BAB
KESEBELAS
SHALAT
TATHAWWU' ATAU SHALAT NAFILAH
Keutamaan dan Klasifikasi Shalat
Tathawwu'
Dalam pembahasan
mengenai keutamaan shalat pada bab “hukum shalat dan waktu-waktunya”,
telah kami uraikan bahwa shalat merupakan amal perbuatan manusia yang pertama
kali dihisab oleh Allah Swt. pada Hari Kiamat. Shalat yang saya maksud adalah
shalat fardhu. Maka, jika baik dan sempurna shalat fardhu tersebut, pelakunya
bisa berharap memperoleh kebahagiaan, tetapi jika shalatnya tersebut rusak
karena ada yang ditinggalkan atau dilupakan dalam hal rukun dan syarat sahnya,
maka pelakunya pasti akan mengalami kerugian.
Apabila shalat
tersebut memiliki kekurangan, sedangkan pelakunya belum memenuhinya secara
sempurna, atau memenuhinya tetapi dalam kondisi ada sedikit kekurangan beberapa
kewajibannya, maka Allah Swt. akan menyempurnakan kekurangan shalat orang
tersebut dengan shalat tathawwu' yang
dilaksanakannya. Dengan demikian, shalat tathawwu'
bisa menutupi kekurangan yang ada dalam shalat fardhu pada Hari Kiamat kelak,
sehingga tidak ragu lagi bahwa hal ini menjadi keutamaan shalat tathawwu’.
Abu Hurairah ra. telah
meriwayatkan bahwa dia mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya amal
perbuatan seorang Muslim yang pertama kali dihisab pada Hari Kiamat adalah
shalat wajib. Apabila dia menyempurnakannya (maka selesai persoalannya), jika
dia tidak menyempurnakannya maka dikatakan kepada malaikat: “Lihatlah oleh
kalian, apakah dia memiliki amalan shalat tathawwu'.
Kemudian shalat fardhu tersebut disempurnakan dengan shalat tathawwu'nya, dan semua amal-amal yang wajib
lainnya diperlakukan seperti itu.” (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad
dan an-Nasai)
Tamim ad-Dari
meriwayatkan hadits ini, dia berkata:
“Sesungguhnya amal
yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalat, jika shalatnya
sempurna maka dituliskan sempurna untuknya, dan jika terdapat kekurangan di
dalamnya maka Allah Swt. akan berfirman kepada malaikat: “Lihatlah, apakah
hamba-Ku ini memiliki amalan shalat tathawwu’?
Maka sempurnakanlah oleh kalian kekurangan shalat fardhunya itu dengan shalat tathawwu’nya, dan seperti itulah dengan zakat
dan dengan amal-amal perbuatan lainnya.” (HR. ad-Darimi, Abu Dawud dan Ibnu
Majah)
Sebagian keutamaan
shalat tathawwu’, terdapat pula dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Habibah, istri Rasulullah Saw., bahwa dia
mendengar Nabi Saw. bersabda:
“Tidaklah seorang
hamba Muslim melaksanakan shalat tathawwu’,
dua belas rakaat setiap hari karena Allah selain shalat fardhu, kecuali akan
dibangun untuknya satu rumah di Surga, atau Allah azza
wa jalla akan membangun untuknya dengan shalat tathawwu’ itu satu rumah di Surga.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu
Dawud, Tirmidzi, dan an-Nasai)
Selain disebut shalat tathawwu', shalat ini disebut juga dengan
istilah shalat sunat dan shalat nafilah.
Ketiga istilah ini adalah untuk satu nama yang sama.
Dari sebagian shalat tathawwu' ada yang memiliki waktu tertentu dan
khusus, seperti shalat sunat rawatib, shalat dhuha, dan shalat witir. Tetapi
ada juga yang tidak memiliki waktu tertentu yang dikhususkan, seperti shalat
tasbih dan shalat istikharah. Di antara
shalat-shalat ini ada yang memiliki sebab tertentu, seperti tahiyatul masjid,
sujud tilawah, shalat kusuf, atau ada pula yang tidak memiliki sebab, seperti qiyamullail, dan shalat tasbih. Kami akan
merinci seluruh shalat sunah dalam penjelasan berikut ini:
A. Shalat Sunat Rawatib
Muakkad
Maksudnya adalah
beberapa rakaat shalat yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah Saw. menyertai
shalat-shalat fardhu yang beliau lakukan, baik sebelum atau sesudahnya, dan
beliau tidak meninggalkannya sama sekali dalam kondisi tidak melakukan
bepergian alias hadhar.
Rakaat-rakaat shalat
ini adalah: dua rakaat sebelum shalat subuh, dua rakaat sebelum shalat dhuhur
dan dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah shalat maghrib, dan dua rakaat
setelah shalat isya. Seluruhnya ada sepuluh rakaat dalam sehari semalam. Dari Ibnu
Umar ra. ia berkata:
“Shalat Rasulullah
Saw. yang tidak beliau Saw. tinggalkan adalah dua rakaat sebelum dhuhur dan dua
rakaat setelahnya, dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat setelah isya, dua
rakaat sebelum subuh.” (HR. Ahmad)
Dari Ibnu Umar ra. ia
berkata:
“Aku hafal dari
Rasulullah Saw. sepuluh rakaat yang senantiasa beliau Saw. lakukan dalam sehari
semalam: dua rakaat sebelum dhuhur dan dua rakaat setelahnya, dua rakaat
setelah maghrib, dua rakaat setelah isya yang terakhir. Dia berkata: dan
Hafshah mengabarkan kepadaku bahwa beliau Saw. senantiasa shalat sebelum fajar
sebanyak dua rakaat.” (HR. Tirmidzi)
Dari Ibnu Umar ra. ia
berkata:
“Aku melaksanakan
shalat bersama Nabi Saw. dua rakaat sebelum dhuhur, dua rakaat setelah dhuhur,
dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat setelah isya, dan dua rakaat setelah
Jum'at. Adapun maghrib dan isya maka (dilaksanakan) di rumahnya.” (HR. Bukhari
dan Ibnu Hibban)
Muslim meriwayatkan
dengan redaksi:
“…Adapun maghrib dan
isya serta Jum’at maka aku shalat bersama Nabi Saw. di rumah beliau Saw.”
Ahmad meriwayatkan
pula dengan redaksi:
“…Adapun Jum’at dan
maghrib, dilaksanakan di rumahnya. Dan ia berkata: lalu saudariku, Hafshah,
memberitahuku bahwa beliau senantiasa melaksanakan shalat dua rakaat yang
ringan jika terbit fajar. Dan ia berkata: dan ini adalah waktu di mana aku
tidak mengunjungi Rasulullah Saw. di rumahnya.”
Dari Abdullah bin
Syaqiq ia berkata: aku bertanya kepada Aisyah tentang shalat Rasulullah Saw.,
ia menjawab:
“Beliau Saw.
senantiasa shalat dua rakaat sebelum dhuhur dan dua rakaat setelahnya, dua
rakaat setelah maghrib, dan dua rakaat setelah isya, serta dua rakaat sebelum
fajar.” (HR. Tirmidzi)
Inilah sepuluh rakaat,
yakni sunat-sunat rawatib yang muakkad, di mana Rasulullah Saw. tidak
melaksanakan shalat sunat kurang darinya. Disebut juga rawatib muakkad karena keistimewaannya dibandingkan yang lain,
karena Rasulullah Saw. menetapi dan mendawamkannya
tanpa mengabaikannya sedikitpun.
Adapun sunah rawatib dhuhur adalah dua
rakaat sebelum dhuhur dan dua rakaat setelahnya, dan ini telah kami
sebutkan sebelumnya. Kami ingin menegaskan dengan hadits yang diriwayatkan
Tirmidzi dari jalur Ibnu Umar ra., bahwa ia berkata:
“Aku shalat bersama
Nabi Saw. dua rakaat sebelum dhuhur dan dua rakaat setelahnya.”
Mengenai shalat ashar, tidak ada
sunat
rawatib muakkad
padanya, baik sebelum ataupun sesudahnya, berdasarkan hadits-hadits yang
telah kami sebutkan di awal pembahasan ini (tapi yang ada adalah shalat sunat mulhaqah sebelum ashar). Kami
ingin menegaskan lagi hal tersebut dengan satu hadits yang diriwayatkan dari
Ali ra. bahwa ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. melaksanakan shalat di penghujung setiap shalat wajib sebanyak dua rakaat,
kecuali shalat fajar dan ashar.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Baihaqi dan Abu Dawud)
Dan hadits lain yang
diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. bahwa Nabi Saw. bersabda:
“Tidak ada shalat
setelah shalat subuh hingga matahari terbit, dan tidak ada shalat setelah
shalat ashar hingga matahari terbenam.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Bukhari dan Muslim
meriwayatkan hadits yang sama dari jalur Abu Said al-Khudri ra. Diriwayatkan
dari Sa’ad bin Abi Waqash ra. bahwa ia berkata: aku mendengar Rasulullah Saw.
bersabda:
“Dua shalat yang tidak
ada shalat (sunat) setelahnya: subuh hingga matahari terbit, dan ashar hingga
matahari terbenam.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
Hadits-hadits ini
menjadi dalil yang menunjukkan tidak adanya shalat sunat setelah ashar.
Terdapat beberapa hadits yang seolah-olah menunjukkan adanya shalat sunat
setelah ashar, seperti:
a. Dari Abu Musa
al-Asy’ari ra.:
“Bahwa ia melihat Nabi
Saw. shalat dua rakaat setelah ashar.” (HR. Ahmad dan Thabrani)
b. Dari Aisyah ra. ia
berkata:
“Dua shalat yang tidak
ditinggalkan Nabi Saw., baik ketika sendiri ataupun ketika bersama: dua rakaat
setelah ashar, dan dua rakaat sebelum fajar.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim dan
Thahawi)
c. Dari Syuraih ia
berkata:
“Aku bertanya kepada
Aisyah tentang shalat setelah ashar, ia berkata: “Sholatlah, sesungguhnya
Rasulullah Saw. melarang kaummu, wahai penduduk Yaman dari shalat ketika
matahari terbit.” (HR. Ahmad dan Thahawi)
Ketiga hadits ini bisa
diinterpretasikan bahwa Rasulullah Saw. telah melaksanakan shalat dua rakaat
ba'da ashar sebagai qadha untuk sunah
rawatib ba'da dhuhur ketika suatu saat beliau tersibukkan oleh sesuatu,
sehingga tidak sempat melaksanakannya, lalu beliau melaksanakan shalat tersebut
setelah ashar.
Beliau terus
melaksanakan shalat setelah shalat ashar, karena beliau Saw. jika melakukan
satu shalat maka beliau Saw. akan mendawamkannya,
dan ini termasuk kekhususan bagi Rasulullah Saw. yang tidak boleh diikuti.
Sejumlah sahabat
Rasulullah Saw. telah melihat beliau Saw. melakukan hal ini, lalu mereka
menyangka bahwa hal ini termasuk sesuatu yang dibolehkan atau disunahkan
sehingga mereka mengikutinya, lalu mereka menyampaikan apa yang mereka
saksikan, dan memfatwakan disyariatkannya hal tersebut. Kami ingin membahas
beberapa hadits terkait dengan pembahasan ini, sebagai berikut:
a. Sesungguhnya Aisyah
ra. pernah melihat Rasulullah Saw. shalat dua rakaat setelah ashar, dan ketika
dia belum mengetahui sebabnya maka dia menyangka kedua rakaat itu adalah sunah
bagi seluruh kaum Muslim, sehingga Aisyah memfatwakan hal itu. Mengenai penyebab
kedua rakaat ini telah diketahui oleh Ummu Salamah ra., yakni apa yang telah
kami sebutkan sebelumnya, bahwa Nabi Saw. telah disibukkan dari dua rakaat
ba’diyah dhuhur, lalu beliau Saw. mengqadhanya setelah shalat ashar. Setelah
itu beliau terus melaksanakannya. Dengan demikian, hal ini menafikan kedua
rakaat tersebut sebagai shalat sunat bagi kaum Muslim.
b. Telah dinukil dari
Rasulullah Saw. dari beberapa jalur yang shahih, bahwa beliau Saw. melarang
kaum Muslim melaksanakan shalat setelah ashar. Tatkala hal itu telah terbukti
pada kita, lalu kita melihatnya melaksanakan shalat setelah ashar, maka kita bisa
memahami hal itu termasuk kekhususan beliau Saw., dan makna ini juga telah
dinukil dari beliau Saw.
c. Sesungguhnya
hadits-hadits yang nampak saling bertentangan dalam pembahasan ini, di dalamnya
tidak ada nasikh dan mansukh sebagaimana yang diklaim oleh sejumlah
fuqaha, sehingga tidak benar pendapat yang menyatakan bahwa hadits-hadits yang
menunjukkan adanya shalat telah menasakh
hadits-hadits yang melarang dari shalat atau sekedar mentakhsisnya. Tentu saja, nasakh
tidak terjadi setelah wafatnya Rasulullah saw. Selain itu, telah sampai kepada
kita kabar tentang para sahabat yang tetap mentaati larangan tersebut, sehingga
ini menafikan klaim adanya nasakh.
Karena tiga perkara
inilah maka pendapat yang rajih adalah
tidak ada shalat setelah shalat ashar hingga matahari terbenam, sebagaimana
telah dijelaskan oleh hadits-hadits di atas. Waktu antara shalat ashar dan
terbenamnya matahari ini adalah salah satu waktu yang terlarang dipakai untuk
shalat, dan hukum ini telah jelas dan tidak dinasakh.
Kami akan mengemukakan dalil atas apa yang kami nyatakan ini dengan sejumlah
hadits berikut ini:
1) Dari Rabi’ah bin
Darraj:
“Bahwa Ali bin Abi
Thalib melakukan shalat nafilah setelah
ashar dua rakaat di perjalanan ke Makkah, lalu Umar melihatnya dan ia
memarahinya seraya berkata: “Demi Allah, sesungguhnya engkau telah mengetahui
bahwa Rasulullah Saw. telah melarang hal itu.” (HR. Ahmad dan at-Thahawi)
Hadits ini jelas
menunjukkan telah tetapnya pelarangan dari shalat setelah ashar dan tidak ada
penasakhan.
2) Dari Kuraib:
“Bahwa Ibnu Abbas dan
Miswar bin Makhramah dan Abdurrahman bin Azhar ra. mengutusnya menemui Aisyah
ra. Mereka berkata: Sampaikan salam kepadanya dari kami semua, dan tanyakanlah
kepadanya tentang dua rakaat ba’da shalat ashar, katakan juga kepadanya: sesungguhnya
kami dikabari bahwa engkau melaksanakan shalat tersebut, padahal telah sampai
kepada kami bahwa Nabi Saw. telah melarang shalat tersebut. Ibnu Abbas berkata:
dan aku telah melarang orang-orang bersama Umar (melaksanakan) dua rakaat
shalat tersebut, maka Kuraib berkata: lalu aku menemui Aisyah ra. dan aku
sampaikan kepadanya pesan mereka yang harus kusampaikan. Aisyah berkata:
“Tanyakanlah kepada Ummu Salamah.” Lalu aku keluar (pulang) menemui mereka dan
kukabarkan perkataannya kepada mereka. Mereka mengutusku menemui Ummu Salamah
dengan pesan (yang sama) seperti mereka mengutusku kepada Aisyah. Ummu Salamah
ra. berkata: “Aku mendengar Nabi Saw. melarang (pelaksanaan) dua rakaat (shalat
ba’da ashar) tersebut. Kemudian aku melihatnya melakukannya ketika beliau Saw.
shalat ashar. Lalu beliau Saw. masuk mengunjungiku, dan di sampingku ada
sejumlah wanita Bani Haram dari kalangan Anshar. Kemudian aku mengutus seorang
pelayan menemuinya, dan aku berkata: Berdirilah di sampingnya dan katakanlah kepadanya:
Ummu Salamah bertanya kepadamu: “Wahai Rasulullah, aku mendengar engkau
melarang (pelaksanaan) dua rakaat shalat ini tetapi aku melihatmu
melakukannya.” Jika beliau memberi isyarat dengan tangannya maka mundurlah
darinya, lalu pelayan itu melakukan (apa yang kuperintahkan) dan beliau Saw.
memberi isyarat dengan tangannya, maka sang pelayan pun mundur. Tatkala dia mau
pergi, beliau Saw. berkata: “Wahai putri Abu Umayyah, engkau bertanya tentang
dua rakaat setelah ashar, sesungguhnya aku telah didatangi orang-orang dari
Abdul Qais, lalu mereka menyibukkan aku dari dua rakaat yang (biasa kulakukan)
setelah dhuhur, maka kedua rakaat tersebut adalah itu.” (HR. Bukhari, Muslim,
ad-Darimi, dan Abu Dawud)
3) Dari Ummu Salamah
istri Nabi Saw., ia berkata:
“Aku tidak pernah
melihat Rasulullah Saw. shalat setelah ashar sekalipun. Lalu sejumlah orang
datang setelah dhuhur menemuinya, sehingga mereka menyibukkan beliau mengurus
sesuatu, padahal beliau belum shalat ba’da dhuhur sama sekali hingga beliau
Saw. shalat ashar. Ummu Salamah berkata: Ketika beliau telah shalat ashar,
beliau Saw. masuk ke rumahku dan kemudian shalat dua rakaat.” (HR. Ahmad,
an-Nasai, dan al-Baihaqi)
4) Dari Abdullah bin
Abi Qais, ia berkata:
“Aku bertanya kepada
Aisyah tentang dua rakaat ba’da ashar, maka ia berkata: Adalah Nabi Saw. biasa
shalat dua rakaat ba'da dluhur, lalu beliau Saw. tersibukkan darinya hingga
beliau shalat ashar. Ketika selesai (shalat ashar) beliau melaksanakan shalat dua
rakaat di rumahku dan beliau tidak meninggalkannya hingga beliau Saw. wafat.”
Abdullah bin Abi Qais berkata: lalu aku bertanya kepada Abu Hurairah tentang
hal itu. Ia berkata: “Sebelumnya kami suka melakukannya, tetapi kemudian
meninggalkannya.” (HR. Ahmad dan an-Nasai)
5) Dari Abu Bakar bin
Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam, ia berkata:
“Ayahku sepakat untuk
umrah. Ketika tiba waktu berangkat, beliau berkata: Wahai anakku, seandainya
kita menemui amirul mukminin maka kita bisa pamitan kepadanya. Aku berkata:
Sesuai kehendakmu. Ia berkata: lalu kami menemui Marwan dan di sampingnya ada sejumlah
orang, di antaranya Abdullah bin Zubair ra., mereka menyebutkan dua rakaat
setelah ashar yang dilaksanakan oleh Ibnu Zubair, maka Marwan bertanya
kepadanya: “Dari siapakah engkau mengambilnya wahai Ibnu Zubair?” Ia berkata:
“Aku diberi kabar oleh Abu Hurairah dari Aisyah.” Kemudian Marwan mengutus
seseorang menemui Aisyah: ”Dua rakaat apakah yang disebutkan Ibnu Zubair, di
mana Abu Hurairah memberitahunya (bahwa hal itu berasal) darimu, yaitu bahwa
Rasulullah Saw. suka shalat ba’da ashar?” Lalu dia mengirim jawaban kepadanya:
“Aku diberitahu oleh
Ummu Salamah.” Maka Marwan mengirim utusan menemui Ummu Salamah: “Dua rakaat
apakah yang dipersangkakan Aisyah bahwa engkau telah mengabarinya, di mana
Rasulullah Saw. suka shalat ba’da ashar?” Maka Ummu Salamah berkata: “Semoga
Allah mengampuni Aisyah, dia telah menempatkan urusanku tidak pada tempatnya,
Rasulullah Saw. shalat dhuhur dan kepada beliau Saw. telah dibawakan harta,
lalu beliau Saw. duduk membagikannya hingga tibalah muadzin mengumandangkan
adzan ashar. Maka beliau Saw. shalat ashar kemudian pulang kepadaku, dan hari
itu memang hari giliranku. Setelah itu beliau shalat dua rakaat secara ringan.
Maka kami bertanya: “Dua rakaat apakah ini wahai Rasulullah, apakah engkau
memerintahkan keduanya?” Beliau Saw. bersabda: “Tetapi ini adalah dua rakaat
yang biasa aku lakukan setelah dhuhur, hanya saja aku tersibukkan oleh
pembagian harta ini hingga datang kepadaku muadzin yang mengumandangkan shalat
ashar, dan aku tidak suka meninggalkan dua rakaat tersebut.” Maka Ibnu Zubair
berkata: “Allah Maha besar, bukankah beliau telah melaksanakannya sekali? Demi
Allah, aku tidak akan meninggalkannya selamanya.” Maka Ummu Salamah berkata:
“Aku tidak melihat beliau Saw. melaksanakannya sebelumnya dan sesudahnya.” (HR.
Ahmad)
Semoga Allah Swt.
mengampuni Ibnu Zubair yang berijtihad, lalu ijtihadnya keliru karena
terus-menerus melaksanakan shalat dua rakaat ini, setelah jelas kepadanya bahwa
dua rakaat tersebut dilaksanakan sebagai qadha atas dua rakaat ba'da dhuhur.
6) Dari Aisyah ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
suka shalat ba’da ashar, tetapi beliau Saw. melarang (orang-orang melakukan)
itu. Beliau suka puasa wishal, tetapi
beliau melarang (orang-orang) dari puasa wishal.”
(HR. Abu Dawud)
Wishal artinya diteruskannya puasa sehari
semalam tanpa berbuka.
7) Dari Abu Salamah:
“Bahwa dia bertanya
kepada Aisyah tentang dua rakaat yang dilaksanakan Rasulullah Saw. ba’da ashar,
maka ia berkata: “Beliau melaksanakannya sebelum ashar, kemudian beliau
disibukkan oleh sesuatu atau terlupa, maka beliau melaksanakannya ba'da ashar
dan menetapinya, dan beliau Saw. jika melakukan satu shalat maka beliau
menetapinya.” (HR. Muslim dan an-Nasai)
Perkataan: atsbataha: yakni mendawamkannya atau menetapinya.
8) Dari Amr bin
‘Abasah as-Sulami, ia berkata:
”...Lalu aku berkata:
“Wahai Rasulullah, beritahu aku tentang apa yang telah diajarkan oleh Allah
Swt. kepadamu dan aku tidak mengetahuinya. Kabarkanlah kepadaku tentang
shalat.” Beliau berkata: “Lakukanlah shalat subuh, kemudian tahanlah dari
shalat sampai matahari terbit sehingga meninggi, sesungguhnya matahari itu
muncul ketika terbit di antara dua tanduk setan, dan ketika itu pula
orang-orang kafir bersujud kepadanya. Kemudian shalatlah, karena waktu itu
disaksikan dan dihadiri (oleh malaikat) hingga bayangan naik setentang dengan
tombak, setelah itu tahanlah dari shalat karena waktu itu jahanam sedang
dinyalakan. Dan jika bayangan sedikit condong ke arah Timur maka shalatlah,
karena shalat tersebut disaksikan dan dihadiri hingga engkau shalat ashar.
Kemudian tahanlah dari shalat hingga matahari terbenam, karena matahari itu
terbenam di antara dua tanduk setan, dan ketika itulah orang-orang kafir
bersujud kepadanya...” (HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)
Perkataan: hingga
bayangan naik setentang dengan tombak, yakni hingga bayangan sebanding dengan
tombak dengan tidak condong ke Barat atau ke Timur, dan ini terjadi ketika
tengah hari.
9) Dari Ibnu Abbas
ra., ia berkata:
“Aku mendengar tidak
hanya dari seorang sahabat Rasulullah Saw., di antara mereka adalah Umar bin
Khaththab, dan beliau adalah orang yang paling aku cintai, bahwasanya
Rasulullah Saw. melarang dari shalat setelah fajar hingga matahari terbit, dan
setelah ashar hingga matahari terbenam.” (HR. Muslim, Bukhari dan Ibnu
Khuzaimah)
10) Dari Abu Hurairah
ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
melarang dari shalat setelah ashar hingga matahari terbenam, dan dari shalat
setelah subuh hingga matahari terbit.” (HR. Muslim)
11) Dari Muawiyah bin
Abi Sufyan, ia berkata:
“Sesungguhnya kalian
pasti melaksanakan satu shalat, dan kami telah menemani Rasulullah Saw., maka
kami tidak pernah melihat beliau Saw. melaksanakannya, dan (bahkan) beliau
mencegah dari keduanya, yakni dua rakaat setelah ashar.” (HR. Bukhari)
Ucapan yang mengatakan
adanya sunah ba'diyah untuk shalat ashar itu tidak diucapkan selain oleh Aisyah
dan Ibnu Zubair, sebagaimana yang diriwayatkan dalam beberapa atsar. Dan Anda
sekalian telah melihat bagaimana hal itu bisa terjadi. Dan tidak ada yang
melakukannya selain Ali ra., dan Anda telah melihat bagaimana Umar ra. begitu
mengingkarinya dan mengingatkannya bahwa kedua rakaat tersebut terlarang.
Adapun sunat untuk shalat maghrib
adalah dua rakaat rawatib muakkad yang dilaksanakan setelah shalat fardhu
maghrib -sebagaimana yang telah kami jelaskan-, dan kami tambahkan di
sini sebuah hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Tirmidzi dari jalur Ibnu Umar
ra.:
“Bahwa Nabi Saw. suka
shalat dua rakaat setelah maghrib di rumahnya.”
Juga hadits yang
diriwayatkan Ibnu Majah dari jalur Aisyah ra. ia berkata:
“Adalah Nabi Saw.
melaksanakan shalat maghrib, kemudian beliau pulang ke rumahku lalu shalat dua
rakaat.”
Mengenai sunat untuk shalat isya, itu
adalah dua rakaat rawatib muakkad yang dilaksanakan setelah shalat fardhu isya,
sebagaimana yang telah kami jelaskan juga, dan kami tambahkan di sini hadits
yang diriwayatkan Ahmad, Bukhari, dan Muslim dari jalur Ibnu Umar ra.:
“Bahwa dia shalat
bersama Nabi Saw. dua rakaat setelah isya di rumahnya.”
Dan sepenggal dari
hadits yang cukup panjang, yang diriwayatkan Ahmad, Muslim dan Baihaqi dari
jalur Aisyah ra., ia berkata:
“...Dan beliau Saw.
shalat isya mengimami mereka, kemudian masuk ke rumahku lalu shalat dua
rakaat...”
Sumber: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar