7. Strategi-Strategi Politik
untuk Memenangkan Peperangan
Ketika cobaan itu
sudah terasa sangat berat, Rasulullah Saw. menawarkan kepada ‘Uyainah bin
Hishon dan Harits bin ‘Auf al-Marri -keduanya adalah panglima orang-orang
Ghathfan- sepertiga hasil buah-buahan Madinah asalkan mau membawa
orang-orangnya pergi dari Madinah. Antara Rasulullah Saw. dan mereka
berlangsung perdamaian, sehingga mereka membuat surat perjanjian, akan tetapi
surat perjanjian itu tidak dilengkapi bukti dan belum ditanda tangani, sebab
Rasulullah Saw. tidak ingin menanda tanganinya, sebelum meminta persetujuan
para pembesar kaum Anshor. Mengingat merekalah pemilik perkebunan dan
buah-buahan.
Rasulullah Saw.
memanggil Sa’ad bin Mu’adz dan Sa'ad bin Ubadah, lalu beliau menceritakan
kepada keduanya dan meminta pendapat keduanya tentang surat perjanjian itu.
Keduanya berkata: “Wahai Rasulullah, apakah ia perintah yang kamu sukai,
sehingga kami harus menjalankan; atau ia sesuatu yang diperintahkan oleh Allah,
sehingga kami harus melakukannya; atau ia sesuatu yang kamu minta agar kami
melakukan?” Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak,
ia hanyalah sesuatu yang aku minta agar kalian melakukan. Demi Allah, aku tidak
akan melakukan hal itu, kecuali karena aku telah melihat bangsa Arab telah
bersatu untuk memerangi kalian. Sehingga, dengan cara itu aku ingin memecah
kekuatan mereka yang akan menyerang kalian.” Sa’ad bin Mu’adz berkata:
“Wahai Rasulullah, kami dahulu seperti mereka, syirik kepada Allah, dan
menyembah berhala, kami tidak menyembah Allah dan tidak mengenalmu, mereka
tidak suka memberi makanan, kecuali suguhan untuk tamu atau membeli. Apakah ketika
Allah telah memuliakan kami dengan Islam, menunjukkan kami kepada Islam, dan
menjadikan kami mulia melalui kamu dan Islam, maka kami harus memberikan harta
kami kepada mereka! Demi Allah, kami tidak sudi dengan semua ini. Demi Allah,
kami tidak akan memberi mereka, kecuali pedang, sehingga Allah memutuskan
antara kami dan mereka.” Rasulullah Saw. bersabda: “Kamu benar dengan ketegasanmu itu.” Lalu, Mu’adz mengambil
lembaran itu dan menghapus tulisan yang ada di dalamnya. Kemudian, dia berkata:
“Kami harus berjuang dengan sungguh-sungguh.”
Sungguh kami melihat
bahwa rencana Rasulullah adalah bertujuan untuk memecah-belah persatuan musuh
yang sedang menyerang; dengan harta, perdamaian, atau tipu daya. Untuk tujuan
ini, Rasulullah Saw. akan menggunakan harta terhadap orang-orang Ghathfan. Jika
cara ini sukses, maka kira-kira sepertiga kekuatan musuh akan berkurang, dan
ini bukan persoalan remeh. Apabila cara ini atau cara yang lain gagal dilakukan
terhadap kelompok-kelompok musuh yang lain… maka masih memungkinkan bagi
Rasulullah Saw. memenangkan peperangan
terhadap pasukan musuh yang lainnya.
Namun, beberapa
sahabat melihat bahwa cara itu akan merendahkannya, karenanya mereka menolak
tawaran yang ditawarkan oleh Rasulullah Saw., padahal tawaran Rasulullah Saw.
itu untuk kebaikan mereka sendiri, sebab merekalah yang akan merasakan
hasilnya. Ketika Rasulullah Saw. melihat kemuliaan dalam diri para sahabat,
tekad yang kuat untuk meraih syahid, atau keinginan untuk menang, maka beliau
beralih ke cara lain.
Akan tetapi beliau
tidak begitu saja meninggalkan cara itu sebelum mendapatkan hasilnya sebaik
mungkin, lalu beliau menyebarkan isu kesepakatan dengan orang-orang Ghathfan
ini di tengah-tengah barisan pasukan sekutu. Akibat isu itu, maka goncanglah
kekompakan kekuatan pasukan sekutu.
Rasulullah Saw. tidak
cukup dengan melakukan ini saja, tetapi beliau mulai memikirkan tipudaya
berikutnya untuk memecah-belah kekuatan musuh. Beliau mendapati bahwa orang
yang cocok untuk tugas ini adalah Nu'aim bin Mas’ud al-Asyja’i ra.
Nu’aim bin Mas’ud
al-Asyja’i menghadap pada Rasulullah Saw., dia berkata: “Wahai Rasulullah,
sungguh aku telah masuk Islam, sedang kawanku belum tahu dengan keIslamanku
ini, maka perintahlah aku sesukamu.” Rasulullah Saw. mengenal Nu’aim sebagai
orang yang cerdas dan banyak akalnya. Abu Sufyan -pemimpin pasukan kaum
musyrikin- pernah mengupahnya pada saat perang Badar yang terakhir untuk
mendatangi Rasulullah Saw. dan menyarankan agar sebaiknya menghindari
peperangan dengan kaum musyrikin.
Ketika Nu’aim datang
lagi kepada Rasulullah Saw. sebagai orang
Islam, maka Rasulullah Saw. hendak memanfaatkan kecakapan yang dimilikinya
itu. Rasulullah Saw. memerintahkan tugas yang sama seperti ketika kaum
musyrikin pada perang Badar yang terakhir mengutusnya agar mendatangi kaum
muslimin. Rasulullah Saw. memerintahkan Nu'aim agar mendatangi musuh
yang sedang bersekutu dan menyarankan agar sebaiknya menghindari peperangan
melawan Rasulullah Saw. Dengan demikian, beliau telah memerangi musuh dengan
senjata musuh sendiri, dan menikamnya dengan belati musuh sendiri.
Akan tetapi tikaman
kaum musyrikin terhadap Negara Islam pada perang Badar yang terakhir adalah
tikaman yang sembrono, nekat dan gegabah, akibatnya, Nu'aim tidak mampu membuat
Rasulullah Saw., mengurungkan peperangan, namun tikaman Rasulullah Saw. terhadap
musuhnya adalah tikaman yang mematikan. Rasulullah Saw. tidak lupa menjelaskan
kepada Nu’aim posisinya dengan penjelasan yang lengkap dan menyeluruh, memberi
gambaran rencananya dengan rapi, baru kemudian beliau memerintahkannya pergi
dan menjalankannya.
Nu’aim bin Mas’ud
pergi mendatangi Bani Quraizhah. Di masa jahiliyah, Nu’aim adalah teman Bani
Quraizhah. Dia berkata: “Wahai Bani Quraizhah, sungguh kalian telah
mengetahuinya betapa cintaku kepada kalian, khususnya setelah ada ikatan antara
aku dan kalian.” Mereka berkata: “Kamu benar, kami tidak menyangkal hal itu.”
Nu'aim berkata kepada mereka: “Sesungguhnya orang-orang Quraisy dan Ghathfan
tidak seperti kalian, negeri ini negeri kalian, di dalamnya ada harta benda
kalian, anak-anak kalian dan istri-istri kalian, kalian tidak dapat
memindahkannya ke tempat lain. Sesungguhnya, orang-orang Quraisy dan Ghathfan
datang untuk memerangi Muhammad dan para sahabatnya. Sungguh kalian telah
mendukung dan membantu mereka untuk itu, sedang negeri mereka, harta benda
mereka dan istri-istri mereka ada di tempat lain. Jika mereka melihat
kesempatan, mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkannya. Sebaliknya
jika tidak, mereka akan kembali ke negeri mereka, mereka melepaskan ikatan
kalian dengan orang yang sebelumnya ada di negeri kalian. Sehingga kalian tidak
mampu berbuat banyak jika mereka menipu dan menelantarkan kalian. Dengan
demikian, janganlah kalian berperang membantu mereka sebelum kalian mendapatkan
dari mereka jaminan dari pembesar-pembesar mereka, agar kalian benar-benar
merasa terjamin, mereka harus berada dalam kekuasaan kalian, tatkala kalian
membantu mereka untuk memerangi Muhammad hingga kalian benar-benar bertempur
dengannya.” Mereka berkata kepada Nu’aim: “Kamu telah memberi masukan yang
bagus!”
Kemudian, Nu’aim bin
Mas'ud mendatangi orang-orang Quraisy. Dia berkata kepada Abu Sufyan bin Harb
dan orang-orang Quraisy yang sedang bersamanya: “Sungguh kalian telah
mengetahuinya betapa cintaku kepada kalian dan betapa bencinya aku kepada
Muhammad. Sesungguhnya telah sampai kepadaku sesuatu yang aku yakini bahwa
sesuatu itu benar, sehingga aku harus menyampaikan sesuatu itu kepada kalian,
sebagai nasihat untuk kalian. Namun, kalian harus merahasiakan tentang aku.”
Mereka berkata: “Pasti kami lakukan.” Nu’aim berkata: “Ketahuilah sesungguhnya
orang-orang Yahudi benar-benar menyesali apa yang telah mereka perbuat ketika
mereka merusak perjanjian dan kesepakatan antara mereka dan Muhammad. Mereka
telah mengirim pesan yang isinya: Kami benar-benar menyesali apa yang telah
kami lakukan. Apakah kamu akan merasa senang jika kami mengambil untuk kalian
dari dua suku itu orang-orang Quraisy dan Ghathfan beberapa orang di antara
pembesar-pembesar mereka, lalu kamu bunuh mereka. Kemudian kami akan membantu kamu
memerangi sisa-sisa mereka, sampai kami berhasil menghabisi mereka?” Muhammad
membalas mengirim pesan yang isinya: “Setuju.” Untuk itu, jika orang-orang
Yahudi mengutus seseorang kepada kalian untuk meminta kepada kalian jaminan
dari orang-orang kalian, maka jangan kalian berikan seorangpun di antara kalian
kepada mereka.”
Selanjutnya, Nu’aim
pergi mendatangi orang-orang Gathafan, dia berkata: “Wahai orang-orang
Ghathfan, sungguh kalian nasabku dan keluargaku, kalian orang-orang yang paling
aku cintai, dan aku tidak yakin kalian akan datang ke Tihamah hanya untuk
menemuiku.” Mereka berkata. “Kamu benar, kami tidak menyangkal hal itu.” Nu’aim
berkata: “Kalian harus merahasiakan tentang aku.” Mereka berkata: “Pasti kami
lakukan.” Kemudian, Nu'aim berkata kepada mereka seperti yang telah dia katakan
kepada orang-orang Quraisy. Nu’aim meminta mereka waspada, sebagaimana dia
meminta orang-orang Quraisy waspada.
Ketika malam Sabtu,
bulan Syawal, tahun kelima Hijriyah. Termasuk perbuatan Allah kepada Rasul-Nya
Saw. adalah bahwa Abu Sufyan bin Harb dan para pemimpin Ghathfan mengirim
Ikrimah bin Abu Jahal kepada Bani Quraizhah dengan didampingi sekelompok
orang-orang Quraisy dan Ghathafan. Mereka berkata kepada Bani Quraizhah: “Kami
tidak berada di negeri tempat tinggal kami sendiri. Sungguh unta-unta dan
kuda-kuda telah lenyap. Besok pagi-pagi berangkatlah berperang hingga kami
benar-benar bertempur dengan Muhammad, sehingga berakhirlah masalah antara kita
dengan dia.” Kemudian, orang-orang Bani Quraizhah berkata kepada mereka:
“Sesungguhnya hari ini adalah hari Sabtu. Sedangkan pada hari Sabtu kami tidak
boleh melakukan aktivitas apapun. Di hari Sabtu ini telah terjadi suatu tragedi
yang menimpa sebagian kami, yang tidak diketahui oleh kalian. Karena itu, kami
tidak akan membantu kalian memerangi Muhammad sampai kalian memberi kami
jaminan di antara orang-orang kalian, agar kami benar-benar merasa terjamin, mereka
harus berada dalam kekuasaan kami, sampai kami selesai bertempur dengan
Muhammad. Sungguh kami khawatir dalam perang ini kalian terdesak, atau kalian
tidak tangguh lagi berperang, lalu kalian kembali ke negeri kalian dan
meninggalkan kami, sedang Muhammad ada di negeri kami, sehingga dengan
demikian, kami tidak mampu berbuat apa-apa terhadap Muhammad!”
Setelah Bani Quraizhah
selesai berkata, orang-orang Quraisy dan Ghathfan berkata: “Demi Allah, sungguh
apa yang diceritakan Nu'aim kepada kalian ternyata benar.” Lalu mereka berkata
kepada Bani Quraizhah: “Demi Allah, kami tidak akan menyerahkan seorangpun di
antara orang-orang kami kepada kalian. Jika kalian ingin berperang, maka
pergilah berperang.”
Setelah mereka selesai
mengatakan yang demikian itu, Bani Quraizhah berkata: “Sungguh apa yang
diceritakan Nu’aim kepada kalian ternyata benar. Mereka tidak menginginkan
kecuali berperang. Jika mereka melihat kesempatan, maka mereka akan
memanfaatkan kesempatan itu, sedang jika tidak, mereka akan kembali ke negeri
mereka. Mereka hanya akan meninggalkan persoalan antara kalian dan Muhammad di
negeri kalian.”
Kemudian Bani
Quraizhah berkata kepada orang-orang Quraisy dan Ghathfan: “Demi Allah, kami
tidak akan membantu kalian memerangi Muhammad sebelum kalian memberi kami
jaminan.” Mereka pun menolaknya, sehingga Allah Swt. meretakkan hubungan di
antara mereka.
Sumber: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw.,
Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar