Beberapa Implementasi Hukum
Terkait Dengan Air
1. Kami telah
mengatakan jika air mencapai dua qullah
atau lebih maka tidak bisa menjadi najis (kecuali jika air itu sampai berubah).
Sekarang kami ingin menjelaskan ukuran dua qullah
tersebut. Kami katakan: dua qullah itu
setara dengan dua belas ceret atau kaleng jerigen yang biasa kita gunakan
sekarang ini untuk menyimpan minyak.
Al-Baihaqi
meriwayatkan dari Ibnu Juraij -dia adalah Abdul Malik bin Abdul Aziz seorang
ahli fiqih di tanah Haram Makkah yang hidup di abad kedua hijrah. Ibnu Juraij
berkata: Aku melihat qullah Hajar. Satu qullah itu sebanyak dua qirbah (kantong air
dari kulit) atau dua qirbah lebih sedikit. Al-Baihaqi menambahkan: As-Syafi’i
berkata: Dulu seorang Muslim berpendapat bahwa satu qullah itu kurang dari setengah qirbah, atau setengah qirbah,
kadang ada juga yang mengatakan bahwa sembilan qirbah itu lebih banyak dari
ukuran dua qullah, dan kadang dua qullah itu lebih sedikit dari lima qirbah.
As-Syafi'i berkata: Untuk kehati-hatian, kita tetapkan satu qullah itu dua setengah qirbah, sehingga air
yang berukuran lima qirbah tidak akan membawa/menjadi najis...”
Dengan demikian,
ukuran dua qullah itu setara dengan lima
qirbah. Dan para ahli sudah mengukurnya -yakni lima qirbah itu- setara dengan
dua belas jerigen, dan ini setara dengan drum (barrel) besar, sehingga jika ada
air sepenuh drum itu lalu seseorang kencing di dalamnya, atau melemparkan
bangkai ke dalamnya, maka air di dalam drum tersebut tetap suci-mensucikan,
kecuali jika berubah sifatnya sebagai air, sehingga jika tidak berubah sifatnya
dan tidak hilang namanya maka air tersebut tetap dalam karakter asalnya,
sebagai air suci mensucikan.
2. Air yang kurang
dari dua qullah -yakni yang kurang dari
satu drum (barrel) jika dijatuhi benda najis (terkena najis-pen.) maka air tersebut menjadi najis, saat
itu juga harus ditumpahkan, tanpa melihat lagi apakah najisnya sedikit atau
banyak. Ketika beberapa tetes air kencing larut ke dalam air tersebut, maka air
tersebut menjadi najis, tanpa melihat lagi apakah warna, rasa dan baunya
berubah atau tidak. Dikecualikan dari hal itu adalah kondisi ketika ada najis
dengan kwantitas yang sangat sedikit, seperti satu tetes air kencing atau
setetes darah, atau ke dalamnya jatuh seekor kecoa yang kaki-kakinya dilekati
najis, maka dalam kondisi ini air tersebut tidak menjadi najis, air tersebut
tetap dalam kondisi suci mensucikan (thahur).
Begitu pula ketika ke dalam air tersebut jatuh hewan yang tidak memiliki aliran
darah merah, seperti lalat, belalang, kumbang dan hewan sejenis itu, maka air
tersebut tetap suci mensucikan (thahur).
Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah: Sesungguhnya Rasulullah
Saw. bersabda:
“Apabila seekor lalat
jatuh ke dalam wadah salah seorang dari kalian, maka hendaklah dia
mencelupkannya seluruhnya, baru kemudian membuang lalatnya, karena pada salah
satu sayapnya terdapat obat penawar sedang pada sayap lainnya terdapat
penyakit.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
Juga berdasarkan
hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar. Dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Telah dihalalkan bagi
kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah: dua jenis bangkai itu adalah ikan
dan belalang, sedangkan dua jenis darah itu adalah hati dan limpa.” (HR. Ahmad
dan Ibnu Majah)
Penjelasan lengkapnya
adalah sebagai berikut :
Dilalah hadits pertama menunjukkan bahwa
Rasulullah Saw. tidak memerintahkan menumpahkan makanan atau minuman yang ke
dalamnya jatuh seekor lalat, seandainya makanan atau minuman tersebut menjadi
najis dengan jatuhnya lalat tadi niscaya beliau Saw. tidak akan mengizinkan
mengkonsumsi makanan/minuman tersebut.
Dilalah hadits kedua menunjukkan bahwa
belalang itu merupakan bangkai yang bisa dimakan, seandainya belalang itu najis
saat ia mati (menjadi bangkai) niscaya tidak boleh dimakan.
Begitulah, setiap
binatang yang tidak memiliki aliran darah merah, semuanya itu suci, baik dalam
keadaan hidup ataupun ketika sudah mati menjadi bangkai. Al-Baihaqi
meriwayatkan dari Ibrahim an-Nakha’iy bahwa dia memberikan rukhshah untuk
kumbang, kalajengking, belalang dan jengkerik ketika jatuh ke dalam minyak maka
tidak apa-apa hukumnya. Al-Baihaqi berkata: Kami meriwayatkan hadits semakna
dari al-Hasan al-Bashri, Atha dan Ikrimah.
Dari sisi lain, ketika
ada hewan selain anjing dan babi jatuh ke dalam air, lalu dia keluar dalam
keadaan masih hidup, maka airnya tetap dalam kondisi aslinya sebagai air suci
mensucikan, baik hewan tersebut tikus, kucing atau burung, karena seluruh hewan
yang masih hidup itu suci, dengan pengecualian anjing dan babi.
Namun jika hewan yang
jatuh ke dalam air itu mati, maka dilihat dulu, jika hewan tersebut adalah
lalat, kalajengking, kumbang atau kecoa -semisal dengannya seluruh hewan laut
seperti ikan dan kepiting- maka air tersebut tetap suci, baik volume airnya banyak
atau sedikit.
Tapi jika yang jatuh
ke dalam air tersebut bukan termasuk hewan yang disebut hewan yang tidak
memiliki aliran darah, ketika hewan seperti ini jatuh dan mati di dalam air,
maka air tersebut menjadi najis dan kehilangan status suci mensucikannya.
Ketika semua hewan,
kecuali anjing dan babi, minum dari air yang sedikit, maka air tersebut tetap
suci, tidak dibedakan lagi antara kucing, keledai, hyena, dan selainnya.
Dalilnya akan kami sebutkan dalam pembahasan minuman/makanan sisa hewan.
3. Air aajin, yaitu air yang telah berubah akibat
lama tergenang, seperti air lumpur. Keduanya itu suci mensucikan selama masih
menyandang nama air. Ibnu al-Mundzir berkata: Ahli ilmu bersepakat bahwa wudhu
dengan air aajin yang di sana tidak ada
benda najis, itu boleh-boleh saja, kecuali Ibnu Sirin yang memakruhkannya.
Pernyataan jumhur
lebih kuat lagi, telah diriwayatkan bahwa Nabi Saw. berwudhu dari telaga yang
airnya seperti rendaman pacar. Ibnu Qudamah menyatakan dalam kitab al-Mughni: Ibnu al-Mundzir menceritakan dari az-Zuhri tentang
remukan roti yang dibasahi air; lalu remukan roti itu merubah warnanya atau
tidak sampai merubah warnanya, maka air seperti itu tidak digunakan untuk
berwudhu. Sedangkan pendapat yang dipegang oleh jumhur lebih kuat, karena
remukan tersebut suci dan tidak sampai merubah sifat air, sehingga tidak
menghalanginya untuk digunakan bersuci selama tidak ada perubahan sifat
padanya. Dan Nabi Saw. bersama isterinya telah mandi dari sebuah jafnah yang di
dalamnya ada bekas adonan. (HR. an-Nasai, Ibnu Majah dan al-Atsram)
4. Hukum asal air itu
suci mensucikan (thahur), karena itu
jika seorang Muslim merasa ragu apakah air yang dihadapannya itu najis atau
tidak, maka rasa ragu tersebut tidak harus menghalangi dirinya berwudhu dan
menghilangkan najis dengannya, baik ketika dia mendapati di dalamnya ada
perubahan atau tidak ada perubahan, kecuali jika perubahan itu mendominasi air
tersebut dan menghilangkan namanya.
Berdasarkan hal ini
maka air yang ada di saluran air itu dipandang suci mensucikan walaupun ada
perubahan, karena orang yang lewat di jalan tidak bisa memastikan apakah air
tersebut najis atau suci, sehingga karenanya status air tersebut harus dibangun
di atas status asalnya. Orang yang lewat di jalan tidak wajib bertanya pada
pemilik saluran/selokan apakah air tersebut suci atau najis.
Ketika seorang Muslim
berada di suatu tempat dan dia tidak memiliki kecuali hanya dua bejana air,
kemudian dia diberitahu bahwa salah satunya itu najis tanpa bisa dipastikan
yang mana di antara keduanya, sedangkan yang satunya lagi suci, kemudian dia
hendak berwudhu; maka dia tidak boleh berwudhu dengan air yang manapun dari
kedua bejana tersebut. Justru dia harus menumpahkan kedua bejana tersebut lalu
bertayamum, karena bisa jadi dia berwudhu dengan air najis, sehingga dia
sendiri akan terkena najis dan hadatsnya pun tidak hilang.
Berbeda halnya jika
pada seorang Muslim hanya ada dua buah baju, yang satu najis sedangkan yang
lain suci tanpa mampu membedakan di antara keduanya, kemudian dia hendak
shalat, maka dia boleh mengenakan salah satunya lalu dia shalat, kemudian
menanggalkan bajunya itu seraya memakai yang satunya lagi, lalu dia shalat
lagi. Dalam kondisi seperti ini dia telah menjamin dirinya melakukan shalat
dengan cara yang benar.
5. Jika seorang Muslim
datang ke suatu telaga, lalu dia diberitahu seorang fasik, kafir, anak kecil,
atau orang gila, bahwa air tersebut najis, maka dia tidak boleh menerima ucapan
mereka, karena mereka tergolong orang-orang yang tidak berhak bersaksi.
Tetapi ketika
diberitahu oleh orang yang berhak bersaksi dan dipastikan keadilannya, atau
keadilannya tidak cacat, baik laki-laki ataupun perempuan, maka dia harus
menerima berita tentang najisnya air tersebut jika dipastikan sebab najisnya.
Namun jika si pemberi
kabar hanya memberitahu air tersebut sebagai air najis tanpa memberi penjelasan
apapun, maka seorang Muslim tidak wajib menerima kabar tersebut, karena bisa
jadi si pemberi kabar itu tidak mengetahui sebab-sebab najisnya air, atau tidak
yakin terhadap najisnya air, sehingga dia bisa keliru menghukumi najisnya air
tersebut.
6. Jika air terkena
najis, lalu hendak disucikan dan dihilangkan najisnya, maka dilihat dulu.
Apabila air tersebut kurang dari dua qullah
atau kurang dari satu drum, maka dilihat dulu, jika air tersebut tidak berubah
oleh benda najis maka cukup ditambahkan air yang suci ke dalamnya hingga
mencapai dua qullah, yakni satu drum,
sehingga air tersebut menjadi suci seluruhnya.
Tetapi jika air
tersebut sampai berubah karena benda najis, maka tuangkan air ke dalamnya
hingga mencapai dua qullah atau satu
drum. Jika hilang perubahannya maka hilang pula najisnya. Tetapi jika belum
hilang perubahannya maka harus ditambahkan lagi air hingga hilang perubahannya,
tanpa mempertimbangkan lagi kuantitas air yang ditambahkan.
Adapun jika airnya
sebanyak dua qullah, yakni satu drum
atau lebih, maka air tersebut tidak bisa menjadi najis dengan jatuhnya benda
najis ke dalamnya, kecuali jika najis itu sampai merubahnya. Namun jika tidak
sampai berubah, maka airnya tetap dalam kondisi asalnya, yakni suci mensucikan;
dan jika airnya berubah karena benda najis tersebut maka harus ditambahkan air
ke dalamnya hingga perubahan itu hilang tanpa mempertimbangkan lagi kuantitas
air yang ditambahkan. Tidak ada perbedaan di dalamnya apakah air najis yang
dituangkan ke dalam air suci, atau air suci yang dituangkan ke dalam air najis.
Jadi tidak ada perbedaan, baik tuangan air itu
sekaligus atau sedikit demi sedikit, semua itu sama saja.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar