Menemukan Air Setelah Sebelumnya
Tidak Menemukan
Telah kami jelaskan
sebelumnya bahwa tayamum itu semisal dengan wudhu, dengan satu pengecualian
ketika air ditemukan -setelah sebelumnya tidak ditemukan- maka tayamumnya
menjadi batal.
Walaupun begitu, para
imam dan para ahli fiqih berbeda pendapat dalam perkara yang membatalkan
tersebut -dari sisi penetapan waktunya-: Apakah ditemukannya air setelah
melaksanakan shalat dan sebelum keluarnya waktu itu membatalkan tayamum dan
shalat tersebut, serta mewajibkan i'adah
(mengulang shalat)? Apakah ditemukannya air ketika sedang shalat itu
membatalkan tayamum dan shalat, serta mewajibkan orang
tersebut untuk meninggalkan shalat yang sedang dilakukannya lalu mengulangnya
kembali? Apakah ditemukannya air sebelum shalat itu membatalkan tayamum
sehingga mewajibkannya berwudhu untuk shalat? Ataukah tayamum itu tetap sah
sehingga shalatnya pun jadi sah?
Abu Hanifah,
as-Syafi'i, Malik, dan Ahmad berpendapat bahwa orang
yang shalat dengan bertayamum, kemudian menemukan air setelah selesai shalat,
maka dia tidak wajib mengulang shalatnya.
Pendapat ini berbeda
dengan pendapat Thawus, Atha, al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, Makhul, Ibnu
Sirin, az-Zuhri, dan Rabi'ah, di mana mereka menyatakan orang
tersebut wajib mengulang shalat (i'adah)
ketika masih ada waktu.
Mayoritas ahli fiqih
dan para imam berpendapat bahwa ketika seseorang
bertayamum, lalu menemukan air sebelum shalat, maka dia wajib berwudhu dan dia
tidak sah melakukan shalat dengan tayamumnya itu.
Pendapat ini berbeda
dengan pendapat Dawud dan Salamah bin Abdurrahman yang tidak mewajibkan orang
tersebut berwudhu.
Abu Hanifah,
al-Auza'iy, dan at-Tsauri berpendapat bahwa ketika seorang
yang bertayamum menemukan air setelah memulai shalat dan sebelum selesai dari
shalat, maka dia wajib meninggalkan shalatnya itu dan kemudian mengulangnya.
Pendapat mereka ini
berbeda dengan pendapat Malik dan Dawud yang menyatakan orang tersebut tidak
wajib keluar meninggalkan shalat bahkan haram, shalatnya tetap shahih.
Pendapat yang benar
adalah: adanya air itu
membatalkan tayamum. Telah diketahui bahwa ketika sesuatu yang
membatalkan itu ada, maka ia akan membatalkan. Tidak ada perbedaan dalam hal
itu, apakah adanya sesuatu yang membatalkan itu sebelum atau setelah masuk
waktu, dan tidak ada perbedaan apakah adanya itu sebelum, sedang atau setelah
shalat; semua kondisi ini memiliki satu hukum, sehingga pembedaan kondisi
seperti itu hanya sesuatu yang dibuat-buat yang tidak berdalil.
Karena itu, orang yang
shalat dengan tayamum, lalu ia menemukan air setelah selesai shalat, maka
shalatnya sah dan dia tidak wajib mengulangnya (i’adah).
Seseorang yang
bertayamum ketika menemukan air sebelum shalat, maka tayamumnya itu batal, dan
dia wajib berwudhu untuk shalat, sehingga shalat yang dilakukannya tanpa
berwudhu itu menjadi shalat yang batil.
Orang yang bertayamum
ketika menemukan air setelah memulai shalat, tetapi belum sempat
menyelesaikannya (ada air saat sedang shalat-pen.)
maka dia harus keluar meninggalkan shalatnya itu dan mengulangnya kembali.
Semua ini dilandaskan
pada satu pangkal, bahwa tayamum
itu semisal dengan wudhu, perkara yang membatalkan tayamum itu semisal dengan
perkara yang membatalkan wudhu.
Melakukan pembedaan di
antara keduanya dalam perkara yang membatalkan itu merupakan tindakan yang
tidak berdalil. Terlebih lagi secara lebih ekstrim yang menjadi sandaran mereka
untuk melakukan pembedaan seperti itu hanya syubhat, pentakwilan dan dilalah
yang jauh sekali, yang tidak akan mungkin bertahan ketika dihadapkan pada
diskusi dan perdebatan. Misalnya Atha, al-Qasim, Makhul, Ibnu Sirin, az-Zuhri,
Rabi'ah dan Thawus berkata: wajib mengulang shalat ketika waktunya masih ada,
karena adanya seruan bersama selama waktu masih ada, berdasarkan firman Allah
Swt.:
“Dirikanlah shalat.”
Dengan firman Allah
Swt.:
“Jika kalian hendak
mendirikan shalat.”
Di mana salah satu
syarat sahnya adalah berwudhu, yang bisa dilaksanakan pada waktunya, dan
berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:
“Jika dia menemukan
air, maka hendaklah dia bertakwa pada Allah dan menyentuhkan air itu pada
kulitnya.”
Dawud dan Malik
berkata: tidak wajib keluar meninggalkan shalat, bahkan haram. Mereka berdalil
dengan firman Allah Swt.:
“Janganlah kalian
merusakkan amal-amal kalian.” (TQS. Muhammad [47]: 33)
Keduanya berkata:
Selama shalat itu telah dimulai dengan benar maka tidak boleh dibatalkan dan
ditinggalkan. Dawud berkata: Seseorang yang bertayamum ketika menemukan air
sebelum shalat, maka dia tidak wajib berwudhu, berdasarkan firman Allah Swt.:
“Janganlah kalian merusakkan amal-amal kalian.” As-Syaukani bimbang dalam
permasalahan ini, dia mengomentari hadits yang berbunyi:
“Jika menemukan air,
maka hendaklah dia menyentuhkan air itu ke kulitnya, karena hal itu merupakan
kebaikan.”
Dia mengomentari
hadits tersebut dengan menyatakan: Aku mengalami kesulitan dalam mengambil
kesimpulan dari hadits ini, yakni dengan adanya lafadz: fa inna dzalika khairun (karena hal itu merupakan kebaikan).
Kalimat seperti ini menunjukkan tidak wajibnya berwudhu sebagaimana yang mereka
klaim itu.
Inilah pendapat dan
syubhat mereka. Dalam permasalahan ini terdapat beberapa nash berikut:
1. Dari Atha bin Yasar, dari Abu Said
al-Khudri, dia berkata:
“Dua orang lelaki
melakukan perjalanan, lalu tiba waktu shalat, padahal keduanya tidak memiliki
air. Keduanya kemudian bertayamum dengan tanah yang bersih, lalu shalat.
Setelah itu keduanya menemukan air waktu itu juga. Salah seorang dari keduanya
lalu mengulang shalatnya dan berwudhu, sedangkan yang satunya lagi tidak
mengulang shalatnya. Kemudian keduanya mendatangi Rasulullah Saw. dan
menceritakan peristiwa itu kepada beliau Saw. Maka beliau Saw. berkata pada
orang yang tidak mengulang shalat: “Engkau telah sesuai dengan Sunnah, dan
shalatmu sah.” Dan beliau Saw. berkata pada orang yang berwudhu dan mengulang
shalatnya: “Bagimu dua pahala.” (HR. Abu Dawud, ad-Darimi, al-Hakim dan
ad-Daruquthni)
An-Nasai meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz:
“Maka beliau Saw.
berkata pada orang yang tidak mengulang shalatnya: “Engkau telah sesuai dengan
Sunnah, dan shalatmu sah.” Dan beliau Saw. berkata pada yang satunya lagi:
“Adapun engkau, maka untukmu bagian menghimpunkan.”
Lafadz sahmu jam’in, artinya menghimpun pahala dua
shalat.
2. Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah
Saw. bersabda:
“Tanah itu menjadi
wudhu seorang Muslim walaupun dia tidak menemukan air selama sepuluh tahun.
Ketika menemukan air, maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dan menyentuhkan
air itu ke kulitnya, karena hal itu merupakan kebaikan.” (HR. al-Bazzar, para perawi
ini termasuk perawi yang shahih).
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu al-Qathan.
Hadits yang pertama
merupakan bantahan yang tegas bagi orang yang mewajibkan i’adah (mengulang
shalat) saat masih ada waktu. Telah dimaklumi bahwa tidak ada peluang ijtihad
dalam perkara yang dijelaskan oleh nash. Dan ini jelas merupakan nash, sehingga
kita tidak boleh menyatakan pendapat yang bertentangan dengannya.
Ucapan Rasulullah Saw.
pada orang yang tidak mengulang shalat:
“Engkau telah sesuai
dengan sunah dan shalatmu sah.”
Merupakan teks
(manthuq) yang tidak mewajibkan i’adah (mengulang shalat), sehingga gugurlah
pendapat dan ijtihad mereka.
Hadits yang kedua
membantah orang yang berpendapat bahwa orang yang bertayamum -jika menemukan
air sebelum shalat- maka dia tidak wajib berwudhu, dan juga membantah orang
yang mengatakan tidak wajibnya menghentikan shalat ketika ada air pada saat dia
sedang shalat.
Ucapan Rasulullah
Saw.:
“Ketika menemukan air
maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dan menyentuhkan air itu ke kulitnya.”
Ucapan Rasulullah Saw.
tersebut bersifat umum, untuk setiap kondisi saat adanya air, tidak membedakan
antara kondisi sedang shalat, sebelum shalat atau setelah shalat.
Adanya air menjadi faktor yang
membatalkan tayamum, seperti halnya buang air kecil menjadi faktor yang
membatalkan wudhu. Ketika seseorang buang air kecil maka batallah
wudhunya, baik hal itu terjadi sebelum shalat, saat shalat atau setelah shalat,
sama saja baik di waktu shalat, sebelum masuk waktu shalat atau setelah keluar
waktu shalat.
Begitu pula dengan
orang yang bertayamum, ketika menemukan air maka batallah tayamumnya, baik
ditemukannya air itu sebelum shalat, sedang shalat atau setelah shalat, dan
sama saja baik di waktu shalat, sebelum masuk waktu shalat atau setelah keluar
waktu shalat.
Orang yang mengklaim
adanya takhsis untuk salah satu kondisi tersebut harus menyampaikan dalilnya,
bukan malah menyampaikan syubhat atau penakwilan.
Adapun orang yang
sebelum shalat, maka jelas sekali, tayamumnya menjadi batal ketika ada air.
Bagaimana bisa disebut sah orang yang shalat tanpa berwudhu? Mengenai orang
yang sedang shalat, maka bagaimana bisa menyempurnakan (menyelesaikan-pen.) shalatnya padahal tayamumnya telah batal
dengan adanya air? Apakah orang yang buang angin saat dia sedang shalat itu
bisa menyempurnakan shalatnya (melanjutkan dan menyelesaikan shalatnya) dengan
menggunakan ayat berikut sebagai dalilnya?
“Janganlah kalian
merusakkan amal-amal kalian.” (TQS. Muhammad [47]: 33)
Bagaimana kita bisa
disebut membatalkan amal, padahal thaharah
kita sudah batal? Kemudian kategori membatalkan amal seperti apakah ini,
padahal kita diwajibkan mengulang shalat?
Pendapat yang
benar-benar mesti direspon adalah keraguan dan kebimbangan as-Syaukani dalam
mengatakan wajibnya berwudhu bagi orang yang menemukan air. Pemicu timbulnya
keraguan itu adalah hadits Abu Dzar yang menyebutkan dalam salah satu
riwayatnya:
“Ketika menemukan air
maka hendaklah dia mengusapkan air itu ke kulitnya, karena hal itu merupakan
kebaikan.”
Rasulullah Saw. telah
menjelaskan alasan perintahnya membasahi kulit dengan air, yakni wudhu, dengan
ucapannya: “Karena hal itu merupakan kebaikan.” As-Syaukani menganggap kalimat
tersebut sebagai faktor yang mengalihkan perintah tersebut dari hukum wajib,
sehingga dia pun akhirnya mengatakan sesuatu yang dikatakannya seperti di atas.
As-Syaukani bisa dipandang benar seandainya dalam hadits ini tidak terdapat
lafadz tambahan, di mana tambahan tersebut akan menghilangkan keraguan dan
memastikan perintah tersebut sebagai hukum wajib. As-Syaukani melupakan
tambahan yang disebutkan dalam hadits al-Bazzar, yakni frase:
“Hendaklah dia
bertakwa kepada Allah.”
Walaupun begitu,
as-Syaukani telah menyebutkan hadits yang ada tambahannya ini di suatu tempat,
tetapi sayangnya dia kemudian lupa mengambil kesimpulan dari tambahan frase
tersebut, sehingga akhirnya dihinggapi keraguan dan kebimbangan.
Ucapan beliau Saw.: fal yattaqillaha (maka hendaknya dia bertakwa
kepada Allah) itu justru menjadi qarinah
yang memberi pengertian wajibnya wudhu bagi orang yang menemukan air.
Ini karena frase ittaqillaha tidak diucapkan kecuali untuk
menunjukkan sesuatu wajib atau sesuatu haram. Kalimat tersebut tidak akan
diucapkan terkait sesuatu yang sunah, mubah, ataupun makruh.
Lafadz yang ada dalam
riwayat al-Bazzar ini justru menjadi qarinah
yang layak untuk mengarahkan perintah Rasulullah Saw. tersebut menjadi hukum
wajib. Lafadz ini menggugurkan pendapat orang yang menyatakan sunah atau tidak
wajibnya berwudhu bagi orang yang bertayamum saat menemukan air.
Penarikan kesimpulan
dari ayat:
“Jika kalian akan
mendirikan shalat.”
untuk mewajibkan
i’adah (mengulang shalat) bagi orang yang telah shalat dengan bertayamum,
kemudian menemukan air pada saat waktu shalat masih ada, merupakan istidlal
dengan mafhum yang justru kontradiktif dengan manthuq hadits Abu Said. Mafhum
itu tidak bisa dipertahankan saat bertentangan dengan manthuq.
Nafi telah
meriwayatkan dari Ibnu Umar:
“Bahwasanya dia datang
dari arah al-Jurf. Ketika tiba di Marbad, beliau bertayamum. Beliau mengusap
wajah dan kedua telapak tangannya, lalu melaksanakan shalat ashar, kemudian
memasuki Madinah, padahal matahari masih tinggi, tetapi beliau tidak mengulang
shalatnya.” (HR. as-Syafi’i dengan sanad yang shahih)
Hadits ini
diriwayatkan Abdurrazaq dengan lafadz:
“Lalu beliau
bertayamum dengan tanah dan shalat, dan tidak mengulang shalat tersebut.”
Al-Jurf adalah suatu
tempat dekat Madinah.
Masalah
(Perkara)
Tayamum bisa dilakukan
untuk bersuci dari junub, haid, dan nifas, seperti halnya dari hadats kecil.
Tayamum dari junub, haid dan nifas itu menjadi batal oleh perkara yang
membatalkan mandi. Tayamum dari hadats kecil juga dibatalkan oleh perkara yang
membatalkan wudhu, dengan pengecualian adanya air. Adanya air membatalkan
keduanya, begitu pula hilangnya udzur yang membolehkan tayamum.
Jika tayamum dari
junub kemudian berhadats kecil, seperti buang air kecil atau buang air besar,
maka batallah tayamumnya dari hadats kecil tersebut, tetapi tayamumnya dari
junub tidak batal. Hal ini karena hadats kecil itu membatalkan wudhu saja,
tidak membatalkan mandi, sehingga membatalkan perkara sebaliknya. Jima (bersetubuh) misalnya, membatalkan thaharah dari hadats besar.
Tidak bisa dikatakan
bahwa buang air kecil membatalkan tayamum yang dilakukan untuk menggantikan
mandi junub, seperti yang diungkapkan oleh kalangan Malikiyah yang menyatakan
bahwa buang air kecil itu membatalkan tayamum dari junub dan hadats kecil secara
bersamaan, yakni orang tersebut kembali junub.
Saya tidak ingin
membantah kalangan Malikiyah ini terlalu panjang selain dengan mengatakan bahwa
tayamum dari junub itu menjadi pengganti mandi junub yang bersifat temporal,
dan hukumnya pun sama dengannya. Telah diketahui bahwa air kencing itu
membatalkan wudhu, tetapi tidak membatalkan mandi, maka pernyataan seperti ini
harus dilontarkan pula terkait dengan tayamum dari hadats besar dan hadats
kecil.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar