Benda-Benda Najis yang Berasal
Dari Manusia
1. Air Kencing
Najisnya air kencing
ini disebutkan dalam banyak hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah sahabat. Di
antaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., bahwasanya dia
berkata:
“Nabi Saw. melewati
dua kuburan, kemudian beliau Saw. bersabda: Sesungguhnya mereka berdua sedang
disiksa, dan mereka disiksa bukan karena dosa besar. Salah satunya disiksa
karena tidak menjaga diri dari air kencing. Waki’ berkata: Dari kencingnya,
sedang yang lainnya karena suka menyebarkan perkataan buruk/fitnah.” (HR.
Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan an-Nasai)
Hadits ini merupakan
nash yang menyinggung air kencing manusia. Adanya siksa bagi orang yang tidak
menjaga diri dari air kencing menjadi qarinah
bahwa air kencing itu najis. Hal ini karena telah diketahui bahwa Allah Swt.
tidak akan menyiksa sesuatu karena alasan kotor atau tidak bersih. Ketika
hadits tersebut menetapkan siksa bagi orang yang tidak menjaga diri dari air
kencing, maka hadits tersebut telah menetapkan najisnya air kencing. Begitu
pula telah diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya dia berkata:
“Seorang Arab dusun
berdiri lalu dia kencing di masjid. Orang-orang berusaha menahannya, maka Nabi
Saw. berkata pada mereka: Biarkan dia, dan siramlah bekas air kencingnya dengan
setimba air, atau dengan seember air, karena sesungguhnya kalian diutus untuk
memberikan kemudahan, dan tidak diutus untuk membuat kesulitan.” (HR. Bukhari,
Ahmad, dan Abu Dawud)
Ucapan beliau Saw.: sajlan wa dzanuban, artinya satu ember penuh.
Selain itu, para
sahabat telah berijma’ bahwa air kencing
itu najis. Walaupun begitu, syariat
telah memberi keringanan terkait air kencing anak laki-laki yang masih menyusu.
Untuk membersihkannya cukup dengan memercikkan air ke atasnya. Ini
berdasarkan hadits Ummu Qais:
“Bahwa dia pernah
datang menemui Rasulullah Saw. dengan membawa bayi laki-lakinya yang belum
memakan makanan. Ubaidillah berkata: Ummu Qais kemudian memberitahu aku bahwa
bayinya kencing pada pangkuan Rasulullah saw. Maka Rasulullah Saw. meminta air,
kemudian beliau memercikkannya pada bajunya. Beliau Saw. tidak mencucinya.”
(HR. Muslim, Bukhari, dan Ahmad)
Juga berdasarkan
hadits Ali ra., dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Air kencing bayi
laki-laki itu cukup diperciki air, sedangkan air kencing bayi perempuan harus
dicuci.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan Abu Dawud)
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hajar, al-Hakim dan
ad-Dzahabiy.
Penulis kitab Subulus
Salam, as-Shan'aniy berkata: Ketahuilah bahwa memercikkan itu sebagaimana
dikatakan oleh an-Nawawi dalam kitab Syarah
Muslim adalah sesuatu yang terkena air kencing itu harus ditetesi air
walaupun tidak harus sampai mengalir dan tidak harus berulang, berbeda dengan
selainnya, di mana disyaratkan agar tempat yang dilekati najis itu harus
dialiri sebagian air, walaupun tidak disyaratkan untuk diperas. Inilah pendapat
yang tepat dan terpilih.
2. Tinja
Dalilnya adalah Ijma Sahabat, di mana para sahabat telah
bersepakat bahwa tinja itu najis. Tidak ada seorangpun di antara mereka yang
berbeda pendapat dalam persoalan ini.
Kedua, hadits-hadits
istinja setelah buang air besar menjadi dalil-dalil yang berasal dari
as-Sunnah.
Saya sebutkan
contohnya adalah hadits Aisyah ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Apabila salah seorang
dari kalian buang air besar, hendaklah membawa tiga buah batu untuk beristinja. Sesungguhnya tiga buah batu itu sudah
cukup baginya.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, an-Nasai dan ad-Darimi)
Ad-Daruquthni
meriwayatkan hadits ini dan berkata: sanad haditsnya shahih. Perintah beristinja dengan tiga buah batu, dan itu sudah
cukup untuk membersihkannya, menjadi dalil bahwa tinja itu najis.
3. Madzi
Madzi adalah cairan
putih dan lengket. Madzi keluar ketika syahwat yang bangkit karena perbuatan,
perkataan, pandangan atau khayalan. Dalil najisnya madzi itu adalah hadits yang
diriwayatkan dari Ali ra., bahwa dia berkata:
“Dahulu aku seorang
lelaki yang sering mengeluarkan madzi, maka aku memerintahkan seseorang untuk
bertanya pada Nabi Saw. karena kedudukan puteri beliau Saw. Maka orang itu pun
bertanya, lalu Nabi Saw. menjawab: “Berwudhulah, dan cucilah kemaluanmu (seluruh
kemaluan).” (HR. Bukhari, Ahmad dan yang lainnya)
Walaupun begitu, syariat memberi keringanan
terkait madzi yang mengenai baju. Syariat menetapkan hukumnya seperti hukum air
kencing bayi laki-laki yang masih menyusu. Hal ini berdasarkan hadits
bahwa Sahl bin Hunaif berkata:
“Dahulu aku sering
mengeluarkan madzi sehingga aku sering mandi karenanya. Lalu aku menceritakan
hal itu kepada Rasulullah Saw., dan bertanya kepada beliau Saw. perihal itu,
maka beliau Saw. berkata: “Sesungguhnya cukup bagimu untuk berwudhu
membersihkannya.” Aku bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana dengan madzi yang
mengenai bajuku? Beliau Saw. berkata: “Engkau cukup mengambil air segenggam
telapak tangan, lalu percikkan ke bajumu, ke bagian baju yang engkau lihat
terkena madzi itu.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan Abu Dawud)
Tirmidzi berkata:
status hadits ini hasan shahih. Ketika Rasulullah Saw. memerintahkan
mencuci kemaluan dalam hadits yang pertama, dan memercikkan air ke baju yang
terkena madzi dalam hadits yang kedua; ini menjadi dalil bahwa madzi itu najis.
4. Wadi
Wadi itu adalah cairan
berwarna bening dan padat yang keluar setelah buang air kecil. Cairan tersebut
najis, dan sepengetahuan saya tidak diperselisihkan lagi status najisnya. Hal
ini karena cairan tersebut keluar langsung setelah buang air kecil, sehingga
bercampur dengannya, karena itu status hukumnya disamakan dengan air kencing.
Tidak ada hadits yang menyinggung masalah wadi ini, tetapi sejumlah sahabat
Rasulullah Saw. berbicara tentang najisnya wadi tersebut. Ibnu al-Mundzir
berkata: Aisyah berkata: Mengenai wadi, cairan tersebut keluar setelah buang
air kecil, sehingga kemaluan dan buah pelir harus dicuci, dan kemudian
berwudhu, tidak perlu mandi. Juga dari Ibnu Abbas dia berkata: Ada mani, wadi,
dan madzi; mengenai mani maka harus mandi karenanya, mengenai wadi dan madzi
maka dia berkata: cuciah kemaluan, dan berwudhulah seperti wudhu untuk shalat.”
(HR. al-Baihaqi dan al-Atsram)
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar