PUASA
YANG DIHARAMKAN
Puasa Hari Syak
Yang dimaksud hari
syak adalah hari yang masih diragukan: apakah hari tersebut hari terakhir bulan
Sya’ban ataukah sudah menjadi hari pertama bulan Ramadhan?
Maka kami katakan
sebagai berikut: jika saat menjelang malam pada siang hari dua puluh sembilan
dari bulan Sya'ban langit tertutup awan, berkabut, atau berdebu, yang berakibat
pandangan untuk melihat hilal menjadi terhalang, maka wajib bagi kaum Muslim pada
saat itu untuk menyempurnakan bilangan hari bulan Sya'ban menjadi tiga puluh
hari. Mereka tidak boleh berpuasa pada hari syak itu dengan alasan
kehati-hatian, kalau-kalau sudah masuk Ramadhan.
Mereka tidak berpuasa
Ramadhan kecuali setelah melihat terbitnya hilal (bulan sabit) Ramadhan.
Mengenai orang yang
berpuasa sebelum hari syak, dan ingin melanjutkan puasanya lalu dia berpuasa,
dengan pandangan bahwa hari itu sebagai bagian dari Sya'ban, maka tidak menjadi
masalah.
Tirmidzi berkata:
“Yang diamalkan oleh ahli ilmu adalah, mereka memakruhkan seseorang yang
terburu-buru puasa sebelum bulan Ramadhan benar-benar masuk…”
Nash-nash syariat
berikut telah memberikan solusi yang jelas dan tegas terkait masalah tersebut:
1. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Nabi Saw.
(Abul Qasim Saw.) bersabda:
“Berpuasalah kalian
karena melihat hilal, dan berbukalah kalian karena melihat hilal. Jika hilal
terhalang dari (pandangan) kalian, maka sempurnakanlah bilangan Sya'ban menjadi
tiga puluh hari.” (HR. Bukhari [1909], Muslim, an-Nasai, Ahmad, Ibnu Hiban dan
ad-Darimi)
Dalam riwayat Muslim
[2516] disebutkan dengan redaksi:
“Jika hilal terhalang
dari kalian oleh awan, maka kira-kirakanlah menjadi tiga puluh hari.”
Dalam riwayat Bukhari
yang lain [1906] disebutkan dengan redaksi:
“Jika hilal terhalang
dari kalian oleh awan, maka sempurnakanlah bilangan (bulan Sya'ban) tiga puluh
hari.”
Redaksi terakhir ini
berasal dari jalur Ibnu Umar ra.
Kalimat yang
disebutkan dalam hadits tersebut: ghubbiya
'alaikum, bisa juga dibaca ghabiya
'alaikum, artinya adalah khafiya
'alaikum (tidak nampak bagi kalian), diambil dari kata al-ghaba yakni sesuatu mirip debu di langit,
sebagaimana diterangkan oleh penulis kamus Lisan
al-Arab.
2. Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
bersabda: “Janganlah kalian mendahului bulan itu dengan puasa satu dan dua
hari, kecuali jika puasanya itu menjadi kebiasaan salah seorang dari kalian.
Dan janganlah berpuasa hingga melihatnya, kemudian berpuasalah hingga kalian
melihatnya. Jika awan menghalangi kalian, maka sempurnakanlah bilangan menjadi
tiga puluh hari, kemudian berbukalah kalian. Dan satu bulan itu adalah dua
puluh sembilan (hari).” (HR. Abu Dawud [2327] dan al-Baihaqi)
An-Nasai [2129] dan
Ahmad meriwayatkan hadits dengan redaksi:
“Berpuasalah kalian
karena melihatnya, dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika antara kalian
dengan hilal itu terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangannya, dan janganlah
sekali-kali kalian mendahului bulan tersebut.”
Abu Dawud at-Thayalisi
[2671] meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
“Berpuasalah kalian
karena melihatnya, dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika antara kalian
dengan hilal itu terhalang awan atau kabut, maka sempurnakanlah bilangan bulan
Sya'ban menjadi tiga puluh hari, dan janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan
dengan puasa satu hari (yang masih terhitung) bulan Sya'ban.”
3. Dari Muhammad bin Kaab al-Quradhi ra., ia
berkata:
“Aku menemui Anas bin
Malik di waktu ashar pada hari yang diragukan sebagai Ramadhan, dan aku ingin
mengucapkan salam kepadanya. Kemudian dia meminta makanan dan memakannya, lalu
aku bertanya: Apakah yang engkau lakukan ini adalah sunnah? Dia menjawab: Ya.”
(HR. Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Ausath
[9039])
Al-Haitsami berkata:
para perawi hadits ini adalah orang-orang shahih.
4. Dari Abu Huraira ra., ia berkata: Rasulullah
Saw. bersabda:
“Janganlah kalian
mendahului Ramadhan dengan puasa satu dan dua hari, kecuali seseorang yang
biasa melakukannya maka dipersilakan baginya untuk berpuasa.” (HR. Muslim
[2518], Bukhari, an-Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan ad-Darimi)
5. Dari Shilah bin Zufar, ia berkata:
“Kami berada di
samping Ammar bin Yasir ra., lalu dia meminta daging kambing yang dipanggang.
Setelah itu dia berkata: Makanlah oleh kalian. Kemudian sebagian orang enggan
dan berkata: Sesungguhnya aku (sedang) berpuasa. Maka Ammar berkata:
Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak, maka sungguh dia telah durhaka kepada
Abul Qasim Saw.” (HR. al-Hakim [1/424], dan dishahihkan
serta diakui oleh ad-Dzahabi)
Tirmidzi meriwayatkan
hadits ini dan berkata: status hadits ini hasan
shahih.
An-Nasai, Abu Dawud,
Ibnu Majah, ad-Darimi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi meriwayatkan
hadits ini pula.
Ad-Daruquthni
meriwayatkan hadits ini dan berkata: sanad hadits ini hasan shahih.
Ibnu Abdil Barr
berkata: hadits ini menurut ahli hadits adalah hadits musnad yang marfu' yang
tidak diperselisihkan lagi oleh mereka, maksud kalimat ini adalah bahwa hadits
ini berstatus marfu, kepada Rasulullah Saw. dengan sebab perkataan Ammar: maka
sungguh dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim Saw. Hadits ini bukan pemahaman
atau sekedar ijtihad seorang Ammar.
Hadits yang pertama
memiliki dilalah yang jelas.
Hadits yang kedua dan
keempat menunjukkan, selain memiliki dilalah
yang ditunjukkan oleh hadits pertama, bahwa jika seseorang biasa berpuasa
beberapa hari di bulan Sya’ban, dan puasanya dilakukan secara terus-menerus
hingga hari terakhir bulan Syaban, maka hal itu tidak menjadi masalah. Karena
puasa seperti itu dipandang sebagai puasa beberapa hari dari bulan Sya'ban.
Puasanya itu tidak menyalahi makna dan pengertian yang dituntut oleh teks
hadits tersebut, di mana hadits-hadits tersebut melarang dari puasa di akhir
Sya'ban sebagai mendahului bulan Ramadhan, dalam arti bahwa hadits tersebut
melarang memasukkan hari terakhir bulan Sya'ban itu ke dalam bulan Ramadhan,
dan menghitungnya sebagai bagian dari Ramadhan.
Adapun puasa di
hari-hari bulan Sya'ban sebagai bagian dari bulan Sya'ban, maka tidak menjadi
masalah.
Mengenai hadits kelima
menyebutkan bahwa puasa hari syak itu -akhir Sya’ban ketika ada sesuatu yang
menghalangi pandangan mata melihat hilal- hukumnya tidak boleh alias haram.
Dengan pernyataan ini,
maka pendapat yang memakruhkan puasa hari syak itu ternafikan, dan berpuasa di akhir Sya'ban lalu
memasukkan hari itu sebagai bagian dari Ramadhan dalam rangka kehati-hatian
maka itu adalah haram, bukan makruh saja.
Hadits ketiga
menetapkan bahwa berbuka pada hari syak, itu adalah sunnah yang disyariatkan
dalam Islam, sunnah dalam arti metode dan jalan yang harus diikuti.
Adapun hadits yang
diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Musa -dikatakan juga dari Abdullah bin Abi
Qais menurut riwayat yang lebih shahih-
dia berkata:
“Dan aku bertanya
kepadanya, yakni kepada Aisyah ra., tentang hari yang diperselisihkan sebagai
Ramadhan, maka Aisyah berkata: Sungguh puasa sehari bulan Sya'ban itu lebih aku
sukai daripada berbuka satu hari dari bulan Ramadhan. Dia (Abdullah bin Qais) berkata:
Kemudian aku keluar, lalu bertanya kepada Ibnu Umar dan Abu Hurairah. Maka
setiap orang dari keduanya berkata: Isteri-isteri Nabi Saw. lebih tahu tentang
hal itu daripada kami.” (HR. Ahmad [25458], Said bin Mansur dan alBaihaqi)
Ini adalah ijtihad
Aisyah ra., yang jelas bertentangan dengan nash-nash di atas, sehingga tidak
boleh diambil.
Ijtihad ini tidak
memiliki kekuatan apapun di hadapan hadits-hadits kami tersebut, yang
jelas-jelas melarang puasa akhir Sya’ban dan memasukkannya ke dalam bulan Ramadhan.
Abu Hanifah dan Malik
mengharamkan puasa pada hari syak sebagai bagian dari Ramadhan, dan
membolehkannya bila tidak memasukkannya ke dalam Ramadhan.
Ini adalah pendapat
yang shahih, sesuai dengan pengertian
yang ditunjukkan oleh nash.
Jumhur ulama dan
Syafi'i melarang puasa pada hari syak.
Ibnu Abdil Barr
berkata: orang yang diriwayatkan memakruhkan (kariha)
puasa pada hari syak adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ammar bin
Yasir, Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Anas bin
Malik.
Kami telah mengetahui
bahwa Ammar bin Yasir telah menyebutkan hadits kelima, yang menunjukkan
pengharaman puasa pada hari syak, bukan sekedar makruh saja.
Saya katakan di sini
bahwa ungkapan: “kariha fulan”, jika
disebutkan oleh lisan sebagian ahli fikih, maka yang mereka maksud adalah
mengharamkan (at-tahrim), bukan sekedar kemakruhan (al-karahah) menurut pengertian istilahnya, sehingga hendaknya
hal ini diperhatikan benar oleh para pembaca.
Contoh lain misalnya
Tirmidzi, setelah meriwayatkan hadits Ammar yang berbunyi:
“Maka sungguh dia
telah durhaka kepada Abul Qasim Saw.”
Ia berkata: “untuk
mengamalkan hadits ini menurut mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat dan
tabi'in, dan juga yang dikatakan oleh Sufyan at-Tsauri, Malik bin Anas,
Abdullah bin Mubarak, as-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq; mereka semua telah
memakruhkan seseorang berpuasa pada hari syak tersebut. Tirmidzi menggunakan
kata “mereka memakruhkan,” yang maksudnya adalah makruh untuk mengharamkan (karahah tahrim).
Sumber: Tuntunan Puasa
Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka Thariqul
Izzah
(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar