d. Perang Dzu Qarad
Setibanya Rasulullah
Saw. di Madinah dari Bani Lihyan, Rasulullah Saw. tidak tinggal di Madinah
kecuali beberapa hari, sebab tidak lama setelah itu, Uyainah bin Hishn bin
Hudzaifah bin Badar al-Fazari bersama pasukan berkuda dari Ghathfan menyerang
unta yang bersusu subur milik Rasulullah Saw. di al-Ghabah. (Al-Ghabah adalah
tempat dekat Madinah dari arah Syam)
Di tempat itu ada
putra Abu Dzar al-Ghifari dan istri Abu Dzar. Mereka membunuh laki-laki itu,
sedang istri Abu Dzar mereka bawa dengan meletakkannya di atas unta yang
bersusu subur tersebut.
Orang yang pertama
kali mengetahui tentang Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah bin Badar al-Fazari dan
pasukannya, dan yang bersiap-siap untuk menghadapinya
adalah Salamah bin Amr bin Akwa' as-Sulami. Sehingga, pagi-pagi sekali ia pergi
ke al-Ghabah dengan membawa busur panah dan anak panahnya, ia pergi dengan
ditemani budak milik Thalhah bin Ubaidillah yang menuntun kudanya.
Ketika Salamah berada
di atas Tsaniyatul Wada', ia melihat kuda-kuda mereka. Lalu, ia mendaki Sal'u
dan berteriak, “Wahai indahnya pagi ini.” Kemudian, Salamah bin Amr yang tidak
ubahnya binatang buas dengan cepat mengejar mereka, hingga berhasil menyusul
mereka.
Lalu, ia mulai
menyerang mereka dengan anak panah. Dan setiap kali memanah ia berkata,
“Ambillah anak panah ini! Aku putra Akwa’. Sekarang adalah hari kematian bagi
orang-orang yang curang.” Dan apabila pasukan berkuda Uyainah bin Hishn datang
ke arahnya, maka ia pun lari menghindar dari mereka. Jika ia punya kesempatan
memanah, maka ia gunakan kesempatan itu untuk memanah mereka, lalu ia berkata,
“Ambillah anak panah ini! Aku putra Akwa'. Sekarang adalah hari kematian bagi
orang-orang yang curang.“ Itulah yang terjadi hingga salah seorang dari mereka
berkata, “Aduh! Sungguh sial betul keadaan kita sejak pagi hari.”
Ketika informasi
tentang teriakan Ibnu Akwa' ini sampai pada Rasulullah Saw., maka beliau
menyeru, “Tolong, tolong!” Mendengar seruan Rasulullah Saw. itu, para pasukan
berkuda Rasulullah Saw. memacu kudanya menuju beliau. Sedang orang pertama dari
para pasukan berkuda yang sampai pada beliau Saw. adalah Miqdad bin Amr,
berikutnya Ubbad bin Bisyr bin Waqsy, Sa’ad bin Zaid, Usaid bin Zhuhair,
Ukkasyah bin Mihshan, Muhriz bin Nadhlah, Abu Qatadah Harits bin Rib'i, dan Abu
Ayyas Ubaid bin Zaid. Setelah mereka semua berkumpul, Rasulullah Saw.
mengangkat Sa’ad bin Zaid sebagai pemimpin mereka. Kemudian, beliau bersabda, “Pergi, kejar mereka, sampai kamu berhasil mendapatkan
mereka.”
Fenomena di atas ini
menunjukkan bahwa Negara Islam memiliki kekuatan (pasukan) gerak cepat yang
senantiasa siap siaga untuk digerakkan. Rasulullah Saw. menggerakkan pasukan
itu ke tempat yang beliau inginkan, ketika memang diperlukan.
Setelah pasukan
berkuda kaum Muslimin berhasil menyusul pasukan Uyainah bin Hishn, maka Abu
Qatadah Harits bin Rib’i membunuh Hubaib bin Uyainah bin Hishn, lalu
menutupinya dengan kain burdah milik Abu Qatadah. Kemudian, Abu Qatadah
mengejar mereka yang lain. Bersamaan dengan datangnya Rasulullah Saw. di
tengah-tengah kaum Muslimin, tiba-tiba ditemukan Hubaib dengan ditutupi kain
burdah milik Abu Qatadah, sehingga spontan mereka berkata, “Innalillahi
wa inna ilaihi raji'un”, Abu Qatadah telah terbunuh!” Rasulullah Saw.
bersabda, “Ini bukan mayat Abu Qatadah, namun mayat orang yang telah dibunuh
oleh Abu Qatadah. Abu Qatadah sengaja meletakkan kain burdahnya di atas mayat
ini agar kalian mengetahui bahwa dialah yang membunuhnya.”
Ukkasyah bin Mihshan
berhasil mengejar Aubar dan anaknya, Amr bin Aubar, di mana keduanya berada di
atas satu unta, lalu Ukkasyah bin Mihshan menusuk keduanya dengan tombak hingga
keduanya tewas. Akhirnya, kaum Muslimin berhasil menyelamatkan beberapa unta
yang bersusu subur, yang sebelumnya dibawa kabur oleh pasukan Uyainah bin
Hishn.
Rasulullah Saw. terus
bergerak hingga sampai di gunung daerah Dzu Qarad, dan di tempat ini beliau
bertemu dengan pasukan Uyainah bin Hishn. Rasulullah Saw. tinggal di tempat ini
sehari semalam.
Salamah bin Akwa’
berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, jika
engkau mengirim aku bersama seratus orang, maka aku pasti mampu menyelamatkan
sisa-sisa unta yang bersusu subur yang belum berhasil diselamatkan, dan aku
akan memenggal kepala mereka.” Rasulullah Saw. bersabda “Sekarang mereka
sedang menikmati jamuan sore dengan susu di Ghatfan.” Dalam riwayat lain,
beliau bersabda pada Salamah bin Akwa’, “Aku percaya kamu mampu, tapi sudahlah!
Sekarang mereka sedang menikmati jamuan sore dengan minum susu di Ghatfan.”
Rasulullah Saw.
menolak keinginan Salamah bin Akwa’ untuk mengejar mereka karena dua alasan:
Pertama, sesungguhnya
peperangan ini bukan peperangan dalam rangka pembersihan. Untuk itu cukup
dengan memperlihatkan kepada musuh akan kekuatan pasukan Negara Islam, dan
membuktikan kepada musuh bahwa Negara Islam mampu memukul balik dan
menghancurkan musuh kapan saja Negara Islam menginginkan hal itu.
Kedua, sesungguhnya
orang-orang Ghathfan memiliki kekuatan (pasukan) tempur yang memadai, sehingga
Rasulullah Saw. tidak ingin berhadapan dengannya melalui peperangan yang justru
akan memperkecil kekuatan pasukan beliau, sebab pasukan ini beliau persiapkan
untuk peperangan-peperangan dalam rangka pembersihan yang telah Rasulullah Saw.
rencanakan.
Sebagai pesta kemenangan,
dan sebagai penghargaan atas kerja keras para pahlawan, Rasulullah Saw. membuat
jamuan untuk mereka di tempat mereka mendapatkan kemenangan. Mereka membuat
acara makan-makan, dan memuji Allah atas nikmat yang dikaruniakan kepada
mereka. Kemudian, Rasulullah Saw. membawa para sahabat kembali ke Madinah.
Istri Abu Dzar
al-Ghifari datang kepada Rasulullah Saw. dengan mengendarai unta milik
Rasulullah Saw., sesampainya di hadapan Rasulullah, ia bercerita kepada beliau,
setelah selesai bercerita, ia berkata,
“Wahai Rasulullah, aku
telah bernadzar kepada Allah untuk menyembelih untaku ini jika Allah
menyelamatkanku di atas unta.” Rasulullah Saw. tersenyum, lalu bersabda,
“Sungguh jelek sekali balas budimu, setelah Allah melindungimu dan
menyelamatkanmu dengan mengendarai unta ini, lalu kamu akan menyembelihnya!
Tidak ada nadzar untuk bermaksiat kepada Allah, dan untuk sesuatu yang kamu
tidak memilikinya. Sesungguhnya unta ini adalah untaku, sekarang pulanglah pada
keluargamu dengan membawa berkah Allah.” Dengan demikian, Rasulullah Saw. tidak
pernah melupakan pengajaran tentang perangai dan akhlak.
Sumber: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw.,
Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar