5. Pembersihan institusi politik
Bani Nadhir
Sebab-sebabnya
Sebab sebenarnya
dilakukan pengusiran terhadap Bani Nadhir adalah sebagai realisasi rencana yang
telah dirancang oleh Rasulullah Saw. dalam rangka pembersihan terhadap
musuh-musuh Negara Islam. Pengusiran terhadap Bani Nadhir dianggap sebagai
aktivitas pembersihan yang kedua.
Sedang sebab yang
secara langsung berhubungan dengan aktivitas ini adalah sikap Yahudi Bani
Nadhir yang merusak perjanjian dengan Rasulullah Saw., dan keinginan mereka
untuk menguasai Negara Islam. Yaitu ketika Rasulullah Saw. pergi meminta mereka
turut membantu Rasul terkait dengan diyat (ganti rugi pembunuhan) dua orang di
antara Bani Amir yang dibunuh oleh Amru bin Umayyah adh-Dhamri. Sebab, antara
Rasulullah Saw. dan Yahudi Bani Nadhir ada kesepakatan untuk saling membantu.
Sedang antara Bani Nadhir dan Bani Amir ada kesepakatan dan persekutuan. Ketika
Rasulullah Saw. datang pada mereka untuk meminta tolong terkait dengan diyat
pembunuhan dua orang Bani Amir, maka mereka berkata: “Ya, wahai Abu Qosim. Kami
akan membantumu atas apa yang kamu inginkan, yang karenanya kamu meminta
bantuan kepada kami.”
Kemudian mereka satu
sama lain pergi menjauh dari Rasulullah Saw. Mereka berkata: “Sungguh kalian
sekali-kali tidak akan mendapatkan kesempatan menghabisi orang ini sebaik kali
ini -sedang, Rasulullah Saw. duduk di samping dinding rumah mereka- untuk itu
harus ada seseorang dari kita yang naik ke atas rumah, lalu lemparkan kepadanya
batu besar, dengan begitu kita bisa bebas darinya.” Amru bin Jihasy bin Ka’ab
salah seorang di antara mereka siap menjalankan tugas itu. Dia berkata: “Saya
yang akan menjalankan tugas itu.”
Dia hendak naik ke
atas untuk melemparkan batu besar seperti yang diinginkan, sedang Rasulullah
Saw. bersama sekelompok orang di antara para sahabatnya, yaitu Abu Bakar, Umar,
dan Ali ridhwanullah 'alaihim.
Rasulullah Saw. menerima berita dari langit tentang apa yang diinginkan oleh
Yahudi Bani Nadhir. Untuk itu beliau berdiri dan pergi kembali ke Madinah.
Para sahabat berjalan
sangat pelan, karena mereka kurang setuju dengan permintaan Rasulullah Saw.
Lalu mereka bertemu dengan orang yang datang dari Madinah. Mereka bertanya
kepada orang tersebut tentang Rasulullah Saw. Dia berkata: “Saya melihatnya
memasuki Madinah.” Para sahabat Rasulullah Saw. menghadapnya, ketika mereka
telah berada di hadapannya, maka Rasulullah Saw. memberitahukan kepada mereka
pengkhianatan yang direncanakan Yahudi Bani Nadhir. Rasulullah Saw.
memerintahkan untuk bersiap-siap memerangi mereka dan berjalan menuju mereka.
Kemudian Rasulullah
Saw. berjalan bersama para sahabat hingga mereka sampai pada mereka. Ternyata
mereka Yahudi Bani Nadhir telah bersiap dengan membuat berbagai perlindungan.
Rasulullah Saw. yakin bahwa tidak ada jalan untuk bisa mencapai mereka, kecuali
dengan menebang pohon kurma dan membakarnya. Orang-orang Yahudi Bani Nadhir
berteriak, “Tidakkah kamu Muhammad telah melarang berbuat kerusakan, dan
mencela orang yang melakukannya, tapi mengapa kamu sendiri malah menebang pobon
kurma dan membakarnya?”
Pengkhianatan Orang-orang
Munafik
Kelompok kaum munafik
yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul mendorong Yahudi Bani Nadhir
agar tetap teguh dan bertahan. Sebab, kami (orang-orang munafik) tidak akan
menyerahkan kalian, jika kalian diperangi, maka kami akan berperang membantu
kalian. Jika kalian terusir, maka kami juga akan terusir bersama kalian. Yahudi
Bani Nadhir tetap teguh menunggu bantuan Abdullah bin Ubay bin Salul dan
kelompoknya. Setelah mereka lama menunggu, sedang bantuan mereka belum juga
tiba, maka Allah Swt. memasukkan ke dalam hati mereka perasaan takut. Sehingga,
mereka meminta kepada Rasulullah Saw. agar melepaskan mereka dan menghentikan
pertumpahan darah dengan mereka, dan mereka dibolehkan membawa harta benda
mereka, kecuali senjata.
Merekapun membawa
harta benda mereka yang dapat mereka bawa dengan unta. Salah seorang dari
mereka merobohkan rumahnya melalui ambang pintunya, lalu dia meletakkan harta
bendanya di atas punggung untanya, kemudian dia pergi. Sebagian dari mereka
pergi pada sekutu-sekutu mereka, orang-orang Yahudi di Khaibar, dan sebagian
lagi pergi ke Syam. Di antara Pembesar mereka yang pergi ke Khaibar adalah
Sallam bin Abi al-Haqaiq, Kinanah bin Rabi’ bin Abi al-Haqaiq, dan Huyay bin
Akhthab. Setelah mereka sampai di Khaibar, maka penduduknya memberi mereka
pinjaman.
Di antara yang
ditunggu-tunggu adalah keluarnya keputusan dari Rasulullah Saw. yang
memerintahkan agar memerangi orang-orang Yahudi Bani Nadhir. Namun, Rasulullah
Saw. dengan pandangan politiknya yang brilian tidak memerintahkan untuk
memerangi mereka, setelah beliau tahu bahwa di balik mereka adalah kelompok
kaum munafik yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Sebab, belajar
dari peristiwa sebelumnya, bahwa kaum munafik tidak rela dilakukannya
peperangan dengan Yahudi Bani Qainuqa’, maka mereka akan lebih tidak rela lagi
jika dilakukannya peperangan dengan Yahudi Bani Nadhir, sedang di Madinah kaum
munafik memiliki kekuatan. Dan Rasulullah Saw. senantiasa mengedepankan
stabilitas dalam negeri.
Dengan demikian,
Rasulullah Saw. tidak membuka kesempatan bagi mereka untuk menyebar opini
mereka. Rasulullah Saw. merasa cukup dengan membiarkan Yahudi Bani Nadhir
pergi, dan memperbolehkan mereka membawa harta benda yang dapat mereka bawa,
kecuali senjata. Sehingga, mereka tidak lagi memiliki bantuan persenjataan
ketika mereka hendak mengadakan perlawanan terhadap kaum muslimin.
Mereka memberikan
wewenang secara khusus tentang harta benda yang mereka tinggalkan kepada
Rasulullah Saw., sehingga beliau berhak memberikannya kepada siapa saja yang
beliau kehendaki. Rasulullah Saw. memberikannya kepada orang-orang Muhajirin
yang pertama, tidak kepada orang-orang Anshor, kecuali Sahal bin Hunaif dan Abu
Dujanah Simak bin Kharasyah mengingat keduanya orang fakir.
Sesungguhnya pembagian
harta benda yang ditinggalkan Yahudi Bani Nadhir di antara orang-orang
Muhajirin dan orang-orang Anshar yang miskin telah menciptakan perubahan yang
signifikan bagi politik keuangan dalam Negara Islam. Sebelum peperangan ini
harta hasil rampasan perang dibagi di antara mereka yang turut dalam
peperangan, setelah negara mengambil seperlimanya yang penggunaannya telah
ditentukan oleh al-Qur’an al-Karim. Sekarang, setelah peperangan ini, telah
tercipta poliiik keuangan yang baru terkait dengan harta rampasan perang.
Ringkasannya, bahwa harta rampasan perang -berdasarkan politik yang baru-
menjadi dua jenis:
Pertama: Harta rampasan
perang yang diperoleh para mujahid melalui peperangan terlebih dahulu. Harta
rampasan perang jenis ini dibagi antara mereka yang turut berperang setelah
Negara mengambil seperlimanya untuk dipergunakan untuk pos-pos yang telah
ditentukan syara'.
Kedua: Harta rampasan perang
yang diberikan Allah kepada para mujahid tanpa peperangan. Harta rampasan
perang jenis ini wewenang penggunaannya diserahkan kepada pemimpin Negara Islam
(imam/khalifah) berdasarkan kemaslahatan bersama, misalnya memperbaiki perekonomian
dalam negeri, sehingga beban mereka yang miskin dapat terkurangi, membeli
persenjataan, membangun kota, memperbaiki jalan-jalan, atau yang lainnya. Ini
artinya pemimpin Negara Islam (imam/khalifah)
memiliki wewenang secara khusus untuk membelanjakan dengan segera sesuai
tuntutan kemaslahatan bersama.
Politik keuangan yang
baru ini telah menciptakan banyak elastisitas bagi negara. Dan dengan politik
yang baru ini, maka jadilah harta benda Bani Nadhir, tanah-tanah mereka, dan
kebun-kebun mereka berada dalam kekuasaan
Rasulullah Saw. sebagai pemimpin Negara Islam. Beliau berhak kapan saja
membelanjakannya sesuai kemaslahatan. Dengan demikian, apa yang telah diperbuat
oleh Rasulullah Saw. dengan harta benda ini?
Beliau melihat bahwa
problem keuangan bagi orang-orang Muhajirin masih dirasakan. Meski
saudara-saudara mereka kaum Anshor bersama-sama Rasulullah Saw. berusaha
memecahkannya. Orang-orang Muhajirin adalah orang-orang pertama yang
menyibukkan diri dalam jihad, sehingga mereka masih dalam kondisi miskin,
sedang tanah-tanah dan kebun-kebun milik kaum Anshor. Ketika Rasulullah Saw.
melakukan pemecahan secara intensif terhadap persoalan-persoalan dalam negeri
yang dinilainya sebagai dasar dalam membangun negara, maka persoalan pertama
yang harus dihadapi Rasulullah Saw. setelah harta benda Bani Nadhir ada dalam
kekuasaannya adalah menyelesaikan problem kondisi keuangan orang-orang
Muhajirin khususnya, orang-orang miskin pada umumnya, agar mereka merasakan bahwa
Negara Islam benar-benar telah memberikan keadilan secara riil kepada mereka.
Sehingga Rasulullah
Saw. membagikan harta benda, tanah-tanah dan perkebunan Bani Nadhir kepada
orang-orang fakir di Madinah al-Munawwarah -yang sebagian besar adalah
orang-orang Muhajirin- sebab kewajiban-kewajiban negara yang paling utama
adalah berusaha menciptakan situasi dan kondisi yang mengharuskan
pendistribusian kekayaan secara adil bagi setiap warga negara.
Demikianlah yang telah
dilakukan oleh Rasulullah Saw. ketika diamanati oleh Allah untuk
mendistribusikan harta rampasan perang Yahudi
Bani Nadhir. Ketika sebagian orang-orang munafik berbicara tentang tidak
adilnya pendistribusian ini, maka jawaban Rasulullah Saw. adalah bahwa logika
keadilan menghendaki agar harta benda itu tidak hanya dirasakan oleh mereka
yang kaya saja sementara tidak dengan yang miskin. Sehingga semuanya tunduk
terhadap perintah Rasulullah Saw., dan semuanya merasa puas dengan politik
keuangan yang baru yang diterapkan Negara Islam.
Bacaan: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw.,
Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar