Najis yang Sama-Sama Ada Pada
Manusia Dan Hewan: Darah Yang Mengalir
Darah seperti itu
najis berdasarkan dua hadits berikut:
a. Dari Hisyam bin
Urwah dari ayahnya dari Aisyah, dia berkata:
“Fathimah binti Abu
Hubaisy datang menemui Nabi Saw., lalu dia berkata: Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku seorang wanita yang terus mengeluarkan darah, sehingga aku
tidak bisa suci, apakah aku harus terus meninggalkan shalat? Rasulullah Saw.
berkata: “Jangan, itu adalah darah penyakit (dari pembuluh darah) bukan darah
haid. Jika haidmu datang maka tinggalkanlah shalat, dan jika masa haidmu
berlalu maka cucilah darah itu dan shalatlah.” (HR. Muslim, Bukhari, Ahmad dan
Abu Dawud)
Hadits ini merupakan
nash yang menyebutkan mencuci darah istihadhah,
telah diketahui bahwa darah istihadhah
mengalir dari pembuluh darah. Darah istihadhah
adalah darah segar yang berbeda dengan darah haid. Seorang wanita mustahadhah (yang mengeluarkan darah istihadhah) diharuskan untuk mencuci darahnya
dan kemudian shalat. Perintah untuk mencuci darah istihadhah
menunjukkan najisnya darah tersebut.
b. Dari Asma, dia
berkata:
“Salah seorang
perempuan datang menemui Nabi Saw. seraya berkata: Baju salah seorang dari kami
terkena darah haid, apa yang harus dilakukannya? Rasulullah Saw. berkata:
“Keriklah darah itu, kemudian bilaslah dengan air dan siramlah, baru kemudian
dia boleh mengunakannya untuk shalat.” (HR. Muslim dan Bukhari)
Ini merupakan nash
tentang darah haid. Penekanan agar dicuci sebersih mungkin menjadi dalil yang
kuat akan najisnya darah haid.
“Keriklah darah itu,
kemudian bilaslah dengan air dan siramlah.”
Perkara yang hukumnya
disamakan dengan darah yang mengalir itu adalah alaqah
(segumpal darah), karena alaqah ini
merupakan darah yang terkumpul yang keluar dari kemaluan, menyerupai darah
haid. Begitu pula dengan al-qaih (nanah
bercampur darah), karena al-qaih adalah
darah yang telah rusak, atau merupakan material yang dihasilkan dari darah
sehingga hukumnya disamakan dengan hukum darah.
Beberapa jenis darah
yang dikecualikan dari darah yang najis adalah hati, limpa, darah ikan dan
darah hewan yang tidak memiliki aliran darah.
Pengecualian darah
ikan tiada lain karena bangkai ikan itu suci, dan darahnya merupakan bagian
dari ikan tersebut sehingga hukumnya pun menjadi suci. Begitupula dengan hati
dan limpa. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, dia
berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Telah dihalalkan bagi
kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah, dua bangkai itu adalah ikan dan
belalang, sedangkan dua darah itu adalah hati dan limpa.” (HR. Ahmad dan Ibnu
Majah)
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hajar dan Abu Hatim.
Juga berdasarkan
hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dia berkata:
“Seorang laki-laki
bertanya kepada Rasulullah Saw., ia berkata: Kami berlayar di laut dan kami
hanya membawa sedikit air, jika kami berwudhu dengannya maka kami akan
kehausan, karena itu apakah kami boleh berwudhu dengan air laut? Abu Hurairah
berkata: Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Laut itu suci airnya dan halal
bangkainya.” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi)
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban,
dan at-Tirmidzi.
Kedua hadits ini
menunjukkan halalnya bangkai binatang laut seperti ikan, darahnya termasuk
bagian dari ikan, sehingga hukum darahnya disamakan dengan hukum ikan.
Hadits yang pertama
menunjukkan sucinya hati dan limpa karena kehalalan hati dan limpa mengandung
arti kesucian keduanya.
Adapun dalil sucinya
darah hewan yang tidak memiliki alirah darah, adalah hadits yang telah kami
cantumkan dalam pembahasan “Beberapa Implementasi
Hukum Terkait Air,” yakni hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa
Rasulullah Saw. bersabda:
“Apabila seekor lalat
hinggap di tempat minum salah seorang dari kalian, hendaknya dia mencelupkan
lalat itu sepenuhnya ke dalam minuman tersebut, kemudian dia mesti membuangnya,
karena pada salah satu sayapnya terdapat penawar, sedangkan pada sayap yang
lainnya terdapat penyakit.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
Juga hadits yang telah
kami sebutkan sebelumnya yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra., dia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Telah dihalalkan bagi
kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah, dua bangkai itu adalah ikan dan
belalang, sedangkan dua darah itu adalah hati dan limpa.” (HR. Ahmad dan Ibnu
Majah)
Adapun ukuran darah
mengalir yang dipandang sebagai najis, maka untuk menetapkannya dikembalikan
pada penilaian seseorang. Tetapi sederhananya bisa dikatakan: adalah darah yang
bisa mengalir ketika bertemu dengan permukaan yang miring, sehingga satu atau
dua tetes darah tidak termasuk kategori darah mengalir, dan syariat
memaafkan sesuatu yang sedikit.
Najis yang bukan Berasal dari
Manusia dan Hewan: Khamar
Dalilnya adalah dalil
najisnya khamer itu sendiri, yakni hadits Abu Tsa’labah al-Khusyaniy, yang
mewajibkan mencuci bejana dan kuali milik ahli kitab yang mereka gunakan untuk
memasak daging babi dan minum khamar. Hadits ini telah kami sebutkan dalam pembahasan
makanan/minuman sisa hewan.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar