2. Pembersihan Institusi Politik
Bani Qainuqa’
a. Sebab Dilakukannya
Sebab yang sebenarnya
dilakukan perang dengan Bani Qainuqa' adalah melaksanakan rencana pembersihan
yang telah dirancang oleh Rasulullah Saw. Perang ini merupakan perang
pembersihan pertama yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Namun, yang menjadi
sebab segera dilakukannya perang dengan Bani Qainuqa’ adalah bahwa Yahudi Bani
Qainuqa’ merupakan Yahudi pertama yang merusak kesepakatan antara mereka dengan
Rasulullah Saw. yakni kesepakatan yang beliau buat segera ketika beliau datang
di Madinah. Dalam kesepakatan itu terdapat “Di antara mereka wajib saling
menolong dan bekerjasama guna memerangi orang yang memerangi salah satu pihak
yang terikat dengan perjanjian ini.” Sedang mereka tidak menolong kaum muslimin
ketika kaum kafir Quraisy memerangi kaum muslimin di Badar.
Dan termasuk isi
kesepakatan itu juga, “Di antara mereka harus saling nasihat-menasihati, dan
melakukan kebajikan harus lebih dikedepankan dari melakukan kejahatan.” Mereka
pada hari itu malah menyerang wanita muslimah, seperti yang akan kami
perlihatkan sebentar lagi.
Adapun sebab langsung
dilakukannya perang dengan Bani Qainuqa’ adalah bahwa seorang wanita muslimah
datang dengan memakai jilbab. Wanita itu hendak berjualan di pasar Bani
Qainuqa’. Dia duduk di dekat tukang emas. Selanjutnya mereka mulai berbuat
kurang ajar, mereka ingin wanita itu membuka kain yang menutupi wajahnya, namun
wanita itu menolak. Lalu tukang emas itu mendekati ujung baju wanita itu,
kemudian mengikatnya pada punggungnya, sehingga ketika ia berdiri, terbukalah
aurat wanita itu. Melihat itu, mereka pun tertawa. Karena merasa dilecehkan,
wanita itu pun menjerit.
Kemudian, seorang
laki-laki di antara kaum muslimin melompat pada tukang emas tersebut, dan
membunuhnya. Tukang emas yang dibunuh adalah orang Yahudi, sehingga orang-orang
Yahudi sangat marah terhadap orang Islam yang membunuhnya. Akhirnya, mereka
beramai-ramai membunuh orang Islam itu. Sebelum meninggal orang Islam itu
sempat berteriak minta tolong kepada orang-orang Islam untuk melawan
orang-orang Yahudi. Kaum muslimin menjadi sangat marah. Sehingga terjadi
pertengkaran antara kaum muslimin dengan Yahudi Bani Qainuqa’.
Rasulullah Saw.
mengumpulkan mereka di pasar dan menasehatinya. Rasulullah Saw. bersabda kepada
mereka, “Wahai orang-orang Yahudi, waspadalah agar kalian tidak ditimpa siksaan
yang pedih dari Allah, seperti yang dialami kaum kafir Quraisy. Masuk Islamlah
kalian, sesungguhnya kalian semua tahu bahwa aku Nabi yang diutus oleh Allah.
Semua itu kamu temukan dalam kitab kalian, dan Allah telah menjanjikan hal itu
kepada kalian.”
Mereka berkata, “Wahai
Muhammad, kamu anggap kami ini kaummu. Kamu jangan bermimpi. Memang, kamu telah
bertemu dengan suatu komunitas yang tidak memiliki keahlian tentang perang,
sehingga kamu punya peluang untuk mengalahkannya. Demi Allah, jika kami benar-benar
mau memerangimu, maka kamu benar-benar tahu bahwa kami adalah komunitas orang
yang tidak terkalahkan.”
Dan turunlah firman
Allah Swt.,
“Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya)
pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada
mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berkhianat.” (TQS. al-Anfaal [8]: 58)
b. Mereka Tunduk Terhadap
Kekuasaan Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw. dan
pasukannya pergi menuju Yahudi Bani Qainuqa’, sedang benderanya dibawa oleh
Hamzah bin Abdul Muththalib. Rasulullah Saw. mengepung mereka selama lima belas
hari sejak hari pertama bulan Dzul Qa'dah. Kemudian Allah menancapkan dalam hati
mereka rasa takut, sehingga akhirnya mereka tunduk terhadap kekuasaan
Rasulullah Saw.
c. Sikap Para Sekutu Bani
Qainuqa’
1.
Sikap Ibnu Salul
Abdullah bin Ubay bin
Salul -pemimpin orang-orang munafik- pergi pada Nabi Saw. ketika beliau telah
menguasai Yahudi Bani Qainuqa’. Dia berkata, “Wahai Muhammad, berbuat baiklah
terbadap orang-orang yang masih loyal kepadaku.” Rasulullah Saw. berpaling darinya.
Lalu, dia memasukkan tangannya ke dalam kantong pakaian pelindung tubuh
Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. berkata kepadanya, “Menjauhlah dariku.”
Rasulullah Saw. tampak marah sehingga mereka lihat wajah beliau kelihatan
merah. Lalu, beliau berkata, “Celaka kamu, aku bilang menjauhlah dariku.” Dia
berkata, “Tidak! Demi Allah, aku tidak akan menjauh darimu sampai kamu berbuat
baik terhadap orang-orang yang masih loyal kepadaku, yaitu 400 orang yang tidak
memakai baju besi, dan 300 orang yang memakai baju besi. Sungguh dengan mereka
aku akan terlindungi dari golongan merah dan hitam yang akan menyerang secara
tiba-tiba. Demi Allah, aku orang yang sangat takut menderita.” Rasulullah Saw.
berkata, “Mereka semua untukmu.” Rasulullah Saw. membebaskan dan mengusir
mereka dari Madinah dengan tidak boleh membawa sesuatu apapun selain wanita dan
anak-anaknya, sedang harta benda mereka harus tetap ada di Madinah. Mereka
pergi ke Adzra'at bagian dari wilayah Syam.
Di sini perlu kami
jelaskan model politik Rasulullah Saw. untuk menghentikan tingkah laku Abdullah
bin Ubay bin Salul, dan tanggapan beliau terhadap tuntutannya. Kami berkata:
Abdullah bin Ubay bin Salul adalah orang yang memiliki kedudukan penting dan tinggi
di Madinah al-Munawwarah. Ketika Rasulullah Saw. datang ke Madinah, maka
kaumnya berkumpul mendatanginya untuk mendapatkan bimbingan dan arahan. Di
Madinah, Abdullah bin Ubay bin Salul memiliki banyak pengikut terdiri dari
orang-orang dengki,
durjana dan sebagian lagi adalah mantan orang-orang yang pernah menduduki
kedudukan tinggi di Madinah. Mereka berkonspirasi untuk meloloskan
keinginannya.
Di sini disebutkan
bahwa Ibnu Salul diberi 700 orang bersenjata di antara mereka untuk
melindunginya. Pada saat perang Uhud, Ibnu Salul mampu mengajak orang-orang
kembali ke Madinah, padahal mereka sangat dibutuhkan oleh Rasulullah Saw.,
sehingga ada sepertiga pasukan yang kembali bersama Ibnu Salul. Dengan
demikian, mengendalikan orang ini -Ibnu Salul- bukan perkara mudah.
Setelah mengamati
langkah-langkah politik Rasulullah Saw. kami dapati bahwa beliau senantiasa
mendahulukan stabilitas masalah-masalah dalam negeri. Beliau menilai masalah
dalam negeri adalah masalah utama, sebab jika masalah dalam negeri kacau, maka
kacaulah segala sesuatu bersamanya. Kalau saja Rasulullah Saw. tidak
memperhitungkan dampak dari tingkah laku si kotor -Ibnu Salul- ini, dan kalau
saja beliau tidak tanggap memberikan sesuatu yang diinginkan, niscaya dia akan
mengagitasi orang-orang. Sehingga terjadinya fitnah (pertumpahan darah) tidak
akan ada yang tahu kapan berakhirnya, kecuali Allah. Tentu, keadaan yang
demikian itu sama sekali tidak menguntungkan bagi perjalanan dakwah.
Untuk itu, demi
kebaikan dakwah dan negara, Rasulullah Saw. menganggap perlu meloloskan
sebagian dari apa yang diminta oleh si kotor ini, sebab dengan meloloskan
sebagian tuntutannya akan terpelihara stabilitas keamanan dalam negeri. Dan
yang harus diingat selalu bahwa si kotor ini senantiasa menampakkan
keislamannya, serta diikuti oleh orang-orang munafik yang juga senantiasa
menampakkan keislamannya. Dan jika terjadi pertumpahan darah, maka yang terjadi
adalah perang saudara yang akan menjatuhkan kredibilitas dakwah Islam, dan akan
menghancurkan sendi-sendi kekuatan negara.
Sebab orang yang
melihat perang ini dari luar akan berpendapat bahwa kaum muslimin antara yang
satu dengan yang lain saling membunuh. Sehingga tersebarlah di seluruh penjuru
Jazirah Arab bahwa Muhammad membunuh sahabatnya sendiri. Akibatnya orang-orang
takut akan semakin takut. Akhirnya nama baik Negara Islam
menjadi rusak, dan orang-orang akan berpaling dari agama Allah.
2.
Sikap Ubadah bin Shamit
Antara Ubadah bin
Shamit dengan Yahudi Bani Qainuqa’ ada ikatan persekutuan, seperti ikatan
persekutuan antara Yahudi Bani Qainuqa’ dengan Abdullah bin Ubay bin Salul.
Namun, Ubadah bin Shamit lebih mengutamakan Rasulullah Saw., dan melepaskan
ikatan persekutuan dengan mereka. Semua itu dilakukan karena cintanya kepada
Allah dan Rasul-Nya. Dia berkata: “Wahai
Rasulullah, aku jadikan Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin sebagai penolongku,
dan aku berlepas diri dari mereka orang-orang kafir dan dari kekuasaannya.”
Demikian itu merupakan bukti keimanan dan kepercayaan Ubadah bin Shamit kepada
Allah dan Rasul-Nya.
Turunnya
al-Qur’an tentang Ubadah dan Ibnu Salul
Tentang Ubadah bin
Shamit dan Abdullah bin Ubay bin Salul turun ayat al-Qur’an sebagian dari surat
al-Maidah.
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nashrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. Siapa saja di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.
Maka kamu akan melihat
orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera
mendekati mereka (Yahudi dan Nashrani), seraya berkata: "Kami takut akan
mendapat bencana." Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada
Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka
menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.
Dan orang-orang yang
beriman mengatakan: "Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh
dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?" Rusak
binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi.
Hai orang-orang yang
beriman, siapa saja di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah
akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang
bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan
yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.
Sesungguhnya penolong
kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
Dan siapa saja
mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya,
maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (TQS.
al-Maidah [5]: 51-56)
(artikel ini tanpa
tulisan Arabnya)
Sumber: Prof. Dr. Muh.
Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw.,
Al-Azhar Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar