Jalan Dakwah Rasulullah Saw.
Dari Manakah Harakah Islam Harus
Mulai?
Dari mana harakah Islam harus mulai memperbaiki keadaan
masyarakat? Apakah dengan terlebihi dahulu memperbaiki individunya, seperti
yang dilontarkan oleh kebanyakan gerakan Islam? Ataukah, dengan memperbaiki
kondisi dan sistem masyarakatnya, sebelum memperbaiki individunya? Atau,
perbaikan itu tidak mungkin berhasil apabila tidak didukung oleh sebuah Negara
yang memperbaiki keadaan masyarakat dan individu? Atau bagaimana?
Fakta menunjukkan bahwa perbaikan terhadap individu tidak
cukup dengan sendirinya dapat memperbaiki masyarakat. Namun ini tidak berarti
bahwa perbaikan individu dapat diremehkan dan dianggap tidak begitu penting.
Sebab, untuk memperbaiki masyarakat, diperlukan upaya besar yang
dititikberatkan pada perubahan sistem yang berlaku di tengah-tengah masyarakat,
perubahan pemikiran dan kebudayaan yang telah mengakar di dalamnya, serta
perasaan individu masyarakat.
Perubahan tersebut tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan
adanya usaha dari suatu kelompok yang berpengaruh di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karena kelompok tersebut terbentuk dari sejumlah individu, tentu harus
diupayakan terlebih dahulu mengubah diri mereka sendiri menjadi orang yang
Shalih sebelum orang lain. Dan
seharusnya upaya dan aktivitas kelompok tersebut tidak terbatas hanya
memperbaiki sekelompok orang lain lalu menjadikannya sebagai bagian dari
kelompok da'wah mereka, tetapi upaya yang paling pokok adalah mengubah
masyarakat yang ada sekarang ini menjadi masyarakat Islam, melalui jalan
pembinaan pemikiran dan perasaan individu-individunya.
Tidak dapat diperselisihkan lagi bahwa kondisi politik dan
ekonomi yang berubah dan berkembang saat ini di negeri-negeri Islam selalu
mengarah kepada suatu kondisi yang tidak sesuai dengan kepentingan umat Islam.
Sering kita dengar banyak analisa terhadap keadaan tersebut dari
intelektual-intelektual Muslim di berbagai negeri Islam. Tetapi di antara
analisa-analisa tersebut yang paling menarik ialah dua pendekatan berikut ini:
(1) Memahami Keadaan Masyarakat. Ada di antara
sebagian intelektual muslim yang mencoba menganalisis dengan cara membahas
problema-problema yang ada sekarang. Mereka yakin bahwa setiap pemecahan suatu
masalah tidak dapat dilakukan kecuali dengan memahami keadaan/fakta masalah
tersebut, persis seperti halnya seorang dokter yang tidak akan memberi obat
sebelum melakukan diagnosa terhadap penyakit yang diderita pasiennya.
(2) Pesimis terhadap Keadaan. Sebagian intelektual
lainnya berusaha menciptakan sikap pesimis terhadap diri kaum muslimin.
Caranya, mereka selalu memperbandingkan kemajuan bangsa-bangsa Barat dengan
kemunduran kaum muslimin saat ini. Mereka sengaja menonjolkan keadaan kaum
muslimin yang payah tersebut dari berbagai aspeknya. Setelah itu mereka tidak
memberikan pemecahan jitu terhadap problema tersebut, bahkan sama sekali tidak
berusaha menyumbangkan jalan keluar untuk mengatasinya. Mereka itu seolah-olah
mengatakan kepada kaum muslimin: "Itulah keadaan umatmu". "Kalian
tidak akan mengalami perubahan!", teriaknya. Terhadap analisa semacam
inilah, kita harus waspada.
Oleh karena itu, telah menjadi kewajiban bagi siapa saja yang
mendambakan suatu kebangkitan kaum muslimin, agar tidak hanya memaparkan
masalah-masalah kaum muslimin, tanpa memberikan pemecahan. Karena sikap seperti
ini tidak akan menyumbangkan suatu pemikiran baru. Tetapi, yang seharusnya
adalah mulai menentukan rencana-rencana yang tepat untuk merancang pemecahan
jitu bagi kaum muslimin dan mengembalikan mereka ke posisi mulia sebagai umat
yang paling unggul di dunia. Dengan cara demikian mereka dapat menjadi umat
yang dikehendaki Allah SWT sebagai "Khaira Ummah" yang dilahirkan dan
menonjol di tengah-tengah umat manusia. Nah, disinilah kemudian timbul
pertanyaan: "Dari mana kita harus mulai?"
Kalau kita meneliti jawaban dari berbagai gerakan Islam
terhadap pertanyaan ini, akan kita dapatkan dua macam pandangan:
Pertama: Perbaikan Individu
Kelompok ini berusaha memperbaiki setiap individu muslim
dengan memfokuskan perhatian yang sangat besar terhadap fondasi
masyarakat. Mereka menganggap manakala
telah didapatkan kesempatan yang cukup untuk memperbaiki fondasi tersebut, maka
kaum muslimin akan kembali mendapatkan kemuliaannya seperti sedia kala. Dan
menurut mereka, "Allah menghindarkan orang-orang Muûmin dari
peperangan" (baca: Surat Al Ahzab: 25)
Kedua: Perbaikan Masyarakat
Kelompok ini beranggapan bahwa usaha yang paling benar adalah
membentuk sebuah negara yang memikul beban da'wah dan melindungi kaum muslimin
dari berbagai penyakit yang mereka derita, serta mengubah masyarakat menjadi
masyarakat Islam yang dengan perubahan itu pasti akan mempengaruhi individu-individunya,
sekaligus memperbaiki keadaan mereka.
Di antara dua pandangan tersebut, terdapat perbedaan metode
sekalipun tujuannya sama yaitu mengembalikan kejayaan umat Islam. Mengingat
tujuan tersebut merupakan keperluan yang sangat penting, maka perlu kita
bicarakan lebih mendalam untuk mengetahui mana yang paling benar.
Sebelum menjawab pertanyaan terakhir ini, terlebih dahulu
kita harus sepakat terhadap satu hal pokok, bahwa Islam telah menentukan dan
menunjukkan kebenaran itu. Di antaranya ialah apa yang tercantum dalam Al
Qurâan, surat An Nisaa ayat 59:
"...(Lalu) jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu
(masalah), maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qurâan) dan Rasul
(sunnahnya)"
Oleh karena itu, dalam rangka menyatukan pendapat, marilah
kita lihat bagaimana Rasulullah Saw. mulai menjalankan da'wah, dan berupaya
menyelamatkan masyarakat jazirah Arab dari perpecahan sosial dan politik,
sehingga mereka dapat bangkit bahkan mampu menaklukkan dunia.
Memang benar bahwa yang pertama kali dilakukan Rasulullah Saw.
adalah membentuk aqidah yang benar pada diri siapa saja yang baru masuk Islam,
disertai dengan memperbaiki tingkah laku mereka. Tetapi, beliau sama sekali
tidak pernah mengatakan bahwa hanya dengan itu saja beliau ingin membentuk
sebuah masyarakat Islam. Kita semua tahu bahwa Rasulullah Saw. selalu keluar
pada setiap musim haji untuk menyampaikan da'wah kepada delegasi-delegasi yang
datang dari berbagai penjuru sekitar kota Mekkah agar mereka memeluk Islam. [Lihat
Sirah Ibnu Hisyam Jilid I, halaman 422-427]
Mengapa beliau menyampaikan da'wah kepada qabilah-qabilah
tersebut, padahal penduduk Quraisy sendiri belum seluruhnya menerima Islam?
Tidakkah kita melihat bahwa beliau tidak pernah mengatakan: "Aku akan membatasi usahaku pada
individu masyarakat Makkah saja dengan memperbaiki tingkah laku mereka, dan
dengan jalan itu Islam dapat ditegakkan". Apa artinya?
Artinya ialah bahwa Rasulullah Saw. telah memahami bahwa
kekuatan politik dan militer itu merupakan suatu keharusan. Beliau selalu
memikirkan hal itu, termasuk pada saat beliau menempuh da'wah fardiah
yang berusaha menyelamatkan setiap orang dari api neraka. Memang benar, bahwa
beliau telah menentukan target yang lebih dari itu, yaitu menyelamatkan seluruh
umat manusia dari api neraka, tetapi beliau tidak akan mampu menyampaikan
ide-ide Islam kepada seluruh umat manusia apabila suaranya terbungkam.
Dari sinilah beliau menyertakan langkah meminta pertolongan
dan perlindungan terhadap langkah pembinaan dan persiapan aqidah masyarakat.
Tetapi, apakah Rasulullah Saw. menunggu sampai beliau memiliki suatu pondasi
yang cukup kuat sesuai dengan apa yang diinginkan oleh kelompok da'wah pertama
di atas (yakni yang memperbaiki individu saja)? Fakta sejarah menunjukkan,
bahwa tatkala beliau telah mulai meminta perlindungan dari pemimpin masyarakat
Thaif, beliau berangkat sendirian ke sana. Sekalipun pada akhirnya beliau tidak
berhasil, sampai-sampai anak-anak kecil pun melemparinya dengan batu. [Ibid,
halaman 419] Ini menunjukkan bahwa sekalipun da'wah Rasulullah masih dalam tahap
awal, tetapi beliau telah merencanakan untuk mencari kekuatan dan menjadikan
hal ini sebagai salah satu usaha yang paling utama. Maksud dari kekuatan itu
adalah memiliki sebuah negara.
Juga, bukankah Rasulullah pernah mengatakan kepada sahabatnya
--sebelum hijrah tentunya: "Kita belum diperintahkan berperang".
[Ibid, halaman 448] Bukankah ini isyarat bahwa peperangan itu akan
terjadi, bahkan akan memiliki kedudukan penting dalam melindungi Islam setelah
tegaknya negara Islam kelak?
Ada sebagian orang yang melontarkan suatu pemahaman bahwa
penduduk Yatsriblah yang telah datang kepada Rasulullah Saw. dan mengajak
beliau untuk datang ke negeri mereka sebagai salah satu upaya untuk mengatasi
perselisihan dan permusuhan yang selalu terjadi antara dua suku besar,
"Aus dan Khajraj". Pemahaman seperti ini berkeinginan agar kaum
Muslimin menerima secara apriori pendapat yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
tidak pernah meminta sendiri dari para pemimpin Madinah untuk mendirikan negara
di Madinah, melainkan merekalah (penduduk Madinah) yang menawarkan dan
memberikannya! Dengan kata lain, hal ini terjadi begitu saja tanpa ada rencana
sebelumnya. Namun fakta yang tercantum dalam kitab-kitab sirah Rasul
menunjukkan sebaliknya.
Cukuplah kita membaca riwayat Ibnu Hisyam yang menceritakan
peristiwa itu, yang menjadi saat-saat yang sangat penting dalam sejarah Islam
ini. Hanya saja kita tidak akan mencantumkan nash secara keseluruhan, tetapi
hanya ucapan orang-orang Anshar kepada Nabi Saw.[Ibid, halaman 328-329]:
"Kami telah meninggalkan kaum kami dalam keadaan saling bermusuhan dan buruk, sehingga tidak ada satu kaum pun yang keadaannya lebih buruk seperti mereka. Oleh karena itu Allah SWT mudah-mudahan menyatukan hati mereka dengan engkau. Nanti kita akan mendatangi mereka dan mengajak mereka untuk mengikutimu, lalu kami akan menawarkan kepada mereka agama yang kami terima dari engkau".
"Kami telah meninggalkan kaum kami dalam keadaan saling bermusuhan dan buruk, sehingga tidak ada satu kaum pun yang keadaannya lebih buruk seperti mereka. Oleh karena itu Allah SWT mudah-mudahan menyatukan hati mereka dengan engkau. Nanti kita akan mendatangi mereka dan mengajak mereka untuk mengikutimu, lalu kami akan menawarkan kepada mereka agama yang kami terima dari engkau".
Perkataan mereka, "Ajabnaaka" (yang kami
terima dari engkau), menunjukkan bahwa Rasulullahlah yang telah meminta
pertolongan dan perlindungan dari mereka. Itulah yang dapat dimengerti dari
perkataan tersebut, kecuali kalau memang ada kamus-kamus bahasa terdapat
pengertian yang lain dari itu.
Sebagai penguat argumentasi dan pemahaman ini, kita kutipkan
sebuah riwayat Asy Sya'bi, bahwa pada saat itu As'ad bin Zararah bertindak
sebagai pemimpin suku Al Khazraj. Pemimpin suku ini berkata kepada Rasulallah
Saw [Lihat Dalailumi Nubuwah, Abu
Nu'aim Al Ashbahani, halaman 106]:
"...Engkau telah meminta kepada kami (untuk menyerahkan
kekuasaan milik kami). Sedangkan kami adalah suatu kelompok masyarakat yang
hidup di negeri mereka dalam keadaan mulia dan kuat. Namun di situ tidak ada
yang rela dipimpin oleh orang dari luar suku kami, khususnya bagi kaumnya
sendiri yang paman-pamannya tidak memberikan perlindungan bagi mereka. (Terus
terang bahwa) permintaan tersebut adalah suatu hal yang sukar sekali. Tetapi
kami ini (telah bersepakat untuk) memenuhi permintaanmu itu..."
Tinggal kini kita menyebut tindakan Umar, ketika beliau
memutuskan membuat kalender Islam ternyata beliau menjadikan peristiwa hijrah
sebagai tahun pertama. Penafsiran tindakan Umar ini tidak lain adalah bahwa
peristiwa hijrah adalah merupakan awal lahirnya negara dan masyarakat Islam
pertama. Apakah ada seorang peneliti yang dapat membicarakan masalah masyarakat
Islam sebelum membicarakan masyarakat Islam di Madinah?
Cobalah kita berfikir, bagaimana mungkin bisa membangun suatu
masyarakat Islam sekarang ini tanpa ada sebuah negara Islam! Kalau Rasulullah Saw.
saja selama 13 tahun berda'wah di Mekkah tidak berhasil, padahal beliau
mendapatkan pertolongan dari Allah SWT; juga sekalipun beliau --seperti yang
diakui pula oleh para orientalis-- tidak pernah menghadapi kepercayaan/agama
yang begitu berbahaya. Lalu bagaimana dengan kita? padahal kita ditantang untuk
menghadapi ide-ide sekuler dan materialis, serta serangan kebudayaan Barat yang
didukung oleh kekuatan militer dan sistem intelijennya? Apakah mungkin kita
dapat menghadapi semua bahaya dan tantangan ini dengan tangan kosong (tanpa
sebuah negara)?
Sekalipun telah kita sebutkan bukti-bukti yang jelas seperti
di atas, masih saja ada sebagian orang yang menolak menganalogikan keadaan
sekarang dengan keadaan masa lalu. Mereka beralasan bahwa keadaan masa lampau
berbeda dengan keadaan sekarang, di samping Rasulullah Saw. sendiri punya
keistimewaan dan kelebihan. Atau, bahwa penyerupaan ini akan mendorong kita
"berkhayal" dan menjauhkan diri dari kenyataan! Dan walaupun kita
tegas menolak alasan-alasan tersebut, tetapi baiklah kita akan mencoba meneliti
dan melihat keadaan sekarang ini --sekalipun dipisahkan dari sirah Rasul dan
cara beliau memecahkan persoalan-- Kita akan lihat bahwa akal, di samping
syara', akan mengantarkan kita kepada kesimpulan yang serupa.
Ambillah, misalnya, suatu negeri yang penduduknya mayoritas
muslim. Di tengah-tengah negeri itu berkembang banyak ide, dan kepentingan yang
saling bertentangan, seperti partai-partai komunis/sosialis atau paham sekuler,
di samping adanya ketegangan dengan agama-agama lain, taruhlah agama kristen misalnya;
tentu dalam masyarakat seperti ini orang-orang lambat laun akan menjauhkan diri
dari Islam, rasa ketaqwaan akan berkurang, dan aqidah Islam akan menjadi mudah
goyah dalam diri kaum muslimin. Pada saat kita meneliti masyarakat seperti ini,
kita harus membayangkan secara jujur bahwa masyarakat yang kita jadikan contoh
ini merupakan suatu gambaran yang ada pada setiap masyarakat Islam secara umum.
Atau paling tidak merupakan suatu gambaran yang mewakili negeri yang akan
diperbaiki, sekalipun pendekatan masing-masing kita berbeda.
Harus kita perhatikan di sini, bahwa partai-partai Sosialis
itu dapat bergerak tentu mendapat dukungan dari salah satu partai politik dan
militer yang besar di tingkat internasional. Derasnya arus sekulerisasi juga
karena didukung oleh negara-negara Barat dan Timur secara bersamaan, selain juga
--ini yang sangat menyedihkan-- oleh negeri-negeri Islam sendiri. Akan halnya aktivitas
kristenisasi, praktek mereka didukung oleh negara-negara Eropa, khususnya
Perancis dan Vatikan. Kita tidak dapat membayangkan apa akibatnya jika
sekolah-sekolah misionaris di negeri-negeri Islam, seperti Libanon, didirikan
oleh penduduk Nasrani dan dapat dipertahankan keberadaannya sepanjang masa,
tanpa mendapat dukungan dari orang-orang Nasrani di seluruh dunia.
Jadi pengaruh-pengaruh ideologi dan pemikiran yang menentang
Islam selalu didukung oleh kekuatan politik dan militer dari negara tertentu.
Lantas umat Islam, siapa yang melindungi kepentingan-kepentingan mereka? Apa
kita harus berlindung kepada negara-negara yang ada di dunia Islam, sementara
pemimpinnya merupakan kaki tangan negara adidaya yang tidak punya harga diri
lagi?
Cukuplah kita melihat bagaimana sikap Saudi Arabia, yang
merupakan tanah Hijaz dan pusat Islam pertama terhadap pengusiran sekitar
300.000 kaum muslimin dari Bulgaria tahun 1989. Lihat pula bagaimana sikap
Saudi dan Kuwait dalam meminta perlindungan kepada Amerika Serikat untuk
menghancurkan salah satu negeri Islam Irak, dan meluluskan keinginan Amerika
Serikat di sana untuk menghancurkan kekuatan militer dan ekonominya. Kita jadi
bertanya, apakah ini dapat terjadi kalau kaum muslimin mempunyai suatu daulah
yang mempertahankan negeri-negeri mereka dan menjaga kehormatannya.
Padahal dahulu khalifah Al-Mu'tasim (masa Abbasiyah) telah
membakar kota Rumiyah (Roma), juga membunuh 90.000 orang (pasukan kafir) hanya
untuk mendukung seorang wanita muslimat yang berteriak sambil memanggil: "Waa
Mu'tasimaah, di manakah engkau wahai Al Mu'tasim", setelah dilanggar
kehormatannya oleh tentara Romawi. Juga jauh sebelumnya, Rasul mengumumkan
perang terhadap kaum Yahudi dari Bani Qainuqa', hanya untuk melindungi wanita
yang dibuka jilbabnya oleh orang Yahudi.
Namun sekarang siapa yang bisa membalas kehormatan kaum
muslimin yang dilanggar musuh Islam di Palestina, di India, Bosnia, Myanmar,
Filipina atau di tempat-tempat lainnya? Apa pidato-pidato, seminar, lokakarya,
kongres, dll bisa melakukannya!?
Mata tidak bisa melawan penusuk mata, tetapi pedang bisa
menghancurkan sarungnya. Akhirnya kita dapat
simpulkan bahwa setiap pemikiran yang ditujukan untuk membangkitkan kaum
muslimin hendaknya mampu membentuk kesadaran individu sebagai langkah awal,
menghidupkan dan memperdalam aqidah mereka, juga menampakkan kerusakan dan
kekeliruan ideologi Barat, di samping selalu berusaha memperbaiki perilaku
setiap muslim semaksimal mungkin, dan memecahkan persoalan-persoalan
masyarakat.
Tetapi harus selalu diingat bahwa cara tersebut tidak cukup
untuk mengubah keadaan. Bahwasanya
jalan yang sempurna dan komplit yang ditempuh untuk membangkitkan kaum muslimin
adalah dengan membentuk kesatuan politik dan ekonomi di bawah satu bendera dan
satu naungan, yaitu negara khilafah yang berusaha menyampaikan da'wah secara totalitas
ke seluruh penjuru dunia. Dan hendaknya usaha untuk mewujudkan ini semua harus
mendapat perhatian lebih dan memerlukan curahan pikiran dan tenaga yang sangat
besar dari seluruh kaum Muslimin di dunia, khususnya yang ada di Timur Tengah
sebagai pembawa harapan bagi seluruh umat Islam di dunia.
Bila kita sudah tahu bahwa daulah khilafah adalah syarat
mutlak untuk membangkitkan kaum muslimin secara sempurna, maka inilah jalan
yang ditempuh untuk mengadakan "ishlah" (perbaikan) yang kita
inginkan. Yaitu jalan tersebut pernah ditempuh oleh Rasulullah Saw. Karena itu,
kita tidak boleh menyimpang sedikitpun dari padanya atau mengambil jalan
tengah. Misalnya berkompromi dengan penguasa yang menentang kehadiran Islam di
bidang politik dan ekonomi negara, atau di bidang hukum dan peradilan.
Kita bukanlah umat yang biasa mengambil jalan tengah
(moderat). Pilihan kita hanya dua; keinginan itu tercapai atau kita harus mati
karenanya.
Jalan Dakwah
Rasulullah Saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar