3. Berita bohong
Di antara
peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dalam perjalanan menuju Madinah
al-Munawwarah adalah peristiwa berita bohong. Untuk itu kami serahkan kepada
Aisyah r.a. sebagai pemilik riwayat agar menceritakan sendiri kepada kita
tentang berita bohong ini.
Aisyah r.a. berkata:
“Apabila Rasulullah Saw. hendak melakukan perjalanan, beliau mengadakan undian
di antara para istrinya. Sehingga nama siapa yang keluar dalam undian tersebut,
maka dialah yang berhak menemani beliau. Pada perang Bani Mushthaliq, Rasulullah
Saw. mengadakan undian di antara para istrinya sebagaimana biasanya. Dalam
undian tersebut namaku yang keluar. Sehingga aku yang berhak pergi menemani
Rasulullah Saw. Para wanita ketika itu makannya tidak banyak, sehingga wajar
kalau badan mereka tidak berat. Jika untaku telah disiapkan, maka aku pun
segera duduk di sekedup, setelah itu orang-orang datang untuk mengambil dan
membawaku. Mereka memegang bagian bawah sekedup, lalu mengangkatnya, dan
meletakkannya di atas punggung unta, selanjutnya mengikatnya dengan tali.
Kemudian mereka memegang kepala unta, dan selanjutnya dengan unta itu mereka
berangkat.”
“Setelah merampungkan
permasalahan Bani Mushthaliq. Rasulullah Saw. kembali ke Madinah. Sehingga
ketika sampai di suatu tempat dekat Madinah, beliau berhenti, dan menghabiskan
sebagian malam di tempat itu. Kemudian Rasulullah Saw. memerintahkan kaum Muslimin
agar meneruskan perjalanan. Mendengar perintah itu, kaum Muslimin pun
berangkat. Sedang aku keluar untuk memenuhi hajatku, aku mengenakan kalung yang
padanya terdapat batu akik dari Dzafar (Dzafar adalah nama kota di Yaman dekat
Shan’a). Setelah aku selesai memenuhi hajatku, maka tanpa sepengetahuanku
ternyata kalungku terlepas dari leherku. Aku kembali ke tempat di mana
sebelumnya rombongan berhenti, untuk mencari kalungku yang hilang, namun di
tenpat itu aku tidak menemukaniyia. Sementara itu, kaum Muslimin mulai
meninggalkan tempat untuk meneruskan perjalanan. Aku kembali lagi ke tempat di
mana aku memenuhi hajatku untuk mencari kalungku yang hilang, akhirnya aku
menemukannya kembali. Orang-orang yang sebelumnya menyiapkan unta untukku
datang. Mereka langsung mengangkat sekedup karena mereka mengira bahwa aku ada
di dalamnya seperti sebelumnya. Mereka memikulnya dan mengikatnya pada unta,
sebab mereka yakin bahwa aku telah berada di dalamnya (Sebab Aisyah umurnya
masih muda belia, sehingga badannya tidak terlalu berat).”
“Kemudian mereka
memegang kepala unta, dan selanjutnya dengan unta itu mereka berangkat. Aku
kembali ke tempat perkemahan di mana sebelumnya rombongan itu berhenti, namun
di sana sudah tidak ada siapa-siapa, sebab semuanya telah pergi. Aku menutupi
diriku dengan jilbab, lalu aku berbaring di tempat di mana sebelumnya aku
berada. Sebab, aku yakin, jika mereka tahu bahwa aku tidak ada dalam sekedup,
maka pasti mereka kembali ke tempat aku berada. Demi Allah, ketika aku sedang
berbaring, tiba-tiba Shafwan bin Muaththal as-Sulami berjalan melewatiku. Dia
tertinggal dari rombongan karena memenuhi beberapa keperluannya, sehingga ia
tidak bermalam bersama yang lain, ia melihat bayangan hitam diriku, lalu ia
mendatangiku dan berdiri di dekatku. Ia pernah melihatku ketika hijab belum
diwajibkan kepada kami. Pada saat ia melihatku, ia berkata: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Istri
Rasulullah Saw.!” Waktu itu aku menutupi diriku dengan pakaianku. Shafwan bin
Muaththal as-Sulami bertanya, “Mengapa engkau tertinggal, semoga Allah
merahmatimu?” Aku tidak menjawab pertanyaanya. Ia dekatkan untanya kepadaku
sambil berkata, “Naiklah ke atasnya!” Ia pun menjauh dariku, lalu aku
menaikinya. Setelah aku berada di atas unta, ia memegang kepala unta, lalu
berjalan dengan cepat agar dapat menyusul kaum Muslimin. Demi Allah, kami tidak
berhasil menemukan mereka, dan mereka juga tidak merasa kehilanganku hingga
esok hari, bahkan hingga mereka sampai di Madinah.”
“Ketika mereka sedang
istirahat di Madinah, tiba-tiba mereka melihat Shafwan bin Muaththal as-Sulami
datang dengan menuntun unta, sedang aku berada di atasnya. Saat itulah, para
penyebar berita bohong mengucapkan perkataan mereka. Akhirnya orang-orang pun
gempar. Namun, demi Allah, aku tidak tahu apa-apa tentang hal tersebut.”
“Kamipun tiba di
Madinah, dan setelah itu aku sakit. Selama aku sakit, aku tidak pernah lagi
mendapatkan informasi yang beredar di luar. Berita tentang diriku ini
sebenarnya telah didengar oleh Rasulullah Saw. dan kedua orang tuaku. Namun,
mereka tidak menceritakan sedikitpun kepadaku. Anehnya lagi, aku tidak
merasakan keramahan dan kelemah-lembutan beliau, sebab jika aku sakit, beliau
biasanya menyayangiku dan bersikap lemah-lembut. Namun, dalam sakitku kali ini,
beliau tidak memperlihatkan keramahan dan kelemah-lembutannya. Apabila beliau
masuk ke tempatku, sedang di sampingku ada ibuku yang sedang merawatku, beliau
hanya berkata: “Bagaimana keadaanmu?” tidak lebih dari itu.”
“Ketika aku melihat
adanya perubahan sikap pada diri Rasulullah Saw. kepadaku, maka aku menjadi
sedih tidak karuan.”
“Aku berkata: “Wahai
Rasulullah, bagaimana kalau engkau mengizinkanku pindah ke rumah ibuku agar aku
dirawat ibuku?” Rasulullah Saw. bersabda: “Ya, tidak apa-apa.” Kemudian aku pun
pindah ke rumah ibuku, dan selanjutnya aku tidak tahu lagi apa yang terjadi di
luar hingga aku sembuh setelah sakit selama dua puluh tiga hari lebih. Kami
para wanita Arab tidak membuat WC di dalam rumah seperti yang dilakukan
orang-orang non-Arab, sebab kami tidak begitu menyukainya, dan kami lebih suka
pergi ke tanah lapang di Madinah. Jika para wanita ingin buang hajat, maka
mereka pergi keluar rumah tiap malam hari.”
“Pada suatu malam, aku
keluar rumah untuk memenuhi hajat ditemani Ummu Misthah bintu Abu Rahm bin
Abdul Muththalib bin Abdul Manaf. Demi Allah, Ummu Misthah berjalan bersamaku,
tiba-tiba ia jatuh karena tersangkut pakaiannya, yaitu kain yang biasa dipakai
para wanita untuk menutupi tubuhnya. Ia berkata: “Celaka Misthah!” Aku berkata:
“Demi Allah, sungguh jelek perkataanmu terbadap salah seorang di antara kaum
Muhajirin yang turut hadir pada perang Badar.” Ummu Misthah berkata: “Apakah
berita itu belum sampai kepadamu, wahai putri Abu Bakar?”Aku bertanya: “Berita
yang mana?” Ummu Misthah bercerita kepadaku tentang isu yang diciptakan oleh
para penyebar berita bobong. Aku bertanya kepada Ummu Misthah: “Apakah isu ini
telah menyebar? ” Ummu Misthah menjawab: “Ya, demi Allah, isu ini telah
menyebar.” Mendengar itu, maka demi Allah, aku pun tidak jadi buang bajat, dan
aku segera pulang ke rumah. Demi Allah, aku terus-menerus menangis hingga aku
mengira tangisan itu akan membelah jantungku karena marah. Aku berkata kepada
ibuku: “Semoga Allah mengampunimu, orang-orang di luar membicarakan diriku,
namun engkau tidak bercerita sedikitpun kepadaku?” Ibuku berkata: “Wahai
putriku, kamu tidak usah menganggap berat masalah yang menimpamu ini. Demi
Allah, jika ada istri cantik yang dicintai suaminya, dan suaminya mempunyai
istri-istri yang lain, maka mereka dan orang-orang yang lain pasti membicarakan
istri yang cantik tersebut.”
“Tanpa
sepengetahuanku, Rasulullah Saw. berdiri untuk berkhuthbah di hadapan banyak
orang. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya. Selanjutnya beliau bersabda:
“Wahai manusia, mengapa orang-orang menyakitiku dengan menyakiti keluargaku,
dan mengatakan sesuatu yang tidak benar tentang mereka. Demi Allah, padahal
setahuku keluargaku adalah orang baik. Mengapa pula mereka mengatakan yang
tidak benar tentang orang laki-laki yang demi Allah, aku tidak mengetahui
padanya kecuali kebaikan, dan ia tidak pernah memasuki salah satu rumahku
kecuali bersamaku.”
“Orang yang amat
gencar menyebarkan berita bohong ini adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Ia
menyebarkan di kalangan orang-orang Khazraj bersama Misthah dan Hamnah bintu
Jahsy. Hamnah bintu Jahsy turut menyebarkan berita bohong mengingat saudara
perempuannya, yaitu Zainab bintu Jahsy adalah istri Rasulullah Saw., dan di
antara istri-istri beliau tidak ada yang menyaingi kedudukanku di sisi beliau
selain dia. Sedangkan Zainab bintu Jahsy sendiri, Allah Swt. masih
melindunginya, sehingga ia tidak mengatakan kecuali yang baik-baik. Adapun
Hamnah bintu Jahsy, maka ia turut menyebarluaskan berita bohong ini dan
melawanku karena hendak membela saudara perempuannya. Akibatnya, ia rugi
sendiri. Isu yang tersebar itu semuanya bohong belaka, buah dari konspirasi
jahat yang dirancang oleh pikiran setan, yang dibutakan oleh kebencian.”
“Setelah Rasulullah
Saw. bersabda sebagaimana di atas, Usaid bin Hudhair berkata: “Wahai
Rasulullah, jika mereka yang menyakitimu itu adalah orang-orang Aus, maka kami
akan melindungimu dari mereka. Dan jika mereka yang menyakitimu itu adalah
saudara-saudara kami orang-orang Khazraj, maka perintahkan kami sesuai
perintahmu, sebab demi Allah, mereka pantas dipenggal lehernya!” Sa'ad bin
Ubadah berdiri -sebelumnya, ia terlihat baik- kemudian berkata kepada Usaid bin
Hudhair, “Demi Allah, engkau bohong, jangan penggal leher mereka. Engkau
berkata seperti itu, karena engkau mengetahui bahwa mereka yang menyebarkan
berita bohong itu adalah orang-orang Khazraj. Seandainya mereka berasal dari
kaummu, niscaya engkau tidak akan berkata seperti itu.” Usaid bin Hudhair
berkata kepada Sa'ad bin Ubadah, “Demi Allah, engkau bohong, hanya orang-orang
munafiklah yang akan membela orang-orang munafik.” Setelah itu, orang-orang pun
saling berhadapan, sehingga nyaris terjadi kekacauan di antara kedua kabilah
Aus dan Khazraj.”
“Rasulullah Saw. turun
dari atas mimbar, lalu beliau menemuiku. Beliau memanggil Ali bin Abi Thalib
ra. dan Usamah bin Zaid ra. Kemudian beliau meminta pendapat keduanya.”
“Adapun Usamah bin
Zaid, maka ia menyanjungku dan berkata baik tentang diriku. Usamah bin Zaid
berkata, “Wahai Rasulullah, ia istrimu, dan kami tidak mengetahui padanya
kecuali yang baik-baik saja. Tentang isu yang beredar ini hanya kebohongan dan
kebatilan.” Sedang Ali bin Abi Thalib berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
wanita masih banyak, engkau mampu mencari wanita pengganti. Kalau tidak
percaya, tanyakan kepada budak wanita, niscaya ia akan membenarkanmu.”
Rasulullah Saw. memanggil Barirah untuk bertanya kepadanya (Barirah adalah
budak wanita Aisyah). Ali bin Abi Thalib pergi kepada Barirah dan memukulnya
dengan pukulan keras sambil berkata, “Berkatalah jujur kepada Rasulullah.”
Barirah berkata, “Demi Allah, aku tidak mengetahui pada Aisyah kecuali yang
baik-baik saja. Aku tidak pernah mencela sesuatu pada Aisyah melainkan karena
aku pernah membuat adonan roti kemudian aku menyuruh Aisyah menjaganya, namun
ia tidur hingga akhirnya kambing datang dan memakan adonan roti tersebut.”
“Rasulullah Saw.
menemuiku. Ketika itu, aku sedang ditemani oleh kedua orangtuaku dan salah
seorang wanita dari kaum Anshar. Aku menangis dan seorang wanita dari kaum
Anshar itu ikut menangis. Rasulullah Saw. duduk, lalu beliau memuji Allah dan
menyanjung-Nya, kemudian bersabda: “Wahai Aisyah, kamu pasti telah mendengar
omongan orang-orang tentang dirimu, karenanya, bertakwalah kepada Allah. Dan
jika kamu telah mengerjakan kesalahan sebagaimana omongan orang-orang, maka
bertaubatlah kepada Allah. Sebab Allah pasti menerima taubat hamba-Nya.” Sabda
Rasulullah Saw. ini membuat air mataku jatuh berderai tanpa aku sadari. Aku
menunggu kedua orang tuaku menjawab pertanyaan beliau mewakiliku. Namun,
keduanya tidak berkata sepatab kata pun. Demi Allah, diriku terlalu hina, dan
persoalanku terlalu kecil kalau misalnya tentang masalahku ini Allah menurunkan
al-Qur’an yang akan dibaca di masjid-masjid dan dijadikan bacaan ketika shalat.
Namun, aku tetap berharap Rasulullah Saw. bermimpi di mana Allah tidak membenarkan
omongan orang-orang tentang diriku. Sebab Allah tahu tentang kesucianku, atau
Allah memberitahukan sesuatu kepada beliau. Adapun berharap turunnya al-Qur'an
tentang masalahku, maka demi Allah, harapan itu terlalu jauh mengingat diriku
yang sangat hina ini! Ketika kulihat kedua orang tuaku tidak berbicara, maka
aku berkata kepada keduanya, “Mengapa kalian tidak menjawab pertanyaan
Rasulullah Saw.?” Kedua orang tuaku berkata, “Demi Allah kami tidak tahu harus
menjawab apa?” Demi Allah, aku tidak tahu ada keluarga yang mendapat ujian
seperti yang sedang dihadapi keluarga Abu Bakar saat ini.”
“Ketika kedua orang
tuaku tidak berkata sepatah kata pun tentang diriku, aku sangat sedih, lalu
menangis. Aku berkata kepada Rasulullah Saw. “Demi Allah, selamanya aku tidak
akan bertaubat kepada Allah dari apa yang telah kamu katakan. Demi Allah, jika
aku mengakui apa yang dikatakan mereka, padahal Allah mengetahui bahwa aku
bersih dari tuduhan itu, maka hal itu sama artinya bahwa aku mengatakan sesuatu
yang tidak pernah aku lakukan. Dan kalau aku mengingkari omongan mereka,
niscaya merekapun tidak akan mempercayaiku.” Aku mencari nama Ya'qub, namun
tidak menemukannya. Akan tetapi aku akan mengatakan seperti yang pernah
diucapkan oleb ayah Yusuf,
“Maka kesabaran yang
baik itulah (kesabaranku), dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya
terhadap apa yang kalian ceritakan.” (TQS. Yusuf [12]: 13)
Demi Allah, Rasulullah
Saw. tetap tidak beranjak dari dudukiya. Tiba-tiba beliau pingsan (sepertinya
beliau hendak memperoleh wahyu). Lalu, beliau diselimuti dengan pakaiannya, dan
bantal dari kulit diletakkan di bawah kepalanya. Ketika aku melihat hal tersebut,
demi Allah, aku tidak kaget dan memperdulikannya, sebab aku yakin bahwa aku
bersih dari tuduhan itu, dan percaya bahwa Allah tidak akan menzhalimiku.
Sedang kedua orang tuaku, maka demi jiwa Aisyah yang berada dalam
kekuasaan-Nya, keduanya tidak senang dengan apa yang terjadi pada Rasulullah
Saw. sampai aku menduga bahwa keduanya akan pingsan, sebab keduanya takut
datang sesuatu dari Allah yang membenarkan omongan orang-orang. Kedua orang
tuaku kelihatan senang dengan keadaan Rasulullah Saw. Beliau duduk sedang
keringatnya menetes dari badan beliau seperti biji intan berlian di musim
hujan. Kemudian, mulailah beliau mengusap keringat dari keningnya, lalu
bersabda: “Wahai Aisyah, bergembiralah, sebab Allah telah menurunkan ayat
tentang kesucianmu.” Aku pun berkata, “Alhamdulillah!”
Kemudian beliau pergi
menemui orang banyak, lalu beliau berkhuthbah di hadapan mereka, dan beliau
membacakan kepada mereka ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada beliau terkait
dengan isu yang sedang beredar. Setelah itu beliau memanggil Misthah bin Atsatsah,
Hassan bin Tsabit, dan Hamnah bintu Jahsy, mereka di antara orang-orang yang
turut menyebarkan berita bohong tersebut. Kemudian mereka pun dikenakan hukuman
had. Ibnu Ishak berkata dari beberapa orang Bani Najjar: “Bahwa Abu Ayyub bin
Khalid bin Zaid ditanya oleh istrinya, Ummu Ayyub, “Wahai Abu Ayyub, apakah
kamu tidak mendengar omongan orang-orang tentang Aisyah?”Abu Ayyub bin Khalid
bin Zaid berkata, “Ya, aku telah mendengarnya, namun itu tidak benar. Apakah
kamu juga ikut menyebarkannya, wahai Ummu Ayyub?” Ummu Ayub berkata, “Tidak,
demi Allah, aku tidak akan pernah melakukan hal itu. ” Abu Ayyub bin Khalid bin
Zaid berkata, “Demi Allah, Aisyah jauh lebih baik daripadamu.”
Turunlah ayat
al-Qur'an yang menyebutkan tentang orang-orang berdosa yang turut menyebarkan
berita bohong. Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga.
Janganlah kalian kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian, bahkan ia baik
bagi kalian. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang
dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang andilnya paling besar dalam
menyebarkan berita bohong itu maka baginya adzab yang besar. Mengapa di waktu
kalian mendengar berita bohong itu orang-orang Mukmin dan Mukminat tidak
bersangka baik terhadap diri mereka sendiri dan (mengapa tidak) berkata, “Ini
adalah suatu berita bohong yang nyata.“ (TQS. an-Nur [24]: 11-12)
Kemudian Allah Swt.
berfirman:
“(Ingatlah) di waktu
kalian menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kalian katakan dengan
mulut kalian apa yang tidak kalian ketahui sedikit juga, dan kalian
menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal ia di sisi Allah adalah besar.”
(TQS. an-Nur [24]: 15)
Ketika ayat tentang
Aisyah dan orang-orang yang menyebarkan berita bohong turun, maka Abu Bakar
-yang sebelumnya menanggung nafkah Misthah karena ia masih kerabat dan miskin-
berkata, “Demi Allah, selamanya aku tidak akan memberikan sesuatu apapun kepada
Misthah, dan tidak akan membantunya, setelah ia berandil besar menyebarkan
berita bohong tentang Aisyah dan membuat cobaan dalam keluarga kami.”
Kemudian Allah Swt.
menurunkan ayat tentang ucapan Abu Bakar ini.
“Dan janganlah
orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah
bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat, orang-orang
yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah
mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni
kalian? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (TQS. an-Nur [24]: 22)
Setelah itu, Abu Bakar
berkata: “Ya, tentu saja bahwa aku ingin Allah Swt. mengampuniku.” Akhirnya Abu
Bakar kembali lagi memberi nafkah kepada Misthah seperti sebelumnya. Dan
berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menghentikan pemberian nafkah ini selamanya.”
Kasus berita bohong
itu merupakan episode perang urat saraf yang secara politik telah dirancang
oleh orang-orang Yahudi dan konco-konconya, yaitu orang-orang munafik untuk
melawan Negara Islam. Ketika kita perhatikan seperti apa pengaruh penyebaran
berita bohong ini terhadap kehidupan bangsa Arab, ternyata pengaruh yang
ditimbulkannya sangatlah besar. Orang-orang munafik mampu menyesatkan
individu-individu kaum Muslimin, akibatnya mereka tanpa disadari telah turut
membantu orang-orang munafik dalam menyebarkan berita bohong tersebut.
Orang-orang munafik
sangat serius dalam menyebarkan berita bohong ini, sehingga gemanya menyebar
dengan cepat di seluruh penjuru Negara Islam. Sedang mereka sendiri mengetahui
bahwa omongan itu tidak memiliki sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun,
mereka terus saja menyebarkannya, meski mereka yakin bahwa Rasulullah Saw.
sekali-kali tidak akan menjalankan had zina terhadap istrinya, Aisyah, dan
Shafwan bin Muaththal as-Sulami yang juga sebagai tertuduh, sebab tidak
terpenuhinya bukti-bukti materiil atas tuduhan itu. Akan tetapi mereka
-Abdullah bin Ubay bin Salul dan konco-konconya dari kalangan orang-orang
munafik dan Yahudi-
tetap menyebarkannya, dan bahkan memperbesar isu tersebut, yaitu bahwa Muhammad
menyembunyikan pelaku tindak kriminal terbesar -kriminal zina- sebab yang
menjadi terdakwanya adalah istrinya sendiri.
Tindakan ini mereka
lakukan untuk mencemarkan Rasulullah Saw. sebagai seorang Nabi, dan sebagai
kepala negara. Adapun pencemaran terhadap beliau sebagai seorang Nabi adalah
jikalau Muhammad itu benar-benar seorang Nabi, niscaya tidak mungkin ia
membiarkan pelaku zina tinggal di dalam rumahnya, apalagi menjadikannya sebagai
istri. Sedang pencemaran terhadap beliau sebagai kepala negara adalah bahwa
keadilan dan persamaan manusia di hadapan syara’
(hukum)
yang diserukan Muhammad segera berubah kesannya jika menyangkut kepentingannya
sendiri. Dengan begitu, beliau yang seharusnya sebagai pelindung hukum,
justru beliau sendiri orang pertama yang melanggarnya. Hal seperti ini tidak
pantas dilakukan oleh orang yang memiliki tanggung jawab luas (kekuasaan penuh)
dalam negara. Sehingga, pantaskah beliau sebagai seorang kepala negara
melakukan hal seperti itu?
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw.,
Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar