadits tersebut. Keduanya
disampaikan untuk menjelaskan bahwa tayamum tiada lain untuk shalat, yang bisa
dilakukan di tempat manapun di bumi ini.
Kedua hadits ini sama
sekali tidak sedang menjelaskan penetapan waktu tayamum, terlebih lagi tidak
sedang menjelaskan waktu tayamum itu adalah ketika masuk waktu shalat. Taqyid
(penetapan batasan) yang mereka katakan sama sekali tidak dikandung dua nash hadits
tersebut, sehingga taqyid tersebut hanya menjadi sebuah ijtihad yang tidak
benar, yang tidak disandarkan pada kaidah-kaidah kebahasaan. Selain itu kedua
hadits tersebut diawali dengan kalimat:
“Telah dijadikan bumi
untukku sebagai masjid (tempat bersujud) dan sesuatu yang suci-mensucikan.”
“Dan bumi seluruhnya
dijadikan untukku dan umatku sebagai tempat sujud dan suci-mensucikan.”
Kalimat seperti itu
mengandung arti, Rasulullah Saw. hendak menjelaskan bahwa bumi seluruhnya
adalah tempat yang layak untuk shalat dan tayamum. Agar pengertian ini bisa
lebih tegas maka bisa kami jelaskan dengan kalimat:
Jika kalian berada di
bagian manapun dari bumi ini, maka kalian tetap memiliki kemungkinan untuk
shalat dan bertayamum di sana.
Bagian akhir kedua
nash ini disampaikan hanya untuk mengokohkan dan menegaskan bagian awalnya.
Seperti inilah dua hadits tersebut harus dipahami, sehingga kita bisa melihat
bahwa keduanya tidak memberi pengertian penentuan waktu bertayamum, terlebih
penetapann waktu tayamum ketika sudah masuk waktu shalat.
Mengenai hadits
ketiga, walaupun disampaikan dengan redaksi kalimat yang sedikit berbeda,
tetapi tetap memberikan pengertian dan makna yang sama dengan yang disampaikan
dua hadits sebelumnya. Setelah diawali dengan kalimat yang sama yang mengawali
dua hadits sebelumnya:
“Telah dijadikan bumi
untukku itu sesuatu yang bersih, suci-mensucikan dan sebagai tempat bersujud
(masjid).”
Lalu beliau Saw.
berkata:
“Maka siapapun datang
waktu shalat padanya, dia bisa shalat bagaimanapun keadaannya.”
Perhatikanlah lafadz haitsu, ini merupakan kata keterangan tempat,
persis sama dengan lafadz ainamaa yang
disebutkan dalam dua hadits pertama. Dengan demikian, pengertian hadits ini
adalah: Allah telah menjadikan bumi ini layak untuk menjadi tempat sujud dan
layak untuk menjadi sesuatu yang suci-mensucikan. Dan setiap orang
yang didatangi waktu shalat, maka hendaklah dia shalat di atas bumi ini, di
manapun dia berada.
Hadits ini berbicara
tentang bumi, dan kelayakan bumi untuk shalat dan tayamum. Hadits tersebut
tidak menyampaikan penetapan waktu tayamum sama sekali, sehingga ketiganya
tidak layak menetapkan waktu tayamum. Syubhat yang menyelubungi mereka itu
berasal dari kata kerja adraka, yang
disebutkan dalam ketiga hadits tersebut. Mereka mengatakan bahwa tayamum itu
dilakukan ketika waktu shalat tiba, di mana waktu shalat tidak dikatakan tiba
tanpa masuknya waktu tersebut. Ketika masuk waktu shalat, maka itulah saat
untuk bertayamum. Seperti itulah mereka menyuarakan hadits tersebut dengan
berbagai pengantar dan kesimpulan yang nyata-nyata tidak bisa dibenarkan.
Seandainya mereka mau sedikit melebarkan pandangan, tentu mereka tidak akan
terjatuh pada kesalahan istidlal seperti itu.
Kesimpulan mereka dari
ayat tayamum sebagai penetapan waktu juga merupakan kesimpulan yang tidak
benar. Ayat ini menjelaskan bahwa seorang Muslim
tidak boleh shalat kecuali setelah berwudhu. Redaksi kalimatnya memberikan arti
bahwa jika kalian hendak shalat maka berwudhulah. Mafhumnya
jika kalian belum berwudhu maka janganlah shalat, hingga kalian berwudhu.
Dengan arti lain, jika kalian sudah berwudhu, maka shalatlah. Ayat ini
disampaikan untuk menjelaskan wudhu sebagai syarat sahnya shalat.
Ayat ini tidak datang
untuk menjelaskan bahwa seorang Muslim harus berwudhu untuk setiap shalatnya,
atau tidak menjelaskan seorang Muslim
harus berwudhu karena masuk waktu dari setiap shalat.
Pernyataan ini juga
berlaku untuk tayamum, yang disebutkan pada bagian akhir ayat. Ayat ini hendak
menjelaskan hukum tayamum untuk shalat, sama sekali bukan memerintahkan tayamum
karena masuk waktu shalat. Bahkan lebih dari itu, di bagian akhir ayat ini tidak
ada penyebutan shalat, terlebih lagi penyebutan masuk waktu shalat.
Ayat ini tiada lain
hanya untuk menjelaskan bahwa orang yang sakit, atau musafir yang sedang dalam
perjalanan, atau seorang yang berhadats kecil karena buang air besar, atau yang
berhadats besar karena persetubuhan, sedangkan dia tidak mendapatkan air, maka
hendaknya bertayamum. Seperti inilah ayat tersebut mesti dipahami, dan
pemahaman inilah yang dikandung oleh nash tersebut.
Mengarahkan nash ini
untuk menjelaskan hukum tayamum karena masuk waktu shalat merupakan tindakan
membebani nash dengan sesuatu yang melebihi daya muatnya. Saya tidak akan
berpanjang kata tentang itu, karena persoalannya jelas. Dengan demikian ayat
ini tidak bisa menopang klaim mereka.
Perihal pernyataan
mereka dalam poin lima, itu sama sekali bukan dalil dan tidak bisa tegak ketika
dihadapkan pada berbagai pertanyaan. Saya akan bertanya: Darimana Anda bisa
mengatakan tayamum itu tidak dibutuhkan sebelum masuk waktu shalat? Apakah tayamum
menurut Anda hanya dilakukan untuk shalat saja? Apakah tayamum tidak akan
membolehkan seseorang
menyentuh mushaf, dan apakah tidak membolehkan seseorang
untuk berthawaf mengelilingi Ka'bah?
Bahkan tidakkah tayamum itu disyariatkan pada seorang Muslim
yang ingin senantiasa dalam keadaan suci? Tidakkah Anda membaca hadits yang di
dalamnya disebutkan bahwa Rasulullah Saw. bertayamum hanya untuk membalas salam
seorang Muslim?
Mengapa Anda membatasi tayamum hanya untuk shalat seperti ini sehingga Anda
mewajibkan tayamum hanya ketika masuk waktu shalat? Tidak ragu lagi bahwa hal
ini merupakan jenis kesewenang-wenangan.
Berdasarkan tinjauan
seperti ini, kita bisa sampai pada kesimpulan tidak layaknya dalil dan hujjah
yang mereka sampaikan untuk menopang pendapat mereka yang mensyaratkan masuknya
waktu shalat untuk sahnya tayamum.
Dengan gugurnya
istidlal seperti itu, kini terbukti kebenaran pernyataan yang dilontarkan Abu
Hanifah dan mereka yang sependapat dengan beliau. Walaupun mereka tidak
memiliki dalil khusus untuk menopang pendapatnya. Tiada lain karena pernyataan
atau pendapat mereka termasuk ke dalam keumuman dalil yang menetapkan bahwa
tayamum adalah thaharah (bersuci), tayamum adalah thaharah yang layak untuk shalat dan
selain shalat, sehingga sama persis dengan wudhu.
Faktor-faktor yang membatalkan
wudhu menjadi faktor yang membatalkan tayamum, dengan pengecualian adanya air
setelah sebelumnya tidak ada air. Selain faktor adanya air ini,
faktor-faktor yang membatalkan tayamum itu sama persis dengan yang membatalkan
wudhu, dan tayamum itu sama dengan wudhu sebagai tata cara bersuci.
Terdapat nash hadits
yang menjelaskan bahwa tayamum itu adalah cara bersuci. Dari Abu Dzar, dia
berkata:
“Aku menemui Nabi
Saw., lalu beliau Saw. berkata: “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya tanah itu suci
dan mensucikan bagi orang yang tidak menemukan air selama sepuluh tahun. Ketika
engkau menemukan air, maka usapkanlah air itu ke kulitmu.” (HR. ad-Daruquthni)
Tirmidzi meriwayatkan
hadits ini dan berkata: hadits ini hasan
shahih.
Bahkan terdapat
beberapa hadits yang menjelaskan bahwa tayamum adalah wudhu.
1. Dari Abu Dzar bahwasanya Rasulullah Saw.
bersabda:
“Tanah yang baik lagi
bersih itu menjadi air wudhu bagi seorang Muslim walaupun (tidak menemukan air)
hingga sepuluh tahun. Dan jika engkau menemukan air, maka usapkanlah air itu ke
kulitmu, karena hal itu merupakan kebaikan.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban)
Al-Hakim meriwayatkan
dan menshahihkan hadits ini, dan
disepakati oleh ad-Dhahabiy.
2. Dari Abu Hurairah ra., dia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Tanah itu menjadi air
wudhu seorang Muslim walaupun dia tidak menemukan air hingga sepuluh tahun. Dan
jika dia menemukan air, maka hendaknya dia bertakwa kepada Allah dan
mengusapkan air itu ke kulitnya, karena hal itu merupakan kebaikan.” (HR.
al-Bazzar dan dishahihkan oleh Ibnu
al-Qaththan)
Al-Haitsami berkata:
para perawi hadits ini adalah para perawi hadits shahih.
Hadits-hadits ini
menyebut tayamum dengan istilah air wudhu, karena tayamum itu merupakan wudhu
(berlaku sebagai wudhu) yang tidak diperselisihkan lagi. Yang membedakannya
adalah adanya air yang akan membatalkan tayamum tersebut. Disebutkan dalam
hadits tersebut:
“Dan jika engkau
menemukan air, maka usapkanlah air itu ke kulitmu.”
Artinya, seseorang
itu tetap dalam keadaan bertayamum, yakni dalam keadaan suci, selama tidak ada
air. Seandainya keluar waktu shalat itu menjadi faktor yang membatalkan
tayamum, niscaya hal itu akan disebutkan di sini. Ketika hal itu tidak
disebutkan, maka keluar waktu shalat tidak termasuk faktor yang membatalkan
wudhu. Pada prinsipnya, tayamum itu memiliki kedudukan yang sama dengan wudhu
dalam seluruh hukumnya, sehingga tidak boleh ada hukum yang keluar darinya
kecuali jika memang diterangkan oleh dalil.
Wudhu tidak batal karena keluar
waktu shalat, wudhu juga boleh dilakukan sebelum masuk waktu shalat, maka
begitu pula dengan tayamum, kecuali jika memang hal itu diterangkan oleh
dalil. Dan ternyata dalil-dalil berikut tidak layak digunakan sebagai dalil,
yakni hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra. bahwasanya dia berkata:
“Adalah bagian dari
Sunnah, seorang lelaki tidak shalat dengan tayamum kecuali hanya satu kali
shalat saja, kemudian dia bertayamum untuk shalat yang lain.” (HR.
ad-Daruquthni, Abdurrazaq dan al-Baihaqi)
Ini dhaif.
Atau hadits yang
diriwayatkan dari Ali, dia berkata:
“Dia bertayamum untuk
setiap kali shalat.” (Riwayat ad-Daruquthni dan al-Baihaqi).
Ini dhaif.
Hal ini karena hadits
yang pertama diriwayatkan dari jalur al-Hasan bin Imarah, dia seorang perawi
yang dhaif. Sebagian ahli hadits
berkata: dia seorang yang ditinggalkan haditsnya.
Mengenai hadits yang
berisi ucapan Ali, maka ini diriwayatkan dari jalur al-Harits al-A'war.
Al-Harits itu seorang perawi yang dhaif,
bahkan sebagian ahli hadits memandangnya suka berdusta. Al-Baihaqi berkata:
sanad hadits ini dhaif.
Semisal dengan dua
hadits di atas adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya dia
bertayamum untuk setiap kali shalat, hadits tersebut diriwayatkan oleh
ad-Daruquthni dan al-Baihaqi, hal ini karena dalam rangkaian perawinya terdapat
nama Amir al-Ahwal dari Nafi. Amir ini didhaifkan
oleh Ibnu Utaibah dan Ahmad. Klaim bahwa dia mendengar hadits dari Nafi juga
dipertanyakan. Ibnu Hazm berkata: Riwayat dari Ibnu Umar tentang persoalan itu
adalah riwayat yang tidak benar.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar