BAB
SATU
HUKUM SEPUTAR AIR
Allah Swt. telah
menciptakan bumi dan menutupi sepertiganya dengan air. Allah Swt. menciptakan
hewan dan tumbuh-tumbuhan -keduanya merupakan makanan bagi manusia- dari air.
Allah Swt. menempatkan manusia pada puncak (tingkatan tertinggi) dari semua
makhluk yang diciptakan-Nya dan menjadikan tiga perempat bagian tubuh manusia
berupa air. Mahabenar Allah Swt. ketika Dia berfirman:
“Dan dari air Kami
jadikan segala sesuatu yang hidup.” (TQS. al-Anbiya [21]: 30)
Allah Swt. telah
memuliakan air, ketika menjadikan air sebagai poros kehidupan di bumi,
menjadikan air sebagai sesuatu yang suci, dan menghubungkan berbagai macam
ibadah dengan air dan keberadaan air. Dengan air itulah seorang Muslim
menghilangkan junubnya, dengan air itu
pula seorang Muslim berwudhu untuk menyempurnakan kesuciannya dari dua hadats,
sehingga memungkinkan dirinya berdiri di hadapan Allah Swt. dalam ibadah yang
paling agung, yakni shalat, melakukan thawaf dalam ibadah hajinya di seputar Ka’bah
yang dimulai dari Hajar Aswad, dan memungkinkan dirinya bisa menyentuh mushaf yang mulia. Dengan air itu pula,
seorang Muslim menghilangkan sebagian besar najis yang mengenai dirinya, serta
dengan air itu pula dia membersihkan tubuhnya, bajunya, dan segala sesuatu
miliknya.
Ketika persoalan thaharah terkait erat dengan air, maka Allah
Swt. telah menjadikan air itu seluruhnya sebagai benda yang suci. Air hujan itu
suci berdasarkan firman Allah Swt.:
“Dan Allah menurunkan
kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu.” (TQS.
al-Anfal [8]: 11)
Dan firman-Nya:
“Dan Kami turunkan
dari langit air yang amat bersih.” (TQS. al-Furqan [25]:48)
Air laut juga suci,
berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya dia berkata:
“Seorang lelaki
bertanya kepada Rasulullah Saw., dia berkata: Kami berlayar di lautan, kami
membawa sedikit air, kalau kami berwudhu menggunakan air tersebut niscaya kami
akan kehausan, apakah kami boleh berwudhu dengan air laut? Dia berkata: Maka
Rasulullah Saw. bersabda: “Air laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (HR.
Ahmad, Malik, Abu Dawud, an-Nasai dan Tirmidzi)
Hadits ini dishahihkan
oleh Bukhari, Tirmidzi dan selainnya.
Air telaga dan air
dari mata air itu suci, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Said
al-Khudri:
“Ditanyakan kepada
Rasulullah Saw.: Apakah kami boleh berwudhu dengan air dari telaga Budha'ah
-Budha'ah itu sebuah telaga di mana darah haid, daging anjing, dan segala
sesuatu yang busuk dibuang ke dalamnya- maka Rasulullah Saw. bersabda: “Air itu
suci, tidak dinajisi oleh sesuatupun.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Hadits tersebut dihasankan oleh Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Ahmad dan Yahya bin Malin.
Yang dimaksud dengan at-thahur itu adalah bendanya itu sendiri suci
sekaligus bisa mensucikan benda yang lain (suci mensucikan-pen.), sehingga sabda Rasulullah Saw.: “air
itu suci, tidak dinajisi oleh sesuatupun” itu bersifat umum untuk segala jenis
air, baik air bersih yang turun dari langit, atau air yang sudah tercampur
dengan garam yang ada di lautan, atau air yang sudah dilekati ganggang/lumut
dan tanah di sepanjang aliran mata air dan sungai, selama benda tersebut masih
menyandang sebutan sebagai air. Karena itu, hukum asal air itu adalah bahwa
seluruh air itu suci, dan tidak ada satu jenis air pun yang keluar dari
kesuciannya. Inilah hukum tentang air, hal ini karena tidak ada satu pun
karakter lain yang disebutkan dalam nash-nash untuk air dari sisi kesuciannya.
Terdapat dua kondisi
yang bisa mengeluarkan air dari status sucinya. Pertama: ketika air tersebut
bercampur dengan satu atau beberapa material benda sampai pada kondisi tidak
bisa disebut air lagi karena hilangnya salah satu sifat air, di mana campuran yang
baru itu tidak bisa disebut air lagi, melainkan menjadi sesuatu yang baru yang
bukan air. Saat itulah air tersebut menjadi tidak thahur
(tidak lagi suci dan mensucikan-pen.),
karena tidak bisa dipandang sebagai air dilihat dari sisi nama/istilah dan
sifatnya. Kedua, terdapat nash syara’ yang mengecualikan satu kondisi saja dari
beberapa kondisi kesucian air -walaupun tetap benda tersebut disebut air- yakni
hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra., bahwasanya dia berkata:
“Aku mendengar
Rasulullah Saw. ketika ditanya tentang air yang ada di tanah lapang dan air
yang suka didatangi oleh binatang buas dan hewan tunggangan. Dia berkata:
Rasulullah Saw. menjawab: “Jika air itu dua qullah,
maka tidak akan mengandung kotoran (najis).” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan
Ahmad)
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan
al-Hakim.
Dalam hadits yang
diriwayatkan Ahmad dituturkan dengan frase:
“Air tersebut tidak
dinajisi sesuatupun.”
Dan dalam hadits yang
diriwayatkan Abu Dawud dituturkan dengan frase:
“Maka sesungguhnya air
tersebut tidak najis.”
Sehingga hanya satu
kondisi saja yang dikecualikan dari beberapa kondisi air tersebut, yakni ketika
air tersebut kurang dari dua qullah dan
kemudian (air yang kurang dari dua qullah
itu) terkena benda najis. Maka dalam satu kondisi ini saja, air akan kehilangan
status sucinya sehingga menjadi benda najis, yakni secara langsung berubah dari
benda yang suci menjadi benda najis. Dengan demikian, air yang tidak dalam dua
kondisi di atas itulah yang tetap dalam kondisi suci mensucikan, sedangkan
kondisi menjadi najis itu hanya merupakan pengecualian.
Inilah gambaran
sederhana beberapa hukum tentang air. Air itu thahur
(suci dan mensucikan) selama masih menyandang istilah air (disebut air, pen.). Air tidak kehilangan status sucinya itu
kecuali dalam satu kondisi saja, yakni ketika kurang dari dua qullah, kemudian (yang kurang dari dua qullah tersebut) terkena benda najis. Dalam
kondisi inilah air itu kehilangan karakter suci dan mensucikan, karena saat itu
air tersebut menjadi benda najis. Selain dalam kondisi ini, air tersebut tetap thahur (suci dan mensucikan), dan layak
digunakan untuk mandi junub, berwudhu, dan menghilangkan najis.
Pendapat para ahli
fiqih telah demikian bercabang dan sangat beragam dalam masalah ini. Dan dalam
kesempatan ini kami ingin menunjukkan semua pendapat tersebut -dengan izin
Allah- dan membahasnya, hingga kita bisa mengetahui pendapat yang shahih dan
membuang pendapat yang salah.
Para fuqaha
mengatakan: air itu memiliki beberapa jenis. Ada air at-thahur (suci dan mensucikan), ada air at-thahir (yang suci saja), ada air najis, ada air musta’mal (air yang sudah digunakan) tetapi
tetap suci mensucikan, ada yang musta’mal
tetapi tetap suci, ada air musta’mal
yang najis. Sehingga para fuqaha menetapkan ada enam kategori air. Padahal yang
sebenarnya, air itu hanya dua kategori saja.
Sumber: Tuntunan
Thaharah Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar