Risiko Pengorbanan Dalam Memperjuangkan Islam
Ingin Berjuang Tanpa
Resiko?
Ada sebuah hadits
[hasan-gharib/munkar/munqathi’*] yang menyatakan, artinya:
"Tidaklah patut
seorang mukmin itu menghinakan dirinya".
Para shahabat bertanya:
'Bagaimana dia
menghinakan dirinya?'
Rasulullah Saw. menjawab:
"Dia melibatkan
diri pada permasalahan yang ia tidak mampu menghadapinya".
Sebagian kaum muslimin menjadikan hadits ini sebagai dalil
bahwa seorang muslim seyogyanya menjauhkan diri dari permasalahan-permasalahan
yang berat. Lebih jauh, mereka mengambil hadits ini sebagai rukhshah (keringanan syara') untuk meninggalkan sebagian
kewajiban dan mengerjakan sebagian dari hal-hal yang diharamkan --demi
menjauhkan diri, agar tidak terlibat dalam permasalahan yang penuh resiko.
Misalnya, perjuangan politik untuk menegakkan daulah Islam, tentu akan membawa
pelakunya kepada ancaman para penguasa; mulai dari penjara, dipecat dari
pekerjaan, sampai penyiksaan secara fisik. Pertanyaannya, apa benar bahwa di
dalam hadits tersebut, ada rukhshah untuk meninggalkan usaha da'wah dalam
keadaan seperti ini dan berdiam diri terhadap sistem kufur yang sedang berlaku
di seluruh dunia Islam sekarang?
*Sebelum membicarakan fiqh hadits tersebut di atas, terlebih
dahulu akan kita bicarakan sanadnya; untuk mengetahui apakah benar hadits tersebut
telah diucapkan Rasulullah Saw.? Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi,
Ibnu Majah dan Imam Ahmad. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa Hadits ini adalah
hadits Hasan-gharib. Tentang hadits tersebut, Ibnu Abi Hatim berkata
bahwa ini adalah hadits munkar (tertolak)'. Sedangkan menurut Al Albani,
"Itu adalah hadits munqathi' (terputus sanadnya)". Lebih
lanjut beliau menambahkan: "Ada hadits marfu' dari Ibnu 'Umar yang mirip
dengan hadits ini, yang di dalam sanadnya ada Zakaria bin Yahya Al
Madaîni".
Tentang orang ini, Al Albani berkomentar bahwa jika yang
dimaksud adalah Abu Yahya Al Lu`lu`i (Abu Yahya AlMadaini), berarti hadits
tersebut adalah shahih. Dengan kata lain, beliau menggantungkan keshahihan
hadits tersebut dengan syarat ini. [Lihat Nashiruddin Al Albani, "Silsilatul
Ash Shahihah" II/172]
Tentang putusnya sanad pada alasan pertama, cukup kuat diterima.
Sedangkan pada alasan kedua, di dalam sanadnya terdapat perawi majhul (tidak
diketahui). Sehingga tidak boleh menjadikan hadits seperti ini sebagai dalil,
karena memang belum mencapai tingkatan riwayat yang shahih atau hasan. Walaupun
sebagian Perawi hadits mengatakannya hasan, tentulah karena mereka tidak
mengetahui cacat yang tersembunyi dalam hadits ini.
Ini dari segi sanad. Adapun dari segi makna (mafhum hadits),
kita harus memahaminya melalui konteks hadits-hadits yang shahih serta
ayat-ayat suci yang menjelaskan masalah ini. Tentang ungkapan pada ujung hadits
tersebut:
"melibatkan diri pada permasalahan yang ia tidak mampu
menghadapinya". Harus difahami secara syar'i untuk
menentukan apa sebenarnya batas kemampuan, dan tindakan apa yang dianggap oleh
syara' "di luar kemampuan".
Adapun hal-hal yang di luar kemampuan manusia, itu jelas
tidak diwajibkan syara' atasnya. Sesuai dengan apa yang tertera dalam surat Al
Baqarah ayat 286, artinya:
"Allah tidak membebani (sesuatu) pada seseorang,
melainkan sesuai dengan kemampuannya".
Oleh karena itu, tidak boleh membiarkan setiap individu
menentukan sendiri batas kemampuan atau batas kesanggupan sesuai dengan
keinginan hawa nafsunya. Tetapi yang menentukannya adalah syara' semata. Untuk
pemahaman yang lebih lanjut, marilah kita menelaah kembali tafsir ayat 106 dari
surat An Nahl yang artinya:
"Siapa saja yang kufur kepada Allah setelah ia beriman,
kecuali seseorang yang dipaksa sedangkan hatinya tetap teguh dengan iman".
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan [Lihat Tafsir
Ibnu Katsir, jilid II, hal.588-589]: "Orang-orang Musyrik Quraisy
menangkap 'Ammar bin Yasir, lalu mereka menyiksanya sampai ia berbohong untuk menuruti
sebagian keinginan mereka. Kemudian ia adukan hal tersebut kepada Nabi Saw. "Bagaimana
kau mendapati hatimu?", tanya beliau. "Tetap teguh dengan
Iman", jawabnya. Lalu Rasulullah bersabda: "Kalau mereka
mengulangi lagi perbuatannya, maka ulangilah sikapmu itu".
Ibnu Katsir kemudian menambahkan: ["Oleh karena itu,
para Ulama telah sepakat bahwa seseorang yang dipaksa kufur, dibolehkan baginya
menuruti keinginan pihak yang memaksanya, demi keselamatannya. Boleh juga ia
menolak, seperti yang dilakukan Bilal ra, yang mengabaikan mengucapkan
kata-kata kufur, walaupun mereka melakukan berbagai penyiksaan terhadapnya.
Bilal hanya mengucapkan "Ahad" berkali-kali, sambil mengatakan:
"Kalau aku tahu ada satu kata lain, yang akan menyebabkan kalian lebih
marah, tentulah akan aku katakan!" Radliallahu Anhu. Demikian juga yang
dilakukan oleh Habib bin Zaid Al Anshari terhadap pertanyaan Musailamah Al
Kadzdzab kepadanya: "Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu
Rasulullah?" "Ya, benar", jawabnya. Kemudian Musailamah bertanya
lagi: "Apakah engkau juga bersaksi bahwa Aku ini Rasulullah? Dia menjawab:
"Itu tidak pernah kudengar". Lalu Musailamah menyiksanya dengan cara
memotong-motong tubuhnya hidup-hidup (dicincang), sedangkan Habib bin Zaid
tetap teguh dengan sikapnya itu.]
Ibnu Katsir menambahkan: ["Lebih utama dan lebih baik
bagi seorang Muslim tetap teguh memegang agamanya, sekalipun akhirnya ia
dibunuh, seperti yang dikatakan juga oleh Al Hafidz ibnu 'Asakir dalam menulis
catatan biografi Abdullah ibn hudzafah As Sahmi"]
Bertolak dari penjelasan tersebut di atas, maka seorang
Muslim tidak boleh meninggalkan fardlu atau melakukan perbuatan haram/maksiyat,
kecuali apabila dihadapkan kepada suatu cobaan yang sungguh-sungguh tidak
sanggup ditanggungnya. Batas kemampuan dan kesanggupan itu adalah apa yang
disebut oleh syari'at Islam dengan istilah "Al Ikraahul Mulji'",
yaitu paksaan yang mendorong seorang muslim untuk melanggar ketentuan hukum
syara', yang ia benar-benar disiksa/disakiti. Atau, ia mengira dengan pasti
bahwa ia akan disiksa dengan siksaan yang sangat mengkhawatirkan kematiannya
atau menyebabkan kelumpuhan, misalnya patah tulang-tulangnya, tubuhnya
dicincang dan sebagainya.
Siksaan semacam itulah yang dapat menimpa seseorang akan
memberinya rukhshah untuk mengerjakan sebagian perbuatan haram/maksiyat
dan bukan setiap perbuatan maksiyat yang diharamkan. Itupun dengan syarat:
tidak mendorongnya untuk melakukan perbuatan haram lainnya yang lebih besar
atau yang serupa dengannya. Misalnya, ia dipaksa menjadi mata-mata, disuruh
membunuh orang, atau melakukan homoseks dengan narapidana, atau membocorkan
rahasia penting gerakan dakwah yang ia menjadi anggotanya, dan lain lain.
Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh meninggalkan
fardhu atau mengerjakan hal-hal yang haram, hanya karena rasa takut dihina,
dipenjara, atau setelah disiksa dengan siksaan yang ringan, atau karena ingin
mempertahankan pekerjaannya, menyelamatkan hartanya, dan sebagainya. Sebab,
semua ini masih termasuk dalam batas kemampuan manusia dan bukan di luar
kemampuannya. Juga, hal seperti itu belum sampai kepada batas "al Ikraahul
Mulji'", seperti yang telah dijelaskan di atas.
Kalau saja setiap masalah yang memberatkan diri seorang
Muslim terdapat rukhshah baginya untuk meninggalkan semua fardlu/ kewajiban dan
mengerjakan perbuatan-perbuatan haram/ maksiyat, tentulah Islam tidak dapat
tegak di bumi ini. Bahkan, tidak akan pernah muncul suatu ummat yang berjuang
secara terus menerus. Cobalah simak sejarah kaum Muslimin yang memperjuangkan
Islam dengan susah payah di masa Rasulallah Saw, sebagaimana yang diceritakan
Al Qurâan sendiri, artinya:
"Sesungguhnya Allah berkenan menerima taubat Nabi, kaum
Muhajirin dan Anshar yang mengikuti Nabi (dalam perang Tabuk), di saat (mereka)
menghadapi kesusahan" (QS At Taubah 117)
Tentang kejadian ini, Imam Ibnu katsir berkata [Lihat Tafsir
Ibnu Katsir, jilid II, hal.397]: "Mereka telah keluar ke perbatasan
Syam pada tahun terjadinya perang Tabuk, di saat panas membara, dalam keadaan
susah-payah yang hanya Allahlah yang mengetahuinya. Mereka sangat menderita,
sehingga telah sampai kepada kita bahwa kadang-kadang dua orang laki-laki
membelah satu buah korma untuk dimakan bersama. Kadang-kadang ada sekelompok
orang yang mengambil satu buah korma, lalu masing-masing mengunyamnya dan
meneguk airnya, lantas digilirkannya kepada yang lain".
Pada saat itu, keluarnya Kaum Muslimin ke medan pertempuran
(perang Tabuk) diwajibkan atas setiap muslim. Oleh karena itu, terhadap tiga
orang dari kalangan shahabat Anshar, yang tidak ikut berangkat bersama
Rasulullah dan kaum muslimin, yaitu Kaab bin Malik, Hilal bin Umayah dan
Mararah bin Rabi'ah dijatuhkan hukuman pemboikotan total atas mereka,
sebagaimana yang diterangkan oleh ayat berikutnya. Kemudian Allah menjelaskan
keutamaan kesabaran dan pengorbanan mereka dengan firmanNya, artinya:
"Tidaklah sepatutnya penduduk Madinah dan orang-orang
Arab badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah
(pergi berperang). Dan tidak patut pula bagi mereka lebih mencintai diri mereka
daripada mencintai diri Rasul. (Orang-orang yang demikian itu tidak mendapatkan
imbalan sebagai mujahidin), yang mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan,
dan kelaparan di jalan
Allah. Dan tidak
(pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang
kafir. Dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada (pasukan) musuh, melainkan
dituliskan bagi mereka dengan yang demikian itu sebagai suatu amal shaleh.
Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan orang-orang yang berbuat baik. Juga,
mereka tidak menafkahkan suatu nafkah yang kecil maupun yang besar dan tidak
melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal yang shaleh
pula). Karena itu, Allah akan memberikan balasan yang lebih baik kepada mereka
daripada apa yang telah mereka kerjakan" (At Taubah:
120-121)
Seorang muslim diwajibkan berjihad/berperang fi sabilillah
sesuai dengan perintah Allah SWT, artinya:
"Diwajibkan atas kalian berperang, padahal itu adalah
suatu hal yang kalian benci" (Al Baqarah:
216)
Jihad itu diwajibkan, walaupun menyebabkan dirinya terbunuh,
terluka, ditawan musuh, atau meninggalkan harta dan orang-orang yang
dicintainya. Melibatkan diri dalam jihad, tidak diserahkan pada semangat
individu. Tidak diperhatikan apakah ia bersedia mengorbankan sesuatu atau
tidak, melainkan ia dipaksa untuk melakukannya. Sebab, Allah SWT berfirman,
artinya:
"Katakanlah: 'Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian,
saudara-saudara kalian, isteri-isteri kalian, keluarga kalian, dan harta benda
yang kalian dapatkan, serta perdagangan yang kalian takutkan kerugiannya, juga
tempat-tempat tinggal yang kamu sukai lebih kalian cintai daripada mencintai
Allah dan RasulNya, serta jihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan azhab dengan perintahnya. Dan Allah tidak akan memberi petunjuk
bagi orang-orang yang fasik" (At Taubah:
24)
Lagi pula Allah berfirman, artinya:
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin itu
diri dan harta mereka dengan memberikan Surga untuk mereka. Maka, hendaklah
mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah
menjadi) janji dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qurâan. Dan siapakah
yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka, bergembiralah kalian dengan
jual beli yang telah kamu lakukan itu. Dan itulah kemenangan yang besar" (At Taubah: 111)
Oleh karena itu, jika seorang Muslim dibebani sikap
pengorbanan dalam urusan jihad fi sabilillah, maka tidak aneh lagi apabila
dalam hal mengerjakan amar ma'ruf dan nahi munkar, ia mempunyai sikap yang sama
atau yang mirip dengannya, seperti mengorbankan semua atau sebagian hartanya,
mengorbankan jiwanya atau menerima siksaan yang menyebabkan tubuhnya terluka
atau cacat selamanya, dan lain sebagainya.
Masalah ini berkaitan dengan nash syara' yang berupa taklif
syar'i (kewajiban) dan tidak dikaitkan dengan keinginan individu untuk
menentukan kemampuan dan kesanggupan sesuai dengan hawa nafsunya. Misalnya
dalam hal mengerjakan amar ma'ruf dan nahi mungkar, atau berjuang untuk
meruntuhkan sistem komunis/sosialis maupun sekularisme yang kufur, atau
berjuang untuk menegakkan negara khilafah Islam yang akan menjalankan urusan umat
berdasarkan apa yang telah diturunkan Allah SWT [Islam]; maka Allah SWT telah
mewajibkan kaum muslimin untuk mengorbankan harta dan diri mereka; di samping
menyabarkan diri dalam menerima cobaan, siksaan, kehinaan, dan kesulitan, serta
senantiasa bersabar dalam menghadapi tantangan tersebut. Sebagaimana sikapnya
dalam melakukan jihad, walaupun hukum-hukum jihad berbeda pembahasannya dengan
hukum-hukum yang menyangkut amar ma'ruf nahi munkar atau hukum-hukum yang
menyangkut tegaknya khilafah Islam.
Tentang sikap pengorbanan dalam melakukan amar ma'ruf dan
nahi munkar, serta dalam usaha menegakkan khilafah Islam, terdapat banyak
hadits dari Rasulullah Saw. yang mengharuskan adanya sikap yang demikian itu,
antara lain sabdanya [Lihat Al Mustadrak, Al Hakim An Naisaburi,
III/195; Al Mu'jam Ash Shaghir, Imam Ath Thabrani, I/264)], artinya:
"Pemimpin para syuhada' itu ialah Hamzah bin Abdul
Muthalib, dan seorang laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa yang lalim,
lalu ia menyuruhnya berbuat baik dan mencegahnya berbuat munkar, kemudian ia
dibunuhnya".
"Jadilah seperti para shahabat 'Isa, yang telah
digergaji dan disalib. Demi Allah, mati dalam keadaan mentaati Allah itu, lebih
baik daripada hidup dalam maksiyat kepadaNya".
"Janganlah
seseorang di antara kalian dihalangi rasa takut kepada masyarakat tidak
menyampaikan kata-kata yang haq, bila ia sudah mengetahuinya". [Shahih Ibnu
Hibban, hadits no.278; dan Sunan Ibnu Majah, hadits no.4007]
"Siapa saja yang melihat (suatu) kemunkaran, maka
hendaklah ia berusaha mengubahnya dengan tangannya. Apabila ia tidak mampu
(dengan tangannya), hendaklah ia berusaha dengan lisannya. Dan apabila ia tidak
mampu juga, hendaklah ia berusaha mengingkari dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemah
Iman" [Shahih Muslim, no.49; Sunan Abu
Dawud, no.1140, 4340; Sunan Tirmidzi hadits no.2173; Sunan An
Nasa'i VIII/111; dan Sunan Ibnu Majah No.4013]
Imam Nawawi menjelaskan hadits ini sebagai berikut [Lihat Syarah
Shahih Muslim, jilid II, hal.21]:
["Adapun sabda beliau: "Hendaklah kalian
mengubahnya", itu merupakan perintah wajib yang telah disepkati oleh
seluruh umat tanpa kecuali. Perintah amar ma'ruf dan nahi munkar ini telah
ditetapkan dalam Al Qurâan, As Sunnah dan Ijma' ummat. Juga, dapat
dikategorikan dalam penyampaian nasehat, yang tidak lain adalah pangkal
agama". Dalam sebuah
hadits Qudsi, Rasulullah Saw. bersabda [Lihat Sunan Ibnu Majah, hadits
no.4008], artinya: "Allah SWT pada hari Kiamat akan bertanya kepada
orang (yang tidak berani menyampaikan kebenaran):
"Apakah yang
membuatmu tidak mau mengucapkan (kebenaran) terhadap keadaan ini dan itu?'
Orang tersebut menjawab: 'Karena takut (kemarahan) masyarakat!' Maka [Dia]
berfirman: 'Akulah Yang lebih baik kamu takuti'"].
Sistem pemerintahan kufur [sistem berakidah sekularisme] yang
sedang berkuasa di negeri-negeri kaum muslimin saat ini adalah kemunkaran yang
terbesar di dunia. Bahkan, itulah pangkal kejahatan yang senantiasa menghalangi
pelaksanaan perbuatan ma'ruf (kebaikan), dan selalu mengembangkan dan
melindungi kemunkaran. Oleh karena itu, pangkal kemungkaran ini harus
dilenyapkan. Ketetapan ini telah diketahui dengan pasti sebagai sesuatu yang Ma'lumun
minad Diini bidldlarurah, yakni hukum yang telah ditentukan oleh Islam
dengan pasti, bahwa sistem pemerintahan seperti itu merupakan puncak
kemunkaran. Tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk tidak mengubah kenyataan
kufur ini, betapapun rendah pengetahuannya.
Setiap muslim, khususnya penguasa batil yang batal demi hukum
Islam, walaupun ia menerapkan sebagian kecil saja dari sistem Islam, bisa saja
ia melakukan upaya untuk menghilangkan
kemungkaran/kekufuran ini dengan cara-cara
syar’i, dan menegakkan kekuasaan Islam di
negeri-negeri kaum Muslimin yang menjalankan urusan pemerintahannya sesuai
dengan apa yang telah diturunkan Allah SWT semata (Islam), bukan apa yang
sering diekspor oleh Barat maupun Rusia ke negeri-negeri kaum Muslimin.
Orang Islam yang tidak mengupayakan hal ini, telah berdosa
dan telah melalaikan kewajiban-kewajiban agamanya. Dosa itu akan berlipat ganda
bagi para penguasa batil yang masih mempercayai Islam, tetapi takut oleh
ancaman oleh negara-negara adidaya bila melaksanakan seluruh hukum dan
peraturan Islam, politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan, maupun hukum dan
perdata. Tidak ada rukhshah/keringanan apapun bagi seorang Muslim untuk tetap
berdiam diri terhadap pelaksanaan kewajiban ini, dengan alasan hadits yang
disebut dalam pertanyaan di atas, ataupun bertolak dari alasan-alasan lain.
Orang-orang yang mencari-cari rukhshah untuk melepaskan
tanggung jawab dan tetap berdiam diri terhadap kondisi parah (sistem
kufur) yang ada, dosanya semakin bertambah, khususnya apabila ia ikut pula
menyebarkan rasa pesimis, rela menerima kehinaan, dan atau merasa bahwa umat
ini sudah tidak berdaya lagi setelah dikalahkan oleh musuh-musuhnya.
Lebih-lebih lagi bila ia mengajak umat untuk tunduk kepada penguasa-penguasa
kafir, zhalim ataupun fasik, serta mengajaknya berkompromi dengan mereka,
padahal para penguasa tersebut belum mengubah sikapnya atau tetap menolak agama
dan sistem Islam yang dapat melestarikan kehidupan negara dan masyarakat sesuai
keridhoan Allah Swt.
Mudah-mudahan para penguasa yang masih Muslim maupun umat
Islam menyadari kewajibannya terhadap tegaknya Islam di muka bumi ini sebagai
suatu kekuatan ideologis yang prima.
Risiko Dalam Memperjuangkan
Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar