Kapan Tayamum itu Disyariatkan?
Tayamum itu
disyariatkan dalam dua kondisi: kondisi tidak adanya air, dan kondisi adanya
udzur yang menghalangi seseorang
menggunakan air, padahal airnya ada. Kami akan merinci keduanya sebagai
berikut:
Pertama: kondisi tidak adanya air,
dan ini merupakan kondisi asal. Kondisi ini sebagaimana terjadi ketika sedang
melakukan perjalanan (safar), juga bisa terjadi ketika tidak sedang melakukan
perjalanan (hadhar), walaupun memang
pada prinsipnya kondisi ini terjadi ketika sedang melakukan perjalanan. Hal ini
karena jarang sekali orang
tidak mendapatkan air ketika tidak melakukan perjalanan (hadhar), sehingga ketika ingin menyebut
kondisi ketiadaan air maka yang disebutkan biasanya adalah perjalanan (safar)
sebagai penggantinya. Begitu pula jika ingin menyebut adanya air, maka yang
disebutkan biasanya adalah tidak sedang dalam perjalanan (hadhar).
Ini berarti bahwa
ketika yang disebutkan itu adalah sedang dalam perjalanan (safar) sebagai sebab
yang membolehkan tayamum, maka ini bukan berarti safar itu sendiri yang menjadi
sebab dibolehkannya tayamum, karena sebab sesungguhnya adalah ketiadaan air.
Begitu pula ketika
disebutkan tidak sedang dalam perjalanan (hadhar)
sebagai sebab yang menghalangi tayamum, maka ini pun tidak berarti bahwa hadhar itu sendiri yang menjadi sebab
penghalangnya, karena sebab penghalang sesungguhnya adalah adanya air.
Seperti inilah
nash-nash syara yang ada dalam al-Qur’an
dan al-hadits mesti dipahami, dan seperti ini pulalah berbagai pernyataan para
imam dan ahli fiqih harus dipahami.
Dalil-dalil yang
menunjukkan bahwa ketiadaan air sebagai sebab yang membolehkan tayamum adalah
sebagai berikut:
1. Firman Allah Swt.:
“Dan jika kamu sakit
atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang
baik (bersih).” (TQS. al-Maidah [5]: 6)
2. Dari Imran bin Hushain, dia berkata:
“Kami berada dalam
suatu perjalanan bersama Nabi Saw... kemudian beliau Saw. shalat mengimami
orang-orang. Ketika beliau Saw. selesai dari shalatnya, ternyata ada seorang
lelaki yang memisahkan diri tidak shalat bersama orang-orang. Lalu beliau Saw.
bertanya: “Wahai fulan, apa yang menghalangimu sehingga tidak shalat bersama
orang-orang?” Dia berkata: Aku junub, padahal tidak ada air. Beliau Saw.
berkata: “Engkau bisa menggunakan tanah, tanah itu cukup bagimu.” (HR. Bukhari
dan Ahmad)
3. Dari Abu Dzar, dia berkata:
“Sesungguhnya aku
terkena sakit pencernaan di Madinah, lalu Rasulullah Saw. memerintahkanku untuk
mengikuti sekawanan unta dan ternak. Lalu aku sudah berada di sana, tetapi
berada jauh dari sumber air. Isteriku ada bersamaku sehingga aku pun junub. Aku
berpikir bahwa aku telah binasa, lalu aku menunggangi salah satu unta menemui
Rasulullah Saw... dan aku berkata: Wahai Rasulullah, aku telah binasa. Beliau
Saw. bertanya: “Apa yang membinasakanmu?” Lalu aku menceritakan perihal diriku
kepada beliau Saw. dan beliau Saw. pun tertawa... kemudian Rasulullah Saw.
memerintahkan seseorang untuk menyelubungiku, dan aku pun kemudian mandi.
Setelah itu aku menemui Rasulullah Saw. Beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya
tanah yang bersih itu suci selama engkau tidak menemukan air, walaupun hingga
sepuluh kali musim haji (sepuluh tahun-pen.),
dan ketika engkau menemukan air maka usapkanlah air itu ke kulitmu.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, ad-Daruquthni, dan an-Nasai)
Perawi yang tidak
diketahui (majhul) dalam sanad Ahmad ini
adalah Amr bin Bujdan sebagaimana yang tercantum dalam riwayat an-Nasai dan
ad-Daruquthni.
Kalimat dalam hadits
Imran:
“ Aku terkena junub,
padahal tidak ada air,”
menunjukkan bahwa
ketiadaan air menjadi sebab untuk kalimat:
“Engkau bisa
menggunakan tanah.”
Flrman Allah Swt.:
“Lalu engkau tidak
memperoleh air,”
merupakan sebab untuk:
“Maka bertayammumlah
dengan tanah yang baik (bersih).”
Dan kalimat dalam
hadits Abu Dzar:
“Aku berada jauh dari
sumber air. Isteriku ada bersamaku sehingga aku pun junub,”
menjadi sebab untuk
ucapan:
“Sesungguhnya tanah
yang bersih itu suci, selama engkau tidak menemukan air.”
Bahkan jawaban itu
sendiri mengandung pengertian sebab juga.
Nash-nash ini telah
menetapkan bahwa ketiadaan air menjadi sebab tayamum, hal ini sangat jelas
sekali, sehingga tidak diperselisihkan oleh seorang Muslim
pun.
Kondisi ketiadaan air itu
adalah tidak adanya air secara riil di tempat tersebut, atau adanya air di
suatu tempat yang sangat jauh yang tidak bisa dicapai kecuali akan
mengakibatkan lewatnya waktu shalat, atau timbulnya kesukaran yang amat sangat
untuk mencapainya karena sedemikian jauhnya, atau hilangnya persahabatan ketika
dicari karena sama-sama diperebutkan, atau adanya kerumunan yang
berdesak-desakan yang mencegah didapatkannya air tersebut dalam waktu tersebut,
atau adanya musuh berupa manusia atau hewan yang menghalangi antara dirinya
dengan air tersebut, atau air tersebut berada di dalam sumur yang tidak bisa
didapatkan kecuali dengan menggunakan ember dan tali, padahal saat itu dia
tidak memiliki ember dan tali, atau kondisi seorang tahanan yang terhalang
secara fisik dari air yang dekat dengannya, atau air tersebut sangat sedikit
yang tidak mencukupi karena hanya cukup digunakan sebagai air minumnya, untuk
memasak makanannya atau makanan keluarganya dalam perjalanannya itu atau untuk
minum hewan tunggangannya. Bisa dipandang sebagai kondisi ketiadaan air juga
ketika air itu memang ada tetapi tidak bisa didapatkan kecuali dengan harga
yang jauh lebih mahal dari harga semestinya.
Ini semua dipandang
sebagai kondisi ketiadaan air, yang membolehkan seseorang
bertayamum.
Kedua: Adanya udzur yang menghalangi
seseorang menggunakan air. Kondisi ini mencakup:
a. Orang sakit yang bisa terkena bahaya jika
menggunakan air, bisa berupa tambah parahnya penyakit, atau makin panjangnya
masa penyembuhan.
b. Orang yang terkena luka, yang khawatir
lukanya semakin lama sembuh atau bertambah parah, atau juga menimbulkan rasa
sakit yang teramat sangat ketika air mengenai lukanya.
c. Orang yang ada di malam yang sangat dingin,
dia tidak menemukan air kecuali air yang sangat dingin, dan dia tidak memiliki
untuk memanaskannya. Sehingga jika dia mandi dengan air dingin seperti itu,
maka bisa membahayakan tubuhnya atau khawatir dirinya akan binasa.
Dalil-dalil atas hal
itu adalah sebagai berikut:
1) Firman Allah Swt.:
“Dan jika kamu sakit.”
(TQS. al-Maidah [5]: 6)
2) Dari Jabir, dia berkata:
“Kami keluar dalam
suatu perjalanan, lalu salah seorang dari kami terkena batu hingga kepalanya
retak, kemudian dia bermimpi. Dia bertanya pada salah seorang temannya. Dia
berkata: Apakah kalian menemukan adanya rukhshah
(keringanan) bagiku untuk bertayamum? Mereka berkata: Kami tidak menemukan
adanya rukhshah ketika engkau mampu
menggunakan air. Diapun mandi dan kemudian meninggal. Ketika kami tiba di
hadapan Rasulullah Saw., kami kabarkan hal itu, maka beliau Saw. berkata:
“Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka. Mengapa mereka tidak
bertanya jika belum mengetahui, karena sesungguhnya obat kebodohan itu
bertanya. Sesungguhnya dia cukup bertayamum, menekannya atau mengikat lukanya,
lalu dia membasuh bagian tubuh lainnya.” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu as-Sakan.
3) Dari Amr bin al-Ash, dia berkata:
“Pada suatu malam yang
sangat dingin dalam Perang Dzatus Salasil aku bermimpi. Aku merasa khawatir
jika mandi akan binasa, lalu aku pun bertayamum, kemudian shalat subuh
mengimami para sahabatku. Lalu mereka menceritakan hal itu kepada Nabi Saw.
Maka beliau Saw. bertanya: “Wahai Amr, benarkah engkau telah shalat mengimami
sahabat-sahabatmu padahal engkau dalam keadaan junub?” Lalu aku memberitahu
beliau Saw. tentang perkara yang menghalangiku untuk mandi, dan kemudian aku
berkata: Sesungguhnya aku mendengar Allah Swt. berfirman: “Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Kemudian
Rasulullah Saw. tertawa dan tidak berkata apapun.” (HR. Abu Dawud,
ad-Daruquthni, Ibnu Hibban dan al-Hakim)
Bukhari meriwayatkan
hadits ini tanpa sanad.
Ayat al-Qur'an dalam
poin pertama menjadi dalil udzur pertama.
Hadits pada nomor dua
menjadi dalil udzur yang kedua.
Hadits pada nomor tiga
menjadi dalil udzur yang ketiga.
Dari nash-nash
tersebut kita bisa menyimpulkan beberapa hal berikut:
1. Udzur yang ketiga terkait dengan tayamum
sebagai pengganti mandi, bukan pengganti wudhu, karena dengan wudhu menggunakan
air dingin tidak mungkin menimbulkan dharar
(bahaya) pada badan atau membinasakan jiwa.
2. Sesungguhnya lukanya tidak cukup sekedar
ditayamumi, di mana pembalut luka harus disertakan ke dalam anggota tayamum dan
diusap, kemudian membasuh seluruh badan dalam mandi junub dan semisalnya, atau
mengusapnya dan melakukan perbuatan wudhu lainnya. Dalilnya adalah nash kedua.
Ketika mandi itu akan
menimbulkan dharar (bahaya) pada luka
seperti orang yang baru dioperasi bedah perut atau dada, maka tayamum sudah
cukup baginya untuk menghilangkan junub. Dalilnya adalah nash ketiga.
Masalah (Perkara)
Ketika udzur yang
menghalangi digunakannya air itu hilang, maka tayamum menjadi batal dengan
segera, dan orang
yang bertayamum tersebut wajib mandi menggunakan air atau berwudhu dengan air
sesuai dengan kondisinya.
Masalah
Tanah, pasir dan benda
lainnya yang digunakan untuk bertayamum itu boleh digunakan untuk satu atau
beberapa kali tayamum. Ketika benda-benda tersebut sebelumnya telah digunakan
untuk bertayamum, maka kondisi tersebut tidak menghilangkan kesuciannya dan kelayakannya
untuk digunakan dalam tayamum yang kedua dan ketiga kalinya. Tidak ada dalil
apapun yang mencegah digunakannya benda-benda tersebut lebih dari satu kali,
sehingga tetap berada dalam kondisi sucinya.
Masalah
Sejumlah ahli fiqih,
di antaranya Ibnu Qudamah mengatakan: Jika pada tubuh seorang Muslim terdapat
najis, dan dia tidak mampu mencucinya karena tidak ada air atau takut dharar (bahaya) ketika air tersebut digunakan,
dia boleh bertayamum menghilangkan najis tersebut dan kemudian shalat.
Mereka mengambil
kesimpulan tersebut dari sebuah hadits:
“Tanah yang baik itu
adalah alat bersuci seorang Muslim, walaupun dia tidak menemukan air selama dua
puluh tahun.”
Penarikan kesimpulan
seperti ini rusak sehingga tidak bisa dibenarkan. Hal ini tiada lain karena
tayamum merupakan ibadah yang dilakukan untuk menggantikan mandi dan wudhu,
sehingga harus dibatasi pada tujuan yang disebutkan nash saja.
Adapun pernyataan
mereka bahwa hal itu termasuk dalam keumuman hadits, maka ini pun pernyataan
yang tidak berarti sama sekali, karena pernyataan seperti ini sangat umum,
sehingga seorang Muslim bisa membuat-buat berbagai asumsi dan penakwilan
semaunya.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar