D. Witir
Witir adalah kelompok
keempat shalat tathawwu’. Artinya, bahwa
shalat witir itu hukumnya mandub dan mustahab saja, bukan fardhu atau wajib. Ibnu
Muhairizin telah meriwayatkan:
“Bahwa seorang
laki-laki dari Bani Kinanah yang dipanggil al-Mukhdaji, dia mendengar seorang
laki-laki dari Syam yang dipanggil Abu Muhammad, ia berkata: Sesungguhnya witir
itu wajib. Al-Mukhdaji berkata: lalu aku pergi menemui Ubadah bin Shamit
kemudian aku mengabarinya tentang hal itu, maka Ubadah berkata: “Abu Muhammad
telah berdusta, aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Lima shalat yang telah
diwajibkan Allah Swt. kepada para hamba-Nya. Barangisapa yang tidak
menghilangkan sesuatu darinya karena menganggap remeh hak-haknya maka baginya
ada jaminan dari Allah Swt. untuk memasukkannya ke Surga, dan barangsiapa yang
tidak membawanya maka tidak ada jaminan baginya dari sisi Allah Swt. Jika
menghendaki, Dia Swt. akan menyiksanya, dan jika menghendaki, Dia Swt.
memasukkannya ke Surga.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, an-Nasai, Ibnu Majah dan Malik)
Ujung hadits ini telah
disebutkan dalam pembahasan “hukum shalat wajib”, pada bab “shalat: hukum dan waktunya.”
Dari Ali ra. ia
berkata:
“Witir itu bukanlah
sesuatu yang wajib sebagaimana shalat-shalat maktubah,
witir hanyalah satu sunah yang biasa dilakukan Rasulullah Saw.” (HR. Tirmidzi,
Ahmad, an-Nasai dan al-Hakim)
Dari Ubadah bin Shamit
ra. ia berkata:
“Witir itu satu
perkara yang baik yang diamalkan oleh Nabi Saw. dan kaum Muslim yang hidup
setelahnya, dan hukumnya bukan wajib.” (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi)
Dilalah hadits-hadits ini begitu jelas.
Juga hadits dari Ibnu
Umar ra., ia berkata:
“Adalah Nabi Saw.
shalat dalam perjalanan di atas hewan tunggangannya sesuai arah tunggangannya
itu. Beliau shalat malam dengan isyarat, kecuali jika beliau melaksanakan
shalat fardhu, dan beliau Saw. shalat witir di atas hewan tunggangannya itu.”
(HR. Bukhari)
Muslim, an-Nasai, Abu
Dawud dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:
“Adalah Rasulullah
Saw. melaksanakan shalat nafilah di atas
hewan tunggangannya dengan menghadap ke arah manapun hewannya itu menghadap.
Dan beliau berwitir di atasnya, walaupun begitu, beliau Saw. tidak shalat
fardhu di atas (hewan tunggangan)nya.”
Seandainya witir itu
bukan sesuatu yang sunah, tetapi sesuatu yang wajib, maka Rasulullah Saw. tidak
akan berwitir di atas hewan tunggangannya.
Dari Ibnu Abbas ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
ketika mengutus Muadz ra. ke Yaman, beliau berkata: “Sesungguhnya engkau akan
mendatangi suatu kaum yang asalnya (adalah) ahli kitab, maka jadikanlah seruan
pertamamu kepada mereka adalah penghambaan kepada Allah. Jika mereka telah
mengenal Allah, maka kabarkanlah kepada mereka bahwa Allah Swt. telah
mewajibkan atas mereka shalat yang lima pada waktu siang dan malamnya
mereka...” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hibban
meriwayatkan hadits ini juga, dan setelah itu dia mengomentarinya: ”…Rasulullah
Saw. mengutus Muadz bin Jabal berangkat ke Yaman hanya beberapa hari sebelum
beliau meninggalkan dunia ini, dan beliau Saw. telah memerintahkannya untuk
mengabari mereka bahwa Allah Swt. telah mewajibkan lima shalat atas mereka
dalam siang dan malam mereka.
Seandainya witir itu
sebuah kewajiban atau sesuatu yang Allah Swt. tambahkan pada lima shalat yang
harus dijalani manusia -sebagaimana hal itu dipersangkakan karena ketidaktahuan
atas hadits ini, dan mereka tidak bisa membedakan mana yang shahih dan mana
yang dhaif-, niscaya Nabi Saw. memerintahkan Muadz bin Jabal untuk mengabari
mereka bahwa Allah Swt. telah mewajibkan enam shalat atas mereka bukan lima
shalat.
Berdasarkan hal ini
sangat jelas bahwa witir itu bukan suatu kewajiban, dan taufik hanyalah milik
Allah Swt. Tetapi ada beberapa hadits yang menggambarkan seolah wajibnya shalat
witir, kami akan menyebutkannya terlebih dahulu, lalu kemudian akan membahasnya:
a. Dari Abdurrahman
bin Rafi’ at-Tanukhi, seorang qadhi di Afrika:
“Bahwa Muadz bin Jabal
ra. telah datang ke Syam, dan penduduk Syam tidak melakukan shalat witir. Lalu
ia berkata kepada Muawiyah: “Apakah ini benar. Aku melihat penduduk Syam tidak
berwitir?” Muawiyah berkata: “Apakah itu sesuatu yang wajib atas mereka?” Muadz
berkata: “Ya, aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Tuhanku azza wa jalla telah menambahiku satu shalat,
yakni shalat witir, dan waktunya adalah antara isya hingga terbit fajar.” (HR.
Ahmad)
b. Dari Nafi’:
“Seorang laki-laki
bertanya kepada Ibnu Umar tentang shalat witir, apakah shalat tersebut suatu
kewajiban? Maka dia berkata: “Rasulullah Saw. dan kaum Muslim itu berwitir.”
Dan dari jalur yang
kedua:
“Seorang laki-laki
bertanya kepada Ibnu Umar: “Apakah witir itu shalat sunat?” Dia menjawab:
“Disebut sunat bagaimana? Rasulullah Saw. dan kaum Muslim biasa berwitir.” Ia
berkata: “Tidak, apakah witir itu shalat sunat?” Ibnu Umar berkata: “Sudahlah,
apakah engkau tidak paham? Rasulullah Saw. dan kaum Muslim biasa berwitir.”
(kedua hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Abdil Barr)
c. Dari Buraidah
al-Aslami ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Witir itu suatu yang
haq, maka barangsiapa yang tidak berwitir maka dia bukanlah golongan kami.
Beliau mengatakan itu tiga kali.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim)
d. Dari Abu Ayub dari
Rasulullah Saw., beliau bersabda:
“Witir itu suatu yang
haq, maka siapa yang suka berwitir dengan lima rakaat maka hendaklah dia
berwitir, dan siapa yang suka berwitir dengan tiga rakaat maka hendaklah dia
berwitir, dan barangsiapa yang suka berwitir dengan satu rakaat maka hendaklah
dia berwitir, dan barangsiapa yang mengalami kesulitan melakukannya maka
hendaklah dia shalat witir dengan isyarat.” (HR. Ibnu Hibban, al-Baihaqi)
Abu Dawud meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi yang berbeda.
e. Dari Ibnu Abbas ra.
ia berkata: aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Tiga perkara yang
wajib atasku tetapi atas kalian hanya menjadi shalat tathawwu': (yaitu) witir, shalat hari raya kurban, shalat
dhuha.” (HR. Ahmad, al-Baihaqi, al-Hakim dan Daruquthni)
Hadits yang pertama di
dalamnya ada Ubaidillah bin Zahr, dan dia seorang dhaif yang didhaifkan oleh
al-Haitsami, Ibnu Malin, Ibnu al-Madini, ad-Daruquthni.
Ibnu Hibban berkata:
“dia meriwayatkan hadits-hadits maudhu.”
Al-Haitsami berkata:
“dan Muawiyah belum diangkat sebagai pemimpin di Syam pada masa Mu'adz”,
sehingga hadits ini tidak layak untuk dijadikan sebagai hujjah.
Hadits yang kedua
tidak memberikan pengertian wajibnya shalat witir. Perkataan Ibnu Umar yang
tidak menjawab pertanyaan si penanya, dan cukup dengan mengulang perkataan
bahwa Rasulullah Saw. dan kaum Muslim melakukannya, hal itu tidak menunjukkan
wajibnya shalat witir. Nampak bagi saya bahwa Ibnu Umar takut jika dia berkata
bahwa witir itu sunat maka bisa mengakibatkan orang-orang melalaikan witir ini,
sehingga beliau cukup dengan mengulang bahwa Rasulullah Saw. dan kaum Muslim
mengerjakannya, dengan harapan bahwa si pendengar bisa mengikuti perbuatan
mereka. Ini bisa dijelaskan dengan asumsi kalau hadits ini layak untuk
dijadikan sebagai hujjah.
Ternyata al-Iraqi
telah menyebutkan bahwa hadits ini termasuk kategori hadits dhaif.
Begitu pula terkait
dengan hadits yang ketiga, hadits inipun menurut al-Iraqi adalah hadits dhaif.
Seandainya kita
berasumsi bahwa hadits ini layak untuk dijadikan sebagai hujjah, maka kalimat “witir itu suatu yang
haq” yang disebutkan dalam hadits keempat perlu dijelaskan. Saya katakan:
ucapan Rasulullah Saw., “witir itu suatu yang haq” tidak serta merta memberi
pengertian wajibnya witir menurut syariat, sebagaimana bahwa kewajiban itu
suatu yang haq. Karena, yang mandub atau sunat juga suatu yang haq, sehingga
kata haq di sini memiliki pengertian telah terbukti disyariatkan. Karena itu,
hadits ini memiliki pengertian mendorong kaum Muslim melaksanakan shalat witir,
dan tidak memberi pengertian lebih dari itu.
Adapun hadits yang
kelima, maka di dalam sanadnya ada Abu
Janab al-Kalbi, yakni Yahya bin Abi Hayyah -dan ia seorang dhaif-, yang didhaifkan oleh Yahya al-Qathan, al-'Ijli,
al-Juzjani, Abu Hatim, an-Nasa'i, ad-Daruquthni dan ad-Dzahabi, sehingga hadits
ini tidak layak untuk dijadikan sebagai hujjah.
Dengan demikian, jelas bahwa tidak ada dalil atau nash yang mengandung dilalah yang jelas yang menunjukkan wajibnya
shalat witir.
Al-Khathabi telah
menceritakan keberadaan ijma tentang
tidak wajibnya shalat witir, tetapi jelas dia lupa atau tidak mengetahui
pendapat Abu Hanifah yang mengatakan wajibnya shalat witir. As-Syaukani
berkata: “Jumhur telah berpendapat bahwa witir itu tidak wajib, melainkan sunat
saja, dan Abu Hanifah menyelisihi pendapat mereka dan berkata bahwa witir itu
adalah wajib.” Ibnu al-Mundzir berkata, ”…dan ini adalah pendapat mayoritas ahlul ilmi selain Nu’man, di mana dia
menyelisihi mereka dan menyangka bahwa witir itu suatu kewajiban.” Perkataan
Ibnu al-Mundzir: Nu'man, maksudnya adalah Abu Hanifah.
Rasulullah Saw. sangat
menganjurkan shalat witir, dan menjadikan shalat ini memiliki banyak keutamaan
yang besar, sehingga witir itu hampir menyamai dua rakaat fajar, yakni sunat
shalat subuh dalam hal keutamaannya. Hadits yang ketiga -hadits Buraidah al-Aslami
sebelumnya- menunjukkan keutamaan yang ada pada shalat witir. Begitu juga dari
Ali ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Wahai ahli Qur’an,
berwitirlah kalian, sesungguhnya Allah azza wa
jalla itu ganjil dan menyukai sesuatu yang ganjil.” (HR. Ahmad dan Abu
Dawud)
Ibnu Khuzaimah dan
Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi: Ali bin Abi Thalib berkata:
“Sesungguhnya witir
itu bukan suatu kewajiban dan tidak seperti shalat maktubah yang wajib atas kalian, tetapi Rasulullah Saw.
berwitir, seraya bersabda: “Wahai ahli Qur'an, berwitirlah kalian, karena Allah
itu ganjil dan menyukai sesuatu yang ganjil.”
Dari Kharijah bin
Hudzafah al-‘Adawiy ra., ia berkata:
“Rasulullah Saw.
keluar menemui kami dan berkata: “Sesungguhnya Allah Swt. telah memberikan
kepada kalian satu shalat, di mana shalat tersebut lebih baik bagi kalian
dibandingkan unta merah. Allah menjadikannya untuk kalian berada di antara
shalat isya hingga shalat fajar.” (HR. Ibnu Majah, al-Baihaqi dan al-Hakim)
Waktu shalat witir itu
amat panjang, berlangsung antara setelah shalat isya hingga terbit fajar.
Sebelumnya telah disebutkan hadits Ibnu Majah dan al-Baihaqi, dan di dalamnya
tercantum: ”...menjadikannya untuk kalian berada di antara shalat isya hingga shalat
fajar.” Abu Bashrah ra. meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah
Swt. telah menambahkan untuk kalian satu shalat yakni shalat witir, maka
lakukanlah shalat tersebut di antara shalat isya hingga shalat fajar...” (HR.
Ahmad dan at-Thabrani)
Mengundurkan shalat
witir hingga akhir malam itu lebih utama bagi orang yang kuat melakukannya.
Dari Masruq, ia berkata:
“Aku bertanya kepada
Aisyah tentang witir Rasulullah Saw., maka dia berkata: “Beliau Saw. telah
berwitir dari seluruh bagian malam, dari awalnya, dari pertengahannya, dan
ketika wafat witirnya berakhir di waktu sahur.” (Ibnu Majah, Ahmad dan Muslim)
Bukhari meriwayatkan
dengan redaksi:
“Seluruh bagian malam
digunakan Rasulullah Saw. untuk berwitir, dan berakhir witirnya itu hingga
sahur.”
Dari Ali bin Abi
Thalib ra. ia berkata:
“Sesungguhnya
Rasulullah Saw. suka berwitir pada awal malam, kemudian berwitir pada
pertengahannya, kemudian witirnya tetap dilakukan pada saat ini. Ia berkata:
Yakni ketika fajar terbit.” (HR. Ahmad)
Dari Jabir ra. ia
berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
takut tidak bangun pada akhir malam maka hendaklah dia berwitir di awal malam,
dan barangsiapa yang berkeinginan besar untuk bangun di akhir malam, maka
witirlah di akhir malam, karena shalat akhir malam itu disaksikan, dan itu
lebih utama.” (HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Dan hadits Muslim yang
lain dari jalur Jabir:
“Siapa saja dari
kalian yang takut tidak bisa bangun di akhir malam maka hendaklah dia witir
kemudian dia tidur, dan barangsiapa yang percaya bisa bangun malam maka
berwitirlah di akhirnya, karena bacaan akhir malam itu dihadiri, dan itu lebih
utama.”
Dari Abu Qatadah ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
berkata kepada Abu Bakar: “Kapan engkau berwitir?” Ia berkata: Aku berwitir
pada awal malam,. Beliau berkata kepada Umar: “Kapan engkau berwitir?” Dia
berkata: “Akhir malam.” Maka beliau Saw. berkata kepada Abu Bakar: “Engkau
mengambil perkara ini dengan keteguhan.” Dan beliau berkata kepada Umar:
“Engkau mengambil perkara ini dengan kekuatan.” (HR. Abu Dawud, al-Baihaqi dan
al-Hakim)
Dalam satu riwayat
yang didapatkan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dengan tulisan ayahnya, dari
jalur Jabir bin Abdullah ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
bertanya kepada Abu Bakar: “Kapan engkau berwitir?” Ia berkata: “Pada awal
malam setelah shalat isya.” Beliau bertanya: “Dan engkau wahai Umar?” Ia
berkata: “Pada akhir malam.” Ia berkata: “Adapun engkau wahai Abu Bakar maka
engkau telah mengambil dengan keyakinan, dan engkau wahai Umar, telah
mengambilnya dengan kekuatan.”
Dari Abdullah bin Umar
ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Witir itu satu rakaat
pada akhir malam.” (HR. Muslim)
Dari Abu Said
al-Khudri, ia berkata:
“Aku bertanya kepada
Rasulullah Saw. tentang witir, maka beliau menjawab: “Berwitirlah sebelum
subuh.” (HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah)
Adapun jumlah rakaat
witir sedikitnya adalah satu rakaat, dan yang paling banyak adalah sembilan
rakaat. Dengan demikian, witir itu bisa dilaksanakan satu rakaat, tiga rakaat,
lima rakaat, tujuh rakaat, atau sembilan rakaat. Sebelumnya telah disebutkan dalam
hadits Muslim dari jalur Abdullah bin Umar ra., di dalamnya disebutkan: “witir
itu satu rakaat di akhir malam”, dan dari Abu Mijlaz ia berkata:
“Aku bertanya kepada
Ibnu Abbas ra. tentang witir, maka ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Saw.
bersabda: “Satu rakaat di akhir malam.” Dan aku bertanya kepada Ibnu Umar, maka
ia berkata: “aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Satu rakaat di akhir malam.”
(HR. Ahmad dan Muslim)
Dari Aisyah ra. ia
berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. bersalam setiap dua rakaat, dan berwitir dengan satu rakaat.” (HR. Ibnu
Majah)
Ucapannya: bersalam
tiap dua rakaat, yakni bahwa shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Dari
Aisyah ra.:
“Bahwa Nabi Saw. suka
berwitir dengan satu rakaat.” (HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Abi Syaibah)
Ibnu Umar ra.
meriwayatkan:
“Bahwa seorang
laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang shalat malam, maka Rasulullah
Saw. bersabda: “Shalat malam itu dua-dua. Jika salah seorang dari kalian merasa
takut segera tiba shalat subuh, maka shalatlah satu rakaat untuk menutup shalat
sebelumnya dengan witir.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi)
Semua ini merupakan
dalil-dalil yang menunjukkan bahwa witir itu satu rakaat. Dari Ibnu Abbas ra.
ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. shalat pada waktu malam delapan rakaat, dan berwitir dengan tiga rakaat
dan (kemudian) shalat dua rakaat” -dalam satu riwayat: dan (kemudian) shalat
dua rakaat fajar- ketika beliau sudah tua rakaatnya menjadi sembilan, enam
rakaat (shalat malam) dan tiga rakaat (shalat witir).” (HR. Ahmad, an-Nasai dan
Abu Dawud)
Dari Aisyah ra. ia
berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. dalam bulan Ramadhan dan bulan selainnya tidak shalat lebih dari sebelas
rakaat. Beliau Saw. shalat empat rakat, maka janganlah engkau menanyakan
tentang bagaimana bagusnya dan panjangnya shalat beliau. Lalu beliau shalat
empat rakaat, maka janganlah kamu bertanya tentang bagaimana bagusnya dan
panjangnya shalat beliau, kemudian beliau Saw. shalat tiga rakaat...” (HR.
Muslim)
Dari Ali ra.:
“Bahwa Nabi Saw.
berwitir dengan tiga rakaat.” (HR. Ahmad)
Tirmidzi meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
“Adalah Rasulullah
Saw. shalat witir tiga rakaat, di dalamnya beliau membaca sembilan surat dari al-mufashal, membaca tiga surat dalam setiap
rakaat, yang terakhirnya adalah qul huwallahu
ahad.”
Dari Ibnu Abbas ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
berwitir dengan tiga rakaat, dengan (membaca) sabbihisma
rabbikal a’la, dan qul yaa ayyuhal
kaafiruun, dan qul huwallahu ahad.”
(HR. Ahmad, an-Nasai, Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Semua ini merupakan
dalil yang menunjukkan witir tiga rakaat.
Dari Aisyah ra., ia
berkata:
“Shalat Rasulullah
Saw. pada waktu malam adalah tiga belas rakaat. Beliau berwitir darinya
sebanyak lima rakaat dan tidak duduk sekalipun darinya kecuali pada rakaat
terakhirnya. Dan jika muadzin telah mengumandangkan adzan, beliau Saw. shalat
dua rakaat secara ringan.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasai)
Muslim meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
“Adalah Rasulullah
Saw. shalat pada malam hari sebanyak tiga belas rakaat, darinya beliau Saw.
berwitir lima rakaat, dan tidak duduk (tasyahud)
sekalipun, kecuali pada akhir rakaatnya.”
Dari Ummu Salamah ra.
ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. witir dengan tujuh dan lima rakaat, tidak memisahkan di antara rakaatnya
dengan salam, dan tidak juga dengan perkataan.” (HR. Ahmad, an-Nasai dan Ibnu
Majah)
Semua ini adalah
dalil-dalil yang menunjukkan bahwa witir itu bisa dilaksanakan sebanyak lima
rakaat.
Dari Abu Umamah ra. ia
berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. witir sebanyak sembilan rakaat, hingga ketika beliau sudah lanjut usia dan
semakin lemah beliau berwitir sebanyak tujuh rakaat, dan shalat dua rakaat
dalam posisi duduk, lalu beliau membaca idza
zulzilat dan qul yaa ayyuhal kaafiruun.”
(HR. Ahmad dan at-Thabrani)
Dari Said bin Hisyam
bin ‘Amir ia berkata:
”...Aku berkata:
“Wahai Ummul Mukminin, yakni Aisyah, beritahu aku tentang witir Rasulullah
Saw.” Maka dia berkata: ”Kami mempersiapkan siwak dan air wudhunya, lalu Allah
Swt. membangkitkannya dengan kehendak-Nya sehingga dia bangun pada malam hari
lalu bersiwak dan berwudhu. Setelah itu beliau shalat sembilan rakaat, tidak
ada duduk di dalamnya kecuali dalam rakaat kedelapan. Lalu berdzikir mengingat
Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya. Kemudian beliau Saw. bangkit dan tidak
bersalam, lalu berdiri dan shalat rakaat yang kesembilan. Setelah itu beliau
duduk dan berdzikir mengingat Allah, memuji-Nya dan berdoa pada-Nya. Kemudian
beliau bersalam dengan salam yang bisa kami dengar. Lalu beliau shalat dua
rakaat setelah bersalam dan beliau dalam keadaan duduk. Itulah sebelas rakaat
wahai anakku. Ketika Rasulullah Saw. berusia tua dan ototnya sudah lemah,
beliau witir dengan tujuh rakaat, dan beliau melakukan dua rakaatnya seperti
yang pertama. Itulah sembilan rakaat wahai anakku...” (HR. Muslim dan Ahmad)
An-Nasai meriwayatkan
dengan redaksi:
”...Ketika beliau Saw.
sudah lanjut usia dan lemah tubuhnya, beliau witir sebanyak tujuh rakaat, tidak
duduk kecuali dalam rakaat keenam, kemudian beliau bangkit dan tidak bersalam,
lalu shalat rakaat yang ketujuh kemudian bersalam…”
Inilah dalil-dalil
yang menunjukkan bahwa witir itu bisa tujuh rakaat dan bisa juga sembilan
rakaat.
Semua dalil-dalil ini
menunjukkan bahwa witir itu bisa dilakukan satu rakaat, tiga rakaat, lima
rakaat, tujuh rakaat dan sembilan rakaat, Dan dalil-dalil di atas juga
menunjukkan bahwa witir itu sunat hukumnya, bukan wajib, karena seandainya
witir itu suatu kefardhuan niscaya jumlah rakaatnya akan tetap tidak
berubah-ubah. Tatkala dalil-dalil tersebut menerangkan ada pilihan dalam jumlah
rakaatnya maka hal itu menunjukkan shalat witir itu bukanlah suatu kewajiban.
Abu Ayub ra. telah meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda:
“Witir itu suatu yang
haq. Barangsiapa yang menghendaki maka witirlah sebanyak lima rakaat, dan siapa
yang menghendaki maka witirlah tiga rakaat, dan siapa yang menghendaki maka
witirlah satu rakaat.” (HR. Ibnu Hibban, an-Nasai dan ad-Daruquthni)
Al-Hakim meriwayatkan
hadits ini dan menshahihkannya. Ini
merupakan pilihan yang jelas dalam jumlah rakaat, yang menunjukkan tidak
wajibnya witir tersebut.
Adapun tata cara
shalat witir dengan beragam jumlah rakaatnya itu adalah sebagai berikut: Jika
witir itu satu rakaat maka tatacaranya sudah jelas.
Dan jika witir itu
tiga rakaat maka dilakukan secara bersambung dengan satu takbiratul ihram dan sekali duduk di akhirnya
untuk bertasyahud dan bersalam, dan
tidak duduk selainnya. Beliau Saw. tidak duduk setelah dua rakaat.
Jika witir tersebut
lima rakaat, maka seperti itu pula, yakni dilakukan secara bersambung dengan
satu takbiratul ihram dan satu kali
duduk di bagian akhirnya untuk bertasyahud
dan bersalam, dan tidak duduk selainnya, sehingga beliau tidak duduk setelah
dua rakaat atau setelah empat rakaat, yakni tidak duduk kecuali pada rakaat
terakhir (rakaat kelima) saja.
Apabila witir tersebut
tujuh rakaat, beliau melaksanakannya secara bersambung dengan satu takbiratul ihram, dan tasyahud awal dilakukannya pada akhir rakaat keenam, kemudian
bangkit melanjutkan dengan rakaat ketujuh, lalu duduk di akhir rakaat tersebut
dan bertasyahud akhir, lalu bersalam.
Dan jika witir itu
sembilan rakaat, maka beliau Saw. melakukannya secara bersambung dengan satu takbiratul ihram dan melakukan tasyahud awal pada bagian akhir rakaat
kedelapan, kemudian bangkit untuk melanjutkan dengan rakaat kesembilan, lalu
duduk di akhir rakaat kesembilan untuk bertasyahud
akhir dan bersalam.
Dari Aisyah ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
jika telah shalat isya, beliau memasuki rumah kemudian shalat dua rakaat, lalu
shalat setelahnya dua rakaat yang lebih panjang darinya. Setelah itu berwitir
sebanyak tiga rakaat, dan tidak memisahkannya dengan sesuatupun di dalamnya.”
(HR. Ahmad dan Muslim)
Ucapannya: tidak
memisahkannya dengan sesuatupun di dalamnya, yakni ketiga rakaat ini
dilaksanakan secara bersambung tanpa ada tasyahud
dan salam dalam dua rakaat awal. Hal ini diperkuat dengan hadits yang
diriwayatkan Aisyah ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
tidak bersalam pada dua rakaat witir.” (HR. an-Nasai, al-Baihaqi, dan al-Hakim)
Dan hadits yang
diriwayatkan Ubay bin Ka’ab ra. ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. dalam shalat witir membaca sabbihisma
rabbikal a'la dan dalam rakaat kedua membaca qul yaa ayyuhal kaafirun, dan pada rakaat ketiga membaca qul huwallahu ahad, dan tidak bersalam kecuali
pada rakaat terakhir, dan beliau mengucapkan yakni setelah bersalam: subhaanal malikil qudduus sebanyak tiga kali.”
(HR. an-Nasai dan Ibnu Hibban)
Adapun jika beliau
bersalam pada dua rakaat yang pertama, kemudian shalat satu rakaat, maka dua
rakaat yang pertama ini tidak dipandang sebagai bagian dari witir, semata-mata
dipandang sebagai bagian dari shalat malam yang mendahului witir, sehingga beliau
Saw. hanya melakukan satu rakaat witir saja, karena selama witir itu merupakan
suatu shalat, maka sesungguhnya shalat itu tidak diputuskan (diakhiri) kecuali
dengan salam, dan tidak dilaksanakan kecuali dengan satu takbiratul ihram dan satu salam saja. Jika
tidak seperti itu maka bukan satu shalat. Dari Aisyah ra.:
“Bahwa Rasulullah Saw.
membaca dalam dua rakaat, di mana beliau berwitir setelahnya: sabbihisma rabbikal a'la dan qul yaa ayyuhal kaafiruun, dan membaca dalam
witir qul huwallahu ahad, dan qul a’udzu bi rabbil falaq, dan qul a’udzu bi rabbin nas.” (HR. Ibnu Hibban
dan al-Hakim)
Perhatikan perkataan
Aisyah ini: “dua rakaat di mana beliau berwitir setelahnya” yang menunjukkan
dengan jelas bahwa dua rakaat ini bukanlah bagian dari shalat witir, karena itu
lanjutannya berbunyi: “dan membaca dalam shalat witir qul huwallahu ahad.” Dua rakaat tersebut jika dipisahkan dari
yang ketiga tidak bisa dipandang sebagai bagian dari shalat witir. Dengan
pemahaman seperti inilah kita menginterpretasikan hadits-hadits yang ada, yang
menyebutkan:
“Bahwa Rasulullah Saw.
memisahkan antara yang genap dan yang ganjil.” (HR. Ibnu Hibban, Ahmad dan
Thabrani dari jalur Ibnu Umar ra.)
Genap di sini
(maksudnya) adalah shalat malam, dan witir yang dilakukan setelahnya terpisah
dari shalat malam.
Seorang mushalli tidak perlu duduk setelah dua rakaat,
dan tidak tasyahud dengan tasyahud awal. Jadi, dalam shalat witir tidak
dilakukan sesuatu yang biasa dilakukan dalam shalat maghrib, semata-mata dia
harus menjadikan shalat witir itu berbeda dengan shalat maghrib. Dan inilah
yang diperintahkan oleh syariat yang lurus. Abu Hurairah ra. telah meriwayatkan
dari Rasulullah Saw. bahwa beliau Saw. bersabda:
“Janganlah kalian
berwitir dengan tiga rakaat, witirlah dengan lima atau tujuh rakaat, dan
janganlah kalian menyerupakannya dengan shalat maghrib.” (HR. Ibnu Hibban dan
ad-Daruquthni)
Al-Baihaqi dan
al-Hakim meriwayatkan hadits ini juga dan disebutkan dengan redaksi yang
terbalik (dengan mendahulukan yang diakhir).
Ibnu Hajar telah
mengkompromikan antara hadits-hadits yang menerangkan tiga rakaat shalat witir
dengan hadits ini -yang melarang tiga rakaat-, dengan memberi pengertian bahwa
larangan itu (adalah) dari berwitir dengan dua tasyahud,
karena hal itu akan menyerupakan shalat witir dengan shalat maghrib.
Sedangkan
hadits-hadits yang membolehkan berwitir dengan tiga rakat, itu adalah berwitir
dengan tiga rakaat secara bersambung dengan satu tasyahud
di akhirnya.
Pengkompromian seperti
ini sangat bagus, sehingga witir tidak serupa dengan shalat maghrib, di mana mushalli tidak duduk dalam witir setelah dua
rakaat. Mushalli hanya duduk dan bertasyahud pada akhir rakaat ketiga. Ini khusus
terkait dengan tata cara shalat witir dengan jumlah tiga rakaat. Terkait tata
cara shalat witir dengan jumlah lima rakaat, maka telah diriwayatkan dari
Aisyah ra. bahwa ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. melaksanakan shalat dari sebagian malam sebanyak tiga belas rakaat, dan
berwitir darinya dengan lima rakaat, dan tidak duduk dari lima rakaat itu
sekalipun kecuali pada rakaat terakhimya.” (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud,
an-Nasai dan Ahmad)
Ibnu Hibban
meriwayatkan hadits ini dengan redaksi:
“Adalah Rasulullah
Saw. shalat dari sebagian malam sebanyak tiga belas rakaat, berwitir darinya
dengan lima rakaat dan tidak duduk sekalipun dari lima rakaat itu kecuali pada
rakaat terakhirnya, beliau duduk kemudian bersalam.”
Sebelumnya, hadits
Muslim yang senada telah kami sebutkan.
Dari Ummu Salamah ra.
ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. berwitir dengan tujuh rakaat dan lima rakaat. Beliau tidak memisahkan di
antara rakatnya dengan salam dan tidak Juga dengan perkataan.” (HR. Ahmad,
an-Nasai dan Ibnu Majah)
Dan sebelumnya hadits
ini pun telah kami sebutkan.
Terkait dengan tata
cara shalat witir sebanyak tujuh rakaat, maka telah diriwayatkan dari Aisyah
ra. bahwa ia berkata:
“Ketika Rasulullah
Saw. semakin lanjut usianya dan badannya semakin gemuk, maka beliau Saw. shalat
tujuh rakaat, beliau tidak duduk kecuali pada rakaat terakhirnya.” (HR.
an-Nasai)
Ibnu Hibban telah
meriwayatkan dengan redaksi:
“Kami mempersiapkan
siwak dan air wudlunya, lalu Allah Swt. membangkitkannya dengan kehendak-Nya
sehingga dia bangun pada malam hari dan beliau bersiwak dan berwudhu. Setelah
itu beliau shalat sebanyak tujuh rakaat, dan beliau tidak duduk di dalamnya kecuali
pada rakaat keenam, lalu beliau duduk dan berdzikir mengingat Allah dan
berdoa.”
Dalam hadits yang
diriwayatkan an-Nasai disebutkan dengan redaksi:
“Ketika beliau semakin
lanjut usianya dan lemah tubuhnya, beliau berwitir dengan tujuh rakaat, dan
beliau tidak duduk kecuali pada rakaat keenam, lalu bangkit dan tidak bersalam,
dan beliau shalat rakaat yang ketujuh kemudian bersalam”
Sebelumnya (hadits
ini) telah kami sebutkan. Dalam hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan Ahmad,
an-Nasai dan Ibnu Majah disebutkan:
“Adalah Rasulullah
Saw. berwitir dengan tujuh dan lima rakaat, beliau Saw. tidak memisahkan
rakaatnya dengan salam dan tidak juga dengan perkataan.”
Dan terkait dengan
tata cara shalat witir yang berjumlah sembilan rakaat, maka Aisyah ra. telah
menceritakan:
”...Kemudian beliau
shalat sembilan rakaat, tidak ada duduk di dalamnya kecuali dalam rakaat
kedelapan, lalu berdzikir mengingat Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya.
Setelah itu beliau Saw. bangkit dan tidak bersalam, kemudian berdiri lalu
shalat rakaat yang kesembilan, beliau duduk dan berdzikir mengingat Allah,
memuji-Nya dan berdoa kepadaNya, kemudian beliau bersalam dengan satu salam...”
(HR. Muslim dan Ahmad dan an-Nasai)
Dari Aisyah ra. ia
berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. jika berwitir dengan sembilan rakaat beliau tidak duduk kecuali pada
rakaat kedelapan, lalu beliau Saw. bertahmid, berdzikir dan berdoa, kemudian
bangkit dan tidak bersalam. Setelah itu beliau shalat rakaat yang kesembilan
lalu berdzikir kepada Allah dan berdoa, kemudian beliau bersalam dengan agak
keras memperdengarkannya kepada kami...” (HR. Ibnu Hibban)
Mengenai bacaan
al-Qur'an dalam rakaat-rakaat shalat witir, maka dalam rakaat pertama adalah sabbihisma rabbikal a'la, dan dalam rakaat
kedua adalah qul yaa ayyuhal kaafirun,
dan rakaat yang ketiga adalah qul huwallahu
ahad. Namun, jika rakaatnya lebih dari itu, maka mushalli bisa membaca surat apa saja yang dikehendakinya. Ini
bagi siapa saja yang ingin mengaitkan diri dengan bacaan Rasulullah Saw.
Sebelumnya telah kami sebutkan hadits Ubay bin Ka'ab ra., ia berkata:
“Adalah Rasulullah
Saw. dalam shalat witir membaca sabbihisma
rabbikal a'la dan dalam rakaat kedua membaca qul yaa ayyuhal kaafirun, dan pada rakaat ketiga membaca qul huwallahu ahad, dan tidak bersalam kecuali
pada rakaat terakhir, dan beliau mengucapkan yakni setelah bersalam: subhaanal malikil qudduus sebanyak tiga kali”
(HR. an-Nasai dam Ibnu Hibban)
Dari Abdurrahman bin
Abza ra., ia berkata:
“Adalah Nabi Saw.
berwitir dengan membaca sabbihisma rabbikal
a'la, dan qul yaa ayyuhal kaafiruun,
lalu qul huwallahu ahad. Dan jika dia
ingin pergi dari witirnya maka mengucapkan subhaanal
malikil quddus, tiga kali, kemudian mengeraskan suaranya pada yang
ketiga.” (HR. Ahmad dan an-Nasai)
Dalam hadits Ahmad dan
an-Nasai yang berasal dari jalur yang kedua,
”...Dan jika telah
bersalam dan selesai dari witir, beliau mengucapkan: subhaanal malikil quddus, tiga kali, dan memanjangkannya pada
yang ketiga.”
Semua hadits ini
menjelaskan bahwa bacaan al-Qur’an pada rakaat witir yang pertama adalah sabbihisma rabbikal a'la, dan dalam rakaat
kedua adalah qul yaa ayyuhal kaafirun,
dan pada rakaat ketiga adalah qul huwallahu
ahad. Dan jika dia menambahkan dengan al-muawwadzatain
(al-falaq dan an-nas) maka tidak apa-apa. Hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan dari Abdul Aziz bin Juraij, bahwa ia berkata:
“Aku bertanya kepada
Aisyah Ummul Mukminin ra.: ”Dengan apakah beliau Saw. berwitir?” Dia berkata:
“Dalam rakaat pertama, beliau suka membaca sabbihisma
rabbikal a'la, dan dalam rakaat kedua membaca qul yaa ayyuhal kaafirun, dan dalam rakaat ketiga membaca qul huwallahu ahad dan al-mu'awwadzatain.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah
dan ad-Daruquthni)
Hadits-hadits ini
menjelaskan pula bahwa termasuk petunjuk kenabian, di mana seseorang yang
selesai dari shalat witir dianjurkan untuk membaca: “subhaanal malikil quddus, subhaanal malikil quddus, subhaanal malikil
quddus”, dengan mengeraskan dan memanjangkan suaranya pada ucapan yang
ketiga.
Pada awal pembahasan
telah kami singgung bahwa waktu witir itu sangat luas, yakni sejak setelah
shalat isya hingga terbit fajar, dan yang paling utama adalah witir itu
dilaksanakan pada akhir shalat malam ketika sahur. Kami tambahkan di sini bahwa
witir itu dilaksanakan satu kali dalam satu malam, tidak disyariatkan untuk
shalat dua kali atau lebih di satu malam. Seorang Muslim hendaknya shalat di
malam hari dengan genap, yakni dua-dua, hingga ketika selesai dari shalat malam
dia tinggal menutupnya dengan witir, dan dia bisa melaksanakan witirnya segera.
Kemudian jika dia ingin melakukan shalat nafilah
lagi setelahnya, maka dia bisa melaksanakan shalat nafilah, yakni shalat malam tersebut sekehendaknya dengan genap
pula, yakni dua-dua, dan dia tidak perlu shalat witir yang kedua kalinya
setelah itu.
Tentang apa yang
dikatakan oleh sebagian orang -terkait cara yang kedua dengan menggenapkan
witirnya, kemudian dia bernafilah lagi
secara genap, yakni dua-dua, lalu menutup shalatnya itu dengan witir- maka ini
merupakan pendapat yang lemah, karena dalam kondisi ini dia telah melakukan dua
witir dalam satu malam.
Selain itu menambahkan
satu rakaat baru pada satu rakaat sebelumnya, di mana di antara keduanya ada
salam dan ada jeda waktu yang panjang, maka hal itu tidak ada dalil yang
menggolongkannya bisa dipandang sebagai sesuatu yang disyariatkan, sehingga
perkataan seperti ini tidak boleh diamalkan.
Dari Thalq bin Ali ra.
ia berkata: aku mendengar Nabi Saw. bersabda:
“Tidak ada dua witir
dalam satu malam.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Adapun hadits yang
diriwayatkan Nafi' dari Ibnu Umar ra.:
“Bahwa ketika beliau
ditanya tentang witir, ia berkata: “Adapun aku, jika aku berwitir sebelum aku
tidur, kemudian aku ingin shalat di malamnya maka aku menggenapkan witir
sebelumnya dengan satu rakaat, kemudian aku shalat dua-dua, dan jika aku telah
menyelesaikan shalatnya maka aku berwitir dengan satu rakaat. Sesungguhnya
Rasulullah Saw. telah memerintahkan untuk menjadikan akhir shalat malam itu
adalah shalat witir.” (HR. Ahmad)
Ini adalah ijtihad
Ibnu Umar dalam memahami perintah Rasulullah Saw. untuk menjadikan akhir shalat
malam itu adalah shalat witir. Perbuatan sahabat atau ijtihad sahabat tidak
menjadi dalil syara, walaupun perbuatan sahabat itu tetap merupakan hukum syara
sehingga boleh untuk mengikutinya.
Ibnu Abbas telah
menyalahkan Ibnu Umar ra. dalam ijtihadnya tersebut. Abdurrazaq telah
meriwayatkan dari Salim: “Dari Ibnu Umar bahwa dia jika tidur setelah berwitir,
kemudian dia bangun untuk shalat dari sebagian malam maka beliau melakukan
shalat witir dengan genap, lalu shalat witir lagi setelahnya di akhir
shalatnya. Az-Zuhri berkata: maka sampailah kabar itu kepada Ibnu Abbas dan dia
tidak merasa heran, lalu dia berkata: Sesungguhnya Ibnu Umar, niscaya berwitir
dalam satu malam sebanyak tiga kali,” maksudnya witir yang dilakukannya sebelum
tidur, kemudian witirnya yang kedua yang digenapkannya dengan witir yang
pertama, kemudian witir terakhir yang ketiga yang dilaksanakan setelah shalat
malam, sehingga tidak ragu lagi bahwa Ibnu Umar ra. telah salah dalam
ijtihadnya ini.
Adalah Ummul Mukminin,
Aisyah ra. telah menyalahkan pendapat serupa. Abdurrazaq telah meriwayatkan:
dari Abu ‘Athiyah dari Aisyah, ia berkata:
“Diceritakan
kepadanya: ada seorang lelaki berwitir, kemudian bangun dan menggenapkannya
dengan satu rakaat witir lagi. Maka dia berkata: orang itu mempermainkan
witirnya.”
Perintah Nabi Saw.
untuk menjadikan akhir shalat malam itu adalah shalat witir, ini berarti bahwa
orang yang shalat malam tersebut tidak mendahulukan witir dari shalatnya itu,
atau tidak menjadikan witir tersebut (menjadi bagian dari) shalat-shalat malamnya
itu. Dia semata-mata menjadikan witir itu di akhir shalatnya. Karena itu, siapa
saja yang melakukannya, dan kemudian dia tidur, maka dia telah menetapi
perintah Nabi saw.
Kemudian jika dia
bangun pada malamnya., lalu dia ingin melaksanakan shalat tathawwu' maka shalatlah sekehendaknya tanpa
halangan apapun, dan dengan tidak membatalkan shalat yang sebelumnya yang telah
dia lakukan. Perbuatan seperti ini tidak menyalahi perintah kenabian, karena
sebelumnya dia telah menetapi perintah tersebut. Ketaatannya pada perintah
tersebut bukan berarti menghalangi dirinya untuk melakukan shalat nafilah lagi ketika dia bangun pada malam itu
dan bermaksud melakukan shalat.
Sebelumnya telah kami
katakana bahwa witir itu dilaksanakan hanya satu kali dalam satu malam, maka
kami ingin menambahkan juga bahwa witir itu adalah salah satu shalat nafilah yang terus-menerus dilakukan oleh
Rasulullah Saw., dan beliau Saw. sangat menganjurkan kaum Muslim untuk
melakukannya, sehingga witir merupakan shalat sunat yang terus-menerus
dilakukan oleh Rasulullah Saw. dilihat dari disyariatkannya qadha shalat tersebut
jika luput dan sudah keluar dari waktunya.
Jadi, siapa saja yang
tertidur sebelum sempat shalat witir, kemudian bangun, sedangkan fajar telah
terbit, maka dia boleh shalat witir. Dari Abu Hurairah ra. ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika salah seorang
dari kalian bangun pagi dan belum berwitir, maka berwitirlah.” (HR. al-Hakim
dan al-Baihaqi)
Dari Abu Said ra. ia
berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa yang
tertidur dari witirnya atau lupa darinya maka hendaklah dia melakukan witir itu
jika bangun pagi atau ketika ingat.” (HR. al-Baihaqi, ad-Daruquthni, dan
al-Hakim)
Abu Dawud telah
meriwayatkan hadits ini, tetapi dia tidak mencantumkan kalimat: “jika bangun
pagi.”
Tirmidzi meriwayatkan
hadits ini dengan redaksi:
“Barangsiapa yang
tertidur dari witirnya maka hendaklah dia melakukannya ketika bangun pagi.”
Dari al-Agharr
al-Muzani:
“Bahwa seorang lelaki
mendatangi Rasulullah Saw. dan bertanya: “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku
bangun subuh dan aku belum berwitir.” Beliau berkata: “Maka berwitirlah.” (HR.
at-Thabrani)
Bacaan: Tuntunan
Shalat Berdasarkan Qur’an Dan Hadits, Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Pustaka
Thariqul Izzah
(Artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar