BAB
KETIGA BELAS
IMAM
DALAM SHALAT
A. Sifat Imam
Yang Paling Berhak Menjabat Imam
Orang yang paling
berhak menjabat imam sesuai dengan urutan berikut:
1) Orang yang paling
menguasai al-Qur’an, yakni orang yang paling banyak hafalannya.
2) Orang yang paling ‘alim dan paling faqih.
3) Orang yang paling
tua umurnya.
Dari Abu Said
al-Khudri ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika mereka (kaum
Muslim) bertiga, maka hendaknya salah seorang dari mereka mengimaminya. Dan
orang yang paling berhak mengimaminya adalah orang yang paling menguasai
al-Qur'an.” (HR. Muslim, Ahmad, dan an-Nasai)
Dari Anas bin Malik
ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda:
“Orang yang berhak
mengimami kaum tersebut adalah orang yang paling menguasai aI-Qur’an.” (HR.
Ahmad)
Dalam hadits Ahmad
dari jalur Amar bin Salimah menggunakan redaksi:
“Hendaknya orang yang
mengimami kalian adalah orang yang paling banyak hafalan al-Qur'an.”
Thabrani, Bukhari, Abu
Dawud dan an-Nasai meriwayatkan hadits ini juga.
Dari Malik bin
al-Huwairits, bahwa Nabi Saw. berkata kepadanya dan kepada temannya:
“Jika waktu shalat
telah tiba maka kumandangkan adzan dan iqamat oleh kalian berdua, lalu
hendaknya orang yang paling tua di antara kalian berdua menjadi imamnya.” (HR.
Ahmad, Ibnu Hibban, Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah)
Dari Abu Mas’ud
al-Anshari ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Hendaknya orang yang
mengimami satu kaum adalah yang lebih tahu tentang al-Qur'an di antara mereka.
Lalu jika mereka sama dalam bacaannya, maka hendaklah yang lebih tahu tentang
Sunnah Nabi Saw. Dan jika mereka sama (pengetahuannya) tentang Sunnah, maka
hendaklah yang lebih dahulu hijrahnya. Dan jika mereka sama juga dalam
hijrahnya, maka hendaklah yang lebih tua umurnya. Janganlah sekali-kali
seseorang mengimami orang lain dalam kekuasaannya, dan janganlah ia duduk di
rumahnya (menempati) tempat kehormatannya kecuali dengan izinnya.” (HR. Muslim)
Ahmad meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi kalimat:
“Dan janganlah
sekali-kali seseorang mengimami orang lain di keluarganya, dan juga tidak dalam
kekuasaannya, dan janganlah ia duduk di rumahnya (menempati) tempat
kehormatannya kecuali dengan izinnya.”
Hadits yang terakhir
mengandung dua tambahan atas penjelasan sebelumnya, yakni: seorang laki-laki
yang berada di rumahnya, itulah yang menjadi imam, bukan yang paling tahu
tentang al-Qur'an, paling paham atau paling tua umurnya. Laki-laki tersebut
boleh tidak menjadi imam di keluarganya, dengan syarat dia mengijinkan orang
lain untuk menjadi imam.
Khalifah dan para wali di wilayah kegubernurannya serta para ‘amil di wilayah ‘umalahnya,
mereka semua menjadi imam di wilayah yang mereka kuasai tersebut.
Khalifah, juga para wali di wilayah kegubernurannya serta para ‘amil di wilayah ‘umalahnya
lebih didahulukan daripada pemilik rumah, atau orang yang lebih tahu tentang
al-Qur’an, orang yang lebih ‘alim dan
lebih paham agama, dan orang yang lebih tua umurnya.
Khalifah, wali dan para ‘amil
mengimami manusia, karena tercakup dalam ungkapan hadits: “dan juga tidak dalam
kekuasaannya.”
Orang Buta Diangkat Sebagai Imam
Orang buta boleh
diangkat sebagai imam, baik itu sebagai imam bagi orang-orang yang buta ataupun
yang bisa melihat, tanpa ada pengutamaan orang buta di atas orang yang bisa
melihat, ataupun orang yang melihat di atas orang yang buta. Dari Anas bin
Malik ra. ia berkata:
“Bahwa Rasulullah Saw.
mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai pengganti beliau Saw. di Madinah sebanyak
dua kali. Dia mengimami (kaum Muslim) di Madinah padahal dia seorang buta.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Hibban)
Ibnu Hibban, Thabrani,
dan Abu Ya’la telah meriwayatkan hadits ini dari jalur Aisyah ra.
Dan dari Mahmud bin
Rabi’ al-Anshari:
“Bahwa 'Itban bin
Malik seringkali mengimami kaumnya, padahal dia seorang buta, dan bahwa dia
berkata kepada Rasululah Saw.: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya keadaan
seringkali gelap dan banjir, dan aku adalah seorang yang cacat penglihatan,
karena itu shalatlah wahai Rasulullah di rumahku di satu tempat di mana nanti
akan aku jadikan sebagai tempat shalat.” Lalu Rasulullah Saw. mendatanginya dan
berkata: “Di manakah tempat yang engkau inginkan aku shalat?” Kemudian dia
menunjukkan satu tempat di rumahnya, dan Rasulullah Saw. shalat di sana.” (HR.
Bukhari, an-Nasai dan Malik)
Dalam satu riwayat
Bukhari terdapat ungkapan:
“(Dia berkata kepada
Nabi): “Wahai Rasulullah, sungguh penglihatanku telah kabur, sementara aku suka
shalat mengimami kaumku.”
Riwayat yang terakhir
terdapat penjelasan: Rasulullah Saw. telah diberitahu bahwa “Itban seringkali
mengimami kaumnya, namun beliau Saw. tidak melarangnya.”
Anak Kecil Diangkat Sebagai Imam
Anak kecil yang belum
baligh boleh diangkat sebagai imam, baik dalam shalat fardhu ataupun dalam
shalat sunat, baik mengimami laki-laki dewasa, anak kecil, ataupun kaum wanita,
asalkan anak kecil ini mampu melakukannya dan piawai membaca Kitabullah. Dari
Amar bin Salimah ra. ia berkata:
“Pada saat penaklukan
Makkah, orang-orang melewati kami. Mereka datang setelah menemui Rasulullah
Saw., aku bisa membaca al-Qur'an padahal aku masih kecil. Lalu datanglah ayahku
kepada Rasulullah Saw. membawa kabar ke-Islaman kaumnya, maka Rasulullah Saw.
berkata: “Yang mengimami kalian adalah orang yang paling banyak hafalan
Qur'annya.” Mereka memperhatikan dan akulah orang yang paling banyak hafalan
Qur'annya di antara mereka. Dia berkata: maka seorang perempuan berkata:
Tutupilah pantat qari kalian. Dia
berkata: maka mereka membelikannya satu burdah (kain bergaris). Dia berkata:
maka aku tidak pernah bergembira lebih dari kegembiraanku dengan hal itu.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, dan an-Nasai)
Bukhari meriwayatkan
hadits ini, disebutkan:
”...Dan hendaknya yang
mengimami kalian adalah orang yang paling banyak hafalan Qur'annya di antara
kalian.” Lalu mereka melihat-lihat (satu sama lain), dan tidak ada seorangpun
yang paling banyak hafalan Qur’annya selain aku, di mana aku mendapatkannya dari
para penunggang yang lewat. Setelah itu mereka membawaku ke depan mereka,
padahal aku saat itu berusia enam atau tujuh tahun...”
Penjelasan hadits:
perawi hadits ini adalah Amr bin Salimah, yang berasal dari satu kabilah yang
berada di jalur pemberangkatan kaum Muslim ke Makkah pada tahun penaklukkannya.
Kaum Muslim melewati kabilah ini sambil membaca al-Qur'an, dan anak kecil ini
mendengar dan menghafal sebagian yang dibaca kaum Muslim itu. Tatkala keluarga
dan para lelaki dewasa kabilahnya masuk Islam, dan ayahnya mengabari Rasulullah
Saw. terkait ke-Islaman kabilahnya, maka Rasulullah Saw. memerintahkan mereka
agar dalam shalatnya diimami oleh orang yang paling banyak hafalan al-Qur'annya
di antara mereka. Karena mereka masih baru masuk Islam, dan anak kecil perawi
hadits ini telah hafal sedikit dari al-Qur’an, maka mereka memajukannya dalam
shalat dan menjadikannya sebagai imam mereka, sementara para lelaki dewasa dan
kaum wanitanya shalat di belakangnya. Lalu nampaklah bagian pantat anak kecil
di sepanjang shalatnya, dan hal itu terlihat oleh seorang perempuan, maka dia
meminta untuk menutupinya. Mereka membelikan satu kain panjang yang bisa
menutupi aurat anak kecil itu agar tidak tersingkap di sepanjang shalatnya.
Perempuan Sebagai Imam
Perempuan boleh dan
sah diangkat sebagai imam bagi kaum wanita saja. Dari Abu Nu’aim ia berkata:
“Al-Walid telah
menceritakan kepada kami, ia berkata: Kakekku telah menceritakan kepada kami
dari Ummu Waraqah binti Abdullah bin al-Harits al-Anshari. Ummu Waraqah telah
beraktivitas mengumpulkan aI-Qur’an. Adalah Nabi Saw. telah memerintahkannya
untuk mengimami penghuni rumahnya, dan Aisyah memiliki seorang mu'adzin (yang
bertugas mengumandangkan adzan), dan dia mengimami penghuni rumahnya.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, al-Hakim dan Baihaqi)
Dari Rithah
al-Hanafiyah
“Bahwa Aisyah
mengimami mereka, dan berdiri di antara mereka dalam shalat wajib.” (HR. Abdur
Razaq, Baihaqi, dan Daruquthni)
Dari Hujairah binti
Hushain, ia berkata:
“Ummu Salamah
mengimami kami dalam shalat ashar, dan dia berdiri di antara kami.” (HR.
Daruquthni, Syafi'i, Abdur Razaq dan Ibnu Abi Syaibah)
Tidak ada hadits yang
menceritakan bahwa perempuan (dibolehkan) mengimami kaum lelaki. Oleh karena
itu, seorang perempuan diangkat sebagai imam, terbatas hanya untuk kaum wanita
saja.
Orang yang Mukim Diikuti oleh
Musafir, dan Sebaliknya
Seorang yang mukim
boleh mengimami orang yang sedang dalam perjalanan (musafir) dan ini merupakan
hukum asal. Tetapi boleh juga seorang musafir mengimami orang yang mukim. Jika
seorang musafir mengimami dan selesai melaksanakan dua rakaat -yakni dua rakaat
shalat qashar- dan ia bersalam, maka orang mukim harus menyelesaikan shalat
mereka yang empat rakaat secara munfarid.
Namun, jika orang mukim mengimami orang musafir, maka orang musafir yang berada
di belakangnya harus menyelesaikan shalat empat rakaatnya dan tidak boleh
memisahkan diri dari imam.
Dari Salim bin
Abdullah dari ayahnya:
“Bahwa Umar bin
Khaththab jika beliau tiba di Makkah, beliau shalat mengimami mereka sebanyak
dua rakaat, kemudian bersabda: Wahai penduduk Makkah, sempurnakan shalat
kalian, karena kami adalah kaum yang sedang mengadakan perjalanan.” (Riwayat
Malik, Abdur Razaq, dan at-Thahawi)
Dari Shafwan bin
Abdullah, ia berkata:
“Abdullah bin Umar
datang menjenguk Abdullah bin Shafwan, lalu dia shalat bersama kami sebanyak
dua rakaat dan kemudian pergi. Lalu kami berdiri dan menyempurnakannya.”
(Riwayat Abdur Razaq, Malik, dan at-Thahawi)
Dari Musa bin Salamah
ia berkata:
“Kami bersama Ibnu
Abbas (berada) di Makkah, lalu aku berkata: Jika kami bersamamu maka kami
shalat empat rakaat, dan jika kami kembali ke perjalanan kami maka kami shalat
dua rakaat.” Ia berkata: “Itulah sunnah Abul Qasim Saw.” (HR. Ahmad)
Dalam redaksi yang
lain dari Ibnu Abbas ra.: “Bahwa dia ditanya: Mengapa orang yang musafir itu
shalat dua rakaat jika sendirian dan empat rakaat jika berimam pada yang mukim?
Beliau berkata: “Itulah sunnah” (HR. Ahmad).
Hadits yang terakhir
ini bisa dihukumi memiliki derajat marfu',
yakni bersambung sampai pada Rasulullah Saw. karena ada perkatan “Itulah
sunnah.”
Dari Nafi’:
“Bahwa Abdullah bin
Umar, jika shalat di belakang imam di Mina (dilakukan) sebanyak empat rakaat,
dan jika shalat untuk dirinya sendiri maka beliau shalat sebanyak dua rakaat.”
(Riwayat Malik)
Malik meriwayatkan
dari Nafi’: Bahwa Ibnu Umar:
“Tinggal di Makkah
selama sepuluh malam dan dia mengqashar
shalatnya, kecuali jika dia shalat bersama imam, maka dia melakukannya dengan
mengikuti shalat imam.”
Orang yang Shalat Fardhu Diikuti Oleh Orang yang Shalat Nafilah, dan Sebaliknya
Bagi orang yang ingin
shalat fardhu dan mendapati seseorang yang sedang melaksanakan shalat nafilah,
maka dibolehkan baginya untuk berimam padanya dan sah pula shalatnya. Dari
Jabir bin Abdullah:
“Bahwa Muadz bin Jabal
shalat isya bersama Rasulullah saw. Kemudian dia pulang kepada kaumnya dan
mengimami mereka shalat yang sama.” (HR. Muslim, Bukhari dan Ahmad)
Syafi’i, Daruquthni,
Abdur Razaq dan Baihaqi meriwayatkan hadits tersebut dengan tambahan: “Baginya
shalat tersebut sebagai tathawwu', dan
bagi mereka sebagai shalat fardhu isya.”
Inilah riwayat
Syafi’i:
“Dari Jabir ia
berkata: Adalah Muadz shalat isya bersama Nabi Saw., kemudian dia pulang
menemui kaumnya dan shalat isya kembali. Maka baginya shalat tersebut sebagai tathawwu', sedang bagi mereka sebagai shalat
fardhu isya.”
Hadits ini menyebutkan
bahwa kaumnya Muadz melaksanakan shalat fardhu isya di belakang Muadz yang
shalat memimpin mereka sebagai shalat nafilah,
karena Muadz telah shalat isya di belakang Rasulullah Saw. Dalam bab “shalat
orang yang ‘udzur” pasal “shalat khauf”
bagian 3, ada hadits berikut: Dari Abi Bakrah, bahwa ia berkata:
“Nabi Saw.
melaksanakan shalat khauf bersama kami. Beliau Saw. shalat bersama sebagian
sahabatnya sebanyak dua rakaat, kemudian bersalam. Lalu mereka mundur, dan
sebagian yang lain datang, sementara mereka berada di tempatnya. Kemudian
beliau Saw. shalat bersama mereka dua rakaat. Nabi Saw. shalat sebanyak empat
rakaat, sedangkan kaumnya itu dua rakaat-dua rakaat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud,
an-Nasai, Ibnu Hibban dan Daruquthni)
Arah istidlal (penarikan kesimpulan) dari hadits
ini adalah bahwa Rasulullah Saw. telah melaksanakan shalat fardhu dua rakaat
dengan sekelompok kaum Muslim, dan menyempurnakan shalat dengan salam. Ketika
shalat bersama kelompok kedua (hal itu dilakukan) sebanyak dua rakaat pula.
Maka beliau Saw. melaksanakan dua rakaat yang terakhir ini sebagai nafilah, sedangkan pada waktu itu mereka
(kelompok yang kedua) ini melaksanakan shalat fardhu. Artinya, kelompok kedua
kaum Muslim ini telah melaksanakan shalat fardhu dengan berimam kepada
Rasulullah Saw. yang bershalat nafilah.
Boleh bagi muftaridh (orang yang melaksanakan shalat
fardhu) untuk shalat di belakang mutanafil
(orang yang melaksanakan shalat nafilah),
begitu juga sebaliknya, boleh seorang mutanaffil
shalat di belakang seorang muftaridh,
bahkan hal itu disunahkan baginya jika dia mendapati shalat jamalah, baik di
masjid ataupun di tanah lapang, dan dia telah melaksanakan shalat yang fardhu.
Saat itu dia disunahkan untuk masuk dalam shalat jama’ah, dan shalatnya itu
(bersama jama’ah) menjadi shalat nafilah.
Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Mihjan ad-Diliy ra., ia berkata:
“Aku mendatangi Nabi
Saw., lalu iqamat shalat dikumandangkan dan aku (sedang) duduk. Ketika beliau
selesai shalatnya, beliau Saw. bertanya: “Bukankah engkau seorang Muslim?” Aku
menjawab: “Ya”. Beliau bertanya: “Apa yang menghalangimu dari shalat bersama
orang-orang itu?” Aku berkata: “Aku telah shalat di keluargaku.” Beliau Saw.
berkata:
“Maka shalatlah engkau
bersama orang-orang itu.” (HR. Ahmad, Malik, Ibnu Hibban, al-Hakim dan
an-Nasai)
Juga berdasarkan
hadits yang diriwayatkan dari Yazid bin al-Aswad ra. Hadits tersebut secara
lengkap telah disebutkan dalam pembahasan “hukum shalat berjamaah dan
keutamaannya.” Di dalamnya disebutkan:
”...Lalu beliau Saw.
bertanya: “Apa yang menghalangi kalian (sehingga kalian) tidak shalat bersama
orang-orang?” Keduanya menjawab: “Ya Rasulullah sesungguhnya kami sudah shalat
dalam perjalanan.” Beliau Saw. berkata: “Jangan lakukan lagi, jika salah seorang
dari kalian telah melaksanakan shalat dalam perjalanan, kemudian mendapati
shalat bersama imam, maka hendaklah ia shalat (kembali) bersamanya. Karena
shalat (yang kedua) itu baginya menjadi nafilah.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Nasai, Tirmidzi dan ad-Darimi)
Shalat Imam yang Kehilangan
Syarat-Syarat Shalat
Jika seorang yang
junub atau yang belum berwudhu mengimami orang-orang, dan dia tidak tahu hingga
selesai dari shalat, maka para makmum tidak perlu mengulang shalat mereka.
Shalat mereka sah dan diterima, sedangkan imam sendiri harus mengulang shalat
itu, karena bersuci itu merupakan syarat sahnya shalat. Tanpa itu maka
shalatnya tidak diterima.
Begitu pula jika imam
kehilangan salah satu syarat apapun dan ia menyelesaikan shalatnya tanpa
sepengetahuan para makmum, maka shalat mereka (makmum) sah, sedangkan shalat
imam sendiri batil dan wajib atas imam untuk mengulangnya.
Sejumlah atsar dari para sahabat senior ra. menyebutkan
bahwa mereka shalat mengimami orang-orang, sedangkan mereka dalam keadaan
junub, atau mereka belum berwudhu, tanpa sepengetahuan mereka dan sepengetahuan
para makmumnya. Ketika mereka selesai shalat barulah mereka mengetahuinya, maka
mereka mengulang shalatnya seorang diri, dan tidak memerintahkan para makmumnya
untuk mengulang shalat tersebut. Peristiwa ini terjadi di depan mata para
sahabat ra. tanpa ada pengingkaran dari mereka, sehingga hal itu menjadi ijma sahabat. Dari al-Aswad bin Yazid, ia
berkata:
“Aku bersama Umar bin
Khaththab (yang sedang berada) di antara Makkah dan Madinah, lalu dia shalat
mengimami kami. Usai dari shalatnya, dia (Umar) melihat ada bekas mimpi pada
bajunya. Kemudian Umar mandi dan mencuci apa yang dilihat di bajunya dan mengulang
shalatnya, sedangkan kami tidak mengulang shalat kami.” (Riwayat Ibnu
al-Mundzir)
Dari Syarid
at-Tsaqafi:
“Bahwa Umar shalat
mengimami orang-orang sedangkan dia dalam keadaan junub, lalu dia mengulang
shalatnya dan tidak memerintahkan mereka untuk mengulang shalat mereka.”
(Riwayat Daruquthni dengan sanad para
perawi yang tsiqah)
Dari Muhammad bin Amr
bin al-Harits bin al-Mushthaliq:
“Bahwa Utsman shalat
fajar mengimami orang-orang. Ketika hari sudah tinggi dia melihat bekas junub
pada pahanya, lalu dia berkata: “Demi Allah, aku sudah renta, demi Allah, aku
sudah tua, aku junub tetapi aku tidak mengetahuinya.” Lalu dia mandi dan mengulang
shalatnya, dan dia tidak memerintahkan mereka untuk mengulang shalat mereka.”
(Riwayat Ibnu al-Mundzir, al-Atsram, al-Baihaqi dan Daruquthni)
Dari Nafi’:
“Bahwa Ibnu Umar
shalat mengimami para sahabatnya, kemudian dia ingat bahwa dia telah menyentuh
kemaluannya, lalu dia berwudhu, dan tidak memerintahkan mereka untuk mengulang
shalat mereka.” (Riwayat Daruquthni)
Ibnu al-Mundzir,
Abdurrazaq, Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini dengan
sedikit perbedaan.
Dengan demikian, jika
imam kehilangan salah satu syarat shalat seperti bersuci misalnya, dan dia
tidak mengetahuinya, maka shalat para makmumnya tetap sah, baik shalat itu
telah diselesaikan dalam kondisi imam kehilangan syarat shalat atau ada
perbaikan oleh imam (dengan mewujudkan syarat shalat tersebut) di sepanjang
shalatnya. Yang penting adalah bahwa hal itu terjadi tanpa sepengetahuan imam.
Jika imam mengetahui adanya hal itu (yakni tidak adanya syarat shalat), atau
makmum mengetahui hal itu terjadi pada imam, dan shalat diteruskan juga, maka
shalat mereka seluruhnya batil ketika itu.
Ringkasnya adalah,
jika imam kehilangan syarat-syarat shalat atau kekurangan sesuatu darinya, maka
yang ditolak itu hanya shalatnya sendiri, dan tidak berpengaruh sedikitpun pada
shalat para makmumnya, kecuali jika makmum mengetahui dan rela, seraya bersekutu
dengannya dalam perkara itu. Ini berdasarkan pada dalil-dalil di atas, dan
berdasarkan hadits yang diriwayatkan Amir bin ‘Uqbah, ia berkata: aku mendengar
Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
mengimami orang-orang dan waktu telah tiba, dan dia menyempurnakan shalat, maka
ganjaran shalat itu diperuntukkan baginya dan bagi mereka. Dan siapa yang
kekurangan sesuatu dari shalatnya, maka itu hanya menjadi tanggungannya dan
tidak menjadi tanggungan mereka.” (HR. Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, Ahmad, Abu
Dawud dan Thabrani)
Imam Meminta Pengganti dalam
Shalatnya
Imam boleh menjadikan
seseorang dari mereka yang berdiri di belakangnya untuk menjadi penggantinya,
memajukkannya ke depan mereka dan menjadikannya sebagai imam menggantikan
dirinya. Tetapi boleh pula imam tidak mencari penggantinya, di mana sang imam
hanya pergi dari shalatnya untuk menghilangkan penghalang yang menghalangi
dirinya dari meneruskan shalat, kemudian dia kembali untuk mengimami mereka,
seperti ingat bahwa dia dalam keadaan junub, atau belum berwudhu, atau pada
pakaiannya ada najis, dengan catatan, perginya untuk menghilangkan penghalang
tersebut tidak memerlukan waktu lama yang bisa menyusahkan jamaah shalatnya.
Dari Abu Bakrah ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
memulai shalatnya dan bertakbir, kemudian beliau memberi isyarat pada mereka
untuk tetap di tempat mereka. Beliau masuk rumah, lalu keluar lagi, dan
kepalanya meneteskan air. Beliau Saw. (melanjutkan) shalat mengimami mereka.
Ketika telah menyelesaikan shalatnya, beliau berkata: “Sesungguhnya aku ini
manusia, dan tadi aku dalam keadaan junub.” (HR. Ahmad)
Abu Dawud, Ibnu Hibban
dan al-Baihaqi meriwayatkan hadits serupa.
Rasulullah Saw. ketika
ingat bahwa beliau berjunub -padahal beliau sedang shalat, tetapi beliau tidak
meminta seseorang menjadi penggantinya-, maka beliau cepat pergi untuk
menghilangkan penghalang yakni dengan mandi junub, kemudian kembali lagi dan
melanjutkan mengimami orang-orang.
Adapun dalil bolehnya
menjadikan seseorang sebagai pengganti adalah hadits yang diriwayatkan Abu
Razin, ia berkata:
“Ali mengimami kami
lalu dia (mengalami) mimisan, maka beliau menarik seseorang dan menjadikannya
berdiri di depan, sedangkan dia sendiri mundur ke belakang.” (Riwayat
Abdurrazaq dan Said bin Manshur)
Tindakan ini, walaupun
berasal dari seorang sahabat, tetapi ini terjadi di depan pandangan dan
pendengaran para sahabat lainnya, dan mereka tidak mengingkarinya, sehingga hal
itu menjadi dalil sahnya mengangkat seorang pengganti.
Imam yang Dibenci oleh Makmum
yang Shalat
Kepemimpinan imam yang
dibenci oleh jamaah shalatnya adalah bathil dan tidak boleh baginya, tetapi
melakukan shalat di belakangnya itu boleh dan sah. Dari Abu Umamah ra., ia
berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Tiga golongan di mana
shalat mereka tidak melampaui telinga-telinga mereka: hamba (budak) yang kabur
hingga dia kembali, perempuan yang tidur sedangkan suaminya dalam keadaan marah
padanya, dan imam satu kaum dan mereka benci kepadanya.” (HR. Tirmidzi)
Dari Ibnu Abbas ra.
dari Rasulullah Saw., dia berkata:
“Tiga perkara di mana
shalat mereka tidak terangkat ke atas kepala mereka sejengkalpun: seorang
laki-laki yang mengimami satu kaum dan mereka benci kepadanya, perempuan yang
tidur sedangkan suami dalam keadaan marah padanya, dan dua orang bersaudara
yang saling memutuskan (persaudaraan)? (HR. Ibnu Majah)
Barangsiapa yang
shalatnya tidak bisa melewati telinganya, dan tidak terangkat ke atas
kepalanya, maka jelas bahwa shalatnya adalah bathil, bukan sekedar makruh.
Keharaman ini telah dinyatakan sejumlah ahli fikih. Yang dimaksud dengan
bencinya para jamaah shalat pada imam ini adalah ketidaksukaan sebagian besar
dari mereka. Karena itu, kepemimpinan imam tidak bermasalah jika dia hanya
dibenci oleh dua orang atau tiga orang saja dari jamaahnya. Kebencian di sini
dilihat dari sisi banyaknya.
Bacaan: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar